BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Selasa, 16 Oktober 2012

D.E.L.E.T.E.


"Kacamata Eyang dimana ya, Nung ?", tanya Uti bingung.


Nunung jadi ikut celingukan mencari dimana letak si kacamata kesayangan Uti. Ini adalah benda kesekian yang dicari Uti hari ini. Mulai dari kunci lemari baju, pisau dapur, sandal kulit, sampai kacamata. Uti sudah sering melupakan dimana dia meletakkan barang-barang miliknya. Dan makin hari, makin parah saja. Tentu saja Nunung selalu membantunya mencari barang-barang yang Uti perlukan, terkadang barang-barang itu diletakkan di tempat yang tak seharusnya. Kunci lemari baju di kamar mandi, pisau dapur di teras depan, sandal kulit digeletakkan di bawah mesin jahit, atau kacamata yang lebih sering lagi berpindah tempat - kadang di atas kulkas, kadang di dekat telpon, atau di tempat lain yang lebih acak.


Nunung kasihan melihat Uti yang makin sering sibuk mencari-cari, lebih kasihan lagi ketika Uti makin sering lupa apa yang sudah dia lakukan sesaat sebelumnya.


"Mau makan lagi, Yang ?", tanya Nunung suatu kali. Uti mengangguk.


"Eyang lapar, belum makan...", jawabnya. Padahal piring makan baru saja dia letakkan di tempat cuci piring lima belas menit yang lalu. Atau ketika Uti bolak-balik ke kamar mandi karena akan mengulang berwudhu, setelah bolak-balik lupa sudah berapa rakaat yang sudah beliau lakukan dalam sholatnya.


"Aku saja yang jadi imam, Eyang jadi makmumnya, ya ?", kata Nunung tiap kali. Hanya saja, Uti tidak suka menunggu, beliau pasti akan cepat-cepat sholat bila adzan di TV terdengar. Sementara Nunung terkadang harus menundanya selama beberapa menit karena kesibukannya belum kelar.


"Orang muda...jangan hanya memikirkan dunia.... Kalau sudah adzan, cepatlah sholat. Kamu tidak tahu apa yang bakal menimpamu sejam nanti. Jadi cepatlah tinggalkan urusanmu dan sholatlah...", Uti memberi wejangan. Dan ketika akan sholat, sering kali Uti nyeletuk....


"Ini sholat apa ya ?", tanyanya bingung.


Uti sudah sendiri sekarang, Kakung sudah mendahuluinya empat tahun yang lalu. Kakung terkena stroke di usia yang belum lagi bisa dibilang tua, saat anak-anak Uti masih belum ada yang menikah. Uti membesarkan anak-anaknya dengan uang pensiun Kakung, sambil mencari tambahan dengan usaha catering. Semua anak-anaknya yang berjumlah 5 orang dapat selesai kuliah dan kini menjadi orang-orang yang mapan. Anak sulung Uti adalah ayah Nunung. Nunung sendiri lahir di rumah Uti, jadi sejak kecil dia sudah terbiasa dengan rumah ini, rumah bercorak kolonial yang sejak dulu melindunginya dari panasnya surya dan dinginnya hujan.


Sejak Kakung wafat, Nunung sendiri yang berinisiatif untuk tinggal dengan Uti. Nunung kasihan padanya, karena sering kali Uti tak punya pembantu. Dialah yang mengurus segala keperluan Uti, mulai dari makan pagi. makan siang, dan makan malamnya. Nunung pula yang mencucikan baju Uti, membersihkan rumahnya, menata tamannya, merawatnya jika sakit. Untungnya, Nunung tidak ngantor, dia bekerja sebagai penulis lepas di sebuah majalah wanita. Jadi Nunung tak perlu terikat jam kerja, hanya deadline tulisan saja yang bisa dipenuhinya dengan e-mail. Semua berjalan dengan baik, sampai kemudian Uti menunjukkan gejala kemunduran dalam kemampuan mengingatnya. Fenomena yang menyedihkan.


Beberapa tahun lalu, ingatan Uti masih sangat tajam. Beliau bahkan tahu kapan dan dimana suatu peristiwa terjadi, meski hal itu hanya diketahuinya dari layar TV. Uti adalah sosok nenek yang pandai dan punya banyak wawasan, hal yang dulu sangat dikagumi Nunung. Tanya saja apapun yang ingin kita tanyakan, Uti bisa menjelaskannya dengan sangat terang. Soal sains, politik, ekonomi, hukum, semua pokok pembicaraan yang up to date pasti bakal dikupasnya dengan tuntas. Uti adalah perpustakaan berjalan.


Tapi kini semua seperti terhapus begitu saja, ingatan-ingatan itu seolah terinfeksi virus hingga menyublim ke udara, atau mungkin virus yang mampu menghancurkan programnya sendiri. Pess....delete. Meninggalkan lubang-lubang kosong yang tak lagi terisi memori.


"Ini siapa ?", tanya Uti saat adik Nunung datang berkunjung.


"Aku adik Kak Nunung, Uti. Aku Endang...", kata Endang sedih. Dulu Uti sayang sekali padanya, dulu Uti sering sekali menggendongnya. Dan sekarang Uti melupakannya....


"Endang...? Adik Nunung...?", kata Uti, mengulang perkataan Endang. Diamatinya perempuan muda yang ada di hadapannya itu dengan seksama. Lalu tiba-tiba dia mengangguk.


"Ooo...ya.... Kamu adik Nunung ya ? Adik nomor berapa ya ?", tanya Uti dengan dahi berkerut, berjuang sekuat tenaga untuk mengingat. Endang sampai mau menangis.


"Dia nomor dua, aku yang nomor satu, Uti masih ingat dengan Seno ? Seno yang nomor tiga 'kan Uti ?", kata Nunung mengingatkan. Uti mendengarnya dengan dahi yang masih saja berkerut, beliau lalu mengangguk-angguk lagi.


"Seno...ya...Seno...nomor tiga...", katanya. Mata Endang berkaca-kaca, untungnya Nunung segera menarik tangannya, kalau tidak pasti Uti bakal melihatnya menangis.


Tapi Uti masih mengingat bagaimana beribadah dengan baik, Uti bahkan masih sering puasa, meski Nunung melarangnya. Nunung ingin memori-memori itu kembali, melihat Uti selalu lupa dengan apa yang dilakukannya sendiri membuat Nunung sangat iba padanya. Nunung sudah berkonsultasi dengan dokter mengenai hal ini. Tapi dokter bilang semua ini sulit, karena usia Uti yang sudah uzur. Berbagai vitamin dan obat herbal sudah dicoba agar kemunduran berpikir itu bisa lebih banyak dihambat, tapi hasilnya sampai saat ini masih nihil. Ingatan Uti makin banyak yang hilang, Uti sudah pikun.


Hari ini Nunung berharap bisa menumbuhkan lagi ingatan Uti yang hilang, hari ini Uti ulang tahun yang ke 83. Nunung ingin semua keluarganya berkumpul dan merayakan ini. Sering-sering berkumpul, barangkali hal itu bakal menumbuhkan lagi sel ingatan Uti yang sudah melapuk. Dia sudah mengundang semuanya, dan mereka sudah bersedia untuk hadir di waktu yang ditentukan. Kalau dihitung, anak keturunan Uti saat ini berjumlah 42 orang, yang terkecil, anak sepupu Nunung, baru saja lahir empat bulan yang lalu. Seorang cicit perempuan yang cantik.


Dan datanglah hari yang direncanakan itu. Semua sudah dipersiapkan dengan matang, kursi dan meja lipat sudah dipinjam dari RT, dan hidangan makan siang sudah dipesan di katering terdekat. Sudah beres, semua sudah diatur, tinggal pelaksanaannya saja siang nanti. Tapi pagi ini terasa ada yang janggal, Uti belum juga bangun dari tidurnya. Apa Uti sakit ?, Nunung bertanya-tanya sendiri. Dengan langkah santai, Nunung masuk ke kamar Uti. Mendapati Uti masih tertidur pulas di kasurnya. Disentuhnya pundak Uti, neneknya masih mendengkur.


"Uti.... Uti.... Bangun, Uti.... Sudah pagi lho...", kata Nunung membangunkan. Uti menggeliat.


"Bangun, Uti.... Kenapa kesiangan ? Uti tadi tidak sholat shubuh ?", tanya Nunung. Tiba-tiba Uti terbangun dengan gerakan yang cepat, selimutnya ditarik dengan wajah takut.


"Kamu.... Siapa kamu ? Kenapa kamu masuk rumahku ? Pergi ! Kamu pasti mau mencuri ! Pergi !", teriak Uti dengan telunjuk menuding. Nunung sontak bingung.


"Uti.... Uti..... Uti kenapa ?", tanya Nunung kelimpungan. Uti masih saja menuding dengan bibir tergetar.


"Pergi kamu ! Jangan ganggu aku ! Mana suamiku ? Mas Kusnoo...! Maaas...! Ini ada pencuri ! Usir dia dari sini, Maaas...!", teriak Uti.


"Uti..., ini Nunung, Uti...", kata Nunung. Uti masih saja melotot.

Nunung berusaha menenangkannya dengan cara memegangi tangan Uti, tapi Uti menolaknya. Perempuan tua itu bahkan mendorong tubuh Nunung hingga terjatuh ke belakang. Uti lalu mengambil bantal dan guling yang ada di sampingnya, melemparkannya ke arah Nunung dengan membabi buta. Nunung menangkis dengan tangannya. Dan rasa sedih membuatnya tak bisa menahan tangis. Nunung berlari keluar kamar, dan dari dalam sana suara Uti masih saja terdengar berteriak padanya.


"Keluar kamu dari rumahku ! Awas kalau kamu berani kembali ! Pencuriiii....!!!", teriak Uti.


Nunung terus berlari keluar rumah, keluar halaman, keluar ke arah jalan, sampai langkahnya terhenti di perempatan. Disana dia menangis, bersimpuh di atas trotoar.


"Uti.... Utiii...", isaknya pilu.


Hari sudah mendekati siang, orang-orang berjalan berlalu-lalang. Dan Nunung masih termangu di tempatnya bersimpuh.



SELESAI
Bintaro Jaya 3A, 20 Juli 2012.

0 comments: