"Kacamata Eyang dimana ya, Nung ?", tanya Uti bingung.
Nunung
jadi ikut celingukan mencari dimana letak si kacamata kesayangan Uti.
Ini adalah benda kesekian yang dicari Uti hari ini. Mulai dari kunci
lemari baju, pisau dapur, sandal kulit, sampai kacamata. Uti sudah
sering melupakan dimana dia meletakkan barang-barang miliknya. Dan makin
hari, makin parah saja. Tentu saja Nunung selalu membantunya mencari
barang-barang yang Uti perlukan, terkadang barang-barang itu diletakkan
di tempat yang tak seharusnya. Kunci lemari baju di kamar mandi, pisau
dapur di teras depan, sandal kulit digeletakkan di bawah mesin jahit,
atau kacamata yang lebih sering lagi berpindah tempat - kadang di atas
kulkas, kadang di dekat telpon, atau di tempat lain yang lebih acak.
Nunung
kasihan melihat Uti yang makin sering sibuk mencari-cari, lebih kasihan
lagi ketika Uti makin sering lupa apa yang sudah dia lakukan sesaat
sebelumnya.
"Mau makan lagi, Yang ?", tanya Nunung suatu kali. Uti mengangguk.
"Eyang
lapar, belum makan...", jawabnya. Padahal piring makan baru saja dia
letakkan di tempat cuci piring lima belas menit yang lalu. Atau ketika
Uti bolak-balik ke kamar mandi karena akan mengulang berwudhu, setelah
bolak-balik lupa sudah berapa rakaat yang sudah beliau lakukan dalam
sholatnya.
"Aku
saja yang jadi imam, Eyang jadi makmumnya, ya ?", kata Nunung tiap
kali. Hanya saja, Uti tidak suka menunggu, beliau pasti akan cepat-cepat
sholat bila adzan di TV terdengar. Sementara Nunung terkadang harus
menundanya selama beberapa menit karena kesibukannya belum kelar.
"Orang
muda...jangan hanya memikirkan dunia.... Kalau sudah adzan, cepatlah
sholat. Kamu tidak tahu apa yang bakal menimpamu sejam nanti. Jadi
cepatlah tinggalkan urusanmu dan sholatlah...", Uti memberi wejangan.
Dan ketika akan sholat, sering kali Uti nyeletuk....
"Ini sholat apa ya ?", tanyanya bingung.
Uti
sudah sendiri sekarang, Kakung sudah mendahuluinya empat tahun yang
lalu. Kakung terkena stroke di usia yang belum lagi bisa dibilang tua,
saat anak-anak Uti masih belum ada yang menikah. Uti membesarkan
anak-anaknya dengan uang pensiun Kakung, sambil mencari tambahan dengan
usaha catering. Semua anak-anaknya yang berjumlah 5 orang dapat selesai
kuliah dan kini menjadi orang-orang yang mapan. Anak sulung Uti adalah
ayah Nunung. Nunung sendiri lahir di rumah Uti, jadi sejak kecil dia
sudah terbiasa dengan rumah ini, rumah bercorak kolonial yang sejak dulu
melindunginya dari panasnya surya dan dinginnya hujan.
Sejak
Kakung wafat, Nunung sendiri yang berinisiatif untuk tinggal dengan
Uti. Nunung kasihan padanya, karena sering kali Uti tak punya pembantu.
Dialah yang mengurus segala keperluan Uti, mulai dari makan pagi. makan
siang, dan makan malamnya. Nunung pula yang mencucikan baju Uti,
membersihkan rumahnya, menata tamannya, merawatnya jika sakit.
Untungnya, Nunung tidak ngantor, dia bekerja sebagai penulis lepas di
sebuah majalah wanita. Jadi Nunung tak perlu terikat jam kerja, hanya
deadline tulisan saja yang bisa dipenuhinya dengan e-mail. Semua
berjalan dengan baik, sampai kemudian Uti menunjukkan gejala kemunduran
dalam kemampuan mengingatnya. Fenomena yang menyedihkan.
Beberapa
tahun lalu, ingatan Uti masih sangat tajam. Beliau bahkan tahu kapan
dan dimana suatu peristiwa terjadi, meski hal itu hanya diketahuinya
dari layar TV. Uti adalah sosok nenek yang pandai dan punya banyak
wawasan, hal yang dulu sangat dikagumi Nunung. Tanya saja apapun yang
ingin kita tanyakan, Uti bisa menjelaskannya dengan sangat terang. Soal
sains, politik, ekonomi, hukum, semua pokok pembicaraan yang up to date
pasti bakal dikupasnya dengan tuntas. Uti adalah perpustakaan berjalan.
Tapi
kini semua seperti terhapus begitu saja, ingatan-ingatan itu seolah
terinfeksi virus hingga menyublim ke udara, atau mungkin virus yang
mampu menghancurkan programnya sendiri. Pess....delete. Meninggalkan
lubang-lubang kosong yang tak lagi terisi memori.
"Ini siapa ?", tanya Uti saat adik Nunung datang berkunjung.
"Aku
adik Kak Nunung, Uti. Aku Endang...", kata Endang sedih. Dulu Uti
sayang sekali padanya, dulu Uti sering sekali menggendongnya. Dan
sekarang Uti melupakannya....
"Endang...?
Adik Nunung...?", kata Uti, mengulang perkataan Endang. Diamatinya
perempuan muda yang ada di hadapannya itu dengan seksama. Lalu tiba-tiba
dia mengangguk.
"Ooo...ya....
Kamu adik Nunung ya ? Adik nomor berapa ya ?", tanya Uti dengan dahi
berkerut, berjuang sekuat tenaga untuk mengingat. Endang sampai mau
menangis.
"Dia
nomor dua, aku yang nomor satu, Uti masih ingat dengan Seno ? Seno yang
nomor tiga 'kan Uti ?", kata Nunung mengingatkan. Uti mendengarnya
dengan dahi yang masih saja berkerut, beliau lalu mengangguk-angguk
lagi.
"Seno...ya...Seno...nomor
tiga...", katanya. Mata Endang berkaca-kaca, untungnya Nunung segera
menarik tangannya, kalau tidak pasti Uti bakal melihatnya menangis.
Tapi
Uti masih mengingat bagaimana beribadah dengan baik, Uti bahkan masih
sering puasa, meski Nunung melarangnya. Nunung ingin memori-memori itu
kembali, melihat Uti selalu lupa dengan apa yang dilakukannya sendiri
membuat Nunung sangat iba padanya. Nunung sudah berkonsultasi dengan
dokter mengenai hal ini. Tapi dokter bilang semua ini sulit, karena usia
Uti yang sudah uzur. Berbagai vitamin dan obat herbal sudah dicoba agar
kemunduran berpikir itu bisa lebih banyak dihambat, tapi hasilnya
sampai saat ini masih nihil. Ingatan Uti makin banyak yang hilang, Uti
sudah pikun.
Hari
ini Nunung berharap bisa menumbuhkan lagi ingatan Uti yang hilang, hari
ini Uti ulang tahun yang ke 83. Nunung ingin semua keluarganya
berkumpul dan merayakan ini. Sering-sering berkumpul, barangkali hal itu
bakal menumbuhkan lagi sel ingatan Uti yang sudah melapuk. Dia sudah
mengundang semuanya, dan mereka sudah bersedia untuk hadir di waktu yang
ditentukan. Kalau dihitung, anak keturunan Uti saat ini berjumlah 42
orang, yang terkecil, anak sepupu Nunung, baru saja lahir empat bulan
yang lalu. Seorang cicit perempuan yang cantik.
Dan
datanglah hari yang direncanakan itu. Semua sudah dipersiapkan dengan
matang, kursi dan meja lipat sudah dipinjam dari RT, dan hidangan makan
siang sudah dipesan di katering terdekat. Sudah beres, semua sudah
diatur, tinggal pelaksanaannya saja siang nanti. Tapi pagi ini terasa
ada yang janggal, Uti belum juga bangun dari tidurnya. Apa Uti sakit ?,
Nunung bertanya-tanya sendiri. Dengan langkah santai, Nunung masuk ke
kamar Uti. Mendapati Uti masih tertidur pulas di kasurnya. Disentuhnya
pundak Uti, neneknya masih mendengkur.
"Uti.... Uti.... Bangun, Uti.... Sudah pagi lho...", kata Nunung membangunkan. Uti menggeliat.
"Bangun,
Uti.... Kenapa kesiangan ? Uti tadi tidak sholat shubuh ?", tanya
Nunung. Tiba-tiba Uti terbangun dengan gerakan yang cepat, selimutnya
ditarik dengan wajah takut.
"Kamu....
Siapa kamu ? Kenapa kamu masuk rumahku ? Pergi ! Kamu pasti mau mencuri
! Pergi !", teriak Uti dengan telunjuk menuding. Nunung sontak bingung.
"Uti.... Uti..... Uti kenapa ?", tanya Nunung kelimpungan. Uti masih saja menuding dengan bibir tergetar.
"Pergi
kamu ! Jangan ganggu aku ! Mana suamiku ? Mas Kusnoo...! Maaas...! Ini
ada pencuri ! Usir dia dari sini, Maaas...!", teriak Uti.
"Uti..., ini Nunung, Uti...", kata Nunung. Uti masih saja melotot.
Nunung
berusaha menenangkannya dengan cara memegangi tangan Uti, tapi Uti
menolaknya. Perempuan tua itu bahkan mendorong tubuh Nunung hingga
terjatuh ke belakang. Uti lalu mengambil bantal dan guling yang ada di
sampingnya, melemparkannya ke arah Nunung dengan membabi buta. Nunung
menangkis dengan tangannya. Dan rasa sedih membuatnya tak bisa menahan
tangis. Nunung berlari keluar kamar, dan dari dalam sana suara Uti masih
saja terdengar berteriak padanya.
"Keluar kamu dari rumahku ! Awas kalau kamu berani kembali ! Pencuriiii....!!!", teriak Uti.
Nunung
terus berlari keluar rumah, keluar halaman, keluar ke arah jalan,
sampai langkahnya terhenti di perempatan. Disana dia menangis, bersimpuh
di atas trotoar.
"Uti.... Utiii...", isaknya pilu.
Hari sudah mendekati siang, orang-orang berjalan berlalu-lalang. Dan Nunung masih termangu di tempatnya bersimpuh.
SELESAI
Bintaro Jaya 3A, 20 Juli 2012.
Selasa, 16 Oktober 2012
D.E.L.E.T.E.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar