BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Jumat, 25 Desember 2009

MERRY CHRISTMAS, EVERYONE !



I'M WISHING YOU ALL....

MERRY CHRISTMAS AND HAPPY NEW YEAR 2010



BOLU KUKUS MEKAR



BAHAN-BAHAN :

  • 500 gr                         tepung terigu segitiga biru
  • 500 gr                         gula kastor
  • 5 butir                         telur ayam
  • 1 botol (295 cc)          sprite
  • 1 sdt                           S.P.
  • 1 bks                          vanillie crystal
  • 1/2 sdt                        garam
  • pasta coklat / strawberry / pandan secukupnya
CARA MEMBUAT :

  1. Tempatkan semua bahan (kecuali pasta) ke dalam baskom. Kocok semua bahan dengan mixer kecepatan tertinggi selama 20 menit dengan teknik memutar satu arah (tidak dibolak-balik). Adonan akan mengembang hampir 3 kali bentuk semula.
  2. Matikan mixer setelah waktu pengocokan cukup. Ambil sebagian adonan untuk dicampur dengan pasta.
  3. Panaskan dandang, jangan lupa membungkus tutup dandang dengan serbet bersih agar uap air tidak menetes.
  4. Tempatkan adonan pada cetakan kue bolu yang telah dialasi cup kertas sesuai ukuran cetakan.
  5. Masukkan adonan ke dalam cetakan hingga 1/2 penuh, tambahkan adonan berpasta di atasnya hingga menjadi 3/4 penuh.
  6. Masak dalam dandang selama 10 menit. Bila sudah matang, angkat dari dalam dandang dan dapat langsung dihidangkan untuk teman minum teh di sore hari.
Resep ini cukup untuk membuat kira-kira 35 buah kue.

Kamis, 24 Desember 2009

BIHUN EBI ala CINDELARAS


Wuah, hari sudah masuk musim penghujan begini, enaknya masak sesuatu yang bisa bikin badan hangat dan perut kenyang.  Ada satu resep masakan yang kami semua suka, sejenis laksa dengan bihun sebagai sumber karbohidratnya.  Malah kalau suka, bisa saja ditambah irisan ketupat di dalam penyajiannya.  Resep ini didapat dari seorang tetangga yang berlangganan majalah Femina kira-kira sepuluh tahun yang lalu.  Gak disangka, hasil dari resep sederhana ini menjadi santapan yang cukup ‘maknyusss’ buat lidah kami.  Kalau anda penasaran ingin mencoba, ini saya tuliskan resepnya.
BIHUN EBI ALA CINDELARAS


Bihun Ebi dengan kuah santan.

Bahan-bahan :
  • 500 gr daging sapi
  • 1,5  lt air
  • 200 gr bihun kering
  • 1 ikat kecil kucai, potong ukuran 3 cm
  • 200 gr taoge panjang
  • 1 ikat kecil daun kemangi, petik daunnya
  • 30 btr telur puyuh, rebus hingga masak, kupas bersih
  • 2 sdm ebi kering
  • 200 cc santan kental dari 1 buah kelapa
  • bawang putih goreng
  • bawang merah goreng
  • krupuk udang goreng
  • jeruk limau untuk perasan
  • sambal cabai rawit yang dituangi kuah secukupnya
Bahan utama dan bumbu yang dihaluskan.

Bumbu-bumbu:
  • 5 siung bawang putih
  • 8 siung bawang merah
  • 20 buah cabe merah (bisa dikurangi bila tidak suka pedas)
  • 2 batang serai, memarkan
  • 8 helai daun jeruk
  • 1 iris lengkuas.
  • 2 helai daun salam.
  • 1 maggi blok rasa sapi
  • garam secukupnya
  • vetsin secukupnya (bila suka- atau bisa diganti dengan gula pasir)
Bahan taburan.

Cara membuat :
  • Rebus daging sapi dengan 1,5 lt air hingga empuk (anda bisa memasak dalam panci presto bila ada selama 30 menit saja), matikan apinya, potong-potong ukuran dadu, lalu masukkan kembali ke dalam panci rebusan.
  • Rendam bihun dengan air panas hingga cukup lembut, tiris, sisihkan.
  • Rendam ebi kering dalam air panas secukupnya, tiriskan, tumbuk, lalu sisihkan.
  • Rendam taoge dengan air panas dan tiriskan.
  • Haluskan bawang putih, bawang merah, dan cabe merah. Masukkan ke dalam panci rebusan daging (tanpa disangrai) dengan menambahkan air hingga kuah yang didapat berjumlah kurang lebih 1 lt.
  • Rebus kembali dalam panci selama lebih kurang 30 menit.
  • Masukkan maggi blok, garam dan vetsin (atau gula pasir) secukupnya.
  • Tuangkan santan dan aduk agar tidak pecah hingga mendidih, lalu angkat.
  • Siapkan pinggan bersih, letakkan bihun secukupnya. Beri taburan taoge, telur puyuh rebus, kucai, daun kemangi, dan ebi tumbuk di tasnya.
  • Siram dengan kuah panas beserta dagingnya.
  • Taburi bawang putih goreng dan bawang merah goreng.
  • Disajikan dengan krupuk udang goreng sebagai pelengkap.
  • Anda bisa memasukkan perasan jeruk limau dan sambal cabai rawit ke dalam mangkuk anda bila suka.
Racikan Bihun Ebi sebelum diberi kuah.

Hidangan ini bisa disajikan untuk 8 orang. Hidangan ini juga sangat pas disajikan di saat arisan atau acara lainnya.
* Catatan :   tampilan masakan ini nyaris seperti Laksa Betawi, hanya citarasanya sedikit berbeda karena tidak menggunakan oncom dan beberapa bahan lainnya.

Rabu, 23 Desember 2009

RAWON

Bahan-bahan :

  • 1 kg           daging sapi (bagian paha atau lemusir), potong dadu ukuran 3x3x3 cm
  • 1,5 ltr         air
  • 2 batang     serai, dimemarkan
  • 4 lembar     daun jeruk nipis
  • 3 sdm         minyak untuk menumis
  • Garam secukupnya
  • Gula pasir/vetsin secukupnya
  • bawang goreng untuk taburan
Bumbu yang dihaluskan:

  • 6 siung        bawang putih
  • 8 siung        bawang merah
  • 2 jari           kunyit
  • 1 sdt           merica bulat
  • 6 buah        keluwak tua, ambil dagingnya
Cara membuat:
  • Tumis bumbu yang sudah dihaluskan bersama dengan batang serai dan daun jeruk dengan 3 sdm minyak goreng, angkat bila sudah berbau harum.
  • Masak bumbu halus bersama dengan potongan daging dan air ke dalam panci presto selama 40 menit.
  • Sajikan hangat dengan taburan bawang goreng sebagai teman makan nasi bersama sambal terasi, perkedel kentang, telur asin, krupuk udang, dan lalapan taoge kacang hijau.
Resep ini cukup untuk 6 orang.

Selasa, 22 Desember 2009

UBLIK


Sigit beringsut mendekati emaknya tercinta. Sudah sesaat lamanya sang emak bersimpuh di lantai tanah rumah mereka. Diusapnya pelan-pelan air mata yang menetes di kedua pipi yang kurus itu. Dada Sigit sakit melihat emaknya tampak begitu ringkih. Sebuah lebam melingkar di mata kiri yang biasanya selalu memandangnya dengan penuh kasih. Sigit tak mengerti mengapa bapaknya bisa berbuat begini.
Kang…, jangan diambil, Kang….  Itu modalku jualan besok pagi….
Hasss…, banyak omong kamu.
Jangan, Kang…, aku sudah ndak punya uang lagi….
Diam !
Kang….
DUG !, sebuah jotosan telak mengenai mata istrinya, Gito bergegas pergi begitu melihat istrinya terjatuh di lantai. Di sudut ruangan, mata Sigit kecil membelalak tak percaya.
Maaak….
Perlahan Tarsih membuka matanya. Ah…, anak lelakinya yang malang, pasti dia sudah melihat kejadian itu barusan. Direngkuhnya anak itu dalam dekapan, air matanya mengalir makin deras. Duh, Gusti…, jadikan anak ini anak yang berguna bagi kebahagian kami, doanya dalam hati. Diciuminya kedua pipi anaknya berkali-kali. Dia bersumpah tak akan menjadikan anak lelakinya itu punya perangai seperti bapaknya.
Emak sakit, Mak ?
Tarsih menggeleng.
Tidak, cuma sedikit.  Sigit…, kalau kamu sudah besar tidak boleh suka memukul, ya ?
Sigit kecil mengangguk saja. Diusapnya helai rambut panjang yang menutup sebagian kening emaknya. Mata kiri emaknya tampak sedikit menyipit. Tiba-tiba dia bergerak mendekat ke wajah Tarsih, dan mencium mata kiri emaknya, hati-hati sekali. Biasanya, Tarsih selalu mencium setiap luka yang menempel di tubuh anak lelaki semata wayangnya itu. ‘Biar cepat sembuh…’, begitu dalihnya tiap kali ditanya kenapa. Dan sekarang anak lelakinya itu melakukan hal yang sama pada dirinya. Dan itu membuat Tarsih terharu.
Gito, lelaki yang dikawininya itu memang bukan pilihannya. Dia dijodohkan pada lelaki itu setelah Pak Warmo, bapak Tarsih, punya utang karena kalah main judi di warung Yu Katemi yang ada di tengah pasar. Tarsih tak sanggup menolak, dia tau bapaknya almarhum itu pasti telah tertipu akal licik Gito yang pandai main kartu. Dan kini mereka telah mendapat seorang anak lelaki yang tampan dan pintar. Sigit, anak itu, anak yang telah memberinya begitu banyak penghiburan atas segala derita yang diterimanya dari suaminya yang berangasan.
*
Kalau besar nanti aku mau jadi polisi….
Kenapa polisi ?
Biar yang suka jahat sama emak bisa aku masukkan penjara, kayak di filem yang di TVnya Mbah Dirjo itu, Mak….
Ah, kamu ini…. Ngomong kok nggak ada juntrungnya. Nggak usah punya mimpi macam-macam….
Biar, kalau tidak aku nanti mau jadi tentara saja.
Lho, kok sekarang jadi tentara ?
Biar aku bedhil semua yang mau jahat sama Emak.
Husss !, ngawur kamu…. Sudah, pergi main ke lapangan sana !
Sigit mengambil bola kaki yang ada di kolong tempat tidurnya. Langkahnya tegap menuju lapangan, tempat teman-temannya menunggu bermain bola.
Dari jauh, Tarsih memandangi punggung anak lelakinya yang sekarang sudah mulai tampak berbentuk, tegap seperti almarhum bapaknya yang pernah jadi tentara di masa sehabis merdeka. Otot yang liat itu tampak kencang membungkus tulang yang kekar. Tarsih bangga sekali, anak lelakinya telah tumbuh menjadi remaja yang gagah.
BRAKKK!!!
Tiba-tiba pintu terbuka seperti habis ditendang, suaranya yang keras mengagetkan Tarsih yang masih sibuk berbenah. Gito masuk melenggang dengan dagu terangkat. Matanya yang runcing melihat ke sekeliling.
Minum !, bentaknya bengis.
Tarsih cepat-cepat ke belakang untuk membuat segelas kopi panas untuk suaminya. Itu minuman kesukaan Gito bila hari sudah agak sore begini. Diambilnya kopi dan gula yang terletak di dalam lemari makanan. Sial…, gulanya tinggal sedikit.
Kang…, aku ke warung Lik Mun dulu, ya….  Mau beli gula….
Alasan ! Bikin seadanya !
Tarsih mengangguk. Diseduhnya kopi yang sudah disiapkannya dalam gelas dengan gula seadanya, lalu dibawanya segelas kopi itu ke hadapan suaminya yang tampak tak sabar menunggu.
Gito membiarkan istrinya meletakkan gelas kopi itu ke atas meja. Rasa hausnya harus tertahan karena panas yang masih menjalar bahkan sampai permukaan luar gelas. Asap tampak mengepul dari panasnya seduhan kopi di dalamnya. Tak sabar, diambilnya gelas itu, dan disruputnya. Tiba-tiba wajahnya menyeringai….
Phuahhh….
Bibir Gito menyemprotkan cairan kopi dari dalam mulutnya ke lantai.
Kopi apa ini ? Kamu mau kurang-ajar sama suamimu ? Minum itu !
Gito menyodorkan gelas kopi itu dengan kasar ke arah Tarsih, dan tangan Tarsih gemetar menerimanya. Dicicipnya kopi yang ada dalam gelas, pahit ! Diletakkannya kembali gelas itu di atas meja ketika Gito mulai melangkah masuk ke dalam kamar. Langkah Gito yang mendekat ke lemari baju membuat Tarsih gundah, dia takut Gito akan melakukan sesuatu yang tidak dia inginkan.
Dan betul saja, Gito mengacak-acak lemari baju itu lagi, lalu mengambil segulung uang sepuluh ribuan yang sengaja Tarsih sembunyikan di bawah tumpukan baju dalam di lemari.
Kang !, jangan diambil, Kang !  Itu uang buat beli buku Sigit !
Hasss, prek ! Aku lagi perlu !
Tapi itu uangnya Sigit….
Prek !!!
Dengan keras Gito mendorong tubuh istrinya hingga tubuh itu doyong dan menabrak meja kayu. Rasa nyeri di panggul menjalar sampai ke ulu hati. Dan dia hanya bisa merintih saat melihat suaminya beranjak keluar dari pintu rumah.
Tiba-tiba Tarsih merasa lelah. Sudah hampir tiga belas tahun sejak mereka kawin, Gito hanya bersenang-senang dengan menghamburkan uang rupiah demi rupiah di meja judi dan mabuk dengan teman-temannya sesama tukang ojek. Tarsih harus rela banting tulang berjualan bubur kacang ijo dan ketan hitam yang didorongnya sepanjang jalan keliling desa. Dari kampung ke kampung, dari gang ke gang.
Cerai saja kenapa to, Sih ?, kata Lik Mun suatu kali.  Tarsih menggeleng.
Itu wasiat Bapak, Lik….
Wasiat kok wasiat suruh kawin sama wong gendheng gitu. Kalau aku sudah  cerai dulu-dulu !
Tarsih menunduk dalam-dalam, dia menghela napas sesal.
Apa kamu kuatir nggak bisa ngasih makan anakmu lanang ?
Ndak, Lik….  Aku masih bisa cari uang sendiri.
Terus kamu nggak mau cerai dari Gito itu, yang kamu berati apanya ?
Tarsih tak menjawab. Lelaki berangasan yang sudah memberinya seorang anak lelaki itu adalah satu-satunya lelaki yang pernah ada dalam hidupnya selain almarhum bapaknya. Seringnya tidur seranjang dengan lelaki itu mau tak mau membuat benih-benih kasih tumbuh dalam hatinya.
Di saat tertentu, sesungguhnya Gito juga seorang lelaki yang bisa jadi pelindung. Itu terjadi saat Tarsih dirampok di kampung Mergangsan yang letaknya lumayan jauh dari tempat tinggal mereka. Kala itu, Gito dengan gagah berani merampas kembali tas tangan yang direbut rampok itu, dan mengembalikannya pada istrinya. Meski akhirnya dia juga mengambil beberapa lembar uang puluhan ribu dari dalamnya, tapi Tarsih rela.
Belanjanya sudah belum, Sih ?, tanya Lik Mun tiba-tiba, membuyarkan lamunan Tarsih di siang bolong di depan warung kecil itu. Geragapan, Tarsih mengangguk sambil tersenyum kecil.
*
Aku boleh sekolah di SMP Negeri 1 ‘kan, Mak ?, tanya Sigit sore itu. Tarsih mengangguk, senyum tulus menghiasi wajahnya.
Ahh, Sigit…, ublik yang sudah menerangi hidup Tarsih itu memang punya semangat luar-biasa. Tidak malu dengan keadaannya yang cuma jadi anak bakul bubur kacang-ijo seperti dirinya. Malah tiap kali Tarsih berjualan di depan sekolah anak lelakinya, si bocah dengan bangga ikut membantunya meladeni pembeli.
Bersyukur, Tarsih bersyukur sekali. Dan sebentar lagi Sigit akan ujian. Tarsih tidak takut anaknya akan tinggal kelas. Sedari kecil, Sigit selalu jadi anak terpandai. Hanya saja…, dia sedikit gelisah dengan masa depan anak lelaki semata wayangnya itu. Akankah dia mampu membiayai sampai Sigit jadi orang di kemudian hari?
Diliriknya lemari baju di sudut kamar, ada sertifikat tanah tempat tinggalnya, peninggalan almarhum bapaknya. Ya, Pak Warmo memang tidak memberinya warisan apa-apa kecuali rumah kecil di sepetak tanah pekarangan ini. Rumah Tarsih memang bukan Gito yang bikin, lelaki seperti Gito tak akan sudi memikirkan akan dimana mereka tinggal. Paling tidak, itu yang Tarsih rasakan.
Tarsih menoleh ke arah anak lelakinya yang kini telah terpulas di dipan tempat tidurnya. Dia suka sekali memandangi bulu mata lentik yang menghiasi kedua mata lelaki kecil itu. Diambilnya selimut yang terlipat rapi di ujung lain dipan, lalu diselimutkannya di atas tubuh Sigit. Hati-hati sekali, seperti dulu sewaktu Sigit masih bayi.
Hmm, betapa cepat waktu berlalu. Rasanya baru kemarin Tarsih menimang buah hatinya yang terlahir di rumah Bidan desa. Sebuah kelahiran yang hanya mendapat sambutan dingin sang suami yang bahkan tidak mau menjemputnya sepulang dari bersalin.
Tarsih ingat sekali waktu itu, dia harus berjalan sendiri, tertatih menuju rumah, dengan menggendong bayinya seorang diri. Sepanjang jalan, semua tetangga menyapanya. Sampai akhirnya dia berpapasan dengan Lik Mun yang kemudian membantunya menggendong bayi mungil itu.
Sudah tau istrinya melahirkan, malah ndak diurus…. Kamu kok ternyata tambah edan, To…?, omel Lik Mun sewaktu melihat Gito.  Gito mencibirkan bibirnya yang hitam, dia tak hirau teguran itu.
Hhh…, semua orang tau seperti apa suaminya, semua orang tau akan seperti apa lelaki itu memperlakukannya. Dan itulah satu-satunya sebab mengapa sampai Pak Warmo, bapak Tarsih, begitu kecewa dengan kebodohannya merelakan Tarsih menjadi istri Gito.
Maafkan, Bapak, Nduk…. Maafkan, Bapak…, bisiknya lirih di telinga Tarsih sebelum mata tua itu terpejam selama-lamanya, hanya selang enam bulan sejak dia jadi istri Gito.
Tapi itu dulu, sekarang Tarsih hanya ingin memikirkan anak lelakinya yang sudah harus didukung belajar demi masa depan. Tarsih tak mau hanya memikirkan bagaimana kelakuan suaminya yang cuma bisa jadi gentho. Masih banyak hal yang harus dia lakukan agar sekolah Sigit tetap lancar. Maka dia tak segan berkeliling ke kampung-kampung lebih jauh dari pada yang dulu biasa dia tempuh.
*
Ada orang baru di ojekan pasar, kisah Gito suatu pagi sehabis sarapan.
Orang baru ?, timpal Tarsih.
Ya, orang dari Bandung. Kemaki dia. Lagaknya kayak orang kaya. Orang kaya kok ngojek.
Tarsih terdiam mendengarkan, tak biasanya Gito tampak begitu gusar menceritakan orang-orang yang dikenalnya.
Dia traktir tukang-tukang ojek lain. Sekarang tidak ada yang tak suka sama orang Bandung itu. Semua memuji. Heh, cuma ngojek tingkahnya seperti bos ! Belum kenal siapa Gito !
Tarsih cuma melirik, hatinya sama sekali tak tertarik mendengar lebih jauh cerita suaminya. Rupanya Gito takut akan kehilangan pengaruh di hadapan teman-teman ojekannya. Selama ini, Gito memang disegani di kalangan mereka, lebih tepatnya ditakuti. Dan sepertinya kehadiran orang Bandung itu sudah merubah sikap banyak orang di pangkalan.
Ambilkan sertifikat !, tiba-tiba Gito berucap, membuat Tarsih tersentak. Dia melongo.  Ahh…, jangan-jangan dia salah dengar ?
Ambilkan sertifikat !, budheg kamu ?
Buat apa, Kang ?, jawab Tarsih bingung. Entah mengapa hatinya merasa ada yang sangat salah.
Cepat ambilkan sertifikat rumah ini !, aku lagi perlu !, bentak Gito lagi.
Tapi buat apa, Kang ?, Tarsih bersikukuh bertanya.
Gito berdiri dari duduknya, mau masuk kamar. Tarsih berusaha menghalangi. Gito tak sabar, dia mendorong Tarsih ke samping, merangsek masuk ke dalam kamar, lalu mengaduk isi lemari. Surat sertifikat itu ditemukannya di tumpukan baju paling atas. Mulutnya menyerengai senang, lalu sertifikat itu diselipkannya di dalam kemeja.
Kang…, mau dibawa kemana, Kang ? Jangan dibawa, Kang…. Kalau hilang kita tinggal dimana ?, Tarsih menangis dan memohon. Gito cuma melotot.
Jangan dibawa, Kang…. Itu punya Sigit….
Hass…! Minggir !
Jangan, Kang…. Aku mohon…. Kalau itu hilang, Sigit mau tinggal dimana ?, jeritnya pilu sembari memegangi tangan kanan Gito yang bersiap melangkah keluar rumah.  Sial…, Gito mengibaskannya kencang-kencang hingga Tarsih terjatuh.  Hatinya hancur sewaktu melihat lelaki itu semakin menjauh dengan sepeda motornya.
Sertifikat…, bagaimana kalau nanti Gito menjadikannya taruhan ?, bagaimana kalau nanti Gito kalah lagi ?, bagaimana mereka bisa tinggal kalau sertifikat itu berhasil diambil pihak lain ?  Bermacam ketakutan berkecamuk di kepala Tarsih yang kini terasa berputar, rasanya ini adalah hal terburuk yang menjadi batas ketabahannya menghadapi kelakuan Gito.
Matanya nyalang memerah, Tarsih memandang sekeliling.  Tiba-tiba dia bangkit, diusapnya air mata yang hampir mengering di kedua pipi. Dan dia bergegas pergi.
*
Buat apa, to ?, tanya Lik Mun sewaktu Tarsih mau beli dua bungkus Apotas.
Buat tikus, Lik, di rumah lagi banyak, jawabnya pendek. Lik Mun manggut-manggut.
Iya, ya…. Tadi Darmi sama Kang Sonto juga habis dari sini beli Apotas. Musim kemarau begini memang banyak tikus. Ndak di sawah, ndak di kebun, ndak di rumah. Sudah punyanya cuma beras jatah, pakai diganggu tikus. Ndak tau diri memang tikus itu…, kata Lik Mun menggerutu. Tarsih tersenyum canggung, tangannya cepat-cepat menerima bungkusan Apotas yang disodorkan Lik Mun.
Berapa, Lik ?
Delapan ribu….
Tarsih bergegas pergi setelah membayar harga barang yang dibeli. Rasa sakit di kakinya karena telah berjalan di atas jalanan berkerikil tanpa alas kaki tak lagi dapat dirasakannya. Bungkusan Apotas itu digenggamnya erat-erat.
Kali ini…, atau tidak sama sekali !
*
Kopi sudah disiapkan di atas meja makan bersama dengan serangkaian hidangan makan siang. Sebentar lagi pasti Gito datang. Tarsih bersiap mandi, dia ingin tampak cantik di hadapan Gito hari ini.
Dengan riang dia mengambil handuk di batang jemuran. Gito suka kalau melihatnya memakai baju batik warna hijau yang dibelinya dari toko Cik Lanny di seberang pasar. Tarsih tau, karena tiap kali dia memakai baju itu, Gito jadi berhasrat mencumbunya.
Kaki Tarsih melangkah ke dalam kamar mandi dengan enteng. Dia harus wangi dan bersih, agar Gito tertarik. Segayung demi segayung air mandi yang segar diguyurkan ke tubuhnya. Begitu asyik sampai-sampai dia tak tau anaknya telah pulang dari sekolah.
Sigit merasa sedikit capek, panas yang terasa di luar sana membuatnya sangat haus. Diliriknya meja makan siap dengan hidangan lengkap. Dia tau, emaknya menyiapkan makanan itu untuk bapaknya. Sigit meletakkan tas sekolah di atas ranjang tempat tidur, lalu bergegas ke dapur untuk mencari air minum. Dia mengambil gelas kosong dari lemari makan, lalu menuang isi kendi ke dalamnya.
Sial…, airnya cuma sedikit. Padahal rasa hausnya belum banyak berkurang. Celingukan, dia teringat segelas kopi di atas meja makan. Ahh…, mengapa tidak diminum dulu saja, biar nanti emaknya membuat lagi satu gelas kopi yang baru buat bapak, begitu pikirnya.
Tak sabar dia mendekat ke arah meja makan, mengambil gelas kopi itu, dan meminumnya sedikit. Rasa pahit yang membakar kerongkongan membuatnya urung menghabiskan minuman. Cuma separuh, tapi itu sudah cukup membuat lehernya terasa terbakar. Diletakkannya kembali gelas kopi itu ke atas meja. Tiba-tiba Sigit merasa aneh, kepalanya terasa berputar dan ada rasa mulas yang hebat di perutnya yang masih kosong karena belum makan siang. Sakit itu tak tertahankan, Sigit ambruk.
Maaak…, jeritnya parau. Badannya mengejang.
Tarsih baru saja selesai dari mandinya ketika dia mendengar jerit parau itu. Dia kaget, Sigit tampak tergeletak di lantai dengan memegangi perut. Tarsih melihat gelas kopi itu. Tinggal separuh ! Jangan-jangan…? Kalap, Tarsih berlari mendekat.
Sigit !, kamu kenapa, Le ?, jeritnya bingung.
Sigit tak menjawab, air matanya mengalir dari sudut mata, urat di dahinya menonjol seakan menahan rasa sakit yang sangat. Kejang tubuhnya makin menghebat, Tarsih panik. Dia tak mengira semua akan jadi begini. Sementara kejang tubuh anaknya semakin menguat. Mata itu melotot, dan mulut itu berbuih. Tarsih merasakan maut yang menghinggap. Lalu kejang itu mengendor, tubuh itu melemas, dan mata itu tak lagi bersinar.
Sigit !, Git !, Sigit !, bicaralah, Le ! Sigit !, panggil Tarsih berulang-ulang, diguncang-guncangkannya tubuh ublik muda yang selama ini sudah begitu terang menyinari hidupnya. Tapi ublik itu sudah terlanjur redup. Tangis sesal mengguyur bagai datangnya bah yang menyapu kerontangnya padang tandus.
Tarsih menggeliat, matanya nanar melihat gelas kopi yang tinggal berisi separuh. Diletakkannya pelan-pelan tubuh anak lelakinya di atas tanah. Lalu diraihnya sisa kopi dalam gelas itu. Ada senyum anak lelakinya di dalamnya. Mantap, diteguknya sisa kopi yang ada, lalu diletakkanya kembali gelas itu di atas meja.
Tarsih merasakan kerongkongannya terbakar, tapi ditahannya dengan sekuat tenaga. Perlahan, dia membaringkan dirinya di samping Sigit yang bibirnya sudah membiru. Direngkuhnya tubuh anak lelaki tersayangnya dalam pelukan, dan dia memejamkan mata….
*
Gito, lelaki kekar itu…, masuk ke dalam rumah yang terasa sepi. Baru saja dia melangkah masuk ketika dilihatnya sang istri tergeletak di lantai dengan tangan memeluk tubuh anak lelakinya. Bibir yang biru di wajah keduanya membuatnya mengerti.
Dia jatuh bersimpuh di dekat kedua tubuh tak bernyawa. Lidahnya kelu. Di sampingnya, ada sertifikat dan sebuntalan perhiasan terlepas jatuh dari tangan. Siang ini, dia membawa kemenangan gilang-gemilang….



S E L E S A I

BANGKU TAMAN FIRDAUS




SEPASANG BANGKU BATU DI TAMAN BERBICARA....
Hmm, kau tau ? Kita sudah semakin tua….
Ya, kita sudah tua. Lihat !, kita sudah mengelupas ! Sungguh tak pantas kalau kita menyombongkan diri jadi yang terbaik disini….
Hmm, kau benar. Kaki-kaki kita sudah mengelupas. Sudah berapa lama kita disini ? Apa kau masih ingat ?
Mmm, kira-kira sudah hampir duapuluh satu tahun. Ya !, kira-kira selama itu !
Duapuluh satu tahun ?, betul-betul waktu yang sangat lama.
Sssssttt, diam ! Ada dua orang muda mendekat….
Aku melirik, benar saja, ada dua orang muda sedang datang mendekat. Di hari sesore ini, apa yang akan mereka kerjakan disini ?
*
Duduk ?, kata pemuda itu mempersilakan. Si gadis tersenyum dan mengangguk. Mereka lalu duduk di pangkuanku. Sang jejaka meletakkan lengan kanannya di atas lenganku yang sepertinya sedikit basah. Tapi dia tak keberatan, tangannya malah seperti menemukan sebuah tempat bermain yang asyik. Dia jadi sibuk mengusap-usap lenganku hingga kering.
Si gadis duduk agak menjauh, bahkan tangannya yang tersentuh tak sengaja oleh sang jejaka itu cepat-cepat ditariknya. Dia tampak agak bingung sewaktu si jejaka nekat melingkarkan tangan kirinya ke atas pundaknya yang berkulit seputih pualam.
Ini… ?, katanya bingung sambil berusaha menepis tangan yang memeluk pundaknya itu. Heran…, si jejaka tersenyum saja. Dia malah mengulanginya, setiap kali tangannya ditepis. Akhirnya si gadis menyerah, dibiarkannya tangan si pemuda itu memeluk pundaknya meski dia merasa sangat risih.
Si pemuda mempererat pelukannya, membuat wajah sang gadis tertarik mendekat ke arahnya. Si gadis tambah jengah, pipinya memerah.
Boy !, jangan !, serunya dengan bingung, takut kalau-kalau dilihat orang. Belum pernah dia berkencan seperti ini, biasanya dia hanya berpacaran tanpa saling menyentuh dengan pria lain sebelumnya.
Tapi si pemuda memang suka gelap mata, dia makin nekat mendekatkan wajahnya, berusaha mencium pipi si gadis dengan paksa. Sang gadis memberontak, tapi tangannya terkunci. Bibir si pemuda itu pun berhasil dengan mulus mendarat di pipi kirinya yang terasa sangat panas. Barangkali sekarang warnanya lebih merah dari kulit sebuah apel washington yang paling ranum sekalipun. Gadis itu memejamkan mata, bibirnya mengatup. Dia tak henti terkejut. Lebih-lebih sewaktu pemuda itu merangsek mendekat, mencium bibirnya yang terus mengatup.
Tiba-tiba gadis itu menemukan tenaganya, didorongnya kuat-kuat badan sang pemuda yang dimabuk cinta, hingga pemuda itu mundur ke belakang. Si gadis yang jengah kini berdiri dari duduknya, bersiap pergi. Tapi tangan pemuda itu menahannya. Dia sudah berusaha mengibaskan tangan itu, tapi sepertinya genggamannya terlalu kencang.
Mau kemana ?, tanya si pemuda. Sang gadis cemberut, dia tak suka diperlakukan begitu. Meski ciuman itu hal baru yang menarik, tapi dia ingin mendapatnya dengan lebih banyak kelembutan.
Si gadis tak bisa lagi dibujuk, maka sang pemuda harus mengalah dan mengantarnya kembali pulang. Berdua  mereka berjalan menjauh dari tempat kami berada.
*
Kau lihat itu ?
Ya, dua anak muda yang mabuk cinta.
Kau pernah jatuh cinta ?
Heheh…, kita ini sebenarnya juga ingin dicintai. Aku juga senang kalau ada yang cinta padaku, mau mengecat kakiku, mau memperbaiki lenganku, mau menambal pangkuanku…. Tapi aku ‘kan sudah tua, mana mungkin ada yang cinta ?
Hmm, yang kita bisa cuma jadi saksi semua peristiwa. Ada yang sedih, ada yang senang, dan entah apa lagi kisah yang akan dibawa dua orang muda itu nanti bila mereka mampir lagi kesini….
Ah...diam kau.... Ada dua orang lagi yang datang.....
Aku melirik, dua orang pria datang mendekat dari arah jalan raya. Dua pemuda yang tampan. Yang seorang bercelana jeans dan berjaket kulit warna hitam. Yang seorang lagi berdandan rapi, dengan kemeja atasan warna biru muda lembut, dan celana abu-abu. Dari keduanya, yang aku sebut terakhir tampak lebih bersih dari yang satunya. Kulitnya agak terang, dan kumis tipis yang bertengger di atas bibirnya yang manis itu tampak semakin membuat wajahnya ganteng. Ah..., orang-orang muda jaman sekarang memang banyak yang ganteng, tidak seperti 20 tahun yang lalu, dimana anak-anak muda lebih suka tampil cungkring dan berdandan ala Punk. Pemuda masa kini lebih mengerti mode.
*
Rasyid celingukan kesana-kemari, matanya tajam melihat sekeliling. Anton yang mengikut di belakangnya mengambil keputusan untuk duduk lebih dulu. Kakinya pegal, sudah sedari tadi dia mengikuti Rasyid berjalan mencari tempat untuk bicara. Dan baru di Taman Firdaus inilah mereka bisa mendapat tempat yang pas, tidak terlalu banyak orang, dan ada bangku yang teduh di bawah naungan pohon rindang.


"Disini cukup aman...", terdengar suara Rasyid. Matanya masih saja awas melihat sekeliling.
Anton mendudukkan dirinya, dia menarik napas panjang.
"Bagaimana sekarang ?", tanya Rasyid tiba-tiba. Anton tampak enggan menjawab, tapi dia memaksakan juga suara seraknya keluar dari tenggorok.
"Tante Donna sudah percaya padaku...", jawab Anton pendek.
"Hmm..., itu perkembangan bagus. Sekarang kamu harus mulai memberinya perhatian lebih khusus. Ingat !, target kita sejumlah 6 miliar. Jangan sampai apa yang sudah kita rencanakan ini gagal, Brur !", kata Rasyid dengan mata tajam menatap Anton.
"Hhh.... Sebenarnya aku tidak suka ini....", keluh Anton.
"Ahh..., sudahlah.... Sudah kita niatkan bersama, kalau bukan aku yang dipilihnya. ya pasti kamu. Maka sekarang tugasku cuma membantu dari balik layar. Kalau nanti dia minta proposal lagi, aku akan sediakan. Pokoknya tugasmu menyenangkan dia.... Gak ada ruginya.... Janda kaya itu pasti mau mendengar omonganmu...", kata Rasyid lagi.
"Kamu tau ?, sebenarnya aku jijik meladeni birahinya.... Dan aku mulai muak ! Seperti mesin, napsunya tak pernah terpuaskan.... Dan aku mulai lelah harus berpura-pura. Meniduri perempuan tua yang lebih pantas jadi ibuku.... Lelaki macam apa aku ini ?", kata Anton geram.
"Ayolah.... Tinggal beberapa langkah lagi, lalu semua tujuan kita akan tercapai, Brur...", Rasyid mencoba menenangkan. Wajah Anton tampak buram. Ahh..., kalau saja dia tidak terhimpit hutang para renternir, tak bakal sudi dia berbuat begini.
"Kamu harus mengarahkan dia untuk menanam investasi pada beberapa proposal yang aku buat ini...", kata Rasyid sambil menyodorkan seamplop kertas. Anton menerimanya dengan lesu.
"Pelajari..., lalu tanyakan padaku apa yang kamu tidak mengerti. Kesempatan ini gak boleh meleset ! Dan kamu harus betul-betul bisa meyakinkan dia kalau usaha ini akan berhasil. Selebihnya, aku percaya kamu bisa menambah dengan improvisasimu sendiri...", kata Rasyid dengan senyum terkembang di bibir.
"Kau masih mau kaya 'kan ?", tanya Rasyid tiba-tiba sambil menepuk pundak temannya. Anton mengangguk pelan, dipegangnya amplop kertas warna coklat itu erat-erat. 6 miliar !, mendapat setengahnya pun Anton sudah bisa menutup hutang dan membeli apapun yang dia butuhkan.


Kedua lelaki itu mengakhiri pertemuan mereka disitu, dan mereka berpisah jalan menuju arah masing-masing.
*
Kau dengar itu ?
Ya..., seorang gigolo dan temannya yang penipu !
Aneh sekali cara orang mencari uang jaman sekarang....
Apa yang mereka pikirkan kalau hal itu menimpa ibu mereka sendiri ?
Hmm..., orang-orang seperti mereka tidak pernah berpikir sampai disitu. Aku tak yakin keduanya masih punya hati....
Hati ? Hmm..., hati...... Mungkin sekarang sudah jarang ditemui orang yang hidup dengan hati.... Semua orang sekarang menghamba pada uang. Urusan apapun tak pernah lepas dari uang. Sepertinya uang sudah menjadi Tuhan. Uang yang menentukan kapan seorang lelaki bisa merubah dirinya menjadi gigolo, atau kapan seorang polisi merubah dirinya menjadi koruptor..... Uang  memainkan peran seseorang selama hidup di dunia. Bukan main !
Ya.... Uang juga yang membuat seorang anak tega membunuh bapaknya sendiri, membuat seorang ibu tega menjual bayinya sendiri, dan betapa banyak hal lain yang menjadikan uang sebagai alasan untuk bisa menyakiti dan menzalimi orang lain. Dunia ini memang sudah berubah....
Kau tau ?, aku betul-betul takut suatu saat nanti orang-orang yang merawat taman ini berpikiran untuk menjualnya. Menebang pohon-pohon besar yang selama ini menaungi kita. Dan merubahnya menjadi Mall. Mungkin..., bila saat itu tiba, kita tak akan lagi bisa berada disini, menjadi tempat singgah bagi semua orang.... Lalu kita akan dihancurkan dengan palu godam, berkeping-keping, lalu dibuang....
Hhh..., kita memang tak punya daya untuk melawan kehendak mereka. Kita memang mereka ciptakan untuk suatu saat nanti bisa mereka hancurkan.... Lihat diri kita ini, kita sudah tua, sudah tak banyak lagi anak-anak yang mau singgah di atas kita saat hari libur. Betapa aku rindu tawa dan canda anak-anak itu, aku ingin mendengarnya seperti dulu saat taman ini baru saja berdiri. Anak-anak itu sekarang sudah tak lagi suka berjalan-jalan di taman. Mereka lebih suka tinggal di rumah, bermain sendirian, bahkan tak perlu teman....
Ssstt.... Diamlah.... Adalagi yang datang....


*
"Disini tempatnya, Pak ! Batasnya mulai dari seberang Rumah Sakit itu, terus memutar sampai depan Pasar Loak. Untuk ke depan, kami sudah ada maketnya. Kalau gambarnya sendiri seperti ini...", kata seorang pria berdasi dan bertopi proyek warna putih kepada seorang pria bermata sipit usia 50 taunan. Sang lelaki sipit mengangguk-angguk tanda setuju.
"OK ! Mulai besok kita ratakan. Cek lagi apakah ijin pembangunannya sudah ditanda-tangan...", kata si lelaki sipit.
"Baik, Pak ! Saya siap melaksanakan...", lelaki berdasi itu menjawab tegas.


*
Sudah saatnya..... Kita tak akan bertemu lagi.....
Sampai jumpa kawan.....


SEBUAH MARTIL MENGHANTAM BANGKU TAMAN FIRDAUS, MEMECAHNYA MENJADI BERKEPING-KEPING.


S E L E S A I

JEJAK MATAHARI

Debu mengepul di sepanjang jalan. Sinar terik mentari memaksa butiran-butiran keringat menetes di kedua pelipis Dirga. Kedua matanya menyipit, dari jauh tampak Gunung Merapi berdiri dengan gagah. Tanah berpasir hitam yang terinjak sejauh dia menapak, berhiaskan rumput liar dan semak belukar. Di kedua sisi jalan, terlihat deretan kebun salak pondoh sarat buah di antara duri yang melekat di semua batang daunnya. Dirga menarik napas panjang, sudah setengah jam ini dia berjalan, belum juga tampak tanda-tanda akan sampai di rumah eyangnya.

Setelah limabelas menit kemudian, barulah dia tiba disana. Dirga hafal betul rumah peninggalan Eyang Putrinya. Sebuah rumah tua terbuat dari kayu jati yang di apit dua pohon manggis, membuat halaman rumah itu tampak sangat teduh. Terdengar suara perempuan dari dapur yang dibangun di samping rumah. Tiba-tiba rasa bahagia menyergap, Dirga ingin cepat-cepat masuk ke sana, menjumpai perempuan dalam dapur rumah Eyangnya....

"Assalamu'alaikum....", Dirga mengucap salam.

"Wa'alaikum salaaam...", jawab perempuan dari dalam dapur. Sebentar kemudian pintu dapur terbuka. Si pemilik suara terkejut, lalu tertawa senang melihat kehadiran Dirga.

"Weee.... Dirga, to ? Datang sama siapa ?", sambut perempuan tua berkain kebaya itu.

"Eyang..., aku datang sendiri...", Dirga segera menyalami tangan perempuan tua itu dengan takdzim. Eyang Putrinya senang bukan main, kedatangan Dirga adalah sebuah kejutan yang sangat menyenangkan. Sudah dua tahun ini Dirga tidak ikut berkunjung ke desa Eyangnya saat lebaran. Dirga tersenyum dan menganggukkan kepala pada beberapa orang perempuan lain yang tampak bekerja di dapur itu.

"Naik apa, Le ?", tanya sang Eyang.

"Jalan kaki dari perempatan jalan besar, Eyang...", jawab Dirga dengan sopan.

"Lho ? Sekarang ini sudah banyak ojek. Kenapa tadi tidak naik ojek ?", tanya sang Eyang terheran.

"Ah..., tidak apa-apa...", jawab Dirga dengan tertawa, "...sengaja mau jalan kaki karena Dirga kangen sekali sama desa ini...". Sang Eyang tersenyum mendengarnya, Dirga memang anak yang romantis, sejak kecil dia suka berlama-lama menikmati pemandangan alam. Mandi di kali adalah salah satu kesenangannya yang lain saat dia masih SD.

"Ayo..., kita letakkan dulu tas bawaanmu ke senthong kiri, ya...", tangan Eyang mengamit lengannya dan mengajaknya ke kamar depan sebelah kiri. Dirga menurut dan mengikuti. Diambilnya tas ransel besar yang sempat diletakkannya di atas kursi kayu dalam dapur, lalu dibawanya ke dalam.

"Untung, Eyang sudah membersihkan kamar ini. Ndak taunya kamu mau datang.... Pantas rasanya Eyang kangen sekali sama kamu, Dirga. Sudah beberapa hari ini Eyang membicarakan kamu dengan orang-orang belakang. Apa kabar Bapak dan Ibumu ? Mereka sehat ?", tanya Eyang kemudian.

"Alhamdulillah... Mereka sehat, Eyang. Bapak dan Ibu juga titip sungkem untuk Eyang", jawab Dirga.

"Syukurlah.... Kesehatan adalah hal utama yang patut kita syukuri, itu pemberian Allah yang paling pantas kita hargai. Apa artinya punya semuanya, tapi badan tidak sehat ? Eyang ini juga sangat bersyukur karena telah diberi umur sepanjang ini, dan kesehatan yang memungkinkan Eyang bekerja, paling tidak untuk kebutuhan Eyang sendiri...", kata Eyang dengan tersenyum. Dirga maklum, Eyangnya memang memiliki usaha pembuatan dodol salak. Beliau bahkan tidak hanya menjualnya di pasar, tapi juga memasok ke beberapa toko makanan. Tidak mau berpangku tangan adalah sikap Eyang yang sangat dikaguminya. Dalam usia 75 tahun seperti sekarang, masih saja Eyangnya bekerja memimpin para ibu di sekitar rumah tinggalnya untuk bersama-sama membuat dodol salak.

"Sudah..., Dirga istirahat dulu, ya.... Sebentar lagi kita makan siang bersama...", kata si Eyang kala akan meninggalkan kamar itu. Dirga merebahkan diri di atas amben kayu jati beralaskan kasur kapuk. Tertidur pulas, hingga mendengkur....

*
Seorang pria tua tersenyum saat melihat Dirga geragapan terbangun. Pria berkumis yang mengenakan baju sorjan warna gelap itu duduk di kursi jati, bersebelahan dengan meja tempat Dirga meletakkan tas bawaannya. Bau rokok klembak yang menyengat mewarnai udara kamar. Dirga menyungirkan hidungnya, sudah lama sekali dia tak membaui rokok seperti ini. Pria itu tetap duduk di tempatnya, matanya yang teduh menatap gerak-gerik Dirga yang mulai salah tingkah.

"Maaf...", kata Dirga sambil meloncat turun dari dipan. Pria itu tersenyum lagi. Dirga tak mengenalnya, tapi entah mengapa timbul rasa segan di hati Dirga saat memandangnya. Pria itu sangat berwibawa.

"Kau lelah sekali tampaknya.... Sebaiknya lain kali jangan jalan kaki kalau mau sampai kemari...", kata pria tua itu. Dirga tersenyum, dia berusaha mengingat-ingat nama pria yang bicara di depannya itu. Ada sesuatu di wajah pria itu yang sangat dia kenal, tapi...dimana dia pernah melihatnya ? Ah..., semakin keras Dirga berusaha mengingat, semakin buram juga ingatannya. Tapi sekilas, Dirga melihat tarikan senyum yang sama dengan senyum Bapaknya. Tapi..., siapa dia ?

"Bapak ini...?", sapa Dirga sambil bertanya-tanya. Pria itu lagi-lagi menampakkan senyum ramahnya.

"Aku teman Eyang Putrimu.... Biasanya aku menemani Eyang Putrimu itu kalau sedang sibuk bekerja di belakang. Dia baru saja cerita kalau kau datang. Dia senang kamu mau mampir kemari. Sudah lama dia selalu mengeluh betapa anak-anaknya yang tinggal di Jakarta sudah melupakannya, tak mau lagi menjenguknya.Ternyata keluhannya selama ini terobati sudah dengan kedatanganmu kemari. Eyang Putrimu itu kesepian...", pria paruh baya itu menghela napas. Dirga tersenyum kecil, dia maklum bagaimana rasa Eyang Putrinya yang selama dua tahun ini merasa telah dilupakan.

"Bapak Ibu saya memang sedang sibuk akhir-akhir ini.... Mbak Santi sebentar lagi mau menikah. Sementara Mbak Dini baru saja melahirkan. Kalau nanti semua persiapan sudah beres, Bapak dan Ibu akan sowan juga kemari... Ibu mengatakan kalau Eyang Putri akan segera dijemput setelah masuk bulan Januari nanti, kalau sudah mendekati waktu pernikahan Mbak Santi...", kata Dirga menjelaskan. Pria itu manggut-manggut.

"Maaf..., tapi Bapak ini....siapa ya ?", tanya Dirga hati-hati. Di dusun kecil seperti ini, sopan-santun sangatlah penting untuk dijunjung tinggi. Pria itu tiba-tiba tertawa, memamerkan giginya yang kokoh tanpa cela.

"Kau boleh memanggilku Ki Lurah...", katanya sambil beranjak dari kursi, "...sudahlah, sebaiknya aku ke belakang. Masih banyak hal yang harus aku lakukan. Eyang Putrimu itu sangat sibuk. Sudah kewajibanku menemaninya bekerja. Biarpun kadang aku cuma ikut menonton apa yang dia lakukan".

Lalu pria itu melangkah keluar kamar, meninggalkan Dirga yang masih sedikit mengantuk - berdiri termangu di samping dipan.

*
"Eyang..., aku mau jalan-jalan melihat kebun salak. Ada yang sedang panen nggak ?", tanya Dirga keesokan harinya, di sela kesibukan Eyang Putrinya yang sedang asyik menakar gula pasir dengan timbangan.

"Ada !, selalu ada !. Tapi ini bukan musim panen raya. Jadi panenan Eyang cuma sedikit. Lumayan untuk dibuat dodol salak. Tapi kalau kamu mau, kamu juga bisa memetik sendiri sesukamu. Pilih yang sudah agak hitam warna kulitnya, lebih manis...", pesan Eyang padanya. Dirga segera mengambil arit kecil yang biasa digunakan untuk memanen salak. Tak lupa karung goni untuk membuntal buah salak agar durinya tidak melukai tangan saat dipanen. Sejak kecil, bapaknya sudah mengajarinya cara memanen salak. Sekarang dia mau mempraktekkan sendiri keahliannya itu.

"Berangkat dulu ya, Eyang...", begitu pamitnya. Eyang Putrinya mengangguk sambil berpesan agar dia berhati-hati. Dengan senang, Dirga melenggang ke arah kebun salak yang cuma berjarak 50 meter saja dari halaman belakang rumah Eyang Putrinya. Beberapa pohon sudah dipanen. Beberapa lagi sudah berbuah, tapi belum tua betul. Dirga terus mencari-cari dengan mata jeli. Tiba-tiba pundaknya disentuh tangan seseorang. Dirga menoleh. Ah..., Ki Lurah ! Orang yang menemuinya di kamar kemarin siang saat dia tak sengaja tertidur.

"Ki...", sapa Dirga sambil mengangguk sopan.

"Berdirilah agak kesini. Kau akan melihat sekumpulan buah salak yang telah tua dan siap dipanen...", kata Ki Lurah sambil menunjuk ke arah sebuah pohon. Dia benar ! Di pohon itu memang tampat segerombolan buah yang cukup banyak dan buahnya besar-besar. Kulitnya menghitam, tanda buah itu telah masak. Dengan hati-hati Dirga segera membebat buah itu dengan karung goni, lalu memotong batang buahnya dengan arit yang sedari tadi telah dibawanya. Cuma beberapa kali ayunan, lalu selesai sudah semuanya. Kini Dirga mendapatkan setandan buah salak manis yang dia inginkan.

"Ki Lurah mau juga ?, aku bisa petikkan buat Ki Lurah...", kata Dirga menawarkan diri. Tangan kisut Ki Lurah menolak dengan mantap.

"Aku sudah tak ingin lagi makan yang seperti itu. Untukmu saja...", katanya. Hari ini sungguh panas, Dirga merasakan hangatnya sengatan matahari, tapi Ki Lurah tampak baik-baik saja dalam busana sorjannya. Tak tampak sedikitpun tetesan keringat di dahi maupun di lehernya. Sementara Dirga sibuk melap keringatnya sendiri yang mulai berleleran. Ki Lurah tertawa kecil, kepalanya menggeleng-geleng....

"Anak kota. Baru sebentar saja memanen salak, kau sudah berkeringat seperti sudah seharian bekerja...", celetuknya. Membuat Dirga sedikit malu.

"Dulu..., aku mengerjakan semua hal di kebun ini. Mencangkul, menanami pohon, memupuk, memanen, mengairi, membawa hasil panennya ke pasar.... Semua aku kerjakan sendiri. Kakiku yang kurus ini mau saja aku paksa bekerja dari saat pagi belum tercium sinar matahari, hingga matahari beranjak mau tidur lagi. Itulah orang-orang jaman dulu. Tak ada keraguan kami untuk menggarap tanah ini, meski kami tau, yang bisa kami tanam di kebun berpasir ini paling-paling cuma salak yang banyak duri. Entah sudah berapa sering tangan dan kakiku terkena duri. Sampai puas rasanya...", kisah Ki Lurah. Matanya berpedar menatap sekeliling. Kebun yang luasnya hampir 4 hektar ini memang sangat luas. Dan hampir seluruh lahan ditanami salak. Hmm...,jadi Ki Lurah yang menanami seluruh kebun Eyangnya ini, pikir Dirga kemudian.

"Dulu aku sering diolok-olok semua orang. Mereka bilang tanaman salak tidak akan membuat semua orang bisa makan. Mereka lebih suka menanam padi dan palawija. Tapi lihat sekarang ! Semua orang menanam salak. Semua orang bisa mejadi kaya dengan salak. Aku senang, mereka mau belajar dari apa yang telah aku lakukan dengan kebun ini...", katanya lagi. Tapi tiba-tiba Dirga merasa aneh, sebuah pertanyaan terlintas....

"Kalau Ki Lurah yang mengerjakan semua pekerjaan di kebun ini, berarti dulu Ki Lurah bekerja untuk Eyang saya ya, Ki ?", tanyanya. Ki Lurah menoleh ke arahnya, mengangguk-angguk, lalu tersenyum.

"Aku bekerja untuk Eyangmu. Tentu saja...", katanya menimpali. Dirga takjub. Bila Ki Lurah itu sanggup mengerjakan semua hal di kebun ini, pastilah Eyangnya dulu orang yang lebih berpengaruh lagi. Ah ! Bahkan seorang Lurah pun mau bekerja untuk Eyangnya ! Dirga ingat nama Eyangnya, semua orang memanggilnya Eyang Dongkol. Dirga baru berumur 3 taun sewaktu Eyang Dongkol meninggal. Eyang Dongkol adalah orang yang mewariskan kebun salak ini untuk Eyang Putrinya. Dan sekarang Dirga bertemu dengan orang yang dulu membantu Eyangnya bertanam salak di kebun ini. Luar biasa !

*
"Kau lelah ?", tanya Ki Lurah setelah Dirga selesai memanen salak. Dirga menggeleng.

"Bagus. Kita berjalan-jalan sebentar...", ajak Ki Lurah. Dirga menurut saja.

"Kita mau kemana ?", tanya Dirga. Jari tangan Ki Lurah menunjuk ke arah hutan.

"Kesana ! Aku mau menunjukkan sesuatu padamu...", katanya lagi. Dirga mengikuti langkah kaki Ki Lurah yang masih tampak cekatan. Langkahnya sigap melompati bebatuan yang berserak di sepanjang jalan setapak. Suara gemercik air terdengar dari bawah sebuah pohon beringin tua yang berdiri gagah di antara ratusan pohon salak yang ada di kebun luas itu.

"Jernih sekali...", desis Dirga sambil mencelupkan ujung tangannya ke dalam sumber air itu. Ki Lurah tersenyum.

"Sumber air ini kutemukan setelah aku membongkar sebuah batu besar yang dulu ada di kaki pohon beringin ini. Batu sebesar badan kerbau. Aku memecahnya dengan godam. Hingga berkeping-keping. Dari tanah yang ada di bawah batu itu, muncullah mata air ini. Sumber air yang tak akan kunjung habis meski sampai puluhan tahun nanti. Karena sumber air ini, aku bisa mengairi seluruh pohon salak yang kutanam di kebun Eyangmu...",  kisah Ki Lurah. Wajahnya sangat bangga dengan apa yang telah dikerjakannya. Sumber air itu kini telah dibendung dengan semacam kolam, beberapa pipa pralon mengalirkan airnya ke arah rumah Eyang. Pantas saja di rumah Eyang tak ada sumur. Rupanya air itu dialirkan dari sendang ini.

"Ki Lurah memecah batu itu sendirian ?", tanya Dirga dengan mengernyitkan alisnya.

"Ya. Begitu melelahkan sampai-sampai aku jatuh sakit, tidak bangun-bangun...", jawabnya.

"Tak ada seorang pun yang membantu ?", tanya Dirga lagi.

"Tidak. Waktu itu aku bekerja sendiri. Sumber air ini berada jauh di dalam kebun Eyangmu. Maka orang-orang yang lewat di depan sana tak ada yang tau apa yang aku lakukan.... Untungnya, aku sudah mengkabarkan adanya sumber air ini pada Eyangmu ", kata Ki Lurah lagi. Dia menghela napas, tangannya erat mengepal.Seperti gemas sendiri.

"Lalu pipa-pipa pralon ini ?", tanya Dirga.

"Beberapa orang membantu Eyangmu memasangnya ke arah rumah. Aku sudah tidak bisa lagi membantunya saat itu. Seperti yang sudah aku katakan, waktu itu aku terlalu lelah. Aku tidak bangun-bangun...", ujar Ki Lurah. Tidak bangun-bangun ?, Dirga merasa aneh dengan ucapan itu. Tapi dia enggan menanyakan.

"Sudah hampir sore, sebaiknya kau kembali ke rumah Eyangmu...", kata Ki Lurah. Lagi-lagi, suaranya yang penuh wibawa membuat Dirga tak berdaya untuk menolak perintahnya. Dirga mengambil buntalan salak dalam karung goni itu, lalu mengangguk pamit pada Ki Lurah. Ki Lurah tersenyum membalas anggukannya. Dirga melangkah pulang. Sempat dilihatnya kembali keberadaan Ki Lurah di kebun belakang yang sudah ditinggalkannya, tapi bayangan Ki Lurah pun sudah tak dapat lagi dilihatnya. Rupanya Ki Lurah juga sudah pergi.

*
"Waaah..., kamu pintar sekali memilih salak. Ini sudah tua dan rasanya pasti sangat manis. Pasti kamu sudah memilih dengan teliti. Kebun di belakang itu luas sekali, Pak Min dan Pak Tu saja sering kesulitan memilih salak mana yang harus dipanen. Kamu pintar sekali...", puji Eyang Putri di dapur saat Dirga meletakkan buah-buah salak itu di atas meja dapur yang lebar.

"Saya tidak memilihnya sendiri, Eyang...", kata Dirga kemudian. Alis Eyang berkerut.

"Pak Min yang membantumu memilih ? Atau Pak Tu ?", tanya Eyang menebak-nebak. Dirga menggeleng.

"Ki Lurah.... Ki Lurah yang sudah membantuku memilih salak ini. Dia sangat paham semua salak yang ada di kebun itu, Eyang...", ujarnya, mengagetkan Eyang Putrinya.

"Ki Lurah yang mana, Dirga ?", tanya Eyang Putrinya sesaat setelah beliau bisa menenangkan diri.

"Ki Lurah. Katanya dia dulu yang menanami salak di kebun belakang. Orangnya pakai baju sorjan, berkumis tipis. Umurnya seusia dengan Eyang, tapi masih gagah.... Kenapa, Eyang ?", Dirga bertanya, mulai cemas karena melihat wajah Eyang Putrinya sedikit memucat. Tapi Eyang Putri tak melanjutkan bicaranya. Beliau berbalik kembali ke arah tungku, menambahkan bumbu ini dan itu untuk adonan dodol salak yang sedang diaduk oleh seorang perempuan yang biasa membantunya di dapur.

"Ini manis sekali, Eyang !", kata Dirga sambil terus menggigit daging buah salak hasil panenannya. Eyang Putrinya tersenyum sekilas, lalu berpaling kembali ke arah tungku.

*
"Sejak kapan kau bertemu Ki Lurah ?", tanya Eyang Putri sore itu.

"Dari hari pertama Dirga sampai di sini. Ki Lurah menjumpaiku di kamar depan...", jawab Dirga menjelaskan.

"Bagaimana wajahnya ? Kau masih ingat ?", tanya Eyang lagi.

"Berkumis, pakai baju sorjan, pakai blangkon, orangnya gagah dan berwibawa...", kata Dirga. Eyang Putrinya tersenyum.

"Gagah, katamu ?", tanya Eyangnya lagi.

"Ya, Eyang.... Gagah dan berwibawa...", jawab Dirga, sekarang mulai heran dengan cecaran pertanyaan Eyang Putrinya.

"Apakah dia bicara denganmu ?", tanya Eyang. Dirga mengangguk.

"Apakah dia tersenyum ?, dia tampak bahagia ?", tanya Eyang lagi. Dirga mengangguk.

"Apakah dia mengatakan hal yang lain ?", tanya Eyang lagi. Dirga kali ini terheran-heran.

"Ki Lurah cuma bercerita tentang salak di kebun ini, tentang bagaimana orang-orang dulu sering mengoloknya saat memulai bertanam salak. Hingga Ki Lurah berkata kalau dia merasa lega kalau sekarang orang-orang itu bisa menjadi kaya dengan tanaman salak mereka. Ki Lurah juga menunjukkan padaku tempat sumber air yang ada di kebun belakang itu. Airnya jernih dan banyak, Eyang. Pantas Eyang tidak memerlukan sumur, rupanya Eyang sudah dapat pasokan air melimpah dari sumber itu. Ki Lurah itu hebat ya, Yang ? Apakah Ki Lurah bertempat tinggal di sekitar rumah Eyang ini ?", Dirga balas bertanya. Eyang Putrinya menggeleng perlahan.

"Ki Lurah tidak tinggal di sekitar rumah ini...", nanar mata Eyang memandang keluar jendela.

"Ki Lurah...dulu memang dia tinggal disini...", jawab Eyang lirih.

"Maksud Eyang ?", tanya Dirga tak mengerti.

"Dia Eyang Kakungmu, Dirga...", jawab Eyang Putri dengan senyum haru. Matanya berkaca-kaca. Alis Dirga bertaut, selama ini memang tidak ada sepotong pun potret Eyang Dongkol yang tergantung di dinding. Itu sebabnya Dirga tak pernah tau seperti apa wajah Eyang Dongkol. Tapi yang dikatakan Eyang Putrinya itu sungguh mengejutkan.

"Eyang sering berkeluh-kesah padanya.... Eyang katakan kalau akhir-akhir ini Eyang begitu kesepian. Hati Eyang Putrimu ini memang cuma dapat bersandar pada Eyang Dongkol. Meskipun Eyang Dongkol sudah lama meninggalkan kita, hanya padanya Eyang Putrimu ini sering bicara. Eyang memang selalu menganggap kakekmu itu masih ada. Mungkin itu cuma rasa Eyang, tapi Eyang yakin kakekmu itu masih setia menemaniku di rumah ini...", mata Eyang Putri menerawang jauh, seakan menembus kekarnya Gunung Merapi yang tampak dari jendela rumahnya.

"Entah mengapa akhir-akhir ini Eyang Putri sering teringat pada Eyang Kakungmu itu.... Apakah aku akan segera dia jemput ?", tanya Eyang Putri dengan sendu. Dirga mendekap pundak Eyang Putrinya dengan penuh rasa sayang.

"Jadi...?", Dirga bicara, seakan pada dirinya sendiri.

"Dia yang menemuimu di kebun belakang tadi...", kata Eyang Putri sambil menatap cucu lelakinya itu. Dirga menelan ludah.

"Tapi nama Eyang Kakung kan Eyang Dongkol ?", sanggahnya.

"Eyang Dongkol..., Eyang Lurah Dongkol.... Dulu Eyang Kakungmu jadi lurah sampai waktu yang sangat lama. Saat sudah pensiun dari lurah, semua memanggilnya Ki Lurah Dongkol. Artinya Ki Lurah Lama. Kau baru saja bertemu dengannya, Le.... Pasti Eyang Kakungmu begitu rindu padamu, hingga dia menemuimu sendiri...", ucap Eyang Putri sekali lagi dengan mata berkaca-kaca.

Sejenak Dirga teringat tatapan mata yang teduh dan senyum berwibawa Ki Lurah saat di kebun tadi. Anehnya, tak ada sedikitpun rasa takut hinggap di hatinya.

S E L E S A I
Bintaro Jaya 3A, Januari 2010.