BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Rabu, 17 November 2010

TONGSENG DAGING KAMBING/DOMBA (RESEP GW)

Iedul Adha memberikan kesempatan pada kita untuk merasakan kesegaran daging kambing. Diolah jadi sate, gule, thengkleng, tongseng, semua OK. Disini saya sertakan resep tongseng untuk anda.

Tongseng Kambing/Domba

Bahan-bahan :
  • 500 gr daging kambing/domba, potong-potong kecil
  • 200 gr kol, iris-iris
  • 2 buah tomat merah, potong-potong
  • 50 gr cabai rawit, buang tangkainya
  • 1/2 bks santan kara
  • 1 ltr air
  • 2 sdm minyak goreng untuk menumis
  • bawang merah goreng secukupnya
  • acar ketimun secukupnya
Bumbu-bumbu :
  • 3 siung bawang putih
  • 6 siung bawang merah
  • 2 butir kemiri bulat
  • 2 ruas jari kunyit (3 cm)
  • 1 sdt ketumbar bubuk (atau 1 1/2 sdt ketumbar bulat)
  • 1/2 sdt jintan
  • 1 batang serai besar
  • 2 daun jeruk purut
  • 1 potong besar lengkuas
  • 3 butir cengkeh
  • 1/2 sdt merica bubuk
  • garam secukupnya
  • gula merah secukupnya
  • kecap manis secukupnya
Cara membuat :
  1. Haluskan bawang merah, bawang putih, kemiri, ketumbar, jintan, dan kunyit.
  2. Tumis dengan minyak goreng dalam wajan besar hingga harum dengan api sedang.
  3. Masukkan potongan daging kambing/domba, aduk-aduk hingga berubah warna.
  4. Tuangi air, lalu masukkan serai, lengkuas, daun jeruk, cengkeh, merica bubuk, garam, kecap manis, dan gula merah. Tutup wajan dan masak terus hingga daging empuk.
  5. Bila sudah empuk, masukkan santan, kol, cabai rawit, dan tomat ke dalam masakan. Aduk-aduk sebentar, tunggu hingga mendidih sekali lagi, lalu angkat. Taburi bawang merah goreng secukupnya.
  6. Sajikan dengan acar ketimun dan emping goreng bila suka.
Selamat mencoba ! :D

Jumat, 15 Oktober 2010

MIE KANGKUNG

Adem banget gara-gara mendung dan hujan terus sepanjang minggu belakangan ini. Pantesnya dibuatkan Mie Kangkung aja buat anak-anak yang lagi doyan makan. Buatnya mudah, rasanya segar, dan yang penting semua suka. Yang pengen tau resepnya, ini dia....

Selamat makan ! :D

Bahan-bahan :
  • 1 sdm margarine untuk menumis
  • 1 batang daun bawang, iris kecil ukuran 1/2 cm
  • 1/2 ekor ayam, direbus, ambil dagingnya, potong dadu kecil
  • 1 1/2 lt air untuk merebus ayam, bila sudah digunakan - tambahkan air hingga mencapai jumlah semula untuk kaldu
  • 1 bks maggi blok rasa ayam
  • 2 sdm kecap asin
  • 2 sdm kecap manis
  • 1 sdm minyak wijen
  • 1 sdm ang ciu (boleh ditiadakan)
  • 1 1/2 sdm tepung tapioka, dilarutkan dengan 4 sdm air
  • garam secukupnya
  • 300 gr mi basah / 1 bks mi telur, rendam dalam air panas bersama 2 sdm minyak goreng, tiriskan. 
  • 100 gr daun kangkung / 2 ikat kecil kangkung, siangi, cuci bersih, rebus dengan air, tiriskan
  • 30 butir telur puyuh, rebus, lalu kupas bersih
Bumbu yang harus dihaluskan :
  • 50  gr / 1 sdm penuh ebi kering tanpa kulit, rendam dengan air panas, tiriskan, haluskan
  • 6 siung bawang merah
  • 3 siung bawang putih
  • 1 sdt merica, sangrai
Cara membuat :
  1. Gunakan kaldu sisa rebusan ayam untuk membuat kuah. Tumis bumbu halus hingga baunya harum bersama dengan daun bawang iris. Masukkan bumbu ke dalam kaldu, tambahkan maggi blok, garam, kecap asin, kecap manis, minyak wijen, dan ang ciu. Rebus hingga mendidih.  
  2. Masukkan daging ayam yang sudah dipotong ke dalam kaldu. Tambahkan tepung tapioka yang sudah diencerkan, aduk rata hingga agak kental.
  3. Siapkan mi ke dalam mangkuk saji, lengkapi dengan daun kangkung rebus dan telur puyuh rebus. Tuangi dengan kuah secukupnya. Taburi dengan bawang goreng.
  4. Sajikan bersama dengan sambal botol.
Sajian cukup untuk 6 orang.

Tips :  
-  Ebi tumbuk yang sudah disangrai dapat membuat sajian Mi Kangkung ini tambah lezat, bubuhkan sedikit sebagai taburan.
-  Sebagaimana masakan dengan kuah lainnya, berikan juga taburan bawang putih goreng pada sajian anda, niscaya rasa masakan anda      akan lebih nikmat : )

Kamis, 07 Oktober 2010

DAY DREAM









Bagian 1.
LELAKI YANG DATANG

Lelaki itu tersenyum, seperti sihir. Entah senyum apa yang ditebarkannya. Tapi jantung Arimbi betul-betul terasa mau copot. Jebb...! Serrrr........ Seakan darahnya telah berhenti mengalir hingga membuatnya sulit bernapas. 

“Mari…, silakan diminum…”, kata Arimbi. Dengan luwes disuguhkannya secangkir teh manis panas ke hadapan lelaki itu. Senyum itu terkembang lagi. Sejenak Arimbi terpana. Lelaki itu benar-benar bisa tersenyum dengan cara yang langka. Mencairkan setiap titik yang selama belasan tahun ini membeku dalam hatinya. Arimbi tersipu. Dia pernah mengalaminya dulu di saat remaja. Duluuu sekali. Mungkinkah terjadi lagi ?

Hhh…, Arimbi membuang jauh-jauh perasaan yang baru saja muncul. Sudah begitu banyak lelaki yang mencoba menggodanya selama ini. Cuma beberapa teman prianya yang sesekali bisa menolongnya melepas dahaga setelah dia menjanda. Arimbi memang tak pernah membatasi hubungan dengan teman lelaki yang manapun. Kalau cuma untuk bersenang-senang, mengapa tidak !? Bukankah lebih nyaman bila melakukan kesenangan dengan orang yang kita kenal dengan baik ? Tapi jangan harap dia akan mau menjadi istri salah-satu relasi yang selama ini sering mengelilinginya. Hidup ini sudah cukup rumit. Arimbi tak mau kehidupan anak-anaknya terganggu oleh kehadiran bapak tiri. Diliriknya lelaki yang terus saja tersenyum padanya. Hhh…, mengapa senyum itu begitu menarik hati ?

“Kok dia yang dari tadi diladeni ? Aku dong, Mah…”, bujuk seorang pria lain yang turut bertandang ke rumahnya. Lelaki kedua itu berusaha merangkul dan mencium pipinya. Arimbi mendorongnya untuk mengelak. Tapi terlambat ! Lelaki kedua itu sempat mendaratkan kedua bibirnya di pipi kirinya yang tak sempat menjauh karena jarak yang terlalu dekat. Sial ! Arimbi mengumpat dalam hati. Lelaki kedua itu tidak menarik. Apalagi lelaki ketiga yang juga datang bersamanya. Seorang keturunan tionghoa bermata sipit dengan tubuh panjang seperti tiang. Kurus dan tinggi. Arimbi melengos sewaktu lelaki ketiga itu mencoba tersenyum padanya. Perhatiannya hanya tertuju pada lelaki pertama, lelaki muda yang punya senyum menyihir, membuat dadanya mengombak seperti air laut yang tersapu badai. Riuh-rendah….

Tak ada yang memungkiri betapa warisan yang ditinggalkan suaminya adalah harta yang luar-biasa banyaknya. Setidaknya sangat mewah bila dibandingkan dengan kehidupan orang-orang biasa yang ada di kota kecil tempat dia tinggal. Kaya ! Tingkat kehidupan ber-prestige yang bisa jadi membuat orang lain tergiur sekaligus jerih pada apa yang dimilikinya. Meski untuk tetap mempertahankan jumlah isi pundi-pundi yang ada, Arimbi harus terus memutar otaknya lebih kencang tiap detiknya. Masih ada empat mulut lagi yang harus diberinya makan. Empat orang anak peninggalan suaminya, semua masih sekolah. Arimbi tak pernah mengeluh membesarkan mereka. Hanya saja, yang dimilikinya cuma keahlian meladeni lelaki. Dan segala hal yang membuat mereka senang….

Terlintas kilasan-kilasan peristiwa dalam ingatan. Saat suaminya yang telah sukses meraup keuntungan menjadi kontraktor proyek di instansinya. Hektaran luas tanah telah berpindah tangan menjadi miliknya. Mobil, rumah mewah, deposito, perhiasan emas-permata…. Beberapa orang menyebut suaminya serakah. Anggapan yang diyakininya muncul karena iri dan dengki. Dengan kepala mendongak, Arimbi terus membalas ucapan sinis banyak orang yang, dia tahu, tidak kebagian proyek perluasan kantor. Huh ! Biar saja mereka bicara…. Toh suatu saat nanti mereka akan diam sendiri…. Begitulah cara Arimbi berkata pada dirinya sendiri. Orang-orang itu cuma iri dengan apa yang diperoleh suaminya. Tak lebih.

Lalu hari berganti hari, dan bulan berganti bulan. Sampai suatu ketika Arimbi mulai menyadari ada yang tidak normal dengan perut suaminya yang kian hari kian membesar tanpa alasan jelas mengapa hal itu bisa terjadi. Belasan dokter sudah dia datangi, tak seorangpun bisa memastikan mengapa perut suaminya bisa membesar seperti itu. Mereka cuma mengira suaminya terkena kanker hati, karena ada pembengkakan disana. Anehnya, cuma dalam hitungan bulan sejak pemeriksaan pertama, perut suaminya membesar hingga tiga kali besar semula. Menggembung seperti balon yang siap meletus.

“Makanya jadi orang jangan serakah !”, ejek sinis rival kerja suaminya suatu kali. Arimbi gemas bukan main, sampai-sampai dia tak tahan untuk menampar mulut orang itu. Dari seorang dukun yang dikenalnya, Arimbi mendengar bila penyakit suaminya terjadi karena teluh dan guna-guna. Hhh…. Orang-orang itu ternyata tak juga mau berhenti membuat ulah. Arimbi dan suaminya juga mengenal cara memakai jasa dukun untuk melancarkan usahanya. Agar disukai bos. Agar bisa menang tender. Tapi tak pernah sekalipun dia meminta guna-guna untuk orang yang tak disukainya. Dan kalau kini suaminya benar-benar terkena guna-guna, alangkah nistanya perbuatan orang itu.

Lalu Arimbi pun harus pasrah, saat suaminya menyerah pada rasa sakit tak terkira di dalam perutnya. Arimbi tak bisa lupa pada seringai kesakitan di wajah suaminya sesaat sebelum dia tiada. Mata yang membelalak dengan manik mengecil dan raut muka yang menegang, kejang. Cuma beberapa detik, lalu lepas…. Tak bernapas…. Dengan mata masih melotot. Meninggalkan Arimbi yang terkapar dengan raungan menyayat menangisi kepergiannya.

*

Arimbi tak mau kalah pada nasib. Walau dia harus rela menempuh berbagai cara agar dapat tetap hidup. Dari usaha membuat restoran dengan memakai minyak babi untuk campuran makanannya, sampai membuka salon yang menyediakan anak-anak mahasiswi sebagai kapster “plus” untuk kaum pria penyuka massage kebugaran yang dapat mengorder langsung hingga ke kamar hotel. Arimbi tak peduli. Yang penting anak-anaknya tak pernah tahu apa yang dia kerjakan. Yang penting dia bisa mendapat uang mudah dengan jumlah tidak murah.

Apa salahnya ? Toh mahasiswi-mahasiswi miskin itu mau bekerja jadi pelacur untuk dirinya. Sebuah pilihan yang sulit. Apalagi ketika salah seorang mahasiswi yang menjadi pekerjanya sempat hamil. Maka resiko pun diambilnya. Bukan dengan menggugurkan kandungan perempuan itu, tapi memelihara anaknya hingga kini berumur 3 tahun ! Dan Arimbi tak merasa salah dengan tindakan itu. Bukankah dia juga ikut merasakan nikmatnya uang haram yang didapat ibu si anak yang sudah meladeni tamu atas permintaannya ? Maka persetan dengan pandangan orang. Mereka toh tak pernah tahu bagaimana rasa membesarkan ke empat anaknya yang kian hari kian tumbuh dewasa. Toh masih banyak orang yang mau mengenal dan mendekat padanya, meski para tetangga sudah sibuk bergunjing tentang dirinya. Arimbi sungguh tidak ambil pusing. Biar saja. Selama masih ada kaum pejabat yang butuh bantuannya untuk menyediakan tenaga pijat plus, Arimbi tidak ambil pusing.

Dan kini telah hadir di hadapannya, dua orang pria beristri kenalannya itu datang dengan membawa seorang pria beristri lainnya. Orang yang tampan, punya senyum menawan, dan tampak naif. Dengan sedikit curiga, Arimbi mencoba mengenalnya. Dan dia betul-betul terkejut ketika menyadari ternyata pria itu memang benar-benar naif. Meski kadang terbaca kilatan di dalam matanya yang selalu ikut tersenyum bersama bibirnya. Senyum yang menyihir.

Dan Herman, nama lelaki dengan senyum menyihir itu, cukup polos dengan pengakuannya tentang istrinya yang tinggal di kota asalnya. Beberapa ratus kilometer jauhnya. Sebuah kebetulan yang membuat Arimbi mulai mengangankan sebuah rencana….

*

Bagian 2.
RAKIT BAMBU

Herman datang menemuinya saat Lestari sedang sendiri. Lestari tak mengenalnya. Lelaki itu begitu asing baginya. Lelaki itu bertamu ke rumahnya. Bukan cuma kali itu ada lelaki asing yang datang bertandang sekedar untuk berkenalan. Mula-mula Lestari tak hirau, sedari mula dia sudah tahu maksud Herman mengajaknya kenalan. Seperti pemuda-pemuda lain yang silih berganti datang menemuinya. Mereka berharap bisa menjalin kisah romantis dengannya. Semua begitu. Kenyataan yang membuat teman-teman wanitanya iri dan kagum tak habis-habisnya.

Sebenarnya, Lestari sudah pernah menambatkan hatinya pada Edward. Dialah satu-satunya pemuda yang menarik hatinya, begitu memikat. Entah apa yang mendorong Lestari menyukai pemuda itu. Dia tidak terlalu istimewa dibanding yang lain. Pemuda pendiam yang tak banyak tuntutan, selalu tersenyum dan sopan. Di sisinya, Lestari merasa aman. Edward tak pernah kurang-ajar seperti pemuda-pemuda lain yang suka bersuit-suit di jalan. Dia sangat anggun dan tenang. Herman tidak demikian. Herman lelaki yang bersemangat dan optimistis. Baginya di dunia ini tak ada yang tak mungkin. Semua bisa diupayakan dengan kerja keras dan tekad menyala. Seperti berlawanan, kepribadian Herman sangat berbeda dari Edward dalam banyak hal. Ketika Edward membuat dunia ini sejuk, Herman akan muncul untuk membuat dunia ini membara.

Bukan senyum Herman yang membuatnya terpikat. Konon Lestari sudah menolaknya hingga berkali-kali saat akan memutuskan menjalin hubungan. Tapi Herman begitu gigih mengejar, berjuang memperoleh dirinya. Keuletan Herman yang meluluhkannya, meski Lestari ragu. Pemuda seperti Herman sebenarnya bukanlah tipe yang bisa membuatnya terpesona. Lestari suka pria yang tenang, tak banyak bicara, tapi penuh perhatian. Herman tidaklah demikian, dia terlalu ramai untuk bisa jadi pujaan Lestari. Dan dia lebih suka membicarakan dirinya sendiri. Hanya saja…. Dia begitu gigih. Dan Lestari akhirnya memberinya kesempatan untuk saling mengenal satu sama lain, setelah berulang-kali menghindar.

Ah, barangkali TUHAN punya rencana lain dengan menghadirkan lelaki itu dalam hidupnya, begitu yang dia pikirkan saat itu. Dan Lestari mengalah, mencoba menanam rasa sayang di hatinya yang sedang kosong. Kosong…. Sekosong bejana yang telah tertuang seluruh isinya. Keputusannya untuk melupakan Edward yang tak juga kunjung memberinya kepastian telah cukup memusingkan. Lestari cinta sekali pada lelaki itu, tapi Edward yang sederhana merasa tak cukup gagah bila terus bersanding dengannya.

“Aku bukan siapa-siapa bila tanpa orangtuaku…. Itukah yang kau takutkan ? Kau takut tak bisa membahagiakan aku karena orangtuaku kaya ?”, tegurnya saat itu. Edward hanya terpekur memandangi pasir pantai yang ada di bawah kakinya. Tak menjawab.

“Lihatlah aku, Edward. Aku cuma seorang gadis yang mencintaimu apa adanya…”, kata Lestari putus-asa. Edward memandanginya sejenak, lalu berpaling. Kesadarannya akan tanggung-jawab yang harus dipikul untuk merawat kedua orangtuanya bukanlah perkara yang main-main. Lestari tak pernah lagi bertemu lelaki itu. Meski jantungnya tetap saja berdegup kencang tiap kali dia melewati kota tempat tinggal Edward. Lestari ingin melupakannya….

Dan disanalah Herman kini berada. Hidup berdampingan dengan Lestari, memberinya dua orang anak lelaki kecil yang sama tampannya dengan Herman. Herman, lelaki tampan yang pejuang itu. Menjadi istrinya adalah sesuatu yang tak pernah Lestari bayangkan sebelumnya. Ahh…, sudahlah…. Itu sudah terjadi. Yang tak disangka Lestari adalah perubahan sikap Herman ketika mereka sudah menikah. Lelaki itu begitu temperamental, dan dia tak segan menyakitinya. Tapi itu belum cukup. Lelaki itu membawanya ke dalam keluarga besarnya yang komunal. Awal bencana bagi kehidupan Lestari.

Bahtera yang dikemudikan Herman bukanlah bahtera yang kokoh, cuma rakit bambu. Begitu rapuh hingga ikatan-ikatannya akan mudah lepas bila terkena gelombang badai. Lestari harus bersusah-payah mengikatnya agar lebih erat menyatu. Dalam persekutuan ini, ada dua kepala yang harus diperhitungkan, tapi seringkali Herman lupa bila Lestari pun punya pendapat sendiri. Tapi itulah Herman. Lelaki bebas yang selalu merdeka berpendapat. Dia tak perlu mendengar, baginya didengarkan pun sudah lebih dari cukup. Sesuatu yang Lestari sadari setelah hampir 6 tahun mereka saling mengenal sebelum akhirnya menikah. Herman lelaki yang kuat pendirian, sayangnya dia seringkali mendengar informasi yang salah. Hingga akhirnya punya pendapat yang salah juga. Toh, Lestari mengetahui itu dengan pemahaman bahwa memang tak ada manusia sempurna di dunia. Siapa juga yang sempurna ? Hanya TUHAN yang sempurna.

*

Ibu Herman adalah orang dengan pribadi yang rumit. Mungkin itu disebabkan oleh masa lalunya yang sering didera kecewa. Orang itu penuh dengan prasangka, barangkali juga karena terlalu sering ditipu. Tapi seharusnya hal itu tak membuatnya jadi berjarak dengan Lestari. Sayangnya dialah yang sejak kecil begitu sayang pada Herman. Herman adalah tautan hatinya yang paling erat melekat. Dan darinya Lestari melihat cemburu yang luar-biasa. Meluluh-lantakkan….

Tak dapat disangkal, kasih sayang ibu adalah cinta pertama anak lelakinya. Itu sebabnya Lestari menyadari bahwa sulit baginya untuk bisa sejajar dengan ibu mertuanya. Tapi mertuanya itu terlalu cemburu padanya. Ahh…, bagaimana mungkin ? Keraguan itu yang mula-mula tumbuh dalam hatinya.  Lestari toh melahirkan beberapa cucu untuknya. Apakah itu tak cukup untuknya agar bisa saling berbagi rasa sayang ? Entahlah…. Yang jelas ibu mertuanya bukan orang yang ramah padanya. Sering ibu mertuanya terlihat cemberut tiap kali berpapasan dengannya.  Lestari merasakan tembok raksasa menghalanginya untuk bisa bicara akrab dengannya. Dan Lestari begitu rindu suasana itu, bagai impian yang selalu muncul dalam setiap tidurnya. Mengapa hanya dengan Herman ibu mertuanya punya perhatian ? Lestari juga ingin dikasihi. Bukan dengan muka kecut seperti yang biasa dihadapinya. Ahh…, Lestari hanya anak menantu. Dia tak merasa pantas harus mempertanyakan hal itu. Tidak patut.

Lestari heran pada saudara-saudara iparnya. Entah mengapa mereka suka sekali memakai bibir mertuanya untuk memenuhi kepentingan mereka sendiri. Sementara Lestari sendiri tak punya apa-apa, kecuali anak-anaknya. Bagaimana mereka bisa tega melakukan itu ? Merongrong dengan meminjam lidah orangtua…. Lestari merasa mereka begitu jahat. Prinsipnya yang selalu bilang “milikmu adalah milikku, milikku adalah milikku sendiri”, membuat perut Lestari kadang terasa mulas. Apalagi saudara-saudara iparnya punya akses untuk mempengaruhi mertuanya yang selalu cemburu padanya. Sungguh keadaan yang sempurna !

“Orang tua itu kalau kalah akan memukulmu, kalau menang akan menerkammu…”, begitu suatu kali ibu mertuanya bicara, membuat nyali Lestari ciut. Sedangkan Herman adalah satu-satunya orang yang mereka ajak bicara untuk keperluan yang mereka butuhkan. Lestari tak punya kendali apa-apa. Tidak juga seperti saat ibu mertuanya mengamit lengan Herman ke dalam kamar pribadinya untuk bicara tentang sesuatu yang tak pernah diketahuinya. Entah apa yang didengar Herman. Tapi pembicaraan itu rupanya cukup mempengaruhi Herman hingga tak segan-segan memukulnya. Memukul untuk kesalahan yang tak pernah Lestari tahu duduk perkaranya. Lestari sadar, lelaki itu tak pantas memperlakukannya seperti itu. Seharusnya ada cara lain yang bisa dia gunakan agar Lestari paham maksud marahnya. Tapi menyadarkan lelaki itu atas perbuatannya sama saja dengan mencari masalah lain. Dan titik bernama perceraian bukanlah pilihan yang begitu saja bisa Lestari pikirkan.

“Kalau kamu tidak mau berkumpul dengan orang-orang yang ada disini, seharusnya kamu tidak tinggal disini…”, gerutu Ibu mertuanya setiap kali selesai arisan di rumah tetangga. Dan Lestari hanya mampu menunduk dan menelan ludahnya sendiri. Bukan tanpa sengaja dia membatasi berkumpul dengan mereka. Orang-orang itu begitu suka bergunjing, membicarakan kekurangan dan keburukan orang lain. Heran…. Bahkan sesungguhnya mereka sendiri bukanlah manusia-manusia sempurna. Bagaimana mungkin mereka membicarakan borok orang lain, sementara borok mereka sendiri tak pernah diobati ? Lestari tak pernah suka bicara soal itu. Dia terlalu risih.

“Maaf…, katakan pada Ibumu kalau aku masih terlalu repot dengan bayi kita. Beri dia pengertian…”, katanya suatu kali pada Herman yang baru saja diadui soal keengganannya bertemu para tetangga dalam arisan kampung. Lestari tak tahu lagi sesudahnya, apakah pesan itu sampai ke telinga Ibu mertuanya atau tidak. Yang jelas, Ibu mertuanya masih saja cemberut.

“Mengapa tidak datang saja kesana ? Toh, waktunya tidak akan lama…”, kata Herman.
“Anak-anak bagaimana ? Mereka pasti merepotkan kalau aku ajak pergi. Lagi pula tidak ada orang lain yang bisa membantuku merawat mereka selama aku pergi nanti. Bukankah akan lebih baik kalau aku di rumah saja merawat mereka ?”, kilah Lestari. Herman tahu, tak ada orang lain lagi yang bisa menjaga anak-anak itu. Baginya alasan Lestari cukup masuk akal.

Tapi pesan itu tak pernah sampai ke telinga Ibu mertuanya yang terus saja cemberut. Lestari merasa sendiri di tengah kerumunan.

*

Herman mengamit lengan Lestari dengan senyumnya yang manis. Senyum itu yang sudah dengan penuh menyembuhkan lukanya bertahun lalu. Lestari senang melihat suaminya begitu gembira saat ini. Setidaknya dia jadi tahu bila suaminya sedang dalam keadaan sehat wal afiat sekarang. Senyum itu memang sering hilang bila Herman sakit. Senyum itu yang selalu Lestari doakan setiap kali Herman bersiap kembali ke kota tempatnya bekerja. Senyum itu yang selalu dimintanya pada Tuhan setiap kali lelaki itu menstarter mobilnya menuju kota harapan.

“Kita ke tempat Papa besok ! Kita bisa membawa anak-anak ke kebun apel yang ada disana. Kau boleh berkemas sekarang…”, perintahnya dengan semangat. Lestari mengangguk, dia tak ingin banyak bertanya. Lelaki seperti Herman tak pernah suka terlalu banyak ditanya. Dan Lestari tahu itu.

“Kita menginap dimana, Pa ?”, tanya Seno usil. Mata pemuda kecil itu berbinar-binar. Liburan sekolah memang sudah tiba, dan Pak Guru sudah menyuruh semua murid untuk membuat karangan saat liburan. Pergi ke kota tempat Papanya tinggal selama ini akan membuatnya bisa bercerita banyak dalam tulisan. Papanya bekerja di daerah pegunungan yang sejuk. Konon disana banyak petani anggur dan apel yang sudah berpuluh tahun menanam buah-buah itu. Sebuah kota yang pasti terlihat asri.

“Kita tidur di mess Papa…”, jawab Herman dengan senyumnya yang khas. Seno tiba-tiba cemberut, dia sudah membayangkan akan tidur di hotel seperti saat liburan tahun lalu. Tapi ternyata bapaknya memilih untuk tidur di mess kantor. Itu betul-betul mengecewakan. Tapi Seno tidak protes, dia cuma cemberut.

“Kita kan bisa jalan-jalan ke kebun apel, ke bendungan, ke pantai, kemana saja…. Kalau kita menginap di hotel biayanya mahal. Di mess Bapak juga bisa istirahat. Ya, kan !?”, bujuk Herman. Seno hanya terdiam, bibirnya tetap mengerucut.

“Sudahlah…, ambil barang-barangmu, bawa tas yang muat…. Kita akan bersenang-senang disana !”, kata Herman lagi dengan senyum di bibirnya. Diangkatnya anak lelaki kecil itu dan didudukkannya di atas pundak. Seno tertawa-tawa senang, dia jadi lupa kalau dia sedang kecewa. Lestari memandangi kedua orang bapak-beranak itu dengan rasa haru. Herman memang bukan suami idaman, tapi dia ayah yang baik dan penuh perhatian pada anak-anaknya. Tiap kali terjadi selisih paham, hatinya ingin terbang ke tempat lain. Lestari kadang tak sanggup memahami kemauan Herman. Lelaki yang sudah dikawininya selama sepuluh tahun. Lelaki yang sudah melamarnya dengan senyum di bibirnya yang manis. Manis…, seperti kata-katanya yang selalu berbunga terucap tiap kali mereka bertemu.

Dan waktulah yang sudah menunjukkan semuanya. Bahwa lelaki itu tak pernah manis saat dia marah. Bahwa sumpah serapah dengan bermacam nama binatang lalu terlontar dengan lepas tiap kali kemauannya tak bersambut. Bahwa akhirnya Lestari tahu bila lelaki itu tak pernah segan memberinya ‘hadiah’ yang membuat kedua pipinya merah, pun telapak kaki yang mampir hingga membuatnya terjungkal. Lestari remuk. Bahkan berkata ‘tidak’ pun dia tak sanggup. Bagi lelaki itu kata ‘tidak’ tak boleh terjadi. Sedangkan Lestari tak selamanya sejalan dengan apa yang dia maui.

Maka kedekatan lelaki itu dengan anak lelakinya membuatnya terharu. Setidaknya lelaki itu masih punya rasa cinta pada darah dagingnya. Setidaknya dia masih manusia….

*

Bayinya masih menyusu saat mobil mulai bergerak meninggalkan rumah besar yang sudah didiaminya bersama kedua mertuanya. Lestari memandangi jalan yang terlewat dengan perasaan senang. Herman bersiul-siul riang sambil menyetir. Dan anak lelakinya duduk dengan manis di jok belakang, sibuk mengunyah kue coklat kesukaannya.

Perjalanan berjam-jam menuju kota tujuan. Di sepanjang jalan tampak deretan tanaman tebu di perkebunan, berdiri rapat seperti pagar. Seno yang periang bernyanyi-nyanyi sendirian, hal yang membuat hati Lestari tenang. Bernyanyi itu lebih baik dari pada mabuk darat. Dan pemuda kecilnya sudah bernyanyi berpuluh lagu sejak mereka berangkat hari itu.

Dan akhirnya mereka tiba di tempat tujuan. Sebuah mess dengan banyak kamar milik kantor tempat Herman bekerja, berdiri gagah di sisi kanan gedung utama. Sebuah lapangan sepak bola terbentang luas di depannya. Hawa yang sejuk, dan pepohonan yang rindang membuat mata yang memandang terpuaskan. Seno begitu senang menjumpai lapangan bola yang luas itu disana. Dia segera berlari berputar-putar, berguling-guling di atas rerumputan hijau yang sejuk oleh uapan embun.

“Kita masukkan tas-tas ini ke dalam. Kamar mandinya ada di sebelah dapur…”, kata Herman dengan mulai menurunkan barang-barang bawaan. Bayi Lestari masih tertidur dalam gendongan. Lestari mengambil dua buah tas yang bisa diangkutnya ke dalam. Sebuah kamar yang sangat luas lengkap dengan TV dan barang elektronik lain terdapat disana. Direbahkannya bayi dalam gendongannya yang masih tertidur. Lalu Lestari kembali ke mobil untuk mengambil barang lain yang tersisa. Hari itu semua beristirahat.

*

Bagian 3.
PEREMPUAN “BAIK-BAIK”

Mobil memasuki halaman teramat luas dari sebuah rumah gedung besar bertingkat 4. Herman memarkir mobilnya di sebuah sudut di bawah pohon matoa tua yang tumbuh meraksasa. Buah matoa tampak menyembul di antara daunnya, warnanya yang semburat merah menandakan kematangannya.

Lestari melihat seorang perempuan seumur bibinya di depan rumah itu. Herman mengatakan perempuan itulah pemiliknya. Sangat berpunya. Setidaknya rumah gedung bertingkat 4 ini bernilai milyaran bila ditaksirnya. Tapi itu tidak penting. Lestari menghargai orang itu mau menemuinya saat ini.

Herman berjalan di depan, Lestari membawa bayinya dalam gendongan, dan sebelah tangannya menggandeng Seno yang tak juga mau berhenti bernyanyi.

“Selamat datang…. Perkenalkan…saya Arimbi, relasi Pak Herman…”, ucapnya ramah. Lestari menyambut salamnya.

“Lestari…”, jawabnya mengenalkan diri. Perempuan itu mengajak mereka masuk ke dalam. Sekilas Lestari melihat sekeliling, rumah itu memang besar, tapi kondisinya tidak terlalu istimewa. Setidaknya perabotan di dalamnya masih tergolong biasa saja. Kamarnya banyak, tapi kebanyakan ada di luar rumah utama, ciri sebuah rumah kost besar. Belum pernah Lestari melihat rumah kos sebesar ini.

“Ada berapa kamar disini ?”, Lestari bertanya dengan santun.
“80 kamar. Kami menerima kos untuk mahasiswi”, jawab Arimbi tak kalah sopan. Seorang pembantu dipanggilnya untuk membuatkan minuman hangat bagi para tamu. Perempuan yang anggun, setidaknya itu penilaian yang ada di mata Lestari. Tapi hatinya tak bisa sepenuhnya mengiyakan. Ada sesuatu yang dibuat-buat dalam setiap gerak-geriknya, Lestari tak tahu apa yang salah. Tapi perempuan itu terlihat terlalu sadar dengan gerakan tubuhnya. Ahh…, dibuangnya jauh-jauh pemikiran itu. Dia ada disini karena menemani suaminya berkunjung ke seorang relasinya. Arimbi adalah relasi itu. Jadi dia harus menghormatinya.

Arimbi diam-diam melihatnya dengan seksama. Hehh…perempuan muda yang naif. Dandanan Lestari yang sederhana pun tak luput dari penilaiannya. Arimbi tersenyum mengejek saat membuang tatapannya ke arah taman. Perempuan seperti Lestari bukanlah saingannya…. Sekilas Lestari melihat seringai di bibir perempuan itu. Tapi dia tak yakin. Ahh…, barangkali dia salah lihat. Dan Lestari tak ambil pusing. Kedua anaknya sudah terlalu banyak menyita perhatian.

Herman dan perempuan itu berbincang akrab seakan mereka sudah saling mengenal berabad lamanya. Lestari hanya mengikuti perbincangan mereka dengan kedua telinga terpasang erat di kepala. Sesekali tersenyum, dan ikut tertawa saat mereka saling melucu. Bayinya sempat rewel, Lestari mencoba menenangkannya dengan mengajaknya berjalan di halaman depan.

Tanah yang luas, tak heran bila orang itu memilikinya. Herman bilang suami perempuan itu kaya. Seorang pejabat perusahaan BUMN yang juga pengusaha. Dengan rumah sebesar ini, entah berapa lama dia dan Herman harus menabung untuk memilikinya. Rasanya tak akan mungkin. Herman bukan jenis pegawai yang bisa berlaku membuat perusahaan dalam perusahaan, seperti suami perempuan itu yang konon menjadi kontraktor untuk kantornya sendiri. Dunia ini memang aneh. Ketika orang lain berpeluh bersungguh-sungguh bekerja dengan kredibilitas tinggi, ada saja orang yang mau menjadikan dirinya menjadi pihak yang serakah, memenangkan tender kantor tempat dia bekerja untuk perusahaan pribadinya. Tapi hidup itu pilihan, dan Lestari yakin Herman tak akan memilih menjadi seperti itu.

Bayinya sudah tertidur lagi dalam buaian ketika Herman keluar rumah dengan menggandeng Seno disertai perempuan itu. Pembicaraan soal bisnisnya sudah selesai rupanya. Lestari tak pernah tertarik mengusiknya. Bisnis bukan hal yang bisa dijangkaunya saat perhatiannya masih tersita untuk merawat anak-anaknya seperti sekarang.

Mereka berpamitan pada perempuan itu. Arimbi melepas mereka dengan manis, dan Herman tak henti tersenyum sesudahnya. Lestari tak ambil pusing. Tidak juga ketika Herman masih saja memuji-muji perempuan itu sesampai di mess kantor. Tingkah polah anak-anaknya saja sudah cukup merepotkan. Dan Lestari terlalu lelah menduga-duga….

*
Bagian  4
ULAR

“Bagaimana kabar istrimu ?”, tanya Arimbi mulai pembicaraan. Herman mengangkat bahunya.

“Heh ! Entahlah…. Aku tak menyangka hubungannya dengan ibuku akan berjalan seperti sekarang. Kakak-kakakku juga mengatakan banyak hal. Tapi istriku tak pernah mengatakan apapun. Entahlah…”, jawabnya tak pasti. Arimbi sering mengundangnya makan bersama dengan teman-teman sekantor Herman di rumah Arimbi yang besar itu. Keramahannya luar biasa. Lestari tidak seperti itu. Dia terlalu sibuk dengan urusannya. Herman menangkap tanda-tanda dalam setiap gerak-gerik dan perhatian Arimbi. Sesuatu yang membuatnya merasa senang.

“Seorang istri sudah seharusnya menurut pada mertuanya. Aku heran istrimu itu bisa berbuat seenaknya. Apa kau tidak pernah memberitahunya ?”, tanya Arimbi memancing. Herman menggeleng putus asa.

“Dia tak pernah bicara banyak tentang ibuku. Sepertinya dia baik-baik saja. Tapi mengapa ibu dan saudara-saudaraku menyampaikan banyak hal tentangnya ? Apakah istriku betul-betul seperti apa yang mereka katakan ? Hhh…, aku tak tahu mana yang benar. Aku percaya pada Lestari. Tapi aku juga sayang ibuku…”, keluh Herman.

“Bukan istri yang baik kalau tidak bisa meladeni ibu mertuanya. Heran…. Aku kira dia cukup terdidik…, tapi dia tidak tahu bagaimana membuat ibumu senang…”, sindir Arimbi. Herman tercenung mendengarnya. Terbayang wajah Lestari dan kedua anak mereka, dan wajah ibunya yang selalu mengeluh. Bayangan-bayangan itu datang silih-berganti. Kepala Herman pening, seruputnya lagi teh dalam cangkir warna emas yang diletakkan di sebelah poci di atas meja ruang tengah Arimbi. Ahh…, the hangat yang nikmat. Sepintas diliriknya Arimbi yang sedang tersenyum. Wajah Herman memerah, senyum itu begitu menariknya hingga ia sangat ingin melihatnya sekali lagi. Dan sekali lagi…. Arimbi beringsut mendekat ke sebelah tempat duduk Herman. Dan Herman seperti tak kuasa menjauh.

Arimbi tersenyum senang. Terbakarlah…terbakarlah…. Inilah jalan termudah baginya untuk meraih angan. Kebimbangan Herman terus-menerus diracuninya dengan bisa….

*

Arimbi tersenyum puas. Tawarannya agar Herman mau menyewa sebuah kamar di rumahnya yang luas sudah disetujui. Meski jabatannya di kantor lumayan berbunyi, Herman memang bukan tergolong pria yang makmur. Dukun yang dikenalnya sudah memberikan banyak gambaran tentang pria itu.

“Dia memang tampan…. Tapi dia miskin !”, kata dukun itu lugas. Arimbi merasa tidak bermasalah dengan hal itu. Mendapatkan perhatiannya setiap hari saja sudah seperti mendapat hadiah dari surga. Keluhan yang sering didengarnya tentang istri Herman yang seringkali bertikai dengan ibu kandung Herman, membuatnya makin senang saja. Dan setiap gosokan yang membuat masalah Herman semakin besar, makin sering diberikannya. Terbakarlah…. Terbakarlah…. Arimbi tak henti berdoa dalam hatinya. Bukan Cuma satu atau dua orang pintar yang sudah ditemuinya agar lelaki itu bisa takluk padanya. Dengan hartanya, apalah yang bisa menahannya untuk mencari kepuasan ? Ahh…. Dia terpikat bukan main pada kepolosan dan kecemerlangan isi kepala Herman yang lebih muda 13 tahun darinya itu. Muda dan tampan ! Ditambah dengan kecemerlangan insting bisnisnya. Perpaduan yang sangat menggoda. Andai saja pria itu bisa menjadi miliknya dan mau mengelola hartanya, tidak mustahil dirinya akan menjadi semakin kaya !

“Berikan aku fotonya, beberapa yang jelas gambarnya…”, kata dukun itu suatu kali. Itu hal yang mudah. Arimbi tinggal memintanya dari Herman. Dan lelaki itu dengan senangnya akan memenuhi apa yang dimintanya. Sebuah album foto terbaru lengkap dengan isinya.

Sempurna ! Foto itu pasti akan memudahkan sang dukun untuk meletakkan jampi-jampinya. Benih sudah ada, tinggal disemai dan disiram hingga tumbuh subur dalam isi hati lelaki itu. Terbakarlah…terbakarlah…. Jadikan Arimbi pujaan hatimu…, bisik sang dukun dalam mantranya. Nun, di kejauhan, Lestari bergulat dengan keseharian merawat anak-anaknya, memendam hasrat penuh kerinduan pada Herman.

“Silakan dinimum tehnya…”, kata Arimbi setiap sore pada lelaki itu. Dan pria itu akan segera meminumnya dengan nikmat. Menghabiskan setiap tetes teh manis hangat yang disajikan dalam poci porcelain dengan cangkir bergambar bunga berwarna putih. Sejauh ini lelaki itu begitu percaya dengan omongannya, itu tidak boleh disia-siakan ! Arimbi tak pernah lupa memasukkan setetes air bercampur darah kotor yang sengaja disiapkannya. Itulah ramuan paling manjur yang akan membuat pria manapun mau menjadi budaknya, sesuai yang diajarkan dukun yang dikenalnya. Dan cara itu berhasil nyata ! Entah bagaimana caranya hingga orang bisa menemukan cara itu, tapi Arimbi senang bukan main melihat Herman yang kian hari kian besar rasa bencinya pada istrinya sendiri. Terbakarlah…. Terbakarlah…. Tak pernah terputus doa dan harapan Arimbi tentangnya.

*
Bagian 5
TANDA-TANDA

Lestari heran pada semangat Herman saat ini. Kegandrungannya untuk membeli baju-baju baru yang membuatnya makin menarik semakin menjadi saja. Tapi Lestari senang bila suaminya senang. Bahkan dia ikut memilihkan baju-baju yang pantas untuk Herman. Hanya saja…, lambat-laun dia merasa makin asing. Lelaki itu selalu pulang ke rumah dengan segudang cerita tentang Arimbi dan anak-anaknya. Lestari maklum, toh Herman memang kos disana.

“Aku bukan satu-satunya karyawan yang kos disana. Kamu jangan khawatir…. Ada beberapa karyawan lain yang kos juga. Rumah itu memang bukan melulu untuk mahasiswi. Harganya murah, jaraknya juga dekat dari kantor. Jadi apa salahnya ?”, kilah Herman saat ditanya. Kantor Herman memang hanya menyediakan penginapan sampai bulan ketiga. Selebihnya karyawan harus tinggal di tempat lain.

“Apa suaminya pernah pulang ?”, tanya Lestari pelan.
“Aku tidak suka bertanya-tanya seperti itu. Suaminya pulang atau tidak itu bukan urusanku ! Untuk apa kamu tanya ?”, hardiknya. Lestari terdiam. Sudah hampir sepuluh bulan ini Herman tinggal di rumah perempuan itu, dan kian hari hati Lestari kian gundah tak menentu….

*

Lestari terpekur sendiri di bangku depan rumahnya. Dia teringat saat Herman menghindar saat dia rindu pelukannya. Lelaki itu sudah tak menyentuhnya selama beberapa bulan ini. Capek ! Itu selalu yang dia ucapkan tiap kali. Lestari tahu, jarak yang harus ditempuhnya ke rumah memang tidak sedikit. Perjalanan dari kotanya bekerja hingga rumah ini perlu berjam-jam perjalanan. Tapi Lestari tak sanggup menahannya sendiri. Rindunya menggunung, menggelegak seperti gunung berapi. Dan lelaki itu sungguh sudah menghindar setiap kali dihampirinya di tempat tidur. Bahkan tersenggol pun tak mau. Lestari sampai menangis diam-diam setiap kali lelaki itu menolaknya.

“Aku tak kenal lagi siapa dirimu. Apa yang sudah mengubahmu menjadi seperti ini ? Beri tahu aku biar aku mengerti…”, ucapnya sedih.
“Apa yang kau bicarakan ? Aku tidak mengerti…”, kata lelaki itu enggan. Lestari mendekat padanya….
“Kau berubah…. Kau tak bisa bohong padaku. Apa yang sedang kau sembunyikan ?”, tanya Lestari curiga. Herman melengos.
“Tidak ada apa-apa. Tidak perlu kamu tanya macam-macam. Apa maksudmu aku berubah ?”, tanyanya.
“Aku istrimu, Herman. Aku tahu hatimu. Kau selingkuh ?”, tanya Lestari tiba-tiba. Herman menatapnya dengan pelupuk mata tergetar. Dia menggeleng.
“Tidak ada, tidak ada siapa-siapa…. Kau mengada-ada. Aku mau tidur, capek !”, sahutnya tanpa melihat mata Lestari yang masih saja terpana memandanginya. Dan Herman tak menjawab barang sedikit. Dia hanya mengambil bantal lalu menangkupkannya di atas kepala. Lalu tidur….

Kamar itu begitu sunyi, bayi lelaki Lestari tergolek tertidur di kasurnya yang mungil dan hangat. Malam kian larut, meninggalkan hati Lestari yang ciut menggigil kedinginan.

*

Liburan sekolah kali ini dihabiskan di kota tempat kerja Herman. Sekali lagi Herman membawa keluarganya ke rumah perempuan itu, tapi untuk menginap. Lestari berusaha berbaik-baik dengan terus menghormati perempuan itu. Tapi keanehan demi keanehan terus menerus dilihatnya. Tentang bagaimana wajah suaminya berseri-seri tiap kali bertemu dengan Arimbi, tentang bagaimana Herman memberikan duduk di kursi depan mobil mereka untuk perempuan itu, sementara Lestari dan anak-anaknya disuruh duduk di kursi belakang. Juga tentang bagaimana keakraban keduanya yang selalu saling lempar senyum saat bicara.

Tidak ! Lestari tidak cemburu ! Dia hanya heran melihat semua itu. Herman seakan lupa dengan siapa dia pergi, menganggapnya angin lalu dan asyik sendiri. Seakan tak peduli. Yang dipandangnya hanya Arimbi. Dan Lestari bukan anak kemarin sore yang bisa dikelabui.

“Ma…. Masak kata abang itu Papanya sudah mati !”, kata Seno saat selesai mandi. Lestari terkejut, tangannya tiba-tiba terasa dingin, dan dadanya berdesir tak menentu. Arimbi…seorang janda ?

*

Bagian 6
HALIMUN YANG TERSINGKAP

Arimbi duduk dengan kaku. Lestari sudah mengerti sekarang. Dan perempuan itu tak bisa lagi mengelak.

“Saya memang sudah sendiri…. Saya sudah menjanda sejak anak bungsu saya umur 4 tahun. Rasanya sepi…”, keluhnya seperti merintih. Lestari tak peduli. Perempuan itu sudah berbohong selama ini. Dia tersenyum gemas melihatnya. Matanya berkilat-kilat tajam.

“Ooh…”, timpalnya pendek dengan mata berkilat. Tak ada kata sepatahpun yang ingin diucapnya. Melihat perempuan itu salah tingkah saja sudah cukup membuatnya tahu apa yang sedang terjadi….

*

“Kita pulang !”, kata Lestari pendek sambil mengemasi barang-barang. Herman bungkam. Tapi tak urung dia juga mempersiapkan kepulangan. Tak biasanya Lestari sediam ini sebelumnya. Lestari bahkan tak mau melihat wajahnya saat bicara. Hal yang tak pernah Herman alami. Perempuan itu selalu memandangnya saat bicara, mendengar setiap katanya dengan teliti.

“Suami perempuan itu masih hidup, katamu ?”, tanyanya tanpa menoleh. Herman menelan ludah.
“Apa maksudmu ?”, tanya Herman, mencoba meredam kejut di dadanya.
“Dia baru saja mengaku kalau dia sudah janda. Kau bilang suaminya masih bekerja ?”, tanya Lestari lagi. Wajah Herman memerah, keringat dingin mulai membasah.

“Dia….katakan….itu ?”, tanyanya terbata-bata, seakan tak mendengar. Napas Lestari mendengus, telapak tangannya bertambah dingin, tapi kakinya masih tegak berdiri.

“Jadi Arimbi memang sudah janda. Dan kau bilang suaminya bekerja ?! Dan ternyata dia sudah janda ! Siapa di antara kalian berdua yang lebih menipuku ?”, ucapnya dengan sedapat mungkin menahan hati, tanpa memandang wajah lelaki itu. Dadanya bergemuruh, riuh.

Lestari kini tahu seperti apa permainan yang sedang dihadapinya. Inilah alasan mengapa lelaki itu tiba-tiba berubah. Lestari tak habis pikir saat dia menyadari tiba-tiba suaminya suka membeli lotere, menghabiskan berjuta-juta tabungan yang sudah disimpannya untuk hal yang tak pernah diketahui hasilnya. Bahkan dengan bangga lelaki itu memamerkan soal undian yang juga dibelinya dengan uang Arimbi. Berjudi ! Bukankah itu maksiat yang harus dihindari ? Inilah penjelasan mengapa lelaki itu begitu bersemangat tiap kali akan meninggalkannya pergi bekerja di kota lain. Bukan pekerjaan yang akan dijumpainya, tapi perempuan itu! Lelaki bodoh ! Lestari baru saja menyadari betapa tololnya lelaki itu. Lelaki dungu ! Dilihatnya lelaki itu terduduk di atas dipannya. Tiba-tiba Lestari merasa ingin muntah. Kenyataan ini sungguh membuatnya muak bukan main.

Mata Lestari berkaca-kaca, inilah sebab mengapa tiba-tiba Herman selalu bicara dengan pikiran yang aneh soal Arimbi yang dipujanya seperti dewi. Tanpa cacat. Selalu seia-sekata. Dan Lestari merasa sangat terhina karena selama ini dia pun turut menghormati perempuan itu, bahkan mendudukkannya di atas kepalanya sendiri – karena suaminya menghormati Arimbi. Ahh…, batang yang selama ini dijaganya agar tetap lurus, telah terpanggang api hingga bengkok seperti ini. Lestari terpukul. Sudah terlalu banyak kedengkian yang dirasakannya dari keluarga Herman, dan kini Herman memberinya hantaman bertubi dengan kebohongannya soal Arimbi. Herman….???? Setega itukah….???? Dada Lestari sakit. Kalau saja bayinya tidak segera merengek, Lestari akan segera menumpahkan air matanya di kamar itu.

Lestari dan Herman terdiam sepanjang perjalanan. Hanya suara nyanyian Seno yang terdengar menghiasi kendaraan. Lestari berusaha sebanyak mungkin agar bayinya tidak rewel. Tapi hatinya yang bergemuruh membuat susunya tak lancar mengalir, sementara bayinya selalu haus.

“Jadi itu yang kau lakukan ?”, lagi-lagi tanya Lestari saat berdua dalam kamar. Lestari yang gusar mondar-mandir di depan TV, dan Herman menunduk lesu.

“Aku ingin seperti Muhammad, aku ingin bisa bersama Khodijah…”, jawabnya perlahan. Lestari menggelengkan kepalanya seakan tak percaya. Sebuah palu godam terasa keras menghantam dadanya. Ini ungkapan pertama yang jelas-jelas diucapkan lelaki itu untuk bisa bersatu dengan Arimbi. Kepala lelaki itu seperti tersihir. Bahkan memandangnya pun tak mau.

“Kau seperti orang mabuk !”, tukas Lestari cepat. Herman melengos….
“Itu yang kuinginkan sekarang. Kamu harus mengijinkan…”, katanya lagi. Lestari murka….

“Kau tahu ? Muhammad tidak tinggal serumah dengan perempuan yang bukan muhrimnya. Kamar kos seperti apa yang cuma bersebelahan kamar dengan kamar inangnya ? Penghuni lain harus berbagi di kamar-kamar di luar rumahnya, dan kau ? Kau satu-satunya yang tinggal di dalam…, satu-satunya lelaki yang ada…. Bagaimana kau akan menjelaskan padaku ? Kau bukan Muhammad ! Kau pikir siapa dirimu ? Dan Khodijah tidak pernah membukakan pintu untuk lelaki yang bukan suaminya. Kau masih merasa benar dengan anggapanmu ?”, kilah Lestari marah. Herman lagi-lagi terbungkam. Pikirannya kosong. Bayangan akan hidup sejahtera bersama janda itu mengikis dengan perlahan. Dia mulai merasa ingin mati saja….

“Dia memintaku mengelola kekayaannya…. Aku kasihan padanya. Anak-anaknya butuh ayah…. Dan aku ingin kita sejahtera…”, bisiknya nyaris tak terdengar, lidah Herman kelu. Dan Lestari menjerit mendengarnya….

“AAAAAAaaaa….!!!!!! Kau kasihan pada anak-anak perempuan itu, tapi kau tidak kasihan pada anakmu sendiri ? Kau ingin sejahtera, katamu ? Dengan cara kawin dengan Arimbi ? Aku tak mau kau jual diriii…. Lihat aku ! Seburuk itukah kau menilaiku selama ini, Herman ? Aku tak memandangmu karena kekayaan. Ada apa dengan kalian ? Mengapa lelaki selalu melihat harta sebagai patokan ? Aku lebih suka melihatmu menjadi manusia yang baik, lelaki yang baik bagiku, ayah yang baik bagi anakku. Tidakkah itu cukup, Herman ? Mengapa demi harta perempuan itu, kau sampai tega berpikir akan meninggalkan anak-anakmu…?”, perih hati Lestari mengatakannya. Kenyataan yang terbentang di depan matanya membuat penglihatannya berkunang-kunang. Lestari memejamkan matanya, lalu memiringkan tubuhnya di atas pembaringan itu. Dirasakannya tangan Herman yang menyentuh pundaknya. Lestari mengibas, tiba-tiba dia merasa jijik….

*
Seperti kesetanan, Lestari terus membujuk agar Herman mengajak anak-anak mereka tinggal di kota tempat kerjanya. Herman yang bimbang antara dua pilihan, akhirnya menyerah dengan mencarikan sebuah rumah kontrakan. Tidak besar, tapi cukup untuk mereka semua. Lestari tahu seperti apa sesungguhnya Herman. Dia tak akan mungkin meninggalkan darah dagingnya begitu saja. Seperti apapun rayuan perempuan itu pasti tak akan sanggup membuatnya berpaling untuk pergi dari mereka tanpa menyelesaikan apapun. Dan Lestari terus menahan diri agar tidak meluap dengan emosi. Sudah cukup genting keadaan ini sekarang, cukuplah hati mereka berdua yang tercabik. Herman bukan orang yang tak punya rasa sesal, dan itu diyakininya betul.

Lestari meninggalkan rumah dengan sejuta tanda-tanya dari para tetangga dan kerabat. Tapi dia tak mengatakan apapun, bahkan berpamitan pun tak terpikir. Dia terlalu kacau dengan pikiran akan apa yang bakal terjadi kemudian. Layang-layang yang selama ini sudah diulurnya harus segera ditarik turun. Atau dia akan kehilangan layang-layang itu sama sekali….

Sementara Herman terjebak dalam kubangan rasa bersalah tak terhingga. Yang dihadapinya kini adalah dua pilihan yang akan membuatnya menjadi orang benar atau terlaknat hingga akhir. Lestari tahu kalau Herman masih berhubungan dengan perempuan itu lewat telepon. Masa yang sudah terlewat ini sudah terlampau jauh, maka dia harus berhati-hati. Dan kota ini kandang macan perempuan itu. Maka Lestari harus bisa bersiasat, setidaknya itulah yang dia pikirkan sepanjang malam saat merebahkan dirinya di samping lelaki yang dinikahinya. Dia tak peduli perasaannya sendiri. Hanya anak-anak itu yang diingatnya. Dan dia tak mau merasa berhak memisahkan anak-anak itu dengan ayah kandung mereka. Setidaknya tidak untuk saat ini…. Sebilah pedang telah terhunus berkelebat membelah ulu hatinya menjadi dua, Lestari seakan terbang tak menyentuh tanah, seolah cuma membawa badannya tanpa jiwa.

*

“Tolong…. Biarkan suami saya pulang…. Anak-anak kami membutuhkan ayah mereka…”, ucap lirih perempuan itu. Arimbi menatapnya dengan sengit. Dia ingin mengatai perempuan itu, tapi lidahnya kelu.

Aah, sialan ! Kalau saja anak lelaki perempuan itu tidak bertanya perihal almarhum suaminya pada anak sulungnya, pasti perempuan itu tak akan pernah tahu. Mengapa perempuan itu sampai tahu ? Sementara dirinya sudah mati-matian berusaha agar tidak ada seorang pun yang tahu ?

Baru saja kemarin perempuan itu berkirim surat padanya. Mengeluhkan tentang Herman yang sudah menjauhi istrinya…. Kalimat yang sudah membuatnya tersenyum sinis. Heh…. Tentu saja ! Siapa lelaki yang mampu menolak rayuannya selama ini ? Ramuan darah kotor itu sudah berhasil menggiring lelaki itu padanya. Yang tidak disangkanya adalah keberanian perempuan itu menulis surat, menyampaikannya lewat seorang pembantu.

“Sudah berapa lama ?”, tanya Arimbi. Lalu dengan jemarinya, perempuan itu mulai menghitung.
“Enam bulan…. Sudah enam bulan…”, jawabnya pendek dengan tatapan mata lurus ke arah lantai. Seorang anaknya sempat memergoki surat itu. Dan Arimbi tak mau anak-anaknya yang lain ikut gusar karenanya.

“Ibu mau kawin lagi ? Betul, ibu mau kawin lagi…?”, tanya anak sulungnya mendesak kala itu. Arimbi menelan ludah, lalu menggelengkan kepala.
“Tidak…”, jawabnya parau.
"Ibu tidak bisa bohong padaku, katakan apa maksud Ibu meminta Oom Herman tinggal di rumah kita !?", Michael bertanya dengan gusarnya. 

"Ibu cuma ingin menolongnya.... Dia tidak punya rumah di kota ini...", kata Arimbi beralasan.
"Itu bukan alasan untuk Ibu bisa memberinya tumpangan di rumah kita, Bu ! Maksud Ibu apa ??? Sudah lama aku heran dengan cara Ibu memperlakukan Oom Herman. Kalau dia tak punya tempat tinggal di kota ini, itu bukan tanggung-jawab kita untuk menolong ! Ibu jangan membuat aku malu, Bu !", tanya Michael lagi. Seorang pamannya sudah melihat gelagat tak sedap itu sebelumnya. paman yang terpandang dan menyayanginya, disegani semua orang dalam keluarga besar mereka. Dan Arimbi tak sanggup menjawab pertanyaan itu. Mulutnya terkunci. Dia sudah terlanjur melangkah. Cuma lelaki ini yang sudah membangunkan mimpinya untuk menjadi seseorang seperti yang dulu pernah direguknya saat almarhum suaminya ada. Tidak bolehkah ? Sedangkan upayanya untuk menjerat lelaki itu sudah berupa-rupa macamnya.... Sudah tanggung....

“Kalau Ibu teruskan rencana Ibu untuk kawin dengan Oom Herman, aku tak akan pulang !”, ancam pemuda itu. Arimbi luluh. Dalam mata pemuda itu terpancar tatapan mendiang suaminya. Arimbi harus menyerah….

*

Kini istri lelaki itu hadir disini, berbicara dengannya dengan suara setenang telaga. Meski tak memandangnya, Arimbi tahu perempuan itu bersungguh-sungguh dengan perkataannya. Kedua tangan perempuan itu kencang mencengkeram lengan kursi. Dia tidak tersenyum barang sekali. 

" Saya cuma ingin Pak Herman bisa mengelola kekayaan saya.... Jeng kan bisa berbisnis restoran di kota ini. Saya bisa membantu modal. Anak-anak bisa dititipkan kepada saya...", bujuk Arimbi. Lestari melirik dan tersenyum. Pahit. 

"Terima kasih.... Saya hargai tawaran Bu Arimbi. Tapi saya belum bisa meninggalkan anak-anak saya pada orang lain.... Saya sekarang hanya ingin suami saya bisa pulang bersama kami di rumah. Mereka berhak hidup bersama ayah mereka. Di rumah..., bukan di tempat lain...", tukasnya tegas dengan kata-kata yang pelan namun teratur. Nadanya terarah, meski untuk itu Lestari harus berusaha keras dengan menekan rasa hatinya. 

Sialan ! Arimbi menggerutu dalam batinnya. Tak ada lagi alasan yang bisa membawa perempuan itu mendekat dalam perangkapnya. Dia begitu pandai bicara.

Maka Arimbi tak dapat mengatakan lain kecuali membiarkan perempuan itu mengajak Herman keluar dari rumahnya yang besar dan mewah. Hanya karena Arimbi tak mau membuat anak-anaknya sedih bila tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Arimbi sangat ingin mereka tidak bersedih karenanya, meski dia ragu mereka tak akan merasa apa-apa. Kehadiran Herman sudah sedikit banyak mengisi kekosongan dalam ruangan hati mereka. Kerinduan pada sosok seorang ayah. Dengan kelu, dilepasnya lelaki bersenyum menyihir itu pergi bersama perempuan yang dinikahinya. Sejenak perempuan itu menoleh saat akan meninggalkan pintu gerbang. Sebuah seringai penuh kemenangan dengan kilatan mata seolah mengejek ke arahnya. Membuat Arimbi tersentak ! Seperti mimpi di siang hari. Bayangan lelaki itu kini tak dapat dijangkaunya lagi….

*

Bagian 7
BIANGLALA

Herman membawa keluarganya pindah ke kota lain. Seorang tetua sudah menyuruhnya untuk hijrah. Dan itu yang terbaik. Herman juga mulai mengerti kecemburuan ibunya pada Lestari. Andai saja.... Andai saja waktu bisa terulang ke belakang, dia tak akan membuat ibunya gundah dengan kehadiran Lestari, dan dia juga tak ingin membuat Lestari merasa terasing di tengah keluarga besarnya. Kepindahan mereka sanggup membuat masalah di antara kedua perempuan itu padam. Setidaknya mereka tidak lagi sering bertemu satu sama lain.

Arimbi masih saja sering menelponnya, meski Herman tak lagi mau berharap. Perempuan itu tak henti mengajaknya bicara, menanyakan Lestari dan dirinya. Herman linglung. Pandangannya tak bisa begitu saja tersingkir dari bayangan Arimbi. Entah mengapa.... Dan setiap kali berdekatan dengan Lestari selalu terasa panas, Herman tak betah. Sampai-sampai dia selalu ingin berlari menjauh, sejauh mungkin. Tapi kedua anaknya itu begitu disayanginya, Herman tak pernah tega meninggalkan mereka dengan alasan apapun.

Lestari begitu sakit hati, badannya mengurus, dan lingkar matanya menghitam. Berulang-kali masih didengarnya kata-kata Herman yang menyanjung Arimbi. Ahh..., entah akan bertahan sampai berapa lama rakit bambu ini. 

"Ceraikan aku.... Bersenang-senanglah semaumu.... Aku memang tak bisa memberimu uang seperti perempuan itu. Tapi apa kau yakin dialah yang kau inginkan ? Aku mau dengar apa kata ibumu tentang ini !", kata Lestari dalam kemarahannya suatu kali. Herman cuek tak menjawab, bayangan Arimbi masih terus lekat dalam kepalanya. Toh ibunya sudah tahu apa yang dimauinya dari Arimbi, yang tidak diketahuinya adalah kenyataan bahwa bukan hanya keluarganya sendiri yang tahu hubungan itu, tapi juga keluarga besar Lestari. Bahkan jauh sebelum Lestari tahu kejadian itu.

Kabar yang terdengar hingga telinga keluarga Lestari membuat ibu Herman limbung. Dia terkena serangan jantung. Tak disangka apa yang dilakukan anak lelakinya diketahui juga oleh keluarga Lestari. Dan dia tak kuat menahan kecewa. Dia sudah dikenalkan pada Arimbi oleh Herman sesaat setelah Herman pindah membawa keluarganya ke kota janda itu. Janda itu memang baik, bahkan sangat baik. Tapi tidak seharusnya kedekatan Herman dengan perempuan itu terjadi. Seharusnya tidak begini. Beberapa kali diterimanya telpon Lestari yang menangis mengeluhkan kasarnya perlakuan Herman padanya. Itu semakin membuatnya tersiksa.  Dia yang sudah membesarkan Herman dengan penuh cinta, kini harus menghadapi kenyataan bahwa ternyata anak lelakinya tak seelok apa yang pernah dikatakannya pada Lestari.

"Herman itu orangnya lembut..., baik...., dia tidak pernah kasar pada siapapun...", terngiang-ngiang kembali ucapannya sendiri pada Lestari sebelum Herman menikahinya. Dan kini ibu malang itu harus menelannya sendiri. Kisah yang membuat dadanya sesak, dan tubuhnya dingin membiru. Lalu pergi....

“Ceraikan aku, Herman…. Kau tak pernah bisa memberiku kedamaian…. Bebaskan aku…”, pintanya tiap kali saat lelaki itu bertengkar dengannya soal sesuatu. Permintaan yang membuat mulut lelaki itu terbungkam. Herman tak pernah mau meminta maaf, lidahnya terlalu berat mengakui apa yang sudah dia lakukan. Dia hanya bersimpuh di hadapan istrinya, menelungkupkan wajahnya di pangkuan istrinya yang harum. Tanpa berkata apa-apa….

*

Bertahun terlewati. Lelaki itu kosong. Lestari meremas hatinya sendiri hingga hampir remuk.Bagaimanapun lelaki itu sudah menipunya hingga sekian lama. Tidakkah itu cukup  untuk memutuskan tindakan yang bisa membuat dirinya lebih nyaman ? Berjalan menuju arahnya sendiri... Sekarangkah saatnya ? Lestari menggeleng dan memejamkan matanya. Hidupnya kini hanya untuk anak-anak mereka. Tidak lebih. Lestari paham betul betapa lelaki itu telah berusaha kembali padanya. Tapi Lestari terlalu sakit. Berulang kali dia berandai-andai peristiwa itu tak pernah terjadi. Berpura-pura kalau kejadian itu tak pernah ada. Dan Lestari gagal melakukannya, menjadi munafik…sungguh sulitnya. Herman sudah berupaya menyenangkannya dengan segala cara. Menimbuninya dengan hadiah yang dulu bahkan tak terpikir bakal didapatkannya. Mencumbunya dengan ciuman yang dulu tak pernah dirasakannya.

Aneh. Lestari mati rasa. Sudah digalinya dalam-dalam untuk mencari kemana rasa itu terkubur, tapi Lestari terlalu bingung mencari dimana tempatnya. Satu-satunya cara untuk menjaganya hanyalah dengan memandangi anak-anak mereka. Hidup memang aneh. Seharusnya dia berpikir bahwa inilah saat dia bisa bahagia dengan perhatian dan perlindungan penuh dari lelaki yang dinikahinya. Seharusnya dia bersyukur. Bukankah dalam hidup ini tak ada yang sempurna kecuali TUHAN ? Lestari mengeluh dalam hati. Dengan putus asa dia berusaha pergi dari kenangan itu, tapi entah mengapa dia selalu kembali kesana. Tidak adakah jalan untuk bisa menghilang dari kenangan itu ? Tak adakah…?

Lelaki itu kosong. Dan Lestari masih tenggelam dalam kebiruan. Bagai menaiki bianglala, hanya suara anak-anak itu yang nyaring terdengar gembira. Teruslah gembira, sayang…. Harap Lestari dalam setiap doanya. Teruslah gembira….


SELESAI

Malam sunyi.
20 Sept 2010, Bintaro Jaya.