BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Jumat, 30 April 2010

PILIHAN

"RSBI atau CIBI atau Reguler Plus ? Yang mana neh ?"


Itulah pertanyaan yang dilempar seorang kerabat dalam statusnya di fb. Mula-mula gak ngeh, meski agak-agak bisa meraba kalau yang dibicarakan pasti soal sekolah. Rupanya RSBI itu (seperti yang sudah kuduga) kependekan dari Rintisan Sekolah Berstandard Internasional. CIBI itu (ternyata) istilah untuk kelas akselerasi (kepanjangannya apa gak taw neh). Dan Reguler Plus untuk sekolah berstandard nasional yang ditambah dengan program unggulan lain hingga waktu belajarnya bertambah beberapa jam setiap harinya (5 hari sekolah, Sabtu libur).

Hmm.... Seorang kerabat lain mengutarakan bagaimana diskriminatifnya program RSBI itu bagi siswa tak mampu. Itu betul. Dalam sekolah yang memiliki program RSBI, memang biaya yang lumayan bunyi itu sangat diperlukan, demi terpenuhinya kelengkapan fasilitas sekolah sesuai standard internasional pada umumnya. Pasalnya, standard internasional itu belum umum dipakai semua sekolah. Maka terengah-engahlah beberapa sekolah yang ditunjuk menjadi media pelaksanaan program RSBI di banyak daerah. Terkesan memaksa, karena sangat minimnya kesiapan SDM di sekolah-sekolah tertunjuk itu, yang pastinya para pengajarnya lebih memahami cara mengajar dengan Bahasa Indonesia sebagai pengantar pelajaran (bukan Bahasa Inggris sebagaimana disyaratkan dalam kurikulum internasional).

Apa yang diusahakan DIKNAS agar para guru itu siap memakai media Bahasa Inggris dalam menghantar pelajaran di kelas ? Sepertinya cara-cara kayak perolehan sertifikasi dan pembekalan sudah mulai banyak diberikan. Tapi cukupkah upaya itu untuk membuat semua guru sekolah RSBI siap memberikan pelajaran dengan bahasa asing ? Untuk fakta bahwa otak seseorang hanya dapat dengan mudah menyerap kemampuan bahasa ibu dan bahasa asing sebelum usianya mencapai 11 tahun, kayaknya usaha membekali para guru, yang barangkali banyak yang usianya sudah melebihi angka 40 itu, akan sia-sia. Kan otak mereka sudah tak lagi fleksibel menerima bahasa asing to ?

*
Ini contoh Pak S, seorang guru matematika yang notabene orang Jogja, di sebuah sekolah menengah pertama yang lumayan terkenal di Jakarta Selatan. Si guru diharuskan memakai Bahasa Inggris dalam memberikan pelajaran. Yang terjadi adalah perintah semacam ini :

"OK (dibaca= o - ke , bukan= ow - khay). Let's open page (dibaca= pek, bukan=peij)...(mikir)...selikur ! (bs. jawa = duapuluh satu)"

Kasian betul. Gara-gara lupa angka 21 itu sebutan inggrisnya apa, yang keluar malah Bahasa Jawa. Pasti hal itu tidak akan terjadi terlalu parah kalau memakai Bahasa Indonesia yang kian lama kian banyak menggeser fungsi bahasa daerah dalam komunikasi sehari-hari. Padahal kejadian waktu itu, terjadi ketika di sekolah itu masih berlaku program kelas bilingual, bukan kelas murni Internasional. Apa jadinya kalau sekarang si Bapak pinter yang ahli matematika ini mengajar pakai Bahasa Inggris saban harinya di kelas yang sudah RSBI ? Bisa-bisa malah mogok bicara dia. Atau malah pilih pakai bahasa tarzan ya ?

Jadi ingat sama cerita seorang kerabat yang mengatakan kalau sebuah pondok pesantren terkenal di Jawa Timur sana, di pertengahan tahun 1980-an, selalu memberi hukuman untuk setiap murid yang ketahuan memakai Bahasa Indonesia saat bicara, padahal diharuskan berbahasa Inggris. Hukumannya dengan cara disuruh ngemut daun kelapa kering (blarak) seharian. Wkekekek..... Apa iya kita mesti nyuruh si Bapak ahli matematika itu ngemut blarak juga biar Bahasa Inggrisnya lancar ? Ada-ada saja.....

Itu baru soal SDM. Ada juga kelatahan guru untuk menggunakan fasilitas sekolah. Namanya juga sekolah unggul, maka orangtua murid sampai ada yang menuntut kalau sebisa mungkin semua fasilitas yang ada harus dimanfaatkan sebesar-besarnya. Lalu terjadilah sebuah insiden ketika seorang guru Tata Boga masuk ke dalam kelas, dan menyuruh 2 orang anak lelaki untuk mengambil OHP dari ruang penyimpanan. Sampai berkeringat betul ke 2 anak itu, mendorong OHP yang rodanya seret ke dalam kelas. Begitu dipasang, ternyata OHP itu cuma mau digunakan untuk menyorot sebuah gambar....

"Anak-anak.... INI...TEKO...!"

Seluruh anak dalam kelas sampai hening. Lalu beberapa anak perempuan yang duduk di depan bereaksi dengan mulut membundar sambil berbunyi....

"OOOooo........ "

Sementara anak-anak lelaki dalam kelas tetap bengong.

*
OK. Stop bicara soal SDM dan fasilitas sekolah. Sekarang mari kita bicara soal program CIBI atau akselerasi. Program ini sebenarnya disiapkan oleh pemerintah untuk mewadahi anak-anak jenius yang menginginkan bisa melalui masa 3 tahun pendidikan, hanya dengan menempuh 2 tahun masa belajar saja. Kurikulumnya dibuat sedemikian rupa sehingga mata pelajaran itu dipadatkan sepadat mungkin. Ada beberapa syarat yang harus dipatuhi seorang murid supaya bisa masuk ke program ini. Misalnya syarat yang mengharuskan nilai si calon murid akselerasi tak boleh kurang dari sekian-sekian, dan harus memiliki IQ serendahnya sekian-sekian.

Ada sih kemungkinan anak yang punya kriteria di bawah itu bisa masuk juga ke program akselerasi. Tapi biasanya yang begini ini akan dihantam dengan biaya yang lebih tinggi dari anak-anak lainnya. Betul-betul butuh tenaga dan pikiran (dan duit), karena si anak akan dituntut untuk bisa menyelesaikan tugas yang luar biasa berat selama menempuh pendidikan yang dipadatkan ini. Kalau yang bisa konsentrasi dan tak suka main sih gak papa. Tapi kalau anaknya masih suka santai dan main-main ya sebaiknya dipertimbangkan lagi. Karena akselerasi bukan kelas yang bisa untuk main-main. Ini kelas dengan tegangan tinggi. Tugas hariannya saja bejibun abiss... Belum makalah dan laporan ini-itu.

Ada cerita soal program akselerasi ini yang ditawarkan guru walikelas anakku waktu itu. Ketika si anak aku tawari masuk ke kelas akselerasi, si anak memberikan jawaban seperti ini :

"Ibu.... Sekolahku itu sekolah bagus..."

"Lalu ?", tanyaku.

"Guru-guru disana itu semua bagus..."

"Lalu ?", tanyaku lagi.

"Kalau sekolahnya bagus, guru-gurunya bagus, artinya aku akan menyia-nyiakan sisa waktu 1 tahun untuk bisa bersekolah disana kalau aku ambil kelas akselerasi. Aku mau matang dalam semua pelajaran. Aku mau menguasai apapun yang guru-guru bisa ajarkan. Kalau cuma 2 tahun, artinya belum semua ilmu bisa aku serap habis dari mereka, meski itu dipadatkan. Aku gak suka belajar pake dikejar-kejar deadline, Bu. Masak belajar pake lari ?", jawab anakku.

Dengan pendapat penuh pertimbangan seperti ini, apa yang bisa aku perbuat kecuali memberinya kebebasan ? Alhamdulillah, anakku selesai dari SMP dengan nilai tertinggi dari seluruh 360 siswa yang ada dalam satu angkatan. Sungguh pilihan yang tepat untuknya. Dengar-dengar, setelah anak-anak seangkatan yang mengambil program akselerasi lulus dari sekolah itu, banyak yang lulusnya cuma dengan nilai pas-pasan. Bahkan ada yang harus dikatrol, karena program itu tidak boleh gagal, semua harus lulus. Jadi yang kurang pun harus diluluskan. Tapi itu yang terjadi di tahun 2007. Mungkin sekarang keadaannya sudah berbeda.

OK, ambil positifnya aja. Baik untuk pilihan kelas RSBI dan akselerasi, pertimbangan orangtua merupakan faktor kesekian dari keberhasilan anak. Yang paling penting untuk bisa sukses dari kedua program itu hanyalah niat dan semangat si anak. Kalau si anak mampu dan bersemangat untuk menempuh program itu, ya apa salahnya disupport sepenuhnya oleh orangtua. Karena bagaimana pun yang akan mengalami enak atau tidaknya ya cuma si anak itu sendiri. Bukan orangtuanya. Si orangtua paling-paling cuma kebagian "menjerit" kalau diharuskan membayar biaya sekolah yang tinggi, hehehe.

Yang jelas, lulusan RSBI diharapkan bisa berkomunikasi lebih baik dalam bahasa asing. Dan lulusan akselerasi bisa lebih cepat lulus dari kelas RSBI maupun reguler.

*
Lalu bagaimana dengan program Reguler Plus. Hehehe..., kayak mau milih french fries di resto aja. Mau pilih regular ?, apa large ? Ya..ya..ya... Kelas reguler maksudnya ya kelas biasa dengan kurikulum biasa. Yang dimaksud dengan plus disini adalah plus tambahan pelajaran unggulan seperti les bahasa dan semacamnya. Jadi jam belajarnya molor sampai beberapa waktu. Buat orangtua yang sibuk bekerja kantoran sih kayaknya program ini OK banget. Karena satu paket dengan kurikulum sekolah, artinya si anak sudah gak perlu repot-repot lagi ikutan les macam-macam di luaran. Lumayan ngirit. Apalagi beban kurikulum sekolahnya tak begitu padat seperti RSBI dan akselerasi. Kalau si anak termasuk yang suka menikmati hidup sih sebaiknya pakai program ini. Bisa lebih santai sedikit.

Masalahnya akan kembali pada kata "Plus" yang menempel di belakang kata reguler. "Plus" disini sangat berkaitan erat dengan biaya (lagi-lagi). Karena tak mungkin sekolah akan memberikan tambahan program di luar kurikulum bila tak ada biaya. Sejauh biayanya tidak tinggi sih tidak masalah. Yang menjadi persoalan adalah apabila akhirnya dengan pemberian pelajaran "Plus" ini lalu membuat orangtua siswa terbebani dengan biaya tinggi. Padahal kalau sudah niat masuk ke sekolah reguler "Plus" pasti harus menyetujui untuk juga ikut serta dalam kegiatan "Plus". Dan itu bisa menimbulkan konflik bagi si anak murid, bila orangtuanya tidak mampu mambayar. Hanya saja, dibandingkan dengan kedua program terdahulu, sepertinya program reguler "Plus" ini agak lebih aman. Si anak akan tetap bisa mendapat pengajaran dengan jelas dalam bahasa nasional, dan tak terlalu dikekang oleh waktu.

Tapi bagaimana pun juga, semua kembali pada kemauan dan kemampuan si anak. Selebihnya, kita hanya bisa mendoakan.


PROPERTY



Hampir tiap hari terlihat di TV soal iklan property sebuah group perusahaan ternama. Apartemen, mal, real estate lux, segala fasilitas dan keindahan hunian mewah yang sudah dibuatnya. Gak cuma satu channel TV yang menayangkan, tapi juga beberapa channel lainnya. Mungkin karena channel-channel yang menayangkan itu masih satu keluarga, milik orang yang sama, jadi satu menayangkan - yang lain juga.

Senang lho melihat iklan penuh keindahan dan kemewahan itu, rasanya mata ikut terhibur dengan sajiannya. Apalagi presenternya cantik-cantik. Ditambah liputan yang wah habizz dari segala angle. Duh, rasanya seperti melihat surga !

Lalu tiba-tiba tak sengaja tangan memencet tombol remote, gambar berganti dengan liputan gusuran rumah semi permanent di beberapa tempat. Terlihat kaum ibu yang menangis tak berdaya, anak-anak yang bingung tak tau kenapa, bapak-bapak yang ngotot menggugat aparat penggusur rumah mereka. Ironis.... Yang satu menjual kemewahan hunian, yang lain bahkan punya rumah pun tidak.

Sempatkanlah melongok keluar jendela mobil saat melewati jalan raya. Seberapa sering kita melihat ruko-ruko mewah tak berpenghuni di sepanjang tepian jalan ? Seberapa sering kita melihat apartemen-apartemen kosong berdiri tegak di ketinggian gedung bertingkat entah berapa banyaknya. Rumah-rumah mewah yang sunyi karena harganya yang tinggi, tak mampu terbeli kantong orang-orang melarat seperti mereka yang tergusur dari rumahnya. Betapa pongahnya gedung-gedung itu mendongak, tak mau memandang manusia-manusia lemah butuh naungan sekedar tempat tinggal.

Ahh..... Andai saja pengatur negeri ini cuma membolehkan pembangunan untuk seluruh rakyat, bukan untuk sedikit orang. Andai saja ada pedoman untuk tidak cuma membangun bagi kalangan berpunya, tapi lebih pada keperluan seluruh rakyat jelata. Tapi barangkali waktu memang belum berpihak pada orang kecil. Barangkali hunian untuk mereka cuma masalah sebesar kerikil. Barangkali masih perlu waktu agar kerikil itu tumbuh menjadi gunung, meletus dan meluluh-lantakkan semua bangunan mewah tak berpenghuni yang ada disana-sini.

Pembangunan di negeri ini....diskriminatif.

BIDUREN - KALIGATA - URTIKARIA





Pulang sekolah, tiba-tiba saja anakku mengaku gatal-gatal sekujur badan. Ketika disingkap bajunya, barulah terlihat bercak merah timbul di semua permukaan yang tersebar acak. Ini pasti BIDUREN atau KALIGATA atau bahasa medisnya URTIKARIA. Maklum, dengan sejarah keluarga yang sangat akrab dengan riwayat Diabetes, Asthma dan Eksim dari kedua pihak (nenek suamiku dan nenekku), tak diragukan lagi bila penyakit alergis ini sangat akrab dengan kami, terutama di musim pancaroba seperti sekarang.  Begitulah, mereka yang lekat dengan riwayat penyakit-penyakit yang tersebut di atas memang biasanya juga akrab dengan alergi.

Sebagaimana definisi medisnya, Kaligata (urtikaria) adalah suatu reaksi alergi yang ditandai oleh bilur-bilur berwarna merah dengan berbagai ukuran di permukaan kulit. Bilur gatal itu sendiri merupakan reaksi anafilaktik yang terbatas pada kulit dan jaringan di bawahnya.

Apa yang menyebabkan penyakit ini hinggap di badan kita ? Penyebabnya adalah adanya alergen atau faktor pencetus alergi. Jenis alergennya macam-macam, mulai dari obat-obatan, makanan (misalnya telur, seafood, kacang-kacangan, dan susu), serbuk sari tanaman, serbuk binatang (terutama kucing), gigitan serangga, air, cahaya matahari, cuaca panas, cuaca dingin, dan stres emosional. Untuk lebih pastinya, kita bisa berkonsultasi dengan dokter untuk mencari sumber alergennya. Prosedur ini bisa sampai pemeriksaan laborat.

Dalam keluarga kami, faktor cuaca adalah alergen yang paling sering memicu timbulnya biduren. Kadang matahari terasa terik di siang hari, sementara badan terasa dingin. Kalau sudah begini, langsung saja kaligatanya keluar. Dalam setahun, setidaknya 2 kali mengalami kaligata. Yang pertama adalah saat perubahan cuaca dari musim penghujan ke musim panas, dan yang kedua dari musim panas menuju musim penghujan. Saking seringnya, kami jadi hapal dengan pengobatan yang bisa diberikan untuk mengobati penyakit ini. Meskipun, menurut dokter, penyakit ini bisa hilang dengan sendirinya, tapi setidaknya kami bisa memberikan sedikit rasa nyaman bila anak-anak kami sedang didera kaligata. Biasanya kami akan memberikan obat alergi berupa antihistamin. Sebenarnya sih tak cuma antihistamin yang bisa diberikan sebagai penolong penderita biduren, tapi juga obat lain yang mengandung epinephrine, terbutalin, simetidin, kortikosteroid atau obat penenang.


Biasanya, untuk keluargaku, sirup antihistamin merek Celestamine adalah sirup yang paling sering kami sediakan untuk kaligata mereka. Maksudnya sih supaya syaraf mereka bisa tidur, maka tentu saja mereka juga jadi mengantuk setelah meminumnya. Dosisnya sesuai anjuran yang tertera di lembar informasi yang ada dalam kotak bungkusnya. Kalau takut salah penanganan sih memang lebih baik periksa ke dokter dulu. Tapi karena saking seringnya mengalami hal yang sama setiap semesternya, kami jadi hapal bagaimana mengatasinya.

Hal kedua yang sering kami sediakan untuk mempercepat penyembuhan mereka adalah asupan kalsium. Kami memakai CDR sebagai pembantu pemulihan. Kalsium penting karena akan memberikan efek hangat bagi tubuh kita. Bila hangat terasa, niscaya bilur-bilur gatal itu akan segera sirna. Bisa saja digunakan sirup multivitamin lain yang mengandung kalsium semacam Calcidol atau Calcilimo. Tentu saja dosis yang diberikan tetap harus sesuai anjuran. Tapi saya pernah bertanya pada dokter yang menganjurkan penambahan asupan kalsium ini, katanya pasien diperbolehkan mendapat asupan 2 kali lebih besar dari dosis anjuran hanya hingga penderita sembuh dari kaligata. Jadi selama masih alergi gatal, kalsiumnya 2 kali dosis yang ada. Setelah itu, kembali memakai dosis normal. Dan sesuai pengalaman, biasanya kaligata akan sembuh dengan sendirinya hanya dalam waktu tak lebih dari 3 hari setelah terapi ini.

Kalau menurut sumber informasinya sih kaligata atau biduren ini juga bisa menyebabkan adanya penyumbatan tenggorokan dan kesulitan pernapasan. Waduh, kalau yang sudah seperti ini, langkah paling bijaksana ya harus membawa penderita ke dokter. Karena mereka lebih tau tindakan darurat apa yang harus diberikan.

Begitulah pengalaman kami. Bila ada anggota keluarga anda terkena kaligata, jangan panik. Insya'allah semua bisa diatasi. Yang penting, sebagai pencegahan, kita harus waspada dan menghindari faktor pencetus alerginya.

Senin, 12 April 2010

KASET UNTUK DIA (part 2 - sebuah sekuel)

Dunia sudah kiamat !

Berkali-kali Agus mengaduk rambutnya yang sedikit bergelombang. Otaknya benar-benar sudah berubah jadi tumpul sekarang. Cuma tersisa secuil sel yang waras. Agus benci menyadari virus-virus memabukkan itu sudah mulai hinggap menguasai kepalanya. Bikin tidurnya tak pernah nyenyak, sampai mukanya jadi kuyu tiap kali ke sekolah. Jam pelajaran terasa begitu lambat. Agus ingin setiap kali kelas ini cepat-cepat selesai, agar dia bisa selekasnya berlari ke depan masjid di sebelah sekolah, menunggu saat yang istimewa ketika bunga mekar itu tampak di seberang jalan. Rasanya seperti hampir gila....

*
Agus melirik pemuda berkulit sawo mentah disebelahnya. Musuh dalam selimut !, Agus mengutuki dirinya sendiri karena telah menjadi musuh dalam selimut bagi pemuda sahabatnya itu. Tapi ini soal hati, belum pernah Agus merasa sekacau ini. Samsul memang sudah lama mabuk kepayang pada Mariah. Sampai bertingkah macam-macam..., hal paling konyol yang dapat Samsul lakukan selain kebiasaannya mengupil setiap kali bicara dengan teman. Tapi Agus suka kegigihan Samsul. Biar dia sudah mengejeknya habis-habisan selama itu. Ya..., selama itu. Karena itu dulu, sebelum Agus dihinggapi sakit yang sama. Merindu pada wajah ayu Mariah yang kian hari kian lekat di matanya.

Haruskah aku berterus-terang padanya ?, berulang-kali Agus bertanya dalam hati. Niat yang selalu urung karena Agus menyadari bila dia terus-terang juga naksir Mariah, tak ayal perang akan segera pecah ! Tapi capek juga jadi bunglon selama ini, berpura-pura tak ada perasaan apa-apa mengenai Mariah pada Samsul adalah hal yang membuat Agus lelah. Dia sendiri berjuang sekuat-tenaga agar rasa sukanya tak terdeteksi siapapun. Entah olok-olok apa yang akan diterimanya kalau sampai teman-temannya tau.

"Gus ! Makasih sarannya kemarin, ya....", kata Samsul berseri-seri. Agus cuma menoleh sebentar.

"Mariah kebetulan akan keluar rumah waktu aku ajak kenalan di jalan, habis tanggung sih. Dari pada di rumah kan kesannya formal banget, jadi begitu ketemu di jalan depan rumahnya ya langsung aja aku ajak kenalan. Dia gak sombong ! Kamu salah kalau bilang dia itu angkuh. Dia mau nerima kasetnya, pasti semalam kaset itu sudah didengarnya. Wah ! Kamu jago kasih saran ! Kenapa kamu gak cari cewek juga, Gus ?", goda Samsul. Agus tersenyum getir. Ahh..., andai saja dia tau yang sebenarnya, entah apa yang akan terjadi nanti.

"Kau tau ?, senyumnya indah sekali....", kata Samsul berbunga-bunga, matanya memejam membayangkan bibir Mariah yang merekah bak buah delima, tersenyum lembut ke arahnya. Agus membuang muka, ada sebersit cemburu mendengarnya....

*
Bel istirahat kedua berbunyi, Mariah masih menyelesaikan tulisan dalam catatan sesuai pemaparan guru Kimia di papan tulis. Pelajaran yang memusingkan bila tidak dipahami dari awal. Untungnya Mariah cepat memperlajari inti sari pelajaran itu. Beberapa kalimat lagi, lalu semua akan selesai.

Nah ! Selesai sudah ! Mariah segera memasukkan buku catatan dan buku pegangan pinjaman dari sekolah ke dalam tas kanvas yang dibawanya. Sebuah tas kesayangan yang dimilikinya sedari masih duduk di kelas 2 SMP dulu. Ibunya sempat heran ketika dia memilih membeli tas itu di pasar. Bagi ibunya, tas kulit maupun tas bermotif bunga lebih indah dibanding tas kanvas sederhana yang dibelinya itu. Mariah memang lebih suka menghargai fungsi. Tas kanvas warna khaki bersaku banyak dan berbentuk sederhana ini baginya lebih menarik dari pada tas kulit yang bermerek mahal maupun tas bermotif bunga seperti yang saat itu sedang "in" disukai orang. Dan yang lebih bagus lagi, tas itu awet sekali.

"Ke kantin, yuk !", ajak Surti tiba-tiba. Mariah mengangguk. Sebuah dompet warna hitam diambilnya dari dalam saku sebelah dalam tas kanvas. Siang ini rasanya haus sekali, Mariah ingin membeli segelas es cendol sokanegara yang menjadi bestseller di kantin sekolah. Es cendol tepung beras dengan sirup gula merah dan sedikit campuran potongan nangka manis, disajikan dengan gelas es besar seukuran 300 cc dengan harga cuma 2500 rupiah saja. Slurp..., baru membayangkannya saja rasanya Mariah sudah ingin segera sampai di kantin.

Kerumunan murid yang bergerombol di muka kantin membuat Mariah dan Surti harus bersabar menunggu giliran. Maka segera setelah mendapatkan gelasnya masing-masing, Mariah dan Surti cepat-cepat mencari tempat yang paling pas untuk bisa menikmati es cendol mereka. Dan memang benar !, es cendol itu segar sekali ! Apalagi di hari terik seperti sekarang.

"Mariah...., aku minta maaf soal Mas Agus kemarin....", kata Surti tiba-tiba. Mariah menghentikan menyendok cendolnya sejenak, lalu dia menoleh dengan tersenyum.

"Tidak apa-apa. Biarkan saja. Aku tidak apa-apa, Surti", jawabnya dengan manis.

"Jangan begitu, aku betul-betul ingin kamu tau kalau aku tak tau apa-apa tentang sikap Mas Agus itu. Sebenarnya aku juga heran mengapa dia begitu benci padamu. Aku sudah pernah menegurnya karena sering mengolok-olokmu setiap kamu pulang sekolah. Tapi Mas Agus itu nekat saja. Ah !, aku malu sama kamu, Mariah.... Kakakku itu betul-betul tidak sopan....", keluh Surti dengan penuh sesal. Dia memang sering melihat kakaknya bergerombol di seberang jalan didepan masjid itu. Berteriak-teriak seperti bonek kalah taruhan. Menyebalkan ! Surti malu mengakuinya abang.

"Sudah.... Mungkin kemarin dia sedang kesal pada orang lain.... Kita omongin yang lain saja, ya ?", ajak Mariah sambil mengaduk gula merah dalam gelas es cendolnya. Ada perih menusuk dalam dadanya, apa yang dilakukan Agus kemarin sore itu memang mengejutkannya. Mariah tak menyangka Agus akan berbuat sekasar itu. Tak ada seorang pun di rumah Mariah yang pernah berbuat begitu. Sebagai anak tunggal dari sepasang orangtua yang sibuk bekerja, Mariah tak pernah merasakan seperti apa punya adik maupun kakak. Dia hanya terbiasa hidup dengan ditemani neneknya yang kini sudah berusia 68 tahun, serta seorang pengasuh yang sekaligus pembantu rumah-tangga. Tak ada siapa-siapa lagi. Jangankan perlakuan kasar, kata-kata kasar pun tak pernah diperolehnya di rumah.

Lain betul dengan pergaulan di luar rumah yang mengharuskannya terlibat dengan masyarakat yang memiliki berbagai sifat. Ada yang mudah curiga, ada yang naif, ada yang suka iri, ada yang rendah diri, .... Entahlah. Mariah yakin masih banyak hal yang akan dipelajarinya dalam hidup. Tapi umpatan keras dari bibir Agus kemarin memang menyakitkan. Dan cengkeraman tangan itu masih dirasakannya hingga kini, sakit ! Pagi tadi, Mariah melihat bekas biru tercetak di lengan atas kiri dan kanannya. Kalau saja ibunya tau, ibunya pasti akan marah bukan main pada pemuda itu. Mariah yakin betul hal itu. Tapi Mariah tak ingin melapor, kegusaran Surti pada abangnya saat itu saja sudah membuatnya merasa terbela.

"Mas Agus pergi sampai jam 9 malam kemarin, begitu sampai di rumah dia langsung dimarahi ibu dan bapakku. Biar tau rasa dia ! Aku memang sudah melaporkan itu pada mereka. Aku juga bilang kalau Mas Agus sering menggodamu setiap kali kau pulang ke rumah sehabis sekolah. Seenaknya saja dia mau lari dari masalah. Yang aku heran, dia tidak mau minta maaf padamu. Kamu kan tidak sengaja menabraknya di depan kamar mandi ? Mengapa dia harus semarah itu ?", Surti terus saja mengoceh dengan gusar. Mariah tersenyum pahit, bentakan Agus kemarin memang telah membuat nyalinya ciut.

"Sudahlah..., kita habiskan saja es cendol ini. Sebentar lagi ada pelajaran Matematika, Pak Sitompul tidak pernah terlambat sampai ke kelas kita. Kita harus cepat-cepat balik kesana", kata Mariah menyadarkan.

Pak Sitompul adalah guru Matematika yang paling disiplin mengenai waktu. Beliau tak pernah membolos kerja, tak pernah terlambat mengajar, dan tak pernah sehari pun memberi kelonggaran murid untuk bisa pulang lebih awal dari jam akhir sekolah. Betul-betul disiplin. Teman-teman Mariah bilang, guru kayak Pak Sitompul adalah jenis orang yang paling galak soal korupsi waktu. Tapi sepertinya itu sebuah contoh yang bagus, terbukti dari rasa hormat guru-guru yang lain pada Pak Sitompul yang begitu tinggi. "Hargailah waktu, pergunakan dengan sebaik mungkin, selagi kau diberi kesempatan oleh yang telah menghidupkanmu...", begitu bunyi wejangan Pak Sitompul di sela-sela jam mengajarnya.

Langkah kaki Mariah dan Surti segera bergegas ke kelas mereka. Tak beberapa lama suara bel masuk kembali terdengar. Pak Sitompul memasuki ruangan dengan tenang, semua murid menyimak. Suara Pak Sitompul yang jernih dan tegas menguasai ruangan dengan seketika. Dalam ketenangan itu, tiba-tiba Mariah melamun. Ingatannya kembali pada peristiwa kemarin sore itu, ketika Agus mencekeram bahunya dan mengangkatnya ke dinding....

*
"Aku mau ke rumah Mariah lagi nanti siang... Sudah seminggu nih, aku ingin melihat wajahnya lagi. Atau sebaiknya aku menunggunya di depan pintu pagar rumahnya saja, ya ? Rumah itu sepi sekali....", celetuk Samsul siang itu, tiba-tiba. Agus bungkam, cuma kupingnya yang mendengar.

"Aku heran kenapa setiap kali kesana tidak ada yang membukakan pintu. Apa iya kalau siang di rumah itu tidak ada siapa-siapa ? Aku sudah sering mengintip dari atas pohon jambu, ada sedikitnya 3 orang disitu. Mariah, neneknya, dan seorang pembantunya. Tapi mereka tak pernah membukakan pintu. Padahal bel pintunya selalu nyaring terdengar. Kenapa ya ?", tanya Samsul penasaran. Agus cuma mengangkat bahu dengan malas. Dia juga tidak tau mengapa Samsul tak pernah bisa masuk kesana. Dia juga tak peduli. Pikirannya kini sedang penuh dengan gambar wajah Mariah yang selalu terbayang dalam setiap kedipan mata. Rasanya tak menentu.....

"Tapi aku tak akan menyerah, aku akan tetap kesana siang nanti. Yang penting aku bisa PDKT. Iya kan, Gus ?", tanya Samsul dengan bersemangat.

"Ah..., terserah kamu mau apa. Aku sedang tidak bisa berpikir apa-apa. Suntuk !", sahut Agus sekenanya. Agus menelungkupkan kepalanya di atas meja. Lagi-lagi tangisan lirih Mariah yang terngiang di telinganya. Membuat Agus semakin resah. Pelajaran di sekolah hari itu tak satu pun yang masuk dalam kepalanya. Agus begitu tersiksa.

*
Tak seperti biasa, Agus tak lagi ikutan usil bersiul-siul dari seberang jalan saat Mariah lewat sepulang sekolah. Teman-temannya tidak begitu peduli dengan hal itu, mereka tetap bersiul-siul sekenanya untuk menggoda gadis itu. Anehnya, kali itu Mariah tidak lagi meludah, dia cuma terlihat semakin mempercepat langkahnya supaya lekas berlalu dari sana. Seperti berlari. Dan hal itu berlangsung sampai berulang-kali. Hingga akhirnya teman-teman se-gang Agus merasa aneh sendiri. Ternyata keadaan sudah tidak semenarik dulu lagi. Apa bagusnya menyiuli gadis yang terbirit-birit kabur dari seberang jalan ? Mariah sudah tidak pernah lagi meludah sekarang, dia cuma kabur ! Betul-betul tidak asyik !

"Eh..., kamu perhatikan gak ? Kok anak itu gak pernah meludah lagi ya ?", tanya Wibisono siang itu.

"Alah..., dulu dia meludah kamu marah, sekarang dia gak meludah kamu heran. Memang harusnya dia mesti bagaimana ?", tanya Samsul membela. Dia juga ikut dalam gerombolan tukang siul itu, tapi cuma pada Mariah saja dia mau memberi siulan. Semua teman di gang itu juga tau kalau dia naksir berat sama Mariah. Itu sebabnya dia gak terima ketika Wibisono mengkritik sikap Mariah kali ini.

"Tapi dia sudah berubah ! Apa barangkali dia sekarang mulai takut pada kita ?", tanya Wibisono sambil nyengir. Agus mendengar kalimat itu dengan diam. Takut ! Ya ! Tentu saja Mariah takut setelah dibentaknya tempo hari. Rasa sesal Agus semakin lama semakin bertambah besar saja. Sampai kapan gadis itu akan takut tiap kali lewat di seberang sana ? Heeeh..., Agus mulai berpikir kebiasaannya berkumpul di muka masjid itu bukan sesuatu yang menguntungkan.

"Mulai besok aku tak akan ikut kalian disini. Bapakku menyuruhku membantunya mengirimkan telur-telur ayam ke beberapa pasar. Tarno sudah berhenti kerja sejak kemarin. Jadi kalian saja yang duduk-duduk disini besok ya ?", kata Agus mengagetkan semua temannya.

"Yaaah..... Gak asyik banget sih ? Terus kalau sampai di rumah terlalu cepat, aku mau ngapain ?", tanya Wibisono. Agus tak acuh mendengarnya. Yang penting dia bisa menghindar dari kebiasaannya menggoda setiap gadis cantik yang lewat di jalan itu. Omelan ibunya yang tak putus, setelah Surti melaporkan apa yang sering dia lakukan pada Mariah, seminggu yang lalu itu, membuatnya tambah mantap bertobat. Hah ! Bertobat ? Rasanya dosanya gede banget....

"Aku pulang ! Sebentar lagi bapakku selesai menghitung telur dari kandang. Biasanya setelah ashar, telur-telur itu sudah siap kirim. Udah ya ?", pamit Agus, membuat teman-temannya kecewa. Dengan langkah mantap, Agus meninggalkan halaman depan masjid. Kakinya melangkah ke seberang, menuju gang kecil yang sering dilewati Mariah setiap kali dia pulang. Matanya tajam saat melihat rumah besar yang didiami keluarga gadis itu. Tak tampak seorang pun di halaman depan, tidak juga raut wajah ayu gadis remaja yang beberapa hari ini mengisi mimpinya.

Sebuah gordyn yang tersingkap membuat Agus terkesiap. Sepasang mata bening menatap dari balik jendela kamar depan. Agus tau, itu mata Mariah. Tak sadar, langkah Agus terhenti disana. Ditatapnya lekat-lekat sepasang mata indah itu. Lalu Agus melihat seulas senyum tipis ke arahnya. Agus gugup. Tiba-tiba saja dia jadi berkeringat dingin. Cuma sesaat. Lalu gordyn itu menutup lagi. Agus terpaku di tempatnya berdiri. Kaset itu ! Pasti Mariah sudah membaca tulisannya ! Senyum Mariah itu.... Apakah dia mau menerimaku ? Agus memandangi gordyn jendela yang tak lagi terbuka itu, lalu menghela nafas.... Ditinggalkannya jalanan di depan rumah Mariah dengan hati rindu dendam.

Tak ada orang lain yang tau, sepasang mata mengawasi gerak-gerik Agus dari balik pagar gang sempit itu. Rasa heran memenuhi kepalanya, dia tak mengerti mengapa Agus lama berdiri disana....

*
Mariah tersenyum senang sendirian. Baru saja tadi dia melihat pemuda itu di depan rumahnya. Pipinya yang memerah terasa hangat. Dadanya berdegup kencang. Dia berusaha menenangkannya sebisa mungkin. Tangannya meraih kaset Michael Buble yang tergeletak di dekat tape recorder. Dengan hati-hati dibukanya sampul kaset itu, sebuah tulisan rapi terpampang dengan indah. Ahh.... Tak sangka pemuda itu akan menulis seperti ini. Pemuda yang selama ini sering menggodanya tiap kali pulang sekolah, ternyata suka padanya. Dunia ini memang aneh ! Mariah pikir, pemuda itu membencinya setengah mati. Bukankah selama ini pemuda itu sering sinis bila bertemu dengannya di rumah Surti ? Tapi kaset itu ? Berbanding terbalik 180 derajat dengan apa yang sering disaksikannya setiap kali pulang sekolah. Apa iya pemuda itu tertarik padanya ? Mariah ragu. Tapi tatapan yang lekat yang baru saja dilihatnya dari arah depan rumah itu sungguh menghunjam, membuat jantungnya seakan  berhenti berdetak. Mariah menangkap bersit sinar rindu dalam tatapan itu. Membuat hatinya melambung, hingga senyumnya tak henti menghias bibir.

TEEEEETT.....!!!!

Terdengar suara bel pintu. Mbok Nah yang sudah setengah tuli sedang asyik melihat TV di ruang tengah. Acara kesayangannya sinetron penuh tangisan. Mariah malas membukakan pintu, PR Matematika dari Pak Sitompul yang jumlahnya bejibun membuatnya malas mengangkat kaki. Tapi bel pintu depan tetap saja terdengar. Eyangnya di jam-jam seperti ini pasti sedang istirahat, sedangkan Mbok Nah sepertinya tak juga mendengar. Terpaksalah Mariah ke pintu depan. Gordyn jendela depan dibukanya sedikit, sesosok pemuda tampak berdiri canggung di depan pintu. Ah..., orang itu lagi. Dia yang telah memberikan kaset itu pada Mariah waktu itu. Apakah dia juga akan membawa pesan lain hari ini ? Mariah berdebar penuh harap. Tangannya perlahan membukakan pintu. Dan pemuda itu tersenyum menganggukkan kepala menyapanya.....

"Halo..., Mariah.... Boleh aku bicara denganmu sebentar ?", sapa Samsul sopan. Hatinya berbunga-bunga melihat cantiknya rupa Mariah yang sama sekali tanpa make-up.

"Mau bertemu saya ?", tanya Mariah seakan tak yakin. Pemuda itu datang tanpa membawa apapun. Ah..., Mariah sungguh berharap pemuda itu membawa pesan lisan. Adakah ? Matanya menatap pemuda itu beberapa saat, hal yang membuat Samsul salah tingkah.

"Ya..... Eeh..... Saya..... Kamu..... Eeh....", Samsul tak bisa menutupi kegugupannya. Dia bingung mau mulai darimana. Tiba-tiba saja lidahnya kelu, tak dapat berkata-kata lagi.

"Ya ? Ada apa ?", tanya Mariah penasaran. Pemuda itu malah tambah gugup. Keringatnya mengalir berbutir-butir di kedua pelipis.

"Eeh.... Mungkin lain kali saja, ya ? Saya permisi dulu....", pamit Samsul kikuk. Badannya langsung berbalik dan melangkah ke arah pintu pagar depan. Mariah memandanginya tak mengerti.

"Mas...!", teriak Mariah memanggil. Samsul menoleh dengan grogi.

"Terima kasih sudah diantarkan kasetnya.... Kaset Mas Agus bagus...!", ucapnya sayup-sayup. Samsul tersenyum kikuk, dia tak begitu dengar suara Mariah yang hilang-timbul ditelan suara bising deru mobil angkot yang lewat di depan rumah. Samsul kembali membalikkan badan lalu cepat-cepat keluar dari halaman. Alisnya Mariah sampai berkerut melihat pemuda yang kini cuma tampak dari punggungnya, melangkah terbirit-birit seperti sedang dikejar anjing. Diam-diam rasa sesal merayap dalam hatinya. Ahh.... Andai saja pemuda itu membawa pesan lainnya. Alangkah senangnya.....

*
Samsul sampai di rumah Agus dengan hati gundah. Badannya yang berisi segera saja dia lemparkan ke atas kasur di kamar Agus yang penuh dengan poster tertempel di dinding. Rasanya kesal sekali. Cuma tinggal sedikit !, sedikit lagi untuk bisa mengenal Mariah lebih dekat.... Sialnya rasa gugup itu datang lagi, meremuknya hingga tak mampu berkata-kata. Hah ! Dipukulnya bantal Agus yang sedang didekapnya. Entah kapan lagi kesempatan bagus seperti tadi akan terulang. Sungguh kesempatan yang disia-siakan. Padahal Mariah sudah di depan mata. Cuma perlu bicara..... Dan itupun belum juga bisa dilakukannya. Hah ! Samsul merasa sangat bodoh dengan kepengecutannya. Bodoh sekali.

Agus baru saja selesai mengantar berkotak-kotak kayu telur ayam ke semua langganan bapaknya ketika melihat Samsul yang tertidur pulas di atas kasur kapuknya. Samsul memang sudah sangat biasa keluar-masuk di rumah ini. Dia sudah seperti keluarga sendiri. Maklumlah, sejak SD mereka berdua sudah bersahabat akrab. Dan itu sudah berlanjut sampai SMP, lalu STM seperti sekarang. Heran juga melihat Samsul yang seakan lupa mencopot sepatunya sebelum tertidur. Biasanya Samsul akan melepas sepatunya di luar kamar, lalu tidur di kasur kapuk itu dengan masih mengenakan kaus kaki. Tapi kali ini tidak. Sepasang sepatu itu masih setia melekat di kedua kakinya yang berukuran 44, dua angka lebih besar dari ukuran sepatu Agus yang cuma 42. Dengan iseng, dimasukkannya sebatang pensil ke dalam mulut Samsul yang menganga. Itu cukup untuk membuat Samsul terkejut lalu terbangun dan menyadari batang pensil yang baru saja masuk ke dalam mulutnya, lalu melemparkannya kembali ke arah Agus yang sedang tertawa geli.

"Ngagetin aja ! Baru ngimpi, tau ?!...", omel Samsul kesal. Baru saja dia mimpi duduk berhadapan dengan Mariah di sebuah kedai Bakso Joko langganannya. Samsul begitu senang bisa mengajak gadis itu kesana. Mariah yang cantik..., yang senyumnya menawan..., yang memotong baksonya dengan anggun..., yang memasukkan potongan baksonya dengan bibir merah merekah.... Bikin Samsul terpesona, sampai mulutnya ikut-ikutan menganga.... Serasa mau ngiler.... Tau-tau ada rasa benda keras masuk ke dalam mulut. Bikin rasa nikmat karena melihat indahnya wajah Mariah dan enaknya Bakso Joko menguap seperti asap. Hah ! Rupanya pensil Agus yang sedang diemutnya ! Dalam hati Samsul menangisi menguapnya wajah Mariah dari tidurnya yang sesaat. Dilihatnya Agus nyengir senang mentertawakan. Betul-betul menyebalkan.

"Enaknya....siang-siang bisa molor. Bantu Bapak di belakang, yuk !", ajak Agus kemudian. Samsul bangun dari dipan dengan malas. Siang-siang begini pasti Bapak Agus sedang sibuk-sibuknya memberi minum ayam-ayam peliharaannya. Samsul memang biasa membantu bila sedang mampir ke rumah Agus. Lumayan, bapak Agus selalu memberinya sedikit uang saku setelah membantu memberi minum ayam dan membersihkan kandang. Beberapa rupiah saja, tapi cukup untuk membeli karcis nonton bioskop di depan alun-alun.

Agus berkemas mau ke kandang ayam ketika bahu kanannya tiba-tiba tertahan tangan Samsul.

"Jangan goda Mariah lagi, ya ?", kata Samsul. Agus menoleh pada sahabatnya. Raut wajah Samsul yang serius membuatnya urung menimpali dengan gurauan. Kalau sudah serius begini, Samsul tak akan segan-segan bertindak apapun demi maksudnya. Agus merasakan ancaman yang akan muncul tiba-tiba bila dia melanggar kata-kata Samsul. Sekilas terlintas seulas senyum di wajah Mariah dari balik gordyn jendela yang tersingkap itu. Seulas senyum yang sempat meluluh-lantakkan perasaannya hingga terpaku termangu-mangu di depan pagar rumah Mariah....

"Kasian dia, Gus. Dia tak pantas kita goda seperti itu. Sebaiknya kita belajar untuk tidak mengganggu siapapun yang lewat di seberang masjid. Kamu juga harus ingat peringatan ibumu.... Jangan ganggu Mariah lagi, ya ?!", kata Samsul. Agus melengos, dia memang sudah tak ingin menggoda gadis itu lagi. Bukankah dia sudah terlanjur jatuh hati ?

"Ya, Gus ? Jangan goda lagi, ya ?", kata Samsul.

"Hmm....", Agus mendeham sambil menganggukkan kepalanya dengan kaku. Situasi ini sungguh canggung. Agus tak mau Samsul tau perasaannya pada Mariah. Tapi dia juga ingin gadis itu menjawab tulisan yang diterakannya dalam kaset kiriman itu.

"Sudahlah.... Ke belakang bantu bapak, yuk ! Sudah jam hampir jam 2.30, kasian bapak bekerja sendirian", ajak Agus, mengalihkan topik pembicaraan. Samsul mengangguk, dia mengikuti langkah Agus ke arah kandang di belakang rumah. Matanya sempat melihat-lihat batang pohon jambu kelutuk yang terlewat sebelum mencapai kandang. Dia berniat akan memanjat pohon itu lagi selepas membantu bapak Agus nanti. Siapa tau bisa melihat bayangan Mariah dari dalam rumahnya di balik pagar....

*
Malam itu Agus tak bisa belajar, hatinya gelisah. Makin hari memang hatinya makin tak menentu. Dia ingin mendengar jawaban itu. Cuma dengan mendengarnya, hati Agus akan kembali tentram. Tak peduli seperti apa bunyinya nanti. Tapi dia harus mendengar jawaban itu.

Agus melangkah gelisah ke rumah Mariah yang ada di tepi jalan utama. Rumah yang tenang dan sunyi. Agus diam membisu memandangi gordyn jendela kamar Mariah yang tertutup, cuma tampak pedar-pedar sinar lampu neon dari sela kisi-kisi di atas jendela. Lama dia mematung disana, mengharap akan melihat wajah Mariah tersembul dari dalamnya. Dia terkaget oleh suara gerbang pagar yang bergeser. Lebih terkejut lagi ketika melihat wajah yang tak asing di matanya.

Mariah baru saja pulang dari membeli peralatan sekolah. Di tangannya tergenggam sebuah tas plastik warna putih berisi beberapa buku tulis dan ball point. Dia terheran-heran melihat ada orang yang sedang terdiam berdiri di depan pagar rumahnya. Tapi rasa herannya segera berubah menjadi bahagia setelah tau Aguslah yang sedang berdiri disana. Pipinya memerah saat pemuda itu melihatnya.

"Hai !", sapa mereka bersamaan. Agus jengah, Mariah pun tersipu, membuatnya tertunduk malu. Kalau saja saat itu hari telah siang, pasti semua orang bisa melihat betapa merona wajah Mariah karenanya.

"Baru dari mana ?", tanya Agus basa-basi. Dia berusaha setenang mungkin menghadapi gadis itu. Meski untuk berlaku normal itu sangat sulit dalam keadaan seperti sekarang. Tangannya yang berkeringat dimasukkannya ke dalam saku celana.

"Dari toko..., beli buku...", jawab Mariah pendek. Diliriknya pemuda berbadan tinggi yang sedang berdiri di depan pagar itu. Dan lagi-lagi Mariah tertunduk malu saat tatapan mata mereka berbenturan satu-sama-lain. Degup jantung keduanya kencang bertabuhan. Agus ingin banyak bicara, tapi mulutnya seperti terkunci. Mariah menunggu setiap kata yang akan didengarnya dengan rasa tak menentu. Sudah di muka pintu..., jangan pulang dulu.... Harap Mariah dalam hatinya. Tapi bibir Agus tak jua berkata sepatah pun. Dengan perlahan Mariah menutup gerbang itu. Dan sesaat sebelum dia usai menutup pintu pagar itu, tiba-tiba tangannya dikejutkan oleh genggaman lembut Agus yang menahannya. Maraih terbelalak memandang pemuda jangkung itu.

"Jawab aku, Mariah....", pintanya dengan lemah. Matanya yang sendu menatap, memohon penuh harap. Mariah jadi semakin menyadari betapa menariknya bentuk mata dan alis pemuda itu. Dadanya berdesir kala merasakan tangan Agus yang lain meraih lengannya. Anehnya, Mariah tak ingin sentuhan itu cepat-cepat terlepas dari tangannya.

"Tunggu aku di depan sekolah besok siang....", ucap Mariah menenangkan dirinya sebisa mungkin. Sesaat tangannya balas menggenggam. Itu pun sudah cukup membuat Agus tersenyum. Senyum terindah yang pernah dilihat Mariah seumur hidupnya. Perlahan Agus melepas genggamannya. Dibiarkannya Mariah masuk ke rumah. Agus memandangi punggung gadis itu hingga tak terlihat lagi dari tempatnya berdiri. Tak pernah Agus merasa sesenang ini. Kakinya menghentak dan kedua tangannya terkepal di depan dada. Yes ! Akhirnya....

*
Samsul celingukan mencari-cari wajah Agus yang entah sedang ada dimana. Tumben ! Biasanya Agus akan menunggunya di depan pintu gerbang STM. Tapi tak secuilpun wajah itu ada disana. Samsul lalu bergabung dengan teman-temannya yang lain di depan masjid sebelah STM. Mereka sedang asyik ngobrol soal pelajaran kelistrikan mobil yang baru saja diujikan Pak Eman. Dulu Pak Hamid, bapak Mariah, yang mengajar mata pelajaran itu sebelum beliau diangkat menjadi kepala sekolah di STM ini. Pak Hamid orang yang berwibawa, selalu berjarak dengan pada muridnya. Tak seperti Pak Eman yang suka membanyol dan senang bergurau dengan murid-muridnya. Meski keduanya sama asyiknya dalam menyampaikan pelajaran di kelas.

Wibisono, Teguh, Firman, dan Wahyu sudah tampak berkumpul di depan masjid. Mereka sedang sibuk melepas kaos kaki saat Samsul sampai disana, bersiap-siap untuk sholat dzuhur bersama. Cuma perlu beberapa menit untuk menunaikan ibadahnya, lalu kembali duduk-duduk di pagar pendek pembatas trotoar dengan halaman masjid, bersiut-siut setiap kali melihat cewek cantik seperti biasa. Sudah beberapa saat Samsul menyadari betapa munafiknya mereka. Baru saja tadi bertobat dengan sholat, memohon ampun pada Tuhan untuk segala kesalahan. Tau-tau setelah itu ramai lagi menggoda orang. Tapi aneh, Agus tak juga tampak batang hidungnya. Kemana dia ?

"Langsung pulang kali, waktu itu kan dia bilang mau bantu bapaknya ngirim telor ayam", celetuk Teguh. Teman-temannya manggut-manggut. Tapi Samsul masih merasa ada yang aneh, karena tak biasanya Agus tak pamitan dulu dengannya. Lumayan lama juga dia menunggu disana. Barulah dia menyadari kalau ternyata hari itu Mariah belum juga terlihat melintas di seberang jalan. Apakah dia sakit ? Ah..., betapa sepi dunia bila tak bisa melihat gadis itu melintas di seberang sana. Rasa rindu merayap dalam hati Samsul yang tak jua menngkap satu pun bayangan Mariah yang biasanya berjalan tertunduk menuju gang sempit yang menghubungkan jalan raya itu dengan jalan utama di depan rumahnya.

*
Sudah 3 minggu lebih Agus tak pernah menampakkan diri di depan masjid. Samsul penasaran betul ingin tau kemana pemuda itu pergi selepas sekolah. Kemarin dia sudah berusaha secepat mungkin sampai di rumah Agus, tapi ternyata Agus tak ada di rumah. Kata ibunya, Agus sekarang sampai di rumah jam setengah dua. Itu berarti ada waktu kira-kira satu setengah jam selepas sekolah yang dipergunakan Agus untuk melakukan hal lain entah dimana. Seperti belut, kecepatannya untuk selekasnya kabur dari sekolah begitu hebat. Tau-tau raib dari kelas, tak bisa dipegang lagi ekornya.

Maka Samsul siang itu sengaja kabur dari sekolah lebih awal. Dia sengaja bolos dari kelas Pak Tarno yang mengajarkan Bahasa Inggris, agar bisa menguntit Agus sepulang sekolah nanti. Samsul bersembunyi di warung es campur Sederhana di seberang sekolah. Duduk berlama-lama menanti Agus pulang. Dan disanalah Agus berada, tampak di antara gerombolan murid lain yang kelasnya ada di areal paling depan di sekolah mereka. Agus menyeberang jalan dengan cepat, tapi anehnya dia tidak mengambil arah pulang. Agus malah berjalan ke arah selatan. Mau kemana dia ?

Samsul mengendap-endap menguntit beberapa meter di belakang Agus yang berjalan dengan tergesa-gesa. Dan langkahnya terhenti ketika Agus tampak berdiri menunggu di depan gerbang SMA. Samsul bersembunyi di balik batang pohon mahoni yang kekar berdiri di tepian jalan. Pohon berdaun rimbun yang sudah tegak tumbuh disana sejak 20 taun yang lalu. Buahnya sering jatuh di tepi jalan. Rasa isinya pahit, seperti jamu. Tapi sedang apa Agus disana ? Siapa yang ditunggunya ?

Kaki Samsul hendak beranjak mendekat ke arah Agus ketika tiba-tiba dilihatnya seseorang berlari mendekati Agus yang sedang berdiri di depan gerbang. Matanya tak percaya saat melihat wajah cantik yang dikenalnya tersenyum lepas dan dengan manja tampak bergayut di lengan Agus yang kini wajahnya kelihatan sumringah. Dia Mariah !

Kepala Samsul terasa agak pusing, hatinya seperti teremas. Jadi selama ini Agus sudah demikian dekat dengan gadis itu. Betul-betul pengkhianat ! Samsul mendengus marah. Hatinya terbakar cemburu. Tapi emosi itu dipendamnya dalam-dalam. Bukan saat ini, tapi Agus harus memberi penjelasan untuk semua yang sudah dilihatnya siang ini padanya !

*
Darah naik sampai kepala Samsul. Dia teringat pertemuannya  yang lalu... Ketika Samsul terpana mendengar Mariah mengatakan itu.... Saat baru saja dia bisa sedikit leluasa bicara dengan gadis itu di teras rumahnya, dan tiba-tiba saja Mariah mengucapkan terima-kasih padanya. Mariah bilang, Mariah suka dengan kaset Agus yang sudah diantarkan kepadanya dulu. Kaset Agus yang sudah diantarkannya ? Mengantar kaset ? Jadi selama ini Mariah cuma menganggap dia sebagai pengantar kaset Agus ? Padahal dengan jelas Samsul sudah mengatakan bila kaset itu pemberiannya untuk Mariah. Tapi mengapa gadis itu menyebutnya kaset Agus ? Jangan-jangan....?

"Dulu aku heran waktu dia menyebutku cuma pengantar kasetmu, aku juga sempat heran sewaktu kau pernah aku lihat berlama-lama berdiri di depan pagar rumahnya, dan siang ini kau kulihat sudah digandengnya dengan mesra. Apa maksudmu, Gus ?", kata Samsul kesal, bahu Agus ditekannya dengan tangan. Celaka !, inilah yang ditakutkan Agus selama ini. Ini juga sebabnya dia tak mau Samsul tau hubungannya dengan Mariah.

"Apa maksudmu, Gus ?", teriak Samsul marah. Tangannya mencengkeram kerah baju Agus, membuat Agus sedikit tercekik.

"Ya !... Huk.!..huk...! Aku.... Aku memang sudah pacaran dengannya....!", teriak Agus di sela cekikan di kerah lehernya.

"Pengkhianat !!!", Samsul balas berteriak. DHUAGG ! Kepalan segera menghantam dagu Agus, membuat pandangannya berkunag-kunang. Agus masih bertahan dengan tetap bersandar pada dinding lemari.

"Dia sudah jadi pacarku ! Puas ?!", jawab Agus menggelegar, menyentakkan Samsul, membuatnya semakin naik pitam.

"Haaah !!! Kau tau aku suka padanya ! Tapi kau malah memacarinya. Kau pengkhianat !", Samsul menyerapah sengit. Tinju Samsul kembali melayang mengenai pipi kiri Agus. DHUAGG ! Agus tersungkur di sudut kamar, pipinya terasa pegal. Agus mengusap pipi kirinya dengan tangan, pukulan kedua ini membuat rahangnya seperti mau copot. Tapi inilah resiko yang harus dihadapinya. Dan Agus sudah siap dengan kemarahan Samsul ini.

"Apapun yang akan kau tumpahkan, aku tak akan surut. Aku rasa aku sudah cukup memberimu waktu  untuk mendekatinya, tapi kau tak juga bisa menyatakan perasaanmu padanya. Jadi jangan salahkan aku kalau saat ini aku bisa mendapatkannya...", Agus lantang membela diri.

"Tapi dia cuma menganggap aku jadi tukang antar kasetmu ! Bagaimana mungkin dia tau kalau itu milikmu ? Apa yang kau masukkan dalam bungkusan kaset itu ?" tanya Samsul dengan marah. Telunjuknya menuding lurus ke arah Agus, seperti mau menusuk matanya. Agus terdiam tak menjawab, nafasnya mengebu tak menentu. Dia teringat tulisan dalam kaset itu....

Mariah.... 
Aku ingin jadi pacarmu....


 Hmm... Dia memang salah soal itu. Dia tak berterus-terang pada Samsul kalau dia sudah menulis sebuah pesan dalam bungkusan kaset yang diberikannya pada Samsul untuk Mariah. Tapi mengatakan yang sesungguhnya tentang tulisan itu pada Samsul juga bukan pilihan yang menguntungkan. Dia ingin tulisan itu cuma jadi rahasia dirinya dengan Mariah.

Dan kediaman Agus rupanya harus dibayar dengan mahal. Sekepal tinju Samsul kembali melayang, mengenai pipi kanannya. Kali ini Agus betul-betul tak berdaya, dia tersungkur - tak ingat apa-apa....

*
Lima tahun sudah sejak lulus STM, kini Agus telah menjadi seorang pegawai di Perusahaan Listrik Negara seusai meraih gelas sarjana. Sejak peristiwa pemukulan itu, Agus tak pernah lagi bertegur sapa dengan Samsul. Bahkan hingga keduanya selesai ujian sekolah. Dan masing-masing lalu menapak ke arah yang berbeda untuk meneruskan kuliah di kota yang berlainan pula. Agus ke Bandung, dan Samsul ke Surabaya.

Agus sedang berjalan-jalan di pusat pertokoan ketika melihat sepasang manusia yang sedang asyik bergandeng mesra. Seorang gadis bule dan seorang pemuda perlente. Tak silap pandangan Agus melihatnya. Pria itu Samsul !. Agus bergegas mendekat ke arahnya, hingga keduanya saling berhadapan. Keduanya saling menatap, keduanya langsung teringat. Agus terkesiap memandang sahabat kecilnya yang sudah menjelma menjadi pemuda tampan itu, tapi sesaat langkahnya tertahan. Dia teringat hal terakhir yang pernah terjadi di antara mereka. Agus termangu dalam keraguan. Sampai tiba-tiba Samsul merangkulnya dengan erat. Hingga mau-tak-mau Agus membalasnya dengan rangkulan yang tak kalah kencangnya. Keduanya memang rindu. Sesaat mereka berpelukan seperti saudara yang telah lama tak bertemu satu-sama-lain. Lalu rangkulan itu mengendur, seiring dengan sapa yang teruntai dari mulut Samsul.

"Aku rindu padamu, Gus ! Apa kabarmu ?", tanya Samsul. Agus tersenyum bahagia, pelukan erat sahabatnya itu berarti segalanya.

"Kau keren !", kata Agus sambil melirik gadis bule di sebelah Samsul.

"Oh..., dia tunanganku...", kata Samsul mengenalkan. Agus terpesona. Tak pernah disangka Samsul juga punya selera pada gadis bule. Agus mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

"Apa kabar Mariah ?", tanya Samsul tiba-tiba. Agus memandang sahabat kecilnya itu dengan sendu. Lalu bibirnya tersenyum pahit. Pandangannya menerawang jauh menembus langit-langit pertokoan.

"Sudah kawin. Dia menikah dengan dosennya.... Dia tak sabar menungguku wisuda....", jawab Agus pendek.  Samsul menatapnya dengan haru. Ditepuk-tepuknya bahu Agus yang bidang.


SELESAI

Kamis, 01 April 2010

KASET UNTUK DIA

"Gus..., kenalin dong !"

Agus tetap melenggang meninggalkan ruangan, ocehan Samsul tak dihiraunya. Heh..., ada-ada saja.... Entah mengapa Samsul bisa tergila-gila sama Mariah yang anak Pak Guru Hamid itu. Gadis sombong berkulit putih yang selalu berjalan dengan kepala tertunduk, tak pernah mau menoleh tiap kali dipanggil saat bertemu di jalan. Masih banyak gadis lain yang tak kalah menarik di sekolah itu, mengapa juga harus Mariah ? Sampai pusing Agus mencari cara agar Samsul tak mencoba mendekati Mariah. Gadis pemarah itu mudah sekali meludah setiap kali ada siulan pemuda tertuju padanya.

Hah ! Apa bagusnya gadis yang suka meludah ? Gadis-gadis lain akan tersenyum-senyum tiap kali Agus memberi siulan. Mereka akan mendekat dengan wajah sumringah kepadanya. Tapi Mariah tidak pernah seperti itu. Gadis angkuh yang barangkali merasa paling cantik di dunia itu tak pernah sudi mendengar siulannya. Bahkan selalu meludah ! Agus heran mengapa Samsul sampai mabuk kepayang bermimpi ingin menjadikannya pacar. Sampai-sampai buku pelajarannya penuh puisi, coretan tentang cinta di hampir setiap lembar paling belakang catatannya.

"Ngaca kamu ! Mana mau gadis seangkuh Mariah mau sama kamu ? Kamu ngimpi ya ?", Agus berkata ketus. Dia masih saja teringat-ingat cara Mariah meludah. Menyebalkan.

"Ah..., jangan gitu dong.... Aku tidak enak tidur, aku tidak enak makan.... Aku mau kenalan sama Mariah. Adikmu kan teman karibnya, masak teman karib adikmu bukan gadis baik-baik ?", bujuk Samsul lagi.

"Mungkin dia gadis baik-baik, tapi dia sombong. Lagi pula, kenapa kamu tidak kenalan sendiri saja ? Tinggal datang ke rumahnya, ajak kenalan. Beres kan ? Cuma jangan kaget kalau nanti kamu sampai diusir dari rumahnya. Kamu memang suka cari perkara....", kata Agus sinis.

Dia jadi teringat ulah konyol Samsul setiap kali pulang sekolah. Samsul sengaja mampir dulu ke rumah Agus cuma untuk bisa memanjat pohon jambu kelutuk di kebun belakang agar bisa mengintip Mariah yang kadang terlihat melintas di dalam dapur rumahnya yang berbatasan pagar tembok dengan rumah Agus. Bahkan Agus pernah begitu geli ketika mendapati wajah dan tangan Samsul yang bentol-bentol gara-gara kena ulat bulu yang sedang berpesta di dahan pohon jambu. Konyol sekali. Apa perlu berulah sampai sejauh itu ? Bertengger seperti burung dari siang hingga menjelang maghrib sampai dibela-belain lupa makan siang. Konyol betul ! Agus geleng-geleng kepala....

"Ya sudahlah, aku mau kenalan sendiri saja. Sepertinya kamu malas mengenalkan aku padanya. Atau..., jangan-jangan kamu juga naksir sama Mariah ?", tuduh Samsul penuh selidik.

Alis Agus langsung berkerut marah, barangkali kalau sampai dia naksir Mariah itu tandanya dunia sudah kiamat ! Seperti di dunia ini tidak ada orang lain saja. Agus jadi terkenang lagi dengan cara meludah Mariah yang khas : ...mata melirik, kepala menunduk, lalu CUIIHH....!  Ternodalah trotoar pejalan kaki dibuatnya.

Agus merasa tak perlu memperpanjang dialog dengan Samsul. Perutnya terasa lapar. Kakinya segera melangkah pergi menuju kantin, meninggalkan Samsul yang masih terbengong-bengong sendiri di depan pintu kelas.

*
Siang itu Mariah pulang dengan kepala tertunduk seperti biasanya. Tangannya erat mendekap tas sekolah yang dibawanya. Ada kira-kira sepuluh buku di dalamnya, lima buku pegangan dan lima lainnya buku catatan, lumayan berat juga. Rindangnya pepohonan yang menaungi sepanjang trotoar jalan raya tak membuat kepalanya tetap dingin. Matanya melirik-lirik ke arah seberang jalan, di depan masjid raya satu-satunya yang ada di kota kecil itu. Disanalah biasanya gerombolan pemuda anak-anak STM selalu berkumpul sepulang sekolah. Pemuda-pemuda yang tak pernah bosan menggodanya dengan siulan-siulan menyebalkan. Mariah sama sekali tak pernah suka siulan-siulan itu. Lagak mereka semakin membuatnya muak saja. Entah sudah berapa kali dia meludah setiap kali habis disiuli. Mariah tak pernah menghitung. Tapi sudah banyak, karena sudah sering kali dia berbuat begitu.

Entah sebab apa para pemuda itu suka menyiulinya setiap kali dia pulang sekolah. Jalur pulang yang mengharuskannya melewati jalan di seberang masjid, membuatnya mau-tak-mau harus sering berhadapan dengan kelompok pemuda STM itu. Mereka memang sering nongkrong di depan halaman masjid. menyiuli setiap gadis yang lewat di jalur itu. Jadi Mariah bukan satu-satunya. Hanya saja Mariah merasa risih. Enak betul para pemuda usil itu menyiulinya seperti burung.

Padahal Mariah tak merasa ada yang aneh dengan dirinya, meski dia memang sedikit berbeda dari gadis kebanyakan. Tapi rasanya sedikit perbedaan itu bukan hal yang patut dipermasalahkan. Apa salahnya punya kulit sedikit lebih putih dari yang lain ? Apa salahnya rambutnya lebih coklat kepirangan daripada yang lain ? Ada apa pula dengan langkahnya yang tegap ? Apakah itu salah ? Lalu mengapa mereka selalu menggodanya dengan siulan-siulan menyebalkan seperti itu ?

Mariah tak habis pikir.

Mariah mengenali salah satu pemuda yang menggodanya, dia tau betul orang itu. Dia abang Surti, teman sebangkunya. Orang angkuh yang entah mengapa lebih suka menggodanya dengan siulan-siulan menyebalkan daripada sekedar bertegur-sapa dengannya setiap kali dia bertandang ke rumah Surti. Bila bertemu di rumah Surti, pemuda itu selalu diam, cuek sekali. Tapi lihat apa yang dilakukannya setiap kali bersama anggota gerombolannya di depan masjid itu. Aneh sekali. Mariah tak pernah bertemu pemuda seaneh itu sebelumnya.

Dan kini tibalah waktunya pertunjukkan itu dimulai. Selalu ketika tepat berada di bawah pohon Flamboyant, suara-suara siulan bersahutan terdengar dari seberang jalan, seperti suara siulan sekelompok burung sriti yang berisik memenuhi telinga. Membuat jantung Mariah jadi berdebar-debar lagi. Kepalanya semakin dalam menunduk. Telapak tangannya pucat dan mendingin. Perut Mariah terasa sedikit kejang, dan kakinya seakan ingin cepat-cepat terbang dari sana. Air liurnya mengumpul dalam rongga mulut. Dan kepalanya berkeringat dingin. Semakin lama air liur itu semakin banyak saja terkumpul dalam mulutnya, hingga akhirnya.....

CUIIIHH...!!!

Basah sudah trotoar tak berdosa dengan ludahnya. Tiba-tiba Mariah merasa menyesal mengapa lagi-lagi dia harus meludah seperti itu. Dia benci pada telinganya yang tak sanggup mendengar riuhnya siulan. Dia marah pada air ludahnya yang selalu saja mengumpul setiap kali kecemasan akan godaan itu datang. Dan terlebih lagi, Mariah marah pada dirinya sendiri karena tak sanggup cuek pada siulan-siulan iseng para pemuda itu. Kalau sudah begini, rasa-rasanya Mariah mau menangis saja....

Suara riuh para pemuda dari seberang jalan meningkahi aksi Mariah siang itu. Sudah beberapa kali Mariah memergoki mereka saling bertaruh untuk apa yang sering dilakukannya setiap kali habis disiuli. Sialan ! Kekesalannya rupanya malah dijadikan hiburan ! Untung saja ada gang sempit yang bisa dijadikan jalan lintas menuju rumah, jadi Mariah tak perlu berlama-lama berjalan melintas jalur depan masjid itu. Ahh.... Lega sekali rasanya bisa bebas dari gangguan gerombolan menyebalkan yang ada di sana.

*
"Gus..., temani aku ya ?", bujuk Samsul dengan rengekan khasnya.

"Enggak ! Aku gak mau ! Pergi saja sendiri....", tolak Agus ketus. Heran seheran-herannya. Nekat sekali Samsul membujuknya seperti tadi. Ini adalah kali ke 4 Samsul membujuknya pergi. Dan Agus tetap kukuh dengan jawabannya. Maka dibiarkannya Samsul pergi sendirian kesana. Agus cuma bisa memandangi punggung sahabatnya dengan rasa prihatin. Tapi barangkali memang harus begitu, biar Samsul tau sendiri seperti apa angkuhnya gadis itu. Heh ! Belum tau dia.....

Baru kira-kira tiga menit, tapi rasanya Agus ingin sekali tau apa yang terjadi di rumah belakang itu, rumah Mariah. Penasaran, Agus nekat memanjat pohon jambu kelutuk dan seenaknya nangkring di sebuah dahan yang lumayan tinggi hingga dirinya bisa mengintip ke arah halaman depan rumah Mariah. Beberapa lama dia menunggu, lalu datanglah Samsul ke rumah itu. Tapi aneh, beberapa kali Samsul terdengar membunyikan bel pintu, tapi sama sekali tak dibukakan. Apa tidak ada orang ? Samsul lalu terlihat mengulanginya beberapa kali. Dan tetap saja tak ada seorang pun yang membukakan pintu. Hmm.... Baguslah ! Itu lebih baik daripada diusir oleh gadis sombong itu. Lebih baik mereka tak bertemu. Perlahan Agus turun dari atas dahan pohon jambu. Dia lega Samsul gagal bertemu Mariah. Sahabat karibnya yang baik hati itu memang tak pantas mendapatkan pacar segalak Mariah. Agus tentu saja tak akan pernah rela.

Samsul kembali ke rumah Agus dengan wajah nelangsa. Agus cuma bisa menghiburnya. Dengan cekatan diambilnya peralatan pancing di gudang sebelah kandang ayam.

"Mancing, yuk !", ajaknya bersemangat. Samsul hanya bisa mengangguk lemas....

*
Gadis angkuh itu tampak memasuki halaman rumah Agus. Surti ada di sampingnya. Mereka berdua memang akrab sejak masuk di kelas yang sama. Agus melengos ketika dilihatnya Mariah lewat di sampingnya saat berada di selasar depan ruang musholla. Sebentar tadi mata mereka sempat berpandangan satu-sama-lain. Ada seulas senyum tipis menghias wajah itu, tapi Agus membuang jauh-jauh rasa simpatinya. Dasar hipokrit ! Heh !, dikiranya siapa dia ?

Agus merasa sebal pada kepura-puraan itu. Dia heran juga pada kesetiaan Surti yang selama ini mau saja jadi teman gadis sombong itu. Dan sepertinya gadis itu kali ini akan berada lumayan lama di rumah mereka. Sialan ! Itu artinya Agus harus segera pergi. Tapi kemana ? Samsul hari ini sedang disuruh ibunya ke rumah neneknya di Semarang. Dan teman-teman yang lain juga sedang ikut bimbingan tes. Dirogohnya saku celana jeans yang dipakainya. Cuma ada uang sejumlah 5.000 rupiah saja disana. Uang segitu tak cukup buat beli tiket. Batal sudah niat mau nonton film di bioskop alun-alun. Agus lalu memutuskan untuk berdiam diri di kamar saja.

Surti sibuk menyiapkan minuman untuk Mariah yang datang bersamanya ke rumah siang ini. Mariah dibiarkannya menunggu di ruang tengah. Rencananya mereka akan mengerjakan makalah Sosiologi bersama-sama. Mula-mula Surti memintanya mengerjakan makalah itu di rumah Mariah saja, tapi Mariah malah membujuknya agar mengerjakan tugas itu disini. Padahal rumah Mariah jauh lebih nyaman daripada kondisi rumah Surti. Maklum, keluarga Mariah memang lebih punya. Tapi Mariah malah mengajaknya disini, dan Surti merasa terharu melihat Mariah mau saja duduk bersimpuh di lantai tanpa alas karpet dengan kaki telanjang. Tidak duduk di atas kursi sofa seperti yang biasa dia lakukan di rumahnya.

"Minum, yuk !", ajak Surti sambil mempersilakan. Teh tubruk yang dibuatnya diseruput pelan-pelan. Mariah suka sekali teh yang begini. Ada rasa sepat yang khas di lidah, membuat siapa pun yang meminumnya menjadi merasa nyaman. Mereka berdiskusi hingga beberapa saat. Sampai tiba-tiba Mariah pamit mau ke kamar kecil.

"Ada di belakang, sebelah dapur. Kamu sudah tau kan ?", kata Surti mengingatkan. Mariah segera permisi, rasanya dia sudah tak tahan lagi....

Kaki Mariah bergegas ke kamar itu, matanya jadi tidak begitu awas melihat sekeliling. Kepalanya yang tertunduk tak menyadari bahwa ada sesosok tubuh pemuda baru saja keluar dari dalam kamar kecil. Hingga mereka pun bertubrukan....

ADUHH...!!!

Keduanya terhuyung ke belakang. Parahnya, badan pemuda itu lebih besar daripada tubuh Mariah yang langsing. Hingga Mariah terpental agak jauh ke arah tembok dapur. Pemuda itu tampak marah, tangannya segera mencengkeram bahu Mariah dengan kasar.

"Gadis sombong ! Kau pikir kau bisa jalan seenaknya di rumah orang, ha ?!", hardiknya dengan suara seperti guntur. Mariah membelalakkan matanya dengan rasa takut. Rasa sakit di bahunya karena cengkeraman tangan pemuda itu membuatnya meringis, lalu menangis....

Agus terkejut sewaktu melihat gadis itu menangis, dia tak menyangka apa yang dia lakukan akan membuat gadis itu menangis. Cengkeraman tangannya segera dia lepaskan, membuat gadis itu jatuh terduduk di atas lantai. Rupanya, tadi tubuh gadis itu sampai terangkat beberapa senti ke atas. Dan Agus tak menyangka ternyata gadis itu berbadan seringan itu. Dia masih berdiri terpaku ketika Surti berlari-lari mendekat ke arah dapur. Surti menatapnya dengan tatapan penuh amarah. Dibiarkannya adik perempuannya itu menolong Mariah. Dan Agus cepat-cepat berbalik arah, pergi entah kemana lewat pintu belakang.

*
"Gus..., antar aku ke rumah Mariah ya ?", bujuk Samsul untuk kesekian kalinya siang itu. Tumben, kalau biasanya Agus lantang menolak, kali ini dia diam saja. Tapi itu pertanda yang bagus buat Samsul. Artinya Agus sudah merestui niatnya mau kenalan sama Mariah, gadis yang siang-malam jadi impian tidurnya.

"Kamu harusnya jangan cuma kenalan sama dia. Bawa oleh-oleh lah...", celetuk Agus tiba-tiba. Samsul jadi sumringah, ini pertanda sangat positif !

"Oleh-oleh ? Tapi oleh-oleh apa ?", tanya Samsul bertanya-tanya, "Bawa bunga ?, norak ah ! Bawa coklat ?, nanti gemuk ! Bawa buku ?, buku apa ?", Samsul garuk-garuk kepala sendiri memikirkannya.

"Sebentar..., aku ambilkan sesuatu di kamar. Kamu tunggu disini ya ?", pesan Agus padanya. Samsul mengangguk. Dan diapun menunggu dengan gelisah.

10 menit kemudian, Agus muncul di rumah tamu dengan sebuah kotak kecil terbungkus rapi di tangan kanannya. Dia menyodorkan bungkusan itu ke tangan Samsul yang segera menerimanya dengan senang hati.

"Apa ini ?", tanya Samsul penasaran.

"Kaset ! Kata Surti, Mariah suka kaset ini.... Tapi kamu datang sendiri, ya ?", jawab Agus tanpa tersenyum. Samsul senang luar biasa. Dia segera pamit ke rumah Mariah. Agus memandangnya dengan tegang, bibirnya mengatup membentuk garis.

Sudah dua minggu sejak insiden tubrukan berbuah tangisan di ruang belakang itu terjadi. Agus selalu teringat-ingat tatapan mata penuh kengerian pada wajah ayu Mariah yang memucat saat itu. Mata yang terbelalak dengan pupil yang mengecil tanda jerih. Apakah mata gadis seperti itu yang selama ini dijulukinya paling sombong dan galak ? Apakah dia telah berlebihan memperlakukannya ? Bayangan suara tangisan gadis itu selalu saja terngiang di telinganya. Agus baru menyadari bila gadis itu ternyata lebih takut daripada dirinya. Dia yang selalu memberikan predikat buruk pada gadis yang tak begitu dikenalnya. Gadis yang wajahnya kemudian selalu terkenang dalam mimpi indahnya. Dan bila dia beruntung, siang ini gadis itu akan tau apa yang telah ditulisnya di dalam bungkus kaset yang dibawa Samsul padanya. Disana tertera....

Mariah.... 
Aku ingin jadi pacarmu.


Agus


***