BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Rabu, 27 Januari 2010

DOUBLE DATE

"Ssstt...! Cowok yang disana itu keren ya, Mir ?", Dewi menyenggol lengan Mira yang sedang asyik makan bakso. Mira mencari-cari arah yang dimaksud Dewi. Dua orang lelaki yang sedang sama-sama duduk dalam pujasera itu tampak sedang asyik mengobrol satu sama lain.

"Yang mana ?", tanya Mira penasaran. Telunjuk Dewi mengacung ke arah si lelaki yang berambut lurus dan berbaju polos warna biru tinta. Mira berusaha fokus pada pria itu. Hmm..., dia tau kenapa Dewi bilang orang itu keren. Orang itu memang punya bentuk bahu dan hidung yang bagus. Senyumnya juga tampak hangat.

"Kenalan, yuk !", ajak Dewi ngebet. Mira mengangkat bahu, dia gak tertarik, bikin Dewi agak kecewa. Mata Dewi sebentar-sebentar melirik ke arah kedua lelaki itu. Jarinya yang mengetuk-ngetuk meja menandakan kegelisahannya.

"Kamu kenapa sih, Mir ?", tanya Dewi saat di tangga. Dewi sebal, Mira tak mendukung niatnya.

"Kok aku ? Kamu kenalan sendiri aja !", kata Mira cuek. Sudah berkali-kali dia dibawa-bawa Dewi buat alasan mau kenal sama cowok. Katanya sih minta ditemani, gak pede kalo sendiri. Hhh..., aneh.

"Kamu tau kan kalo aku gak pede kalo kenalan sama cowok ? Temenin dong.... Pleaseee...!", bujuk Dewi lagi. Dan begitulah yang terjadi kemudian. Mira menemani Dewi berkenalan dengan Rudi, pria keren versi Dewi itu.

*

"Pacar Dewi itu ganteng ya ?", celetuk Bu Darman, Ibu Mira. Matanya yang masih awas menatap bayangan sepasang kekasih yang tengah melenggang keluar halaman rumahnya. Mira mengangguk saja.

"Kerja dimana si Rudi itu ?", tanya Bu Darman.

"Di Luppo Bank.... Kenapa, Bu ?", Mira balik bertanya.

"Apa dia gak punya teman yang cocok buatmu ?", pancing Bu Darman. Aha !, jadi Ibunya ingin dia punya pacar. Akhirnya Mira tau juga. Sejak dia putus dari Sony yang saat ini sedang ngambil S2 di Belanda, Mira memang malas cari pacar. Dia menyibukkan dirinya dengan pekerjaan dan pekerjaan. Hingga akhirnya sekarang dia diangkat jadi asisten manajer produksi di sebuah stasiun TV swasta, tempat dia dan Dewi sama-sama bekerja. Pacar ? Terpikirpun tidak.

"Kau sudah pantas menikah, Mir. Umurmu sudah hampir 28 taun. Akan sampai kapan Ibumu ini harus menunggu ? Ibu sudah tua, hadiahi Ibu dengan hiburan cucu-cucu yang lucu. Kakakmu sudah tinggal di Makasar, Ibu ini kesepian...", keluh Bu Darman nelangsa. Mira menghela napas sesal. Amanda, kakak perempuannya satu-satunya, memang sudah diboyong ke Makasar oleh suaminya. Mira jadi terkenang pada polah nakal Nancy, anak Amanda yang sudah sejak bayi sering diasuhnya bila Amanda sedang sibuk. Ah..., Nancy..., Kak Amanda..., bagaimana kabar mereka kini ?

"Ibu..., kalau sudah waktuku, Bu.... Pasti jodoh tak akan kemana...", bisik Mira sambil memeluk bahu Ibunya.

*

Bu Darman agresif sekali membujuk Dewi supaya mau mengajak teman Rudi agar bisa berkenalan dengan Mira. Itu membuat Mira risih. Dan dia sebal melihat Dewi malah tertawa tiap kali menyinggung hal itu.

"Kenapa enggak, Mir ? Kan ada Edo !", kata Dewi sambil tersenyum menggoda. Mira jadi makin sebal.

"Nggak mau ! Kamu aja yang pacaran, aku ogah !", sahut Mira sewot. Dewi terkikik.

"Ibumu sudah ngebet mau punya mantu. Harusnya kamu mendukung, dong. Masak kamu malah gak mau ?", kata Dewi dengan mata mengerjap-ngerjap lucu. Mira melengos.

"Cari orang yang sepaham denganku itu gak gampang, Wi. Aku sudah pacaran sama Sony sejak kuliah. Toh kami pisah juga. Meski alasannya karena aku lebih memberati kerjaanku disini. Aku gak yakin teman Rudimu itu bisa mengerti apa yang kumau dengan hidupku. Aku masih pengen eksis !", jawab Mira serius, membuat Dewi terdiam. Dewi sendiri sudah pacaran dengan Rudi selama setahun. Dan mereka berencana untuk menikah akhir taun ini.

"Tapi gak ada salahnya dicoba, Mir. Untuk melegakan hati Ibumu saja. Demi Ibu...", kata Dewi dengan lembut. Mira tau, Dewi mencoba menyadarkannya akan penyakit kanker getah bening stadium 3 yang saat ini sedang menggerogoti tubuh Ibunya. Hasil lab dan biopsi sudah memberikan ultimatum itu. Kalau terapi pengobatan tidak berhasil, Ibunya tak lama lagi akan segera pergi, menyusul Bapaknya yang sudah lebih dulu menghadap Ilahi tiga taun yang lalu karena serangan jantung. Lidah Mira kelu.

"Aku berjanji tak akan kecewakan kamu. Kau sahabatku. Edo sahabat Rudi. Tak ada jeleknya kalau dua sahabat berpasangan dengan dua sahabat yang lain. Kita ketemu besok malam Minggu ?", ajak Dewi sambil memegang kedua tangan sahabatnya itu. Mira mengangguk lemah. Demi Ibunya.... Demi Ibunya....

*

Akhirnya Mira menyerah, Edo memang pria yang penuh pengertian dan penyayang. Ibunya sangat senang mengetahui hubungan itu. Wajah Edo yang tampan dan sikapnya yang sopan pada setiap orang sungguh membuat hati Bu Darman dipenuhi rasa bahagia. Dua gadis yang bersahabat, berpasangan dengan dua pria yang bersahabat. Alangkah sempurnanya. Dan Mira betul-betul tak percaya bagaimana seorang Edo kini telah hadir dalam hidupnya. Menyemangati, menyayangi, melindungi. Tak kurang rasa syukur Mira pada apa yang kini telah digenggamnya. Pernikahan Dewi dan Rudi yang akan berlangsung di akhir taun nanti telah ditentukan tanggal dan jamnya. Hanya tinggal menunggu hari. Dan semua akan segera berubah lebih baik, paling tidak itu yang Mira harapkan.

Tapi entah mengapa akhir-akhir ini Edo tampak agak murung. Dia masih penyayang, masih perhatian. Hanya kadang tampak sedih. Urusan kantor yang mengganggu, tapi tidak serius. Begitu tiap kali dia menjawab. Bekerja di kondisi keuangan negara sedang krisis seperti sekarang memang harus disikapi dengan banyak akal. Harus pintar-pintar mengambil keputusan yang tepat agar tetap dipakai oleh perusahaan. Beberapa bank sudah dilikuidasi. Untungnya Luppo Bank tidak terkena tindakan itu. Tapi Edo masih saja terlihat agak murung. Ah..., sudahlah. Mungkin dia memang perlu refreshing.

"Kita ke Bandung, yuk !", ajak Mira sore itu via handphone-nya. Bu Darman menyuruhnya mengantar surat penting ke rumah Tante Pur, adik perempuan Ibu Mira.

"Semalam aja ?", tanya Edo dari seberang.

"Iya. Semalam aja. Kita menginap di rumah Tante Pur...", jawab Mira. Lama Edo tak menjawab.

"Ok, deh ! Sabtu jam 9 aku sudah sampai di rumahmu...", kata Edo melegakan. Mira senang bukan kepalang.

*

TING-TONGGG.....

Suara bel pintu rumah Tante Pur terdengar memecah keheningan senja. Bik Inah bergegas membukakan pintu. Lalu dia kembali tergopoh-gopoh berlari ke dalam....

"Anu..., juragan.... Ada orang mau ketemu sama Bapak Edo di depan...", kata Bik Inah sambil mengacungkan jempol kanannya ke arah pintu depan. Edo dan Mira segera bangkit. Mereka berjalan mendekat ke arah pintu. Ada Rudi ! Wajah Edo agak memerah melihat kehadirannya. Mira cuma melihatnya sekilas, tapi dia tau Edo sedang gusar.

"Eh..., Rudi ! Sama siapa ?", sapa Mira terheran-heran. Dia tidak pernah memberitau dimana alamat Tante Pur pada Dewi. Lalu dari siapa Rudi tau alamat itu ? Dari Edo kah ?

"Hai ! Aku mau bicara sebentar sama Edo. Bolehkah ?", tanya Rudi dengan senyum canggung. Edo segera menyambar lengan Rudi, lalu mengajaknya bicara berdua di halaman depan rumah Tante Pur. Mira menutup pintu, lalu mengamati dari jendela. Kedua pria itu tampak saling memperdebatkan sesuatu. Entah apa. Jarak yang jauh membuat Mira tak dapat menangkap apa yang mereka bicarakan. Tapi sepertinya seru. Malah keduanya sempat saling menunjuk ke dada lawan bicara. Alis Mira mengernyit, tampak serius sekali masalahnya.

Kedua lelaki itu berdebat sampai beberapa lama. Lalu tiba-tiba Edo tampak marah dan mulai mendorong tubuh Rudi, membuat Rudi bergeser mundur beberapa langkah. Anehnya, Rudi malah maju mendekat, seperti berusaha membujuk. Dan Edo mendorongnya lagi. Lalu tiba-tiba lengan Edo ditangkap Rudi dengan kedua tangannya. Dan yang terjadi kemudian membuat mulut Mira ternganga. Rudi menarik badan Edo sebegitu dekat dengan dirinya, dan wajah Edo diciuminya dengan membabi-buta. Lalu bibir keduanya berpagut. Mira menutup bibirnya sendiri dengan telapak tangannya. Jemarinya lunglai melepaskan gordyn yang baru saja sempat dia singkapkan....







0 comments: