BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Rabu, 07 Juli 2010

NONTON JAKARTA FAIR 2010



Sudah sampai saat libur kenaikan kelas, saat yang pas untuk anak-anak nonton Pekan Raya Jakarta (PRJ). Udik banget rasanya kalau sampai warga Jabodetabek belum pernah melihat PRJ sepanjang hidupnya. Maka tahun ini kami sekeluarga lagi-lagi menyempatkan diri berkunjung ke Kemayoran, tempat dimana PRJ 2010 itu berlangsung.

Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, kali ini kami ingin merasakan seperti apa rasanya pergi ke PRJ dengan menggunakan jasa angkutan umum. Setidaknya niat mulia kami ini bisa terlaksana meski tak semua jenis angkutan umum bisa kami gunakan. Sebutlah KRD Ekonomi Rangkasbitung-Jakarta Kota untuk saat berangkatnya.

“Kok penuh, Bu ?”, tanya anak bungsu yang tahun ini akan berusia 9 tahun. Baginya kali ini adalah pengalaman pertama naik KRD dari stasiun Pondok Ranji (Bintaro). Kereta yang ada memang bertenaga diesel, mengangkut penumpang dari stasiun Rangkasbitung di Banten hingga stasiun Jakarta Kota. Penumpangnya selalu sesak setiap saat. Bisa dibilang sejak pagi hingga malam, kereta jenis ini selalu padat peminat. Karcisnya murah meriah, cuma Rp. 1.500,- seorang. Harga yang membuat anak bungsu saya terkesima saking murahnya.
“Emang harga kereta itu murah ya, Bu ?”, tanyanya lugu.
“Lebih mahal daripada mobil dong…”, jawab saya.
“Kok tiketnya murah ?”, tanyanya lagi.
“Biar bisa dibeli semua orang, jadi harganya harus murah…”, istilah subsidi pemerintah yang tertempel di ujung lidah urung terlontar, takut si anak semakin mengejar dengan pertanyaan lain yang bisa jadi membutuhkan lebih banyak pemikiran untuk menjawab dengan kata-kata mudah agar dia lebih memahami apa yang saya ucapkan. Seperti kedua kakak perempuannya, si bungsu ini juga sangat suka menganalisa dan selalu tergelitik untuk bertanya tentang segala hal. Harusnya diladeni sih, tapi kereta yang tampak mendekat memasuki stasiun membuat kami harus secepatnya berjaga. Tangan si bungsu digandeng suami, dipegangnya erat-erat tanpa tekanan terlalu ketat. Jarak antara lantai peron dengan lantai gerbong kereta mencapai 40 cm, si bungsu sampai agak ngeri melihat jarak ketinggian peron dengan tanah yang ada di bawahnya yang kurang lebih berjarak 1,5 m. Bayangkan kalau dia terperosok ke bawah, betapa ngerinya…..

“Gak ada tempat duduknya ?”, tanya si anak. Dengan tersenyum, saya menggeleng.
“Cuma yang di pinggir gerbong, yang di tengah tidak ada…. Gak pa-pa kan ?, Cuma sebentar kok, Dik. Satu stasiun lagi langsung nyampe….”, bujuk saya. Si anak mengangguk. Dia berusaha betul agar bisa melihat keadaan di luar sana, sampai jinjit berkali-kali tapi tak dapat juga memandang gambaran kumuh rumah-rumah semi permanen yang berjejer di tepian rel kereta menjelang stasiun Kebayoran Lama. Sengaja turun disana, karena si sulung harus kami jemput juga dari sekolahnya di bilangan Bulungan. Setelah menumpang metromini, kami sampai di depan SMAN 70 untuk menemui anak sulung.

Sejak kemarin pagi, si sulung kami ada di sekolah. Dia bertugas menjadi kakak pembimbing, bersama-sama para alumni yang usianya beragam, untuk adik-adik kelasnya yang akan dilantik menjadi pelaksana tugas harian PMR (Palang Merah Remaja) di SMAN 70 itu setelah melalui ujian Plat C. Ujian mentalnya dilaksanakan di kamar mayar RS Polri, Kramatjati. Lumayan spooky, karena 3 mayat yang tersedia di meja mayat rumah sakit itu adalah : satu mayat korban tertabrak kereta dengan luka separuh kehilangan kepala, satu mayat wanita tanpa kepala korban mutilasi dengan sepotong dada dan sepotong panggul, dan sesosok mayat lagi utuh yang ditemukan tenggelam di sebuah sungai hingga setiap kali digeser dari meja mayat selalu mengeluarkan air yang kata si sulung sangat khas baunya. Semuanya tanpa identitas. Plat C yang akan diambil sebagai tanda kenaikan tingkat itu diletakkan di antara dua mantan manusia dari ke-3 mayat-mayat itu. Setelah semalaman begadang di kamar mayat karena mengurus para adik kelas, baju si sulung sampai berbau formalin. Eneg banget. Tapi tetap saja dia menolak ganti baju dengan alasan mau cepat-cepat pergi dari sekolah. Acara pelantikannya memang sudah selesai, jadi dia bisa pamit untuk ikut bersama kami.

“Ganti dong, Kak….”, bujuk saya. Si sulung kekeh menolak, ya sudah, dia pun lalu ikut bersama kami ke PRJ dengan baju yang sama dengan yang dia pakai semalam sewaktu di kamar mayat.
“Yang penting udah mandi !”, katanya cuek. Ada-ada saja.

OK, karena alasan si kakak tua ini capek berat setelah begadang semalaman, terpaksa rencana buat naik busway dari terminal Blok M dibatalkan. Kami naik taxi saja ke Kemayoran. Gak pa-pa lah, itung-itung biar si sulung bisa tidur barang sebentar. Di sepanjang jalan anak bungsu dan anak tengah selalu bercanda, sementara si sulung pulas tertidur dengan kepala bersandar pada sudut jok belakang. Kebetulan jalanan tidak begitu macet, mungkin karena hari masih terhitung agak pagi, jadi kami bisa sampai lebih cepat daripada kalau kami berangkat ke PRJ di sore hari.



Gerbang PRJ 2010.

Jam menunjukkan pukul 11.15 ketika taxi sampai di depan gerbang PRJ. Baru beberapa mobil tampak datang dan masuk ke dalam gerbang. Kami turun, bayar tiket masuk yang harganya Rp. 20.000,- per orang. Itu harga week-end, kalau hari biasa cuma Rp. 15.000,- saja. Agak kepagian rupanya, PRJ ini biasanya memang paling rame kalau sudah lewat jam 6 sore, bahkan beberapa counter masih tutup sesampai kami disana. Semua stan masih tampak seperti tahun-tahun sebelumnya. Biasalah…, ada stan daerah, stan departemen, stan perusahaan setingkat UKM, dan entah mengapa saat ini makin banyak saja stan perusahaan-perusahaan besar yang ikutan meramaikan suasana. Sebenarnya saya lebih suka kalau jenis perusahaan UKM yang jumlahnya diperbanyak. Apalagi kalau mengingat PRJ ini diselenggarakan untuk memperingati ulang tahunnya kota Jakarta. Seharusnya UKM yang terdapat di Jakarta dan mengusung produk kerajinan budaya Betawi yang harus lebih banyak mendapat kesempatan pameran. Tapi ya sudahlah, mungkin pelaksana PRJ juga butuh banyak dana yang bisa jadi didapat dari stan-stan besar yang disewa perusahaan-perusahaan besar itu.




Model miniatur MRT bergerak cepat di lintasan, jenis transportasi masa depan Jakarta ?

Perhatian kami saat masuk gedung pertama (Hall B) lumayan tersedot oleh informasi tentang akan dibangunnya MRT (Mass Rapid Transportation) di Propinsi DKI Jakarta Raya yang konon akan dimulai di tahun 2012 (padahal kata banyak ramalan, 2012 itu tahun kiamat !, bakalan jadi dibangun gak nih ?). Bibir berdecak tak percaya. Busyeet…, baru ada KRD di Pondok Ranji saja orang-orang sudah berjubel di gerbongnya, apalagi kalau ada MRT ya ? Tak terbayang bila masyarakat Jakarta yang luar-biasa majemuk ini sampai berkenalan dengan MRT, bisakah mereka disiplin dan tertib ? Saya jadi pusing sewaktu membayangkan kemungkinan akan naiknya penumpang liar tak bertiket ke atas gerbong MRT. Kalau dengan KRL para penumpang liar itu mau duduk di atas gerbong, jangan-jangan para penumpang itu juga mau saja tiarap di atas gerbong MRT tiap kali melewati terowongan. Ah…. Entah mau menangis, entah mau tertawa….




Baju tradisional Betawi, replika yang cantik.

Perhatian yang kedua jatuh pada sebuah pameran karya seni yang dibuat oleh seorang dokter gigi yang bernama Drg. Novembriati, yang dengan keahliannya telah merancang sebuah baju berbahan dasar segala macam bunga kering dan berjenis-jenis rempah kering. Pameran ini ada di stan Departemen Perindustrian dan Energi Propinsi DKI Jakarta. Kalau dilihat dari jauh, baju itu indah betul. Tapi setelah dilihat lebih dekat, barulah kita tahu bila baju itu hanyalah sebuah karya seni yang tak bakal bisa dipakai manusia pada umumnya. Habis bahannya cuma dari bunga kering dan material sejenisnya. Saya sendiri pasti tak bakalan bisa memakai baju itu karena pasti akan terasa sangat gatal di badan. Tapi secara keseluruhan, karya ini patut diacungi jempol, kreatif sekali Bu Dokter gigi yang satu ini. Gak bakalan ada yang tahu ini baju bohongan kalau cuma lihat fotonya. Kecuali foto close-up....



Baju atas close-up. Dari jawawut.



Bagian bawah, dibuat dari biji angsana, irisan buah mahkota dewa, dan bahan lainnya.



Sebagian bahan yang digunakan.... Kreatif !

Karya orisinil replika baju Betawi ini cukup menghibur mata, setidaknya dibandingkan pameran di stan lainnya. Stan yang lain baik yang ada di Hall A, B, C, D, dan stan-stan khusus untuk perusahaan besar itu tidak ada yang istimewa, produk-produk pangan, sandang, elektronik, otomotif, dan yang lainnya masih standard saja. Keberadaan angkringan kerak telor juga mudah ditemui di banyak tempat. Tak ada yang baru. Apalagi yang diusung perusahaan besar seperti perusahaan mie instant, nugget, kopi, dan lain-lainnya yang suguhan hiburannya itu-itu saja. Kurang inovatif. Yang lebih membuat heran lagi adalah diperbolehkannya perusahaan peritel seperti Matahari Dept. Store membuka stan disini. Jadi agak bingung mau menyebut ini pameran atawa pasar ya ?. Apa iya dagangan mereka gak laku di Mall ? Bukankah seharusnya yang lebih dipentingkan adalah produk dalam negeri ? Entahlah…. Hanya saja, secara keseluruhan, pameran kali ini lumayan terasa kebersihannya. Banyak petugas kebersihan dan tempat sampah disana-sini. Para petugas itu dengan sigap segera mengambil setiap sampah yang tercecer dengan pengki dan sapu di tangan mereka. Sip lah ! Kita juga harus bisa menunjukkan pada orang asing kalau kita juga bisa jaga kebersihan.



Comment : Suasana di dalam PRJ, kalau siang masih agak sepi.... Stan perusahaan besarnya membosankan. Tapi kondisi semua stannya bersih deh.... Semoga sampe malem bersih terus ya ?



Bapak berpose. Tampak petugas kebersihan bermasker yang bertugas dengan sigap. Hebat !

Saya memimpikan di tengah halaman PRJ ini ada sebuah panggung besar tempat semua seniman Betawi bisa unjuk kebolehan dengan lomba lenong dan tari cokek. Boleh saja peserta dari propinsi lain ikut serta meramaikan dengan mengusung drama tradisional mereka seperti wayang orang, kethoprak, ludruk, atau bahkan sandiwara ala cerita melayu. Bisa saja dipasang artis pemikat agar penonton tersedot menyaksikan, kalau perlu berkolaborasi dengan TV swasta dan perusahaan sponsor. Setidaknya JakTV bisa meliput untuk program hiburan rakyat DKI. Sulitkah hal itu diwujudkan ? Dan sebagai kompensasi dari harga Rp. 20.000,- untuk karcis masuk per orang itu, alangkah bagusnya bila pihak penyelenggara juga memberikan cindera mata berupa minuman Bir Pletok gratis untuk pengunjung. Harga pembuatan Bir Pletok kan tidak mahal to ?



Iklan bergantungan disana-sini. Kliseee......

Kami beranjak keluar halaman PRJ saat jam tangan sudah menunjukkan pukul 4.00 sore. Kami lagi-lagi kembali memakai jasa taxi untuk sampai ke Jakarta Kota, sengaja mau naik busway dari sana ke Blok M supaya si bungsu bisa kembali merasakan seperti apa rasanya naik busway. Dia mengamati dengan seksama setiap prosesnya. Sepasang orang Korea berbisik-bisik sambil mengamati anak-anak kami satu per satu. Entah apa yang mereka bicarakan. Tetapi mereka tersenyum-senyum melihat mata anak keduaku yang memang ‘belo’ sejak lahir. Hidungnya memang agak mini, tapi alhamdulillah matanya cantik sekali. Hhh…, badan kami semua sudah lelah, dan kami butuh setidaknya 2 jam perjalanan menuju rumah. Dalam hati saya berharap semoga PRJ mendatang akan tampil lebih bagus lagi. Semoga itu bukan cuma angan-angan.