BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Minggu, 13 Juni 2010

I D O L A

BAB I. Terpukau


Bibir pemuda itu menyerocos panjang-lebar tentang fasilitas kampus Universitas Mangkulangit. Wajahnya yang ganteng dengan dagu tegas, hidung yang bangir, serta rambut hitam sedikit bergelombang membuat penampilannya yang bersahaja tampak menarik bukan main. Tantri menelan ludahnya berkali-kali. Matanya tak kunjung berhenti memandangi pemuda itu dari tempatnya duduk kali ini, di sebuah ruang kuliah - sebuah wahana mencari ilmu di Fakultas Ekonomi, Universitas Mangkulangit. Sudah sejak setengah jam yang lalu pemuda itu bicara, Tantri tak menyimak kata-katanya. Perhatiannya terpusat pada jakun, mata, bibir, dan pundak yang bidang milik Hariawan, pemuda menarik yang sudah menghipnotisnya dengan pesona tak terbantahkan. Merasa diperhatikan, tiba-tiba pemuda itu menoleh ke arahnya dan tersenyum, membuat pipi Tantri merona. Tantri menundukkan kepalanya, menyesali tingkah yang sudah dilakukannya tadi. Sebentar kemudian kembali dia melirik, pemuda itu meneruskan bicaranya. Tantri menghela nafas lega, kali ini dia berusaha sekuat tenaga tak lagi merayapi lekuk wajah pemuda itu.

Tantri sedang membereskan tas dan alat tulis dari bangkunya ketika tak sengaja bahunya tersenggol seseorang yang melintas di sampingnya. Gang kursi yang tersisa memang begitu sempit hingga cuma menyisakan sedikit ruang untuk berjalan. Agak terhuyung, Tantri mencoba menahan tubuhnya agar tak terjatuh ke samping.

"Maaf...", terdengar suara seorang pria yang menabraknya. Tantri menoleh dan terkejut, orang itu Hariawan ! Tantri tersenyum canggung....

"Tidak apa-apa...", sahutnya kikuk. Pemuda itu mengangguk sopan, dan membalikkan badan. 'Ah..., senggolan itu....', Tantri menggigit bibirnya sendiri, '...senggol aku lagi...', bisiknya dalam hati. Baru tiga kali ini dia bertemu dengan Hariawan yang sudah semester 5 itu. Dan dia sudah merasa jatuh cinta pada pandangan pertama....

Cinta pada pandangan pertama ? Hei...! Bagaimana dengan Karrel yang sudah dipacarinya sejak masih SMA ? Tantri memejamkan mata. Rasa sebal dan bosan menghinggapi jiwanya. Masa 2 tahun pacaran dengan Karrel bukan lagi hal yang bisa membuat hidupnya bersemangat. Karrel memang jenaka, dia suka melucu dan menghiburnya saat sedih. Karrel juga orang yang selalu siap membantunya bila sedang perlu. Tapi keputusan Karrel untuk masuk ke Institut Kesenian Jayaguna sungguh tak bisa dia mengerti. Jadi seniman !, pekerjaan macam apa itu ? Mana mungkin bisa memberi jaminan bisa menafkahi keluarga ?

"Nilai kamu itu bagus-bagus, Karrel.... Kenapa kamu tidak mau kuliah di universitas bersamaku ? Kamu bisa belajar musik sambil kuliah kan ?", ucap Tantri kala itu. Karrel cuma terdiam membisu. Dengan cuek diambilnya sebuah gitar dari sudut ruang tamu rumahnya, lalu jemari tangannya mulai memetik senar, mengalunkan sebuah lagu.... Stairway to Heaven....

"Karrel...!, aku sedang bicara !", kata Tantri sewot. Karrel menoleh sejenak, lalu meneruskan keasyikannya memetik gitar.


"Aku akan belajar musik, itu yang aku inginkan dari dulu. Kau juga sudah tau apa mauku.... Kenapa sekarang bingung ?", celetuk Karrel tiba-tiba. Cuek, tak seperti biasanya. Tantri jatuh terduduk di atas sofa, cita-cita Karrel begitu kukuh bagai baja. Sudah jauh hari dia tau kecintaan Karrel pada musik. Bahkan sebuah grup musik sudah dibentuknya bersama beberapa teman lain di sekolah. Mereka menyebut diri 'The Rocketeers', sering diundang manggung sebagai band pembuka di beberapa mall. Sekokoh itukah cita-citanya hingga dia tak mau belajar yang lain ? Padahal nilai Karrel sangat bagus di bidang Matematika, Fisika, dan Kimia. Nilai-nilainya yang lain juga tak ada yang mengecewakan. Tapi memutuskan untuk masuk ke IKJ bukanlah pilihan yang mudah dimengerti. Tantri teringat pada pengalaman hidup seorang almarhum pamannya yang pernah kondang jadi artis di masa Ade Manukutu. Tak sedikitpun kemakmuran yang dimilikinya saat usianya merambat tua. Apalagi sejak pamannya terkena stroke dan terpaksa tinggal di sebuah rumah jompo. Begitulah hidup. Sekali berarti, sudah itu mati. Dan Tantri tak mau Karrel mengalami hal yang sama. Tapi rasanya bujukannya sia-sia.


Lalu keduanya berpisah begitu saja. Mengambil langkah masing-masing ke tempat yang dituju. Hal yang tak pernah Tantri sadari sebelumnya. Karrel yang dulu selalu ada bila dia butuhkan, yang selalu melindungi dirinya saat diperlukan. Ternyata Karrel bisa begitu keras dengan kemauannya jadi musisi. Beberapa lama Tantri berpikir, jangan-jangan dirinya yang terlalu memaksa selama ini. Hhh..., Tantri menyesal telah memaksa Karrel untuk memilih. Tapi nasi sudah menjadi bubur, keputusan sudah diambil. Dan kini Tantri harus melangkah sendiri di kampus UNIMA ini. Tanpa Karrel....


*


Hariawan sadar ada sepasang mata yang sedari tadi memandanginya dengan teliti. Gadis itu duduk di barisan terdepan, seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus panjang sebahu. Gadis itu yang selama tiga hari ini melihatnya seakan ingin menjelajahi setiap sudut wajahnya, membuatnya agak risih. Tapi dipandangi gadis secantik itu, apa ruginya sih ? Hhmm.... Gadis cantik.... Semalam tadi Linda sudah menelponnya, hari ini mereka akan bertemu di warung sate Pak Kangsa di alun-alun. Linda..., gadis yang digilainya setengah mati sejak mereka mengambil mata kuliah stastistik. Pendekatan yang tidak mudah, Linda cukup selektif dengan orang-orang yang dikenalnya. Dan Hariawan senang bukan main begitu cintanya berbalas. 


Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore ketika session terakhir selesai dibahas. Hariawan tersenyum sendiri saat melihat pipi Tantri yang merona karena terpergok memandanginya. Dalam hati, Hariawan merasa senang. Jarang-jarang ada gadis semanis itu mau memandanginya hingga nyaris tak berkedip. Bagai magnet, setiap gerak-geriknya tak pernah luput dari mata indah gadis manis itu. Dada Hariawan seakan terpompa dengan rasa bangga. Dengan nakal, terbersit pikiran untuk menggodanya. Sengaja disenggolnya pundak si gadis saat melintas menuju pintu ruangan. Gadis itu sampai terhuyung ke samping. Ahh..., sudahlah.... Melihat matanya yang indah pun sudah cukup menggoda iman. Hariawan segera teringat akan janjinya bertemu dengan Linda malam nanti. Sudah sesore ini, dia masih harus pulang ke rumah kos untuk mandi sebelum sampai di alun-alun.


Hariawan menyempatkan diri menuju pos panitia, beberapa teman ditemuinya disana. Masing-masing sudah tampak kelelahan setelah menempuh segala kegiatan. Arman yang menjadi panitia untuk fakultas hukum tampak sedang berdiskusi dengan timnya di salah satu sudut pos. Tampak lembaran berkas tergeletak di hampir seluruh permukaan meja panitia. Hariawan memunguti kertas-kertas yang ada di mejanya, merapikannya, dan menyimpannya ke dalam laci. 


Ada beberapa orang yang bersama-sama dengannya menjadi panitia untuk OSPEK di bagian fakultas ekonomi saat ini. Ada Tari si Bendahara, Budi si Sekretaris, Surya untuk seksi Distribusi dan Perlengkapan, Wibi untuk seksi Keamanan sekaligus Kesehatan, Sari untuk seksi Konsumsi, Baskoro yang memegang seksi dokumentasi, dan beberapa orang lainnya yang menjadi penggerak di seksi umum. 


Tari yang bertugas jadi bendahara anak ekonomi juga tengah sibuk dengan urusan laporan keuangan. Tak boleh ada yang terlewat, semua hitungan harus diperiksa dengan teliti. Budi, nama lengkapnya Budianti, seorang gadis berbadan mungil yang menjadi sekretaris panitia fakultas ekonomi, sedang sibuk mengetik selebaran untuk dibagikan besok pagi. Rencananya besok pagi akan dilangsungkan upacara pembubaran. Baskoro yang diserahi bagian seksi dokumentasi tak pernah lepas dari kamera yang selalu tergantung di lehernya. Beberapa mahasiswa akan dipanggil ke tengah lapangan sebagai wakil dari semua mahasiswa yang diterima tahun ini. Pak Rektor akan memimpin penanggalan tanda peserta orientasi, lalu secara simbolik akan mentahbiskan mereka menjadi mahasiswa resmi di kampus ini. Semua jadual sudah ditentukan, tugas Hariawan sekarang adalah berkoordinasi dengan panitia fakultas-fakultas lainnya agar persiapan pelaksanaan upacara besok pagi berjalan sesuai dengan rencana.


"Tadi ada yang pingsan di Ruang E...", kata Wibi saat mendekat. 
"Oh ya ?! Berapa orang ?", tanya Hariawan.
"Cuma satu, cewek. Katanya tadi pagi lupa tidak sarapan...", sambung Wibi lagi. Hariawan menggelengkan kepalanya.
"Baru OSPEK..., apa jadinya kalau ikut kegiatan lain ?", gumam Hariawan sambil menunduk membereskan tasnya. Wibi tak begitu mendengar perkataannya.
"Kau bilang apa ?", tanya Wibi.
"Tidak apa-apa.... Moga-moga saja besok tidak terjadi lagi...", kata Hariawan sambil tersenyum dan menepuk pundak kiri temannya. Wibi mengangguk-angguk. Tiba-tiba terdengar jeritan Budi dari meja Baskoro. Semua mata tertuju padanya....


"Apaan sih ?", tanya Tari penasaran. Di tangan Budi terdapat selembar foto hasil jepretan Baskoro. Wajah Budi memerah dan bibirnya tersenyum kesal.
"Masa aku lagi begini dipotret juga sama Baskoro ! Nyebeliiiin...!!!!", protes Budi sambil mempertunjukkan foto dirinya yang diambil oleh Baskoro di Ruang E saat mengupil. Baskoro tersenyum-senyum geli melihatnya.
"Makanya kalau mau ngupil, liat-liat dulu tempatnya.... Yang lain sedang serius mendengar ceramah, eh...kamu seenaknya saja ngupil. Aku jepret saja pake lensa zoom, kena deh !", jawab Baskoro tak mau kalah.
"Awas kalau nanti kamu pasang foto ini di ECOS !", ancam Budi. ECOS adalah majalah resmi Fakultas Ekonomi di kampus ini.
"Terserah aku lah..., kalau kamu mau fotonya tidak aku masukkan, ada syaratnya...", bujuk Baskoro.
"Apa ?", tanya Budi kesal.
"Mau dong jadi pacarku...", kata Baskoro tanpa rasa sungkan di tengah kerumunan anak-anak panitia. Tidak ada yang tak tahu seperti apa sukanya Baskoro pada Budi. Pemuda bertinggi badan lebih dari 185 cm itu sudah lama naksir Budi yang tinggi badannya tak lebih dari 155 cm. Dunia memang penuh warna.
"Ogah !", jawab Budi sebal. Dilemparkannya lembaran foto itu ke arah Baskoro. Semua orang tersenyum geli melihat Budi yang sedang ngambek. Para penonton lalu bubar setelah pertunjukkan drama satu babak itu selesai.


*


Kaki Hariawan tengah melangkah ke halaman parkir yang terletak di depan kantor administrasi ketika dia melihat gadis manis itu disana. Gadis itu sedang berjongkok di samping sepeda motornya yang tampak bermasalah. Hariawan mendekat untuk menyapa....


"Ada masalah ?", tanyanya pada Tantri. Gadis itu menoleh dan terkejut ketika melihat wajah Hariawan berada di belakangnya. 
"Sepeda motorku gak mau nyala...", ujarnya kikuk. Tak disangka dia akan bertemu pemuda itu disini. Hariawan menunduk untuk melihat-lihat motor itu, Tantri membiarkannya saja. Dia malah bergeser ke samping agar Hariawan bisa memeriksa sepeda motor itu dengan lebih leluasa. Tantri mengamatinya dari belakang, Hariawan tampak cukup mengerti dengan yang dia lakukan. Tak beberapa lama, Hariawan mencoba menghidupkan mesin motor itu. Beberapa kali dicoba, dan akhirnya motor itu menyala juga. Tantri lega sekali, kalau pemuda itu tidak membantunya, entah apa yang akan terjadi padanya....


"Bensinnya kemasukaan air. Lain kali kalau beli bensin ke pom bensin saja, jangan beli eceran di pinggir jalan...", nasehat Hariawan padanya. Tantri tersipu mendengarnya, dia heran bagaimana Hariawan tau dimana dia biasa membeli bensin selama ini. Jalan yang lumayan memutar dari rumahnya ke pom bensin terdekat membuatnya malas membeli disana. Biasanya Tantri membeli bensin literan di depan kompleks saja. Tapi nasehat Hariawan itu menyadarkannya akan pentingnya membeli bensin dari tempat yang seharusnya. Tantri mengangguk dengan canggung....


"Terima kasih, Mas...", katanya.
"Hariawan. Namaku Hariawan...", kata Hariawan mengenalkan diri. Tentu saja gadis itu sudah tau namanya di ruang kampus tadi. Tapi memperkenalkan diri dengan lebih formal sepertinya tidak ada salahnya.
"Oh..., eh..., Tantri.  Saya Tantri.... Terima kasih..., Mas Hariawan...", sahut Tantri dengan senyum yang canggung. Berhadapan dengan pemuda berwajah ganteng itu membuat dadanya berdeburan tak menentu. Hariawan balas tersenyum, dia lalu pamit menuju sepeda motor tua berwarna putih bermerek YAHAMA keluaran tahun '70-an. Sebuah sepeda motor yang cukup antik untuk jamannya. Sepeda motor itulah yang dulu telah menghantarkan Bapaknya menjadi seorang insinyur elektro, sarjana pertama kelahiran desa asal keluarga Bapaknya itu di kota Mojokerso sana. Hariawan memasukkan kunci ke dalam lubangnya, menyalakan mesin dan bergegas menuju pintu parkir yang telah dijaga oleh Pak Sarmin, satpam kampus yang sudah puluhan tahun mengabdi di UNIMA ini. Tantri dan sepeda motornya sudah tak lagi terlihat, hanya berpuluh-puluh mahasiswa lain yang juga bersiap keluar dari halaman parkir.


Mata yang indah.... Hariawan terkenang-kenang mata berbulu lentik yang dimiliki gadis itu. Tantri..., Hariawan membisikkan nama itu dalam hati. Pipinya yang merona, senyumnya yang kikuk, dan tatapan mata cantiknya yang selalu mengekor kemana pun dia berdiri. Hariawan merasakan sensasi yang begitu lain bila dibandingkan rasa cintanya pada Linda. Ada ketulusan dalam naifnya tatapan gadis itu padanya. Hal yang tak mungkin dijumpainya pada diri Linda yang sempurna dengan segala kedewasaannya. Hhh..., Hariawan mengutuki dirinya sendiri karena terus saja memikirkan gadis itu. Gas motor pun dipacu, malam ini dia harus bertemu Linda di alun-alun.


*


Herman mengernyit melihat Linda yang tiba-tiba terlihat sibuk merapikan meja kerjanya. Si Penghuni Terakhir..., itu label yang diberikan teman-teman sekantor pada gadis manis yang sekarang menjadi staf personalia di perusahaan ini. Konon Linda diterima melalui seleksi yang langsung diadakan di kampus asalnya bersama kira-kira 600 kandidat yang lain dari berbagai tahun kelulusan. Gadis yang cemerlang, tersaring dari 8 orang finalis yang diberi kesempatan wawancara terakhir dengan direktur personalia. Herman mengaguminya. 


"Mau kemana ?", tanya Herman iseng. Linda mengangkat kepalanya, senyumnya yang manis seperti sihir yang membuat Herman sejenak terpana....


"Ada janji sama temanku, Mas...", jawab gadis itu. 
"Teman apa pacar ?", tanya Herman dengan senyum menggoda. 
"Aku kan sudah dewasa, masak aku gak boleh pacaran ?", jawab Linda tak kalah heboh. Dia tersenyum-senyum melihat Herman mengacung-acungkan jari telunjuknya.


"Jangan pulang malam, ya ?! Nanti dimarahi Mama, lho !", kata Herman sok tua. Linda hanya membalas dengan senyuman, dia lalu melambaikan tangannya dan berpamitan.


Herman menatap punggung gadis itu hingga tak lagi terlihat dari pandangan. Diambilnya nafas berat menyadari betapa usianya sudah jauh merambat.


"Selamat Ulang Tahun, Sayang...", terngiang ucapan Ibunya lewat telepon saat usianya sampai ke angka 30, "...kapan Ibu dibawakan menantu ?", tanya Ibunya kala itu. Hhh..., sudah berulang kali dia berusaha mendekati perempuan. Tak terkecuali Norma yang juga satu atap kantor dengannya.


"Bawakan Ibu menantu orang Jawa. Kita ini orang Jawa. Kalau orang Padang itu tidak seperti orang Jawa yang serba mau pangerten dan nrimo. Lihat menantu Tante Anna itu, cantik sih, tapi kok yang dipikirkan cuma keluarga Padangnyaaa terus. Mas Gunawan jadi tidak sering lagi bisa berkumpul dengan kita setiap lebaran. Kan kasihan Tante Anna, to ? Sudah tua, hidup sendiri, anak-anaknya yang lain jauh.... Yang rumahnya terdekat, sama-sama di Jakarta, malah tidak sering ketemu.... Orang Padang itu sak karepe dewe...", kata Ibunya. Waduh..., padahal Norma itu berasal dari keluarga Padang. Dan Herman tahu betul kalau Norma tidak seperti yang Ibunya katakan tentang orang Padang.


"Kan tidak semua orang Padang seperti yang Ibu katakan itu. Orang itu dimana-mana sama saja, Bu. Orang Jawa juga banyak yang semaunya sendiri, mau menang sendiri. Apa tidak sebaiknya kita melihat seseorang dari pribadinya saja ? Masing-masing orang itu pasti punya kekurangan.... Iya kan, Bu ?", kata Herman dengan santun mengingatkan. Ibunya agak terpana mendengar perkataannya.


"Sudahlah.... Pokoknya kalau kamu mau berbakti pada Ibu, carikan Ibu menantu orang Jawa, bukan orang Padang. Gampang, to ?", kata Ibunya lagi. Herman cuma bisa menelan ludah mendengarnya. Baru saja dia bercerita tentang Norma yang sudah didekatinya selama empat bulan ini pada Ibu. Belum apa-apa, Ibunya sudah memberi lampu merah. Gagal sudah, empat bulan pendekatan berakhir sia-sia. Dan Herman terpaksa memutuskan hubungan itu.


"Ibumu itu ternyata kolot, ya ?", kata Norma dongkol. Herman mengangkat bahu dan kedua telapak tangannya.
"Maafkan aku, Norma. Tapi aku tidak bisa membantah kata Ibuku. Dia yang membesarkan aku sejak Bapakku tidak ada...", kata Herman pelan.
"Ibumu kolot, dan kamu cukup bodoh untuk tidak membuatnya mengerti", kata Norma ketus, "...Lalu untuk apa kita berdekatan selama empat bulan ini ? Semua sia-sia....!", sambungnya lagi. Dengan gusar dia bangkit dan berbalik meninggalkan Herman yang termangu-mangu sendirian. 


Herman menyesal bukan main. Norma pindah ke kantor lain tak lama sesudahnya. Herman tahu, dialah yang menyebabkan Norma tidak nyaman lagi bekerja satu kantor dengannya. Dan sekarang hadir Linda, staf baru yang menyegarkan suasana kantor dengan keluguan sekaligus keluasan pengetahuannya. Cuma perlu diajari sebentar, Linda pasti akan bisa menghandle semua tugas dengan sangat prima. Herman cukup puas mendapat bantuan dari pegawai yunior seperti Linda. Memberikan pesona tersendiri di atas kekagumannya pada  penampilan penuh energi gadis itu. Diam-diam Herman berharap gadis itu juga suka padanya. Tapi Linda sudah punya pacar ! Hhh..., gadis semanis itu, tentu saja sudah punya pacar. Tapi dengar-dengar pacarnya masih kuliah. Artinya dia lebih mapan dibanding pemuda itu. Bukankah dirinya sudah punya penghasilan yang pasti lebih lumayan dibanding pacar Linda yang masih mahasiswa itu ? Tapi..., siapa tahu ?


***




BAB II. Bunga-Bunga Wangi Padang Rumput


"Hari !", terdengar teriak Linda memanggil, tangannya melambai-lambai. Sebentar tadi Hariawan memang sempat celingukan mencari dimana kira-kira Linda duduk. Rupanya gadis itu mengambil tempat paling dekat dengan wastafel yang menempel di dinding belakang restoran. Hariawan mengayunkan langkahnya ke meja Linda, senyum sumringah gadis itu begitu menghangatkan.  Angin  yang berhembus kencang di sepanjang perjalanan menuju rstoran itu membuat kedua tangan Hariawan terasa beku. Musim pancaroba sudah datang. Sebentar lagi mungkin akan tiba musim penghujan, membawa butiran-butiran langit membasahi bumi. Waktu sudah menunjukkan pukul 6.55. Cuma 5 menit lebih awal dari janji mereka yang bersepakat akan bertemu jam 7 malam. Hariawan mengambil kursi lalu mendudukkan dirinya di depan Linda. Sebuah buku menu bergambar semacam potongan steak dan segala perlengkapannya tampak begitu menggugah selera. Linda mengambil sebuah buku menu, lalu mengambilkan sebuah lagi untuk Hariawan.


"Mau makan apa ?", tanya Linda.
"Ini restoran mahal, Lin...", kata Hariawan tak menjawab. Dia masih sibuk melihat-lihat sekeliling yang dipenuhi orang-orang kelimis berdasi dan para wanitanya berhak tinggi. Sebentar dipandanginya dandanannya sendiri. Cuma tampil dengan T-Shirt lama, celana jeans dan jaket lusuh terbuat dari kulit yang entah apa jenisnya. 
"Sudahlah.... Kamu mau makan apa ?", tanya Linda lagi. Hariawan mencoba membaca daftar makanan dalam buku menu itu. Beberapa judul makanan yang terdengar asing terpampang disana. Hariawan yakin menu itu disusun dengan bahasa Perancis yang sama sekali tak dia pahami. Tapi dari gambarnya, Hariawan tahu kalau restoran ini menjual berbagai jenis steak. Steak ala Perancis ? Bibir Hariawan tersenyum sendiri. Yang dia dengar orang Perancis sangat suka makan bekicot. Tapi dia belum tahu kalau ternyata orang Perancis juga suka makan steak. Ahh..., dimana-mana yang namanya daging bakar pasti enak. Begitu Hariawan menyimpulkan. 
"Aku tidak tahu..., kau saja yang memilihkan", jawabnya kemudian. Linda segera memanggil seorang pelayan. Dia memesankan beberapa jenis makanan dan juga minuman. Hariawan mencium lengan jacketnya, agak apek. Dia menyesal mengapa tadi sampai lupa memakai tidak memakai parfum. 
"Aku pesankan dua steak sapi dan dua lemontea ice saja, ya ?", kata Linda sepeninggal sang pelayan restoran. 
"Apa saja lah.... Ada cerita apa ?", tanya Hariawan.
"Di kantor ? Wah, aku bersyukur banget punya senior yang baik dan penuh perhatian. Namanya Mas Herman. Dia mengajariku segala macam. Orangnya serius, tapi kadang juga bisa melucu. Dan kamu tahu nggak ?, Mas Herman itu lulusan terbaik kampus kita untuk jurusan Psikologi Perusahaan 7 tahun yang lalu, lho ! Hebat, ya ?!", kisah Linda penuh semangat. Linda sedang dalam masa bulan madunya dengan pekerjaan yang baru setengah tahun ini didapatkannya setelah lulus sarjana. Hariawan tertinggal beberapa mata kuliah darinya, IPK yang tinggi memungkinkan Linda mengambil kredit mata kuliah lebih banyak setiap semesternya. Ngebut seperti kereta ekspress. Wusss.... Tahu-tahu Linda lulus lebih dulu. Hariawan harus dengan sabar melewati masa-masa sendirinya di kampus. Kadang ngelangut di perpustakaan tanpa seorangpun menemani seperti ketika dulu Linda belum lulus dari kampus. 
"Eh ! Kok malah ngalamun ?", ledek Linda. Hariawan gelagapan. 
"Aah.... Capek, nih.... Beberapa hari ini aku memimpin OSPEK mahasiswa baru. Dari pagi jam 6 sampai malam jam 7 baru kelar. Untung hari ini persiapan terakhir untuk penutupan acara besok pagi, jadi aku bisa pulang lebih awal. Eh..., siapa tadi ? Mas Herman ? Jadi... kenapa dia ?", tanya Hariawan.
"Mas Herman itu managerku. Dia sedikit bicara, tapi aku sih merasa sebenarnya dia orang yang sangat perhatian pada anak buahnya. Buktinya, dia mau mengajariku segala macam. Kalau kata Bu Anjar yang di bagian marketing sih, Mas Herman itu dulu pernah pacaran sama staffnya yang bernama Norma. Tapi mereka sudah putus karena Ibunya Mas Herman tidak mau punya menantu orang Padang. Kasihan, ya ?", celoteh Linda lagi. Hariawan manggut-manggut. Perbincangan mereka kemudian sedikit terganggu dengan kedatangan sang pelayan yang membawakan pesanan mereka.


"Pesanannya sudah tersaji semua ya, Mbak ?", tanya si pelayan dengan sopan. Linda mengangguk puas. Si pelayan lalu mempersilakan mereka untuk menyantap hidangan sebelum dia berlalu kembali ke dapur.


"Harganya berapa, Lin ?", tanya Hariawan iseng. Linda sedang sibuk mengiris daging bakar di atas piringnya yang lebar.
"Tidak usah ditanya harganya, yang penting kita makan saja...", jawabnya dengan senyum dikulum. Hari ini dia baru saja mendapat gajinya yang ke-enam sejak diterima bekerja di perusahaan. Genap enam bulan masa percobaan, dan kemarin SK pengangkatannya sebagai pegawai tetap telah diterimanya dari tangan Herman. 


Hariawan menatapi piring steak yang tersaji di hadapannya. Baru kali ini dia melihat daging bakar sebesar itu. Biasanya di rumah Ibu cuma terhidang empal yang diiris tebal dengan ukuran kira-kira 5 x 5 x 1 cm. Itupun harus dibagi dengan seluruh penghuni rumah, masing-masing cuma dapat dua potong. Dan daging di depannya kini dihidangkan dalam potongan kira-kira 12 x 18 x 2,5 cm ! Hariawan menelan ludah. Pasti daging sebesar itu akan sangat mengenyangkan. Pantas saja bule-bule itu badannya besar-besar, makannya saja berporsi-porsi lebih banyak daripada orang Indonesia yang prianya rata-rata cuma setinggi 165 cm. Dilihatnya Linda yang sedang makan dengan lahap. Hariawan pun mulai mengiris steaknya dengan pisau dan garpu yang tersedia. Dicobanya sepotong daging, lalu dikunyahnya dengan cermat. Hmm..., daging yang empuk ! Tidak alot dan berlemak seperti steak kaki lima yang biasa disantapnya bila sedang banyak rejeki hasil berjualan T-Shirt. Iseng-iseng, Hariawan dan Baskoro memang membuat usaha penyablonan T-Shirt sendiri. Lumayan juga hasilnya, paling tidak keuntungannya bisa dipakai untuk membeli buku-buku bagus di toko buku Griyamedia dan memenuhi biaya makan tiap bulan.


"Enak gak ?", tanya Linda. Hariawan mengangguk-angguk senang.
"Ini tebal dan empuk !", kata Hariawan. Linda tersenyum.
"Aku tahu kamu akan senang makan disini. Bos di kantorku sudah beberapa kali mengajak kami makan disini. Dan menu ini yang paling banyak dicari pelanggan. Mas Herman juga suka pesan menu ini. Dulu aku pikir pasti dagingnya alot. Tapi ternyata empuk banget. Enak kan ?!", tanya Linda mengulang. Hariawan mengangguk lagi, lalu meneruskan mengiris potongan daging di atas piringnya. 


"Mas Herman itu sudah punya rumah sendiri di Jaka Sampurna, Bekasi. Kamu harusnya kenalan dengannya. Dia itu orang muda yang sukses dalam karir. Setidaknya untuk usia semuda dirinya, dia termasuk berhasil ", kisah Linda berbunga-bunga. Hariawan tersenyum saja mendengarnya. Hhh..., keuntungan hasil penjualan kaos memang cuma dua setengah jutaan per bulan per tahun. Itu sudah lumayan banyak dibanding saat dirinya dan Baskoro memulai berjualan T-Shirt hampir tiga tahun yang lalu yang per bulannya paling-paling cuma laku 25 buah.


"Bagaimana mahasiswa barunya ? Asyik-asyik gak ?", tanya Linda mengalihkan topik pembicaraan.
"Lumayan. Setidaknya lebih menurut daripada mahasiswa baru yang diterima tahun lalu. Yang sekarang ini sepertinya juga lebih banyak yang pintar", kisah Hariawan.
"Hmm.... Tidak percuma kalau selama lima tahun ini kampus kita menggenjot mutu, ya ? Sekarang peminat yang ingin masuk ke kampus kita makin lama mutunya juga makin bagus. Tidak sia-sia Pak Billy mengirim para dosen untuk lebih banyak menimba ilmu untuk mengambil gelar di strata berikutnya. Waduh..., aku jadi rindu sama teman-teman kita...", kata Linda sedikit sendu. Hariawan tersenyum kecil.


"Mereka baik-baik saja. Mereka bangga karena kamu sudah berhasil lulus dan bekerja lebih dulu. Budiati sangat kagum denganmu. Begitu juga dengan Tari dan Sari yang selama ini begitu aktif di senat ", kata Hariawab menimpali.


"Kapan targetmu lulus, Har ?", tanya Linda tiba-tiba. Hariawan sedikit tertegun mendengarnya.
"Moga-moga tahun ini sudah selesai...", jawabnya tak pasti. Pak Harjo, dosen pembimbing skripsi yang perfeksionis, selalu menuntutnya untuk bisa menyusun skripsi sesempurna mungkin. Lembar demi lembar yang telah disusunnya, telah bolak-balik direvisi ulang. Sudah sejak dua semester lalu dia menyusun skripsi itu, tapi tak juga kunjung selesai.


"Kita pulang ?", tanya Linda. Hariawan mengangguk. Linda lalu memanggil seorang pelayan untuk meminta bill pembayaran. Setelah membayar semua yang dipesan, mereka berdua berjalan keluar restoran. Keduanya lalu berjalan menuju tempat parkir sepeda motor. Linda selekasnya membonceng di belakang saat Hariawan telah siap dengan motornya yang sudah dinyalakan mesinnya.


*


"Tantri ada, Tante ?", tanya Karrel lewat telepon. Bu Made yang menerima telepon itu. 
"Belum pulang. Ada pesan untuk Tantri ?", Bu Made balik bertanya.
"Tidak, sampaikan saja kalau saya akan pergi ke Bandung sampai dua minggu nanti, Tante", jawab Karrel.
"OK, nanti Tante Made sampaikan pada Tantri, ya ? Itu saja ?", tanya Bu Made lagi.
"Iya, Tante. Itu saja. Salam untuk semua, Tante...", pamit Karrel sebelum menutup teleponnya.
"Terima kasih, Karrel...", sambut Bu Made. Gagang telepon baru saja diletakkan ketika tiba-tiba pintu depan terbuka. Tantri baru saja sampai !


"Karrel baru saja telepon...", kata Bu Made mengabarkan. Dada Tantri berdesir mendengar nama itu diucapkan. Karrel.... Apa kabarnya sekarang ?
"Dia titip pesan pada Ibu untuk disampaikan padamu. Katanya dia akan ke Bandung sampai dua minggu mendatang.... Dia juga titip salam untuk semua...", kata Bu Made lagi. Tantri mengangguk tanda mengerti. Saat SMA, tak pernah seharipun dia lewatkan waktu untuk bertemu Karrel. Selama masa sendirinya seperti sekarang ini, rasanya bilik yang dulu sempat disinggahi Karrel dalam hatinya begitu kosong, hampa.... Karrel yang lucu dengan gurauannya, Karrel yang selalu menjaga, Karrel yang bersuara meski serak tapi merdu bila bernyanyi. Cocok sekali menjadi rocker. Bakat nge-bandnya memang hebat. Bisa membuat para penonton menggeliat seperti cacing kepanasan setiap kali suaranya yang melengking menghentak panggung. Sudah pernah menjuarai ajang Lomba Band untuk jingle sebuah produk mie instant bersama teman-temannya, Karrel sangat disukai penggemar fanatiknya yang kebanyakan berasal dari kalangan remaja. Tak terkecuali gadis-gadis bunga sekolah yang tergila-gila padanya. Sesuatu yang pernah Tantri pertanyakan mengapa dirinya yang terpilih menjadi pacarnya di sekolah, bukan yang lain.


"Karena aku suka padamu...", begitu katanya dengan singkat dan padat, seperti biasa. Begitulah Karrel, bibirnya tak pernah dipenuhi bunga-bunga. Meski sering bergurau, tapi dia merumuskan cinta dengan sederhana. 








Berharap


terusin entar....

Minggu, 06 Juni 2010

MENGGENGGAM MENTARI

"Rokok..., rokok..., rokok..... Tissue basah, tissue kering, permen kopi, permen lolipop.... Kacang goreng, kacang goreng, kacang..., kacang..., kacang.... Rokok, Pak ? Tissue..., tissue..., tissue.... Tissue, Bu ?", Linggar lincah menawarkan barang dagangan dalam asongan yang dibawanya. Tangannya sebentar meraba gulungan uang dalam saku celananya, baru saja tadi dihitungnya dengan teliti. Lumayan, sesiang ini sudah mendapat 24.500 rupiah, paling tidak akan mendapat untung 5000 rupiah. Barang dagangan yang didapatnya dari Haji Deden itu belum dibayar, masih diutang. Keadaan Enyak yang lumpuh dan Babe yang sudah tidak lagi bisa diajaknya bicara membuatnya memilih untuk mengasong di kereta jurusan Merak-Jakarta Kota. Semua dilakoninya sepulang sekolah. Linggar ingin sekolah setinggi-tingginya, meraih cita-cita untuk jadi ahli komputer seperti Bang Ali yang dikenalnya di masjid dekat sekolah. Bang Ali itu orang hebat, kabarnya dulu Bang Ali sekolah komputer di Bandung, jadi teknisi komputer di perusahaan asing dengan gaji 5 juta saban bulan. Kepala Linggar sampai berdenyut-denyut mendengar jumlahnya. Tak tahu apa yang akan dibelinya untuk lauk makan tiap harinya dengan uang sebanyak itu. Yang paling kerap disantapnya selama ini cuma nasi putih berlauk ikan asin bakar dan sambal rawit saja. 

Seorang lelaki separuh baya melambaikan tangannya dan mengkode 2 batang rokok Bintoel Ungu. Linggar bergegas mendekat, dia tak mau kehilangan rejeki barang sedikit. Dilayaninya bapak itu dengan ramah dan sabar. Beberapa lembar uang diterimanya dengan rasa syukur, dilipat pelan-pelan dan dimasukkannya ke dalam saku celana, bersatu dengan gulungan uang yang telah diperolehnya. Bapak itu pasti sedang pas-pasan sakunya. Kalau sedang banyak uang, pasti bapak itu akan memilih untuk meminta 2 batang rokok Djie Ro Loe, rokok yang kata orang punya cita rasa paling mantap. Linggar bersyukur masih banyak orang yang tidak peduli larangan merokok, paling tidak itu akan membuatnya masih bisa mendapat rupiah untuk bertahan hidup dengan asongan yang dibawanya. Asap mengepul melewati lubang hidungnya, memaksa Linggar untuk mengernyitkan kedua kelopak mata karena perih yang dirasanya. Linggar tak pernah tega merokok. Dia tahu betul berapa harga rokok yang dijualnya. Dia tak tega membuang uang untuk merokok yang pastinya tak akan membuat kedua orangtuanya kenyang. 

Linggar beringsut menjauh dan mulai menawarkan lagi asongannya dari gerbong ke gerbong. Derak-derak roda besi yang beradu dengan rel menambah bisingnya suara dalam kereta yang sudah ramai dengan riuhnya suara cakap-cakap para penumpang. Sebagian tertidur sambil berdiri, bersandar ke dinding gerbong yang berguncang-guncang tiap kali roda besi kereta beradu dengan sambungan rel. Linggar bermandi peluh, kaos oblong warna birunya sebagian telah basah oleh keringat. Sungguh siang yang panas di dalam gerbong yang penuh sesak dengan penumpang. Beberapa pengamen bernyanyi dengan gitar mereka. Beberapa bersuara indah, beberapa lagi bersuara sumbang bagai deritan sambungan antar gerbong yang selalu teriak setiap kali melintas di belokan. Sepasang waria bernyanyi di gerbong depan, melenggak-lenggok dengan rok mini berstoking warna hitam. Linggar bergidik melihatnya. Tampak seorang di antara keduanya mencolek lengan seorang pria muda berpenampilan perlente dengan dasi dan sisiran rambut klimis seperti salesman. Si pria bertampang salesman tampak rikuh menghindar. 

"Tissue basah, Bu.... Tissue kering juga ada....", tawar Linggar pada seorang ibu berjilbab yang menatapnya dari tempat duduk dekat jendela. Beruntung sekali ibu itu, banyak kursi tanpa dudukan di gerbong ini. Sebagian besar rusak karena ulah segelintir orang tak bertanggung-jawab, memaksa para penumpang untuk duduk cuma bertumpu pada gagang besi rangka kursi yang sudah tak lagi mengilap seperti ketika pertama kali kereta ini diluncurkan beberapa tahun lalu.

"Ada rokok Djie Ro Loe, nggak ?", tanya si ibu. Linggar mengangguk, dengan cekatan dia mengambilkan sebungkus rokok Djie Ro Loe dari susunan barang dalam asongan. Ibu itu lalu mengambil selembar uang seratusan ribu rupiah dari dalam dompet, lalu mengulurkannya pada Linggar.

"Nggak ada uang kembalian, Bu.... Saya baru dapat sedikit.... Ada yang pas nggak, Bu ?", tolaknya dengan halus. Ibu itu menggeleng, lalu dia mengulurkan lagi lembaran uang itu pada Linggar. Linggar tak mengerti....

"Ambil saja kembaliannya.... Kamu masih sekolah kan ?", tanya ibu itu. Linggar mengangguk.

"Ambil kembaliannya untuk membayar biaya sekolahmu...", kata si ibu itu lagi. Linggar tersenyum senang, ini sungguh rejeki yang tak terduga.  Linggar berterima-kasih berulang-ulang, lalu dia menyimpan dengan hati-hati lembaran uang seratus ribuan itu dalam saku celananya. Sepertinya hari ini sudah cukup, Linggar ingin bisa cepat-cepat pulang. Dengan semangat dia melangkah mendekati pintu keluar, sebentar lagi kereta akan memasuki stasiun Kebayoran Lama. Linggar akan turun disana, menyeberang rel, lalu menghadang datangnya kereta jurusan Jakarta Kota-Merak kelas ekonomi di jalur sebaliknya.

*
Dullah duduk mencangkung di depan rumah, sebentar-sebentar matanya berputar-putar melihat sekelompok anak yang bermain-main di sepetak tanah yang masih tersisa di antara rumah-rumah tripleks sederhana yang tumbuh berhimpitan seperti susunan korek api di warung Haji Deden. Sering bibirnya tersenyum-senyum sendiri, entah apa alasannya. Tak pernah ada yang tahu apa yang dipikirkan lelaki itu semenjak sawahnya habis disulap menjadi jalan tol.  Tak pernah sepeserpun rupiah didapatnya sebagai ganti rugi.

“PBB ade ?”, tanya kepala desa waktu itu. Dullah menggeleng, sawah itu didapatnya dari peninggalan almarhum Babenya yang meninggal empatbelas tahun lalu. Giriknya sendiri masih dipegang oleh seorang Uwaknya yang waktu itu jadi sesepuh kampung.  Tak dinyana urusan tanah sawah bisa serumit itu. Seluruhnya ada 0,5 hektare, dan Dullah tak mampu menghadirkan surat pembayaran PBB barang sekali. Jaman Babe Marta’I masih hidup, tak pernah ada orang yang mempertanyakan status surat tanah sawah itu. Semua orang di kampung juga tahu kalau tanah yang ada di sana milik keluarga Babe Marta’i.
Dullah pernah menanyakannya pada Wak Bokir, bukan orang yang ramah. Wak Bokir tak suka urusan tanah peninggalan Engkong Sholeh diusik. Selama ini memang Wak Bokir yang paling peduli dengan semua warisan Kong Sholeh yang meliputi rumah, sawah, kebun, dan sebuah masjid di tengah kampung. Kong Sholeh dulu seorang tuan tanah, kerja kerasnya sebagai petani dan pedagang beras mampu membuatnya menjadi orang terpandang di kampung ini.

Wak Bokir mendapatkan hampir seluruh peninggalan Kong Sholeh, dialah anak kesayangan Kong Sholeh yang telah sejak muda mau bersusah-payah meneruskan usaha Kong Sholeh, termasuk mengurus masjidnya. Hasil sawah dan kebun sangat mencukupi, sampai suatu ketika Wak Bokir mencalonkan diri jadi Lurah, bersaing dengan Pak Budi yang Kepala Sekolah SD Pamulang I. Aset tanah, sawah, dan kebun Kong Sholeh dijual satu-persatu demi mendapat suara pendukung. Simpatisan dihargai dengan jumlah uang yang diberikan oleh para calon Lurah. Padahal jauh hari Kong Sholeh pernah berpesan-pesan agar tak seorang pun anaknya boleh mencalonkan diri jadi Lurah. Kong Sholeh tak pernah suka pada politik dan kekuasaan. Baginya berdagang dan bekerja dengan ketekunan adalah hal yang paling dekat dengan kesejahteraan. Dan kesejahteraanlah yang akan membuat hidup manusia menjadi mulia. Bisa memberi sedekah bagi kaum fakir, menyantuni anak yatim, membangun masjid bagi kepentingan sesama. Itu pun sudah cukup. Tapi rupanya sepeninggal Kong Sholeh, keadaan menjadi berubah. Wak Bokir yang sudah mulai berkibar namanya dengan usahanya meneruskan usaha berdagang beras, mulai didekati para kenalan yang terjun di kancah politik. Pengaruh merekalah yang membuat Wak Bokir tergiur dengan jabatan Lurah. Hingga dia berani bertaruh dengan menjual aset peninggalan Kong Sholeh untuk modal menjadi Lurah di desa itu.

Dan kekalahan telak pun terjadi. Wak Bokir ternyata meleset memperhitungkan dukungan orang ‘pusat’ untuk jabatan Lurah. Pak Budi adalah adik lelaki dari istri Camat Pamulang yang ada kala itu. Dan amplop yang diberikannya untuk para pendukung yang datang bagai sungai yang tak pernah kering. Sampai kempis pundi-pundi Wak Bokir mengimbangi sepak-terjang pesaingnya itu. Wak Bokir pun menyerah ketika harta peninggalan Kong Sholeh jadi tinggal separuh. Hanya tinggal 2 hektare sawah, 1 hektare kebun, dan rumah yang ditinggali keluarga Wak Bokir sekarang. Semua diaku sebagai milik Wak Bokir.    Babe Marta’i hanya mendapat seperempat bagian sawah yang tersisa, Cuma 0,5 hektare sawah saja. Cukup untuk memberi makan istri dan seorang anaknya yang saat itu sudah dibangunkan rumah oleh Wak Bokir. Rumah sederhana, tidak sebesar rumah Kong Sholeh yang ditempati Wak Bokir dan keluarganya. Tapi Babe Marta’i adalah orang yang berpikiran sederhana dan tak pernah mengeluh. Seberapapun yang disisihkan untuknya oleh Wak Bokir, diterimanya dengan penuh rasa syukur.

“Bagian orang entu masing-masing. Masih bagus kite dapet setengah hektare sawah dari warisan Kong Sholeh. Wak Bokir entu ude nerusin usahe Kong Sholeh pake kerja keras sejak masih mude. Babe dulu juga diasuh ame die, ikut numpang makan di keluarganye. Babe lahir waktu Kong Sholeh ude berumur barang 54 taon, dan Engkong ninggal waktu Babe berumur 7 taon…. Waktu Engkong ninggal, Uwak lu ude berumur 24 taon. Jadi wajar kalau akhirnye Uwak lu nyang nerusin usahanye. Kalau bukan karena Uwak lu, barangkali Babe kagak bakal jadi kayak sekarang. Tanpa bantuannye ngerawat Babe, barangkali Babe kagak bakal dapet kesempatan punye anak dan bini nyang Babe sayangi dimari…, di rumah eni…. Kite kudu bisa bersyukur, Tong…”, kata Babe Marta’i kala itu.  Maka pesan Babe Marta’i pada Dullah adalah juga untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak diperkenankan olek Wak Bokir. Untuk Babe Marta’i, Wak Bokir ibarat ayah kedua dalam hidupnya. Maka Dullah diwanti-wanti betul untuk tidak melawan apapun yang diinginkan Wak Bokir.

Tapi kemudian Dullah harus menelan pil pahit ketika pembangunan jalan tol itu menelan sawahnya. Selama ini PBB dan girik tanah tempat tinggal dan sawah yang biasa digarapnya selalu diurus Wak Bokir. Dullah sudah meminta dengan sopan berkali-kali pada Wak Bokir mengenai berkas iuran PBB dan salinan girik itu. Tapi Wak Bokir tidak menggubrisnya. Maka Dullah tak bisa mendapat ganti rugi apapun atas tanah sawah yang dulu biasa digarapnya, pada PT yang menjadi pembangun jalan tol itu. Musibah beruntun terjadi ketika istrinya terpeleset jatuh dari kamar mandi dan mengalami patah tulang belakang. Ketiadaan biaya membuat istrinya tak tertangani dengan baik, dan akhirnya lumpuh separuh badan. Sementara Dullah yang terpaksa banting setir jadi tukang ojek, terpaksa harus merelakan sepeda motornya teronggok di kantor polisi setelah remuk dilindas truk pengangkut material pembangunan jalan tol saat bersenggolan di jalan. Untung Dullah selamat. Tapi tidak dengan otaknya yang makin lama makin dalam tertimbun tekanan. Dullah kehilangan pikirannya. Kerjanya sekarang cuma termenung dan duduk mencangkung di depan rumah. Badannya seringkali bergoyang-goyang ke depan dan belakang, dan matanya yang kian cekung berputar-putar memandangi setiap orang yang berlalu-lalang. Anehnya, air matanya sering kali menetes tiap kali melihat anak lelakinya semata wayang, meski tak sepatah kata pun terucap dari bibirnya. Linggar tahu air mata Babenya menunjukkan kasih-sayangnya.  

*

Kaki Linggar melompat dengan sigap ke atas lantai gerbong kereta jurusan Jakarta Kota-Merak. Tangannya menggenggam erat kotak asongan yang dicantolkannya di leher dan merapat ke dada. Sedapat mungkin dia menahan agar kotak itu tetap menempel di tubuhnya. Dia tak mau kotak itu jatuh berantakan seperti ketika dia masih baru-barunya menjadi pedagang asongan setahun yang lalu. Semua barang dagangan yang dibawanya berserakan kala itu. Membuatnya merugi lumayan banyak pada Haji Deden yang keesokan harinya masih saja mau menghutanginya kembali. Tapi hari ini Linggar sedang mujur, uang di sakunya sangat cukup untuk membayar hutangnya hari ini. Masih akan tersisa beberapa rupiah, pasti cukup untuk membelikan ibunya beras barang beberapa liter ditambah ikan asin untuk lauk besok.

Tiba-tiba seorang pria mencolek bahunya, Linggar menoleh….

“Kamu Linggar, kan ?”, tanya pria asing itu setengah berbisik. Lelaki berjaket coklat yang bertinggi badan kira-kira 175 cm, memakai kacamata hitam, dan sebelah tangannya tersembunyi dalam saku. Linggar tak kenal pria itu, tapi dia sungguh heran mendengar pria itu menyebut namanya. Linggar masih terpana, pria itu menariknya ke sudut gerbong yang terhalang tumpukan bangku kereta yang telah rusak di belakang.

“Berikan bungkus rokok ini pada ibu yang kau temui di gerbong kereta jurusan Jakarta Kota tadi besok pagi di jam yang sama dan gerbong yang sama. Kalau kamu menolak, kami tak akan segan-segan melenyapkanmu dan kedua orangtuamu yang lemah itu”, bisiknya di telinga Linggar dengan tangan mencengkeram kerah leher. Ini sebuah ancaman. Linggar langsung tahu kalau lelaki asing itu bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Lelaki itu menyodorkan sebungkus rokok merek Djie Ro Loe ke tangannya, dan memaksanya untuk menggenggam erat-erat barang itu. Tangan Linggar tergetar menerimanya, dadanya berdebur kencang karena takut. Nyalinya ciut. Bagaimana lelaki asing itu tahu keadaan orangtuanya yang tak berdaya ? Apakah selama ini lelaki asing itu telah mengawasi keadaan rumahnya tanpa dia sepengetahuannya ? Bibirnya akan berteriak ketika tiba-tiba lelaki itu membekap mulutnya.

“Jangan pernah berpikir untuk berteriak disini. Teman-temanku sudah mengawasi rumahmu. Kalau kamu menolak, aku akan memaksa mereka melenyapkan bapakmu yang sinting dan ibumu yang tak bisa berjalan itu. Jadi jangan coba-coba melawan !”, bisik lelaki itu tegas. Bahu Linggar bergetaran tak menentu, lelaki itu tahu perihal Babe dan Enyaknya.

“Berikan rokok itu besok pada ibu yang sudah memberimu selembar seratus ribuan itu. Jangan lupa ! Di gerbong yang sama, di waktu yang sama, di jurusan yang sama. Aku akan menunggumu di stasiun Kebayoran Lama untuk kiriman berikutnya. Paham ?!”, bisik lelaki itu lagi. Linggar menganggukkan kepala, kedua tangannya masih bergetar karena takut. Lalu lelaki itu mengendorkan bekapannya.

“Jangan takut. Yang ada dalam rokok ini bukan narkoba. Ini demi kepentingan negara…”, bisik lelaki itu sebelum berbalik dan meninggalkan Linggar sendirian di sudut gerbong. Lelaki itu melompat turun dari pintu gerbong segera setelah kereta memasuki stasiun Pondok Ranji. Linggar mengawasinya hingga punggung lelaki itu tak tampak lagi. Termangu, Linggar melihat bungkus rokok Djie Ro Loe itu di tangannya. ‘Kalau tidak mau menyampaikan pada ibu yang sudah memberiku uang tadi, aku dan orangtuaku akan dilenyapkan ! Itu artinya kami akan dibunuh !’, Linggar tercekat membayangkan apa yang bakal terjadi bila dia menolak. Dengar gemetaran, tangannya menyelipkan bungkus rokok bersegel itu di belakang punggung papan asongan. Kereta bergerak lagi ke arah Sudimara, disana Linggar akan turun dan pulang ke rumahnya.

Gerbong berjalan melambat kala memasuki stasiun Sudimara, kaki Linggar melompat dengan hati-hati ke atas lantai dasar stasiun. Jarak antara lantai gerbong dengan lantai dasar mencapai 1 meter, bukan hal mudah bagi siapapun untuk melompat dengan selamat, apalagi dengan barang bawaan asongan seperti yang dicangklong Linggar saat ini. Seorang nenek tua pedagang buah tampak kepayahan menurunkan kakinya dari atas lantai gerbong, keranjang besar yang dibawanya sudah diturunkan terlebih dahulu oleh seorang lelaki yang iba melihatnya. Kain nenek itu tergulung sampai ke pahanya yang kurus dan kendor, sama sekali bukan pemandangan yang menarik bagi siapapun yang melihatnya.

Linggar bergegas pulang, dirabanya gulungan uang yang tersimpan di saku. Teringat pada selembar seratus ribuan yang diterimanya dari ibu yang ditemuinya di gerbong jurusan Kota tadi siang. Entah mengapa sekarang dia merasa menyesal telah menerimanya. Andai saja dia tidak bertemu ibu itu di kereta, andai dia tidak menerima uang seratus ribuan itu darinya, tentu saat ini tak akan ada orang yang berniat mengancam jiwanya. ‘Tapi lelaki itu berkata kalau isi bungkusan ini bukan narkoba…’, batin Linggar sambil mengelus bungkus rokok yang masih bersegel itu. Itu melegakan. Setidaknya dia tak akan ditangkap polisi karena membawanya. Linggar pernah melihat bagaimana Mang Kodir yang juga berjualan asongan di kereta diborgol polisi karena kedapatan menjual ganja. Linggar tak mau mengalami hal yang sama. ‘Hmm… Lelaki itu juga berkata bila yang aku bawa ini untuk kepentingan negara….’, batinnya lagi. Kepentingan negara ? Apakah saat ini dia sedang berurusan dengan agen rahasia negara ? Dada Linggar bergetar penasaran. Melakukan hal untuk kepentingan negara adalah hal mulia. Apakah dia sedang ditunjuk menjadi kurir agen intelijen negara ? Kalau itu benar terjadi, pasti itu sangat berbahaya, sekaligus membangkitkan rasa penasarannya. Linggar merasa bukan siapa-siapa, dia tak berarti. Bila menjadi pesuruh bagi petugas negara untuk kepentingan negara, pasti dia akan merasa bangga melakukannya. Seseorang yang berdiri di belakang tiang listrik di sebelah warung kopi sekitar stasiun mengangguk padanya. Orang itu mengawasi. Kini Linggar tahu, dirinya tak sendiri. Pasti lelaki di belakang tiang listrik itu teman si lelaki asing yang telah memberikan sebungkus rokok tadi di kereta. Kuduk Linggar meremang, lelaki asing itu betul-betul tidak main-main dengan perkataannya.

Linggar mempercepat langkahnya, dia ingin segera sampai ke toko Haji Deden untuk membayar hutang dan membeli keperluan untuk Enyak dan Babenya. Lima liter beras, seperempat kilo ikan asin, seperempat kilo minyak goreng, dan sebungkus teh kering merek Sorso. Itu dirasa cukup banyak. Haji Deden tertawa senang ketika dia berkata mau melunasi hutangnya. Dengan senyum lebar pedagang toko terbesar di kampung Linggar itu menawarinya untuk mengambil barang dagangan lagi dari tokonya. Linggar mengangguk saja, uangnya masih cukup untuk membeli keperluan dagang besok pagi.

“Lagi banyak duit, Lu ?”, tanya Haji Deden.
“Iya, Be. Lumayan…”, jawab Linggar pendek. Dia tak mau pedagang berbadan gemuk dan ramah itu tahu kegelisahannya. Semua barang yang dibelinya dibawa dengan sebelah tangan. Sementara tangannya yang lain erat memegang kotak asongan. Kaki Linggar bergegas menuju rumah, dia ingin cepat-cepat melihat keadaan kedua orangtuanya yang serba kekurangan.

Pintu berderit terbuka ketika Linggar akan memasuki sebuah rumah semi permanen yang cuma punya dua kamar itu. Sebuah kamar untuk tidur, dan sebuah kamar lainnya untuk memasak, makan, dan sekedar menonton televisi hitam-putih, satu-satunya benda yang masih tersisa setelah Dullah, Babenya, kehilangan sawah dan sepeda motornya. Kamar mandi kecil ada di belakang rumah ini, dekat dengan kebun belakang yang cuma berukuran 2x3, hanya cukup untuk menanam beberapa batang singkong. Daun singkong dipetik untuk tambahan gizi yang cukup berguna bagi keluarganya yang sangat sederhana.

“Sudah pulang ? Tumben gini ari ude nyampe rumah ?”, sapa Enyak dari dalam kamar.
“Sudah, Nyak. Ni aye beliin beras ama barang keperluan laen…”, jawab Linggar sambil meletakkan bungkusan tas kresek ke sudut dapur. Enyaknya mengesot mendekat, kakinya memang lumpuh, tapi dia tetap bisa memasak dan melakukan hal lain seperti membersihkan bagian dalam rumah dan menyeterika baju. Si Enyak terpana melihat banyaknya barang belanjaan Linggar, tak biasanya anaknya belanja sebanyak dan selengkap itu.

“Banyak amat nyang dibeli ? Lu banyak duit ?”, tanya Enyaknya. Linggar tersenyum.
“Ada yang baek mau ngasih kita rejeki, Nyak. Katenye uang kembaliannya kagak usah dibalikin, buat aye aje…”, jawab Linggar.
“Syukur…syukur…. Jaman sekarang masih ada orang baek ama kite…. Moga-moga nyang ngasih duit jadi tambah kaye, banyak rejekinye, slamet idupnye….”, sahut Enyak. Linggar tersenyum pahit, uang itu memang cukup banyak untuknya. Tapi uang itu juga yang membawanya kepada si lelaki asing dalam kereta.

“Babe mana, Nyak ?”, tanya Linggar celingukan.
Disono noh, lagi tiduran di kamar. Biarin aje. Dari tadi pagi ngeliatin orang mulu di jalan. Kali kecapekan duduk di bawah pu’un. Nih, minum teh anget. Kalo ude cepetan mandi, ganti pake baju bersih. Tadi ade si Mirah nyamper kesini, nanyain PR matematika. Nyak jawab kagak ngarti. Nyak suruh aje si Mirah dateng lagi entar sore kalo dia emang perlu nanya… “, kata Enyak mengabarkan. Linggar mengangguk saja, diletakkannya kotak asongan dengan hati-hati di atas lemari baju, lalu dia mengambil handuk yang tergantung di jemuran di belakang rumah. Sebentar kemudian hanya terdengar suara guyuran air dari dalam kamar mandi.

*

Sepulang sekolah, Linggar cepat-cepat pulang dan mengambil kotak asongan yang disimpannya di atas lemari. Babenya tampak duduk di bawah pohon duku seperti biasa. Mencangkung sambil menggoyang-goyangkan badannya ke depan dan belakang. Nasi dan lauk ikan asin yang disiapkan Enyaknya dimakan dengan tergesa. Selesai makan siang, dia segera berlari ke stasiun kereta. Sebentar lagi kereta jam 13.50 jurusan Merak-Jakarta Kota akan segera sampai disana. Linggar tak mau kesempatan bertemu dengan ibu itu terlewat. Dia ingat betul ucapan pria asing yang kemarin siang ditemuinya di kereta. Ya !, sebungkus rokok yang disisipkannya di punggung papan asongan itu harus diberikannya kepada ibu itu. Atau dia akan celaka bila titipan itu tak sampai ke tangan ibu yang dituju.

Tepat jam 13.50, kereta itu datang juga memasuki stasiun. Suara gemuruh mesin lokomotif diesel terdengar memekakkan telinga. Linggar menghitung dengan teliti jumlah gerbong yang dilewatinya. Ibu itu kemarin ditemuinya di gerbong kelima. Dengan sigap kakinya melompat ke dalam gerbong kelima. Setelah celingak-celinguk ke kiri-kanan, akhirnya dilihatnya juga ibu yang kemarin ditemuinya. Wanita paruh baya itu melambaikan tangannya, Linggar mengangguk sopan. Dengan hati-hati dia mendekat ke arah wanita itu. Jilbab yang dipakainya memang tak bisa menunjukkan seputih apa rambutnya, tapi wajah wanita itu memang sudah tidak lagi muda.

“Bu…”, sapa Linggar.
“Ada Rokok Djie Ro Loe ?”, tanya ibu itu. Linggar mengangguk. Dirabanya bungkus rokok Djie Ro Loe yang terselip di punggung papan asongan, lalu diberikannya pada si ibu. Wanita itu menerima dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya menyodorkan selembar uang seratus ribuan.

“Maaf, Bu. Kali ini gratis saja…”, kata Linggar setengah berbisik. Dia tak mau menerima uang itu. Dia tak mau berurusan lagi dengan pria asing yang kemarin dia temui. Ibu itu mengernyitkan alisnya.
“Gratis ? Kamu bercanda ?”, tanya ibu itu. Linggar menggeleng.
“Tidak, Bu. Saya sungguh-sungguh. Uang yang kemarin masih cukup untuk membayar rokok ini. Terima kasih…”, kata Linggar menolak dengan halus.
“Ah…., sudahlah, Tong. Ibu juga punya anak-anak asuh di banyak tempat. Ibu suka membantu anak-anak yang mau berusaha dan tetap terus bersekolah. Seragammu yang membuat Ibu senang membantu. Beberapa kali Ibu lewat di daerah ini, Ibu selalu melihatmu berkeliling gerbong kereta untuk mengasong. Terimalah, kalau kamu menerima uang ini, artinya kamu sudah membuat hidup Ibu berarti…”, kata ibu itu dengan tatapan lembut. Linggar termangu. Ibu ini…, apakah dia juga teman pria asing yang ditemuinya kemarin ? Mengapa ibu ini tampak begitu tulus ? Tapi sudahlah…, bagaimanapun Linggar tetap takut kalau-kalau keluarganya terancam. Uang itu akhirnya diterimanya dengan sopan. Tak lupa Linggar mengucapkan terima kasih berkali-kali padanya. Uang itu lalu dilipat dan dimasukkan ke dalam saku celana. Linggar berjalan berkeliling kereta. Lalu berdiri mendekat ke pintu gerbong ketika kereta sudah memasuki stasiun Kebayoran Lama. Pria asing itu memintanya bertemu di tempat itu. Adakah pria itu disana ?

Linggar melompat turun dari lantai gerbong kereta. Agak sempoyongan karena harus menahan kakinya yang sedikit terpeleset oleh air hujan yang menggenang di tepian peron. Kereta tak lama singgah disana, tak lama sesudahnya kereta itu bergerak kembali melanjutkan jalannya menuju stasiun Jakarta Kota. Linggar melihat-lihat kesana-sini untuk mencari wajah lelaki yang kemarin ditemuinya. Tapi lelaki itu tak tampak batang hidungnya. Linggar terus saja mencari-cari lelaki itu, sampai akhirnya sebuah kereta yang berjalan di arah sebaliknya mendekat memasuki stasiun. Linggar bergegas menyeberang rel kereta, lalu berdiri menunggu datangnya gerbong ke tepi peron. Kakinya melompat naik ke dalam gerbong, dia mencoba terus mencari wajah lelaki asing itu. Tak ada juga yang mirip dengan lelaki asing itu disana. Linggar heran bukan main. Mengapa lelaki itu berkata akan menemuinya di stasiun Kebayoran Lama ? Apa maksudnya dengan urusan kepentingan negara ? Apakah lelaki itu berbohong ? Tapi pelan-pelan Linggar berubah lega, kalau lelaki itu sudah tidak tampak lagi di kereta itu, berarti tidak akan ada lagi orang yang akan mengancam keluarganya.

Linggar tetap waspada saat sampai di stasiun Sudimara. Dia melihat-lihat sekeliling dengan seksama, tak ada lagi lelaki asing lain yang bersembunyi di balik tiang listrik seperti kemarin. Tidak juga di samping warung kopi.Tidak ada lagi yang tampak mengawasi. Linggar betul-betul lega sekarang. Ancaman itu sudah tak ada lagi.

*
Pagi itu Linggar berangkat sekolah dengan berjalan kaki seperti biasanya. Dia cuma sempat makan lima sendok nasi dan sepotong ikan asin untuk sarapan. Air teh tawar yang disediakan Enyaknya sudah cukup untuk memberikan energi. Hari ini akan ada ulangan di sekolah, ulangan Matematika. Langkah Linggar tersendat saat melintasi masjid. Bang Ali tampak akan memasuki gerbang masjid peninggalan Kong Sholeh itu. Maklum, Bang Ali lah yang sekarang merawat masjid bersama dengan dua orang pemuda lainnya. Kata orang, Bang Ali itu anak yatim-piatu. Dia dulu besar di pondok pesantren. Tentu saja Bang Ali pandai membaca Al Qur’an. Bahkan di sela-sela rutinitas pekerjaannya sebagai teknisi komputer di perusahaan swasta, Bang Ali masih menyempatkan mengajar mengaji anak-anak di TPA.

“Berangkat, Tong ?”, sapa Bang Ali. Linggar tersenyum bersemangat.
“Iye, Bang. Ade ulangan…”, jawabnya singkat. Bang Ali melambaikan tangannya.
Ulangan matematika di sekolah berjalan dengan sempurna, tidak ada sebuah pertanyaan pun yang tidak dapat dijawabnya. Linggar merasa lega setelah ulangan itu selesai. Dengan langkah ringan Linggar berjalan ke rumah. Siang ini dia akan berjualan lagi, dan dia ingin berjualan sampai ke stasiun Kota. Sudah beberapa minggu dia tidak berjualan sampai kesana. Linggar ingin melihat-lihat lagi stasiun tua itu, stasiun yang dibangun sejak jaman Belanda, dengan ornamen mozaik kaca di banyak jendelanya.

Linggar sedang berjalan melintasi masjid saat dia melihat seorang ibu separuh baya yang sedang bercakap-cakap dengan seorang pemuda. Itu Bang Ali dan ibu yang ditemuinya di kereta kemarin ! Apakah mereka saling mengenal satu sama lain ? Linggar mengintip dari balik gerbang masjid. Kedua orang itu memang tampak akrab. Keduanya bercakap-cakap tentang sesuatu yang tidak Linggar dengar. Tiba-tiba ibu itu mengeluarkan sebungkus rokok Djie Ro Loe dari dalam tas tangannya, lalu memberikannya pada Bang Ali. Dan Bang Ali menerimanya dengan seulas senyum di wajah. Apakah rokok itu rokok yang sama dengan yang diberikan oleh lelaki asing itu ?, Linggar bertanya-tanya dalam hati. Dia terus saja mengintip. Tapi lalu bersembunyi ketika Bang Ali tampak menoleh ke arahnya. Untung tidak ketahuan. Cepat-cepat Linggar berlalu dari sana, dia masih ingat niatnya untuk berjualan sampai stasiun Kota. Dia berharap hari ini akan mendapat hasil lebih banyak agar bisa ditabung. Sebentar lagi dia akan ujian SMP, dan sekolah sudah mengumumkan akan menyelenggarakan try-out bersama.

*
Seorang copet yang naas tengah ramai dihakimi massa di atas peron ketika Linggar sampai disana. Muka copet itu babak belur karena dihadiahi bogem mentah oleh orang-orang yang merasa gemas dengan apa yang dia lakukan. Seorang perempuan muda tampak berdiri di pinggir peron, dialah yang telah berteriak kecopetan hp siang itu. Dua orang POLSUSKA melerai dan mengamankan si copet sial ke dalam kantor kepala stasiun. Darah menetes dari hidungnya yang memerah karena lebam. Copet itu mengalami luka robek di atas alis kanannya. Hp sang gadis sudah kembali kepada yang empunya. Tapi si gadis pun terpaksa tertahan di stasiun untuk menunggu proses selanjutnya. Seorang petugas stasiun telah melaporkan kasus ini ke kepolisian, dan para petugas polisi itu sebentar lagi akan sampai untuk mengusut perkara.

Jam 13.50, Linggar sudah masuk lagi ke kereta Merak-Jakarta Kota. Dia kembali melihat ibu itu di gerbong yang sama. Ibu itu melambaikan tangannya, Linggar mengangguk dan mendekat ke arahnya.

“Ada rokok Djie Ro Loe ?”, tanya ibu itu lagi-lagi. Linggar menyodorkan rokok dari selipan karet dalam papan asongan.
“Tadi Ibu baru saja bertemu dengan seorang anak asuh Ibu di desa dekat sini…”, kata ibu itu.
“Saya tahu, Bu…”, jawab Linggar. Ibu itu terheran.
“O..ya ? Kamu melihat Ibu ya ?”, tanya ibu itu lagi.
“Ya…, saya melihat Ibu bicara dengan Bang Ali. Rumah saya dekat dengan masjid. Bahkan masjid itu merupakan masjid yang dibangun Engkong saya…”, kata Linggar. Si ibu terlihat takjub, dilihatnya anak tanggung itu dengan seksama. Lalu ibu itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Jadi itu masjid yang dibangun Engkongmu ? Dan kamu kenal dengan Ali ya ? Hmm…, dia adalah anak asuh Ibu yang pertama. Dulu dia tinggal di asrama yatim-piatu, Ibu yang membiayai sekolahnya hingga lulus jadi teknisi komputer seperti sekarang. Dia itu sudah seperti anak Ibu sendiri. Ibu sayang sekali padanya…”, kata ibu itu dengan senyum dan mata menerawang. Ahh…, kalau benar ibu ini adalah ibu asuh Bang Ali, pastilah beliau orang yang baik. Bang Ali sangat baik pada semua orang. Pastilah kebaikan ibu ini yang telah membimbingnya menjadi orang baik. Tapi…, apa hubungan ibu ini dengan lelaki-lelaki asing yang dulu dijumpainya ?

“Ali itu suka sekali mengajar mengaji. Kesukaan lainnya yang Ibu ingat adalah merokok Djie Ro Loe. Makanya Ibu selalu membawakan rokok kesukaannya setiap kali berkunjung untuk menengoknya. Tadi Ibu sudah memberikan rokok yang Ibu beli darimu kemarin. Dan dia senang sekali menerimanya…”, terang ibu itu lagi. Linggar mengangguk-angguk, dia baru tahu kalau Bang Ali suka rokok Djie Ro Loe. Selama ini Bang Ali tak pernah tampak merokok saat mengajar mengaji.

“Saya ingin bisa sekolah jadi teknisi komputer seperti Bang Ali. Makanya saya bekerja jadi pedagang asongan seperti sekarang, Bu. Supaya saya bisa membiayai sekolah saya…. Saya sangat hormat pada Bang Ali. Saya suka Bang Ali mengurus masjid peninggalan Engkong saya. Sekarang masjid Engkong banyak jemaatnya, anak-anak juga suka belajar mengaji disana. Semua karena ada Bang Ali….”, kata Linggar. Ibu itu tersenyum lagi.

“Dia pasti bersyukur karena diterima dengan baik oleh warga di kampungmu. Dia juga pasti akan senang karena telah berhasil menularkan ilmu agama yang diperolehnya di pesantren waktu dulu…”, kata ibu itu.

“Ibu turun di Tanah Abang, rumah Yatim Piatu yang Ibu asuh ada di daerah itu. Mampirlah kapan-kapan ke tempat kami, nama rumah kami Al Barokah…”, kata ibu itu kemudian. Linggar mengangguk dengan sopan. Ibu itu bangkit dari duduknya, lalu berjalan ke arah pintu gerbong kereta. Kereta ekonomi berkekuatan diesel itu melambat, lalu berhenti di stasiun Tanah Abang. Si ibu lalu turun disana. Linggar hanya menatapnya. Hari itu Linggar meneruskan perjalanannya menjajakan asongan sampai ke stasiun Kota.

*
Jam 17.30, hari mulai gelap saat Linggar tiba kembali di Sudimara. Di stasiun terlihat orang-orang yang berlalu-lalang, lebih ramai dari biasanya. Dua orang lelaki saling berbincang di depan sebuah warung rokok. Linggar tak sengaja mendengar percakapan mereka….

Kesian tuh, baru ngebukak bungkusnya, eh…tau-tau meledak ! Pegimana jadinya ya orang entu ?”, ucap seorang lelaki berusia 40-an.
“Iya…, ari gini ade-ade aje kejadiannye…. Pan orang entu biasanye jadi penjaga masjid Al Iman. Die juga sering jadi teknisi komputer di kantoran. Dipanggil-panggil buat ngebetulin komputer gitu…. Kesian amat nyampe dapet bom, yak ?”, kata pria lain yang ada disebelahnya.

Hati Linggar berdesir mendengar nama masjid Engkongnya disebut-sebut kedua orang itu. Terlebih lagi ketika mereka memperbincangkan soal seorang penjaga masjid yang bekerja jadi teknisi komputer. Bukankah itu Bang Ali ? Bang Ali terkena bom ? Linggar terkesiap menyadarinya. Dia mempercepat langkah untuk bisa selekasnya sampai ke masjid. Orang-orang tampak berkerumun di depan halaman masjid yang luas. Sebuah kamar di bagian samping kiri masjid yang biasa dihuni oleh Bang Ali tampak porak-poranda. Sebuah ambulans berhenti di sebelahnya. Pintu mobil ambulans itu terbuka. Linggar mencari-cari wajah seseorang yang dikenalnya. Tapi yang tampak dalam ambulans itu hanya sebuah kantong plastik warna oranye berisi tubuh seseorang. Darah bercampur debu terlihat menempel di permukaan luar kantong plastik itu. Dan beberapa petugas yang sedang sibuk memeriksa keadaan di lingkungan masjid tampak berlalu-lalang. Seorang wanita paruh baya tiba-tiba menyeruak masuk ke halaman masjid. Dia berteriak histeris ketika mendapati sebuah ambulans telah terisi kantong mayat. Ibu itu jatuh terduduk. Linggar mengenalinya, dialah ibu asuh Bang Ali yang siang tadi ditemuinya di atas gerbong kereta.

Seorang petugas polisi yang ada di tempat perkara mendekati si ibu. Beberapa pertanyaan tampak dilontarkan padanya. Si ibu tampak menjawab dengan terbata-bata. Tiba-tiba ibu itu memandang ke arah Linggar yang berdiri di barisan depan kerumunan, bibirnya tergetar, lalu telunjuknya teracung padanya.

“Itu ! Itu penjual rokok yang sudah memberikan pada saya ! Dia yang menjual rokoknya !”, teriak ibu itu mengagetkan. Semua mata tertuju pada Linggar, Linggar pun tak kalah terkejut. Dan ketika dua orang polisi berlari mendekat ke arahnya, Linggar pun kalut. Dia berusaha lari keluar dari kerumunan orang-orang yang menonton di sekitar masjid. Langkah seorang pemuda tanggung tak lebih cepat daripada larinya para petugas kepolisian yang terlatih. Linggar tertangkap dengan cepat. Tangannya ditelikung ke belakang punggung, Linggar mengaduh-aduh. Dua orang polisi itu menyeretnya masuk ke dalam mobil polisi, kedua tangannya diborgol, sementara kotak asongannya masih dengan setia menggantung di leher. Dua orang petugas mengapit di kiri-kanannya. Seorang lainnya menyetir di depan. Mesin mobil dihidupkan, dan sirine pun dibunyikan. Mobil polisi segera berlari menuju kantor polisi di daerah Serpong. Linggar terlalu takut hingga terkencing-kencing. Dan dia mulai menangis.

“Nyaaak….. Nyaaak….. Aye salah apa, Nyaaak….?”, teriaknya dalam tangis.

Tiba-tiba seorang petugas polisi yang ada di sebelah kirinya menoleh, tanpa diduga sekepal tinju menohok pipi Linggar. DHUAGG !!! Mata Linggar berkunang-kunang, lalu lambat laun semua tampak menjadi gelap…, dan semakin gelap…..






SELESAI
Bintaro Jaya 3A, 7 Juni 2010.