Ini hari yang kami tunggu-tunggu. Kami berlima datang ke tempat
ini untuk menjemput kakak perempuanku. Kak Sa’diah keluar dikawal dua
orang sipir perempuan. Kepalanya terbalut kerudung pemberian almarhumah
ibu kami. Kerudung katun warna abu-abu. Wajahnya masih semanis dulu.
Hanya guratan usia yang berbekas di dahi dan sudut matanya. Ah…, Kak
Sa’diah…. Aku sambut kehadirannya dengan haru. Pahlawanku yang tercinta.
Hari ini adalah hari kebebasannya.
*
Kak
Sa’diah yang paling manis dari kami semua. Badannya sudah mekar sempurna
sebagai remaja, sementara aku masih bau kencur. Rambut Kak Sa’diah
panjang dan hitam. Dia selalu menyisir dan mengepangnya dengan
sederhana, tanpa pita dan hiasan apa-apa. Dia juga anak yang baik, tak
pernah bersungut-sungut setiap kali ibu kami meminta bantuannya.
Kakakku
Sa’diah baru berumur 19 tahun ketika peristiwa itu terjadi. Usia kami
memang selisih 3 tahun saja. Kisah yang akhirnya menyeretnya masuk ke
dalam dinginnya bui. Ibu kami pedagang baju keliling, dan kami empat
bersaudara, perempuan semua. Ayah kami seorang supir truk. Pekerjaannya
mengharuskannya berkeliling antar kota membawa dagangan milik Tuan Amir,
orang keturunan Arab yang berdagang kulit lembu. Sudah sejak muda, ayah
kami bekerja padanya.
Ayah kami suka berjudi. Entah
bagaimana mulanya ayah kami gemar berjudi. Yang jelas, ibu kami sering
kali harus merelakan uang simpanannya diambil ayah. Ayah kami selalu
berkata bila uang itu akan dijadikan modalnya untuk jadi kaya. Ayah kami
percaya kalau suatu waktu dia akan menang besar dalam berjudi. Hal yang
dia impikan adalah akan memberikan kami rumah yang lebih besar dari
pada yang dimilikinya sekarang. Rumah kami semi permanen, separuh
terbuat dari tembok, dan separuhnya lagi terbuat dari kayu. Ayah ingin
bisa membuatkan kami rumah yang pantas, agar kami berempat tak perlu
berdesakan tidur dalam satu dipan besar.
“Percayalah….
Uangmu ini akan kujadikan berlipat-lipat…. Kita akan kaya, Mar…”, bujuk
ayah tiap kali meminta ibu kami menyerahkan uang simpanannya untuk
berjudi. Ibu kami orang yang tegas, tapi dia begitu sayang pada ayah.
Hal yang seringkali tak aku mengerti, meski ibu bisa bersikap galak pada
kami, di hadapan ayah, ibuku tak berdaya. Hanya sungut-sungutnya yang
terdengar setelah ayah pergi. Kasihan, ibuku…. Bersusah-payah dia
mengumpulkan rupiah demi rupiah, tapi selalu saja habis di meja judi.
“Jangan
sekali-kali kalian kawin dengan lelaki yang suka berjudi.... Membuat
pusing kepala saja…”, ucapnya pada kami, anak-anak perempuannya. Kak
Sa’diah adalah anak yang paling dekat dengan ibu kami. Dia memahami hati
ibuku, lebih dari kami semua.
“Kalau ibu tak mau kami
kawin dengan lelaki yang suka berjudi, mengapa ibu juga kawin dengan
penjudi ?”, tanya Kak Sa’diah suatu kali. Ibu kami sampai termangu
mendengarnya. Dengan lirih dijawabnya….
“Ibu tak tahu, Nak…. Ibu tak tahu mengapa…”.
Ibu
kami sering termenung sendirian di kursi depan, biasanya Kak Sa’diah
yang akan menemaninya duduk disana. Kak Sa’diah akan dengan senang hati
memijiti kaki dan pundak ibu kami. Berjualan baju keliling dari kampung
ke kampung setiap hari bukanlah hal yang mudah bagi ibu. Apalagi ayah
kami sama sekali tak peduli dengan usahanya.
“Berjualan
sajalah kau kemanapun kau mau. Aku tak akan mencegahmu. Tapi aku tak
bisa membantumu. Jadi kau pikirkanlah sendiri bagaimana cara berbelanja
dan berdagang itu. Aku banyak urusan di kerjaanku sendiri…”, dalih ayah.
Tidak adil, rasanya memang tidak adil. Sedari pagi buta ibuku
menyiapkan sendiri dagangannya, mencatat angka demi angka dalam notes
kecilnya. Ibu sangat rapi, dia tak pernah lalai memberi tanda untuk
barang yang sudah terbeli. Hanya sedikit selisih yang didapatnya dari
berjualan baju. Semua dikumpulkan dengan hati-hati untuk biaya sekolah
kami. Ayah hanya memberi kami nafkah untuk membeli makanan dan pakaian.
Kata ayah, uangnya hanya cukup untuk membeli semua itu. Ayah memang tak
begitu tertarik pada pendidikan. Dia sendiri cuma sekolah sampai kelas 4
SD. Lalu putus sekolah…. Sebelum akhirnya bekerja pada Tuan Amir.
Kak
Sa’diah selalu riang bila ayah sedang tak ada di rumah. Entah mengapa.
Kami hanya merasa begitu. Dia jarang sekali berbicara pada ayah, tak
seperti kami yang seringkali bergurau dengan ayah tiap kali ayah kami
pulang ke rumah. Bila ayah pergi, Kak Sa’diah akan segera berubah
menjadi gadis yang banyak senyum, dan suka bergurau. Mula-mula, aku tak
menyadarinya. Tapi setelah usia kakakku 16 tahun, aku mulai merasa
keanehan itu.
“Kakak selalu diam tiap kali ayah di rumah…”, usikku suatu kali saat kami berdua ada di dapur.
“Ah…. Kau ini bicara apa ?”, tanya Kak Sa’diah tanpa berpaling padaku.
“
Kami sering bercengkrama dengan ayah. Tapi Kak Sa’diah tak pernah lagi
bersenda-gurau bersama kami dan ayah. Mengapa, Kak ?”, tanyaku.
“Tidak
apa-apa. Kakak merasa sudah terlalu besar untuk bergurau seperti
kalian. Kakak ingin membantu ibu agar ibu tak lagi terlalu capai…”,
jawabnya. Masuk akal. Cuma saja masih ada sesuatu yang menggelitik untuk
ditanyakan. Kak Sa’diah jarang sekali bertegur sapa dengan ayah kami.
Tapi mungkin saja Kak Sa’diah memang sibuk. Aku juga sering membantu ibu
kami di dapur. Bahkan sejak umurku sembilan tahun, aku sudah terbiasa
mencuci bajuku sendiri. Sama seperti kakak dan adik-adikku.
Keengganan
Kak Sa’diah bicara dengan ayah makin nyata ketika aku melihat mereka
berselisih jalan siang itu. Tangan ayah menyentuh pundak Kak Sa’diah.
Tiba-tiba tangan Kak Sa’diah menepisnya, membuat sentuhan tangan ayah
urung sampai di pundaknya. Ayah tampak tak marah. Tapi wajah Kak Sa’diah
terlihat masam seperti tak suka. Ada apa sebenarnya ? Aku berlari di
belakang Kak Sa’diah yang bergegas menuju dapur. Langit mendung
terpampang di wajah yang seharusnya manis itu. Mengapa dia begitu gusar ?
“Mengapa,
Kak ? Kakak tak boleh begitu pada ayah…”, kataku mengingatkan. Aku tak
terima Kak Sa’diah memperlakukan ayahku sebegitu sengitnya. Apa salahnya
?
“Diamlah, Salmah. Tak ada apa-apa…”, ucapnya, berusaha
menenangkanku. Aku tak mengerti. Aku jelas betul melihatnya menepis
tangan ayah di selasar tadi. Tidakkah ada sesuatu yang bisa menjelaskan
ini ?
*
Ibu kami sedang berkeliling untuk
berdagang baju dari kampung ke kampung. Rumah sepi. Kak Sa’diah sendiri
tinggal di dalamnya. Aku dan adik-adikku sedang bersekolah. Kak Sa’diah
sudah lulus SMP. Tapi dia menolak meneruskan sekolah di SMA. Kak Sa’diah
tak sampai hati membiarkan ibu berpayah-payah sendiri mengurus rumah
kami.
“Biarlah aku di rumah, Bu.... Salmah, Halimah, dan
Zakiah masih perlu dijaga. Sa’diah sudah cukup senang bisa sekolah
sampai lulus SMP. Sekarang saatnya Sa’diah membalas jasa ibu dengan
membantu merawat adik-adik...”, pintanya kala itu. Ibu berlinangan air
mata. Ingin rasanya beliau menghantar Kak Sa’diah sekolah
setinggi-tingginya, tapi kami memang tak mampu. Ibu kami hanya bisa
menatap haru sambil mengusap rambut kakakku. Seolah ingin memohon maaf
padanya....
Begitulah..., Kak Sa’diah akhirnya menjadi
perawat kami selama ibu pergi berdagang seharian. Kak Sa’diah merawat
kami dengan kasih-sayang. Dia itu guru kami kala belajar, dokter kami
kala kami sakit, pelipur hati kami kala bersedih. Kak Sa’diah adalah
segala-galanya.
Siang itu Kak Sa’diah sedang di dapur,
menyiapkan makan siang untuk kami bertiga. Pintu rumah tak dikuncinya,
karena kami tinggal di perkampungan yang aman. Tak pernah ada pencuri
berkeliaran di kampung ini. Barangkali karena pada umumnya penduduk di
kampung ini miskin. Jadi kampung kami terhindar dari incaran maling.
Keasyikan
Kak Sa’diah memasak membuatnya tak menyadari saat ayah kami tiba di
rumah. Ayah baru saja sampai setelah semalaman dia berjudi di tempat
berkumpulnya para supir truk di pangkalan, kira-kira lima kilometer dari
rumah kami. Mata ayah memerah. Sudah lama ayah menyimpan rindu pada ibu
kami. Dan racun arak yang diteguknya semalam tadi belum juga hilang
dari kepalanya yang tiba-tiba terkenang pada ibu. Dengan langkah limbung
didekapnya Kak Sa’diah yang sedang berdiri di dapur. Kak Sa’diah kaget
bukan kepalang, dekapan itu begitu kuat membelenggunya dari belakang.
Sekilas dia melihat ayah kami mendekapnya dengan mulut masih berbau
arak. Kak Sa’diah takut. Dia berusaha meronta.
“Ayah !, ayah !, apa yang ayah lakukan !?”, sergah Kak Sa’diah.
“Aku
rindu padamu, Marliah...”, bisik ayah dengan mata memerah. Tiba-tiba
ayah menyeret kakakku ke kamar ibu kami. Dengan mata terbelalak karena
jerih, kakakku tergagap-gagap bicara....
“Ayah...a..yah...jangan...a..yah....
Ayaaah !”, kali ini Kak Sa’diah menangis. Ayah kami jadi tersadar. Dia
termangu memandangi kakakku yang masih didekapnya itu. Wajahnya yang
berkeringat mendekat ke arah Kak Sa’diah, lalu ayah mendengus....
“Heeh....
Kau Sa’diah rupanya.... Aah.... Mana ibumu...?”, ucap ayah sambil
menghentakkan kedua tangannya, melepaskan dekapannya pada kakakku. Kak
Sa’diah menangis dan mundur beberapa langkah. Ayah berbalik arah dan
memunggunginya.
“Maaf...”, katanya pendek. Lalu ayah masuk
ke kamar ibu dan menutup pintunya. Tak ada yang lebih menyedihkan hati
Kak Sa’diah melebihi hal itu. Ketika ayah hampir saja memaksanya....
Mulut
Kak Sa’diah terdiam saat ibu kami pulang. Dia tak mengatakan apa-apa.
Matanya yang sembab pun luput dari perhatian ibu yang sudah terlalu
lelah. Ayah kami tak bangun-bangun hingga hari sudah hampir malam. Ibu
kami meladeninya seperti biasa. Karena alasan lelah, Kak Sa’diah
berpamitan untuk tidur terlebih dulu. Sementara ayah juga bungkam malam
itu.
*
“Aku perlu yang kau simpan itu....
Berikan padaku...”, paksa ayah keesokan harinya. Ayah akan bekerja lagi
hari ini. Tangan ibu tergetar menyerahkan isi dompetnya. Uang itu
seharusnya simpanan untuk membayar sekolahku dan adik-adikku bulan depan
nanti. Tapi ibu kami berusaha ikhlas. ‘Allah Maha Mengatur
segalanya.... Allah pasti tak akan melupakan apa yang aku perlukan...’,
bisiknya dalam hati sambil matanya tak lepas memandangi uang yang
sekarang telah berpindah ke saku celana ayahku.
Pintu
kamar ibuku terkuak sedikit. Dan mereka tak tahu bila mata Kak Sa’diah
melihat semua yang terjadi di sana. Mata yang sedih itu terhanyut dalam
keharuan kala melihat getaran tangan ibu. Bibirnya tetap saja mengatup.
Semua disimpannya dalam hati.
“Biar aku yang mencuci, Bu.
Ibu siap-siap saja berangkat bekerja. Sa’diah sudah siapkan sarapan
untuk ibu...”, kata kakakku saat ayah kami sudah pergi. Ibu mengangguk
kaku. Air matanya seakan mau tumpah. Tapi ditahannya. Kedua perempuan
ibu-beranak itu kemudian saling terdiam. Tak berkata apa-apa....
“Ibu
berangkat sekarang. Kalau ayahmu pulang, siapkan makan untuknya. Ibu
sudah tinggalkan uang secukupnya untuk belanja. Jaga adik-adikmu, ya ?”,
pamit ibu kami padanya. Kak Sa’diah mengangguk dan tersenyum.
Dihantarnya ibu kami hingga di halaman depan. Dipandanginya punggung
ibuku hingga tak tampak lagi di tikungan.
Kak Sa’diah tak
ingin kejadian lalu itu terulang. Sejak itu dia selalu mengunci pintu
rumah saat sedang sibuk di bekerja di belakang. Mata merah, bau arak
mulut ayah kami, dan dekapannya yang menyesakkan napas itu meninggalkan
kenangan teramat mengerikan untuknya. Kakak sadar apa yang pernah
terjadi. Kala itu ayah kami tengah hilang kesadaran karena racun arak
yang memabukkan. Walau dia masih bersyukur karena ayah cepat tersadarkan
siapa dirinya, tak urung hal itu membuatnya jerih.
Setelah
kejadian itu, ayah pun jadi agak terdiam tiap kali bertemu dengan
kakakku. Hanya saja tak ada yang tahu. Entah bagaimana tiba-tiba timbul
rasa penasaran di hati ayahku. Penasaran melihat mekarnya tubuh kakakku
yang ranum itu. Mengingatkannya pada ibuku saat muda. Tubuh yang segar
dan kencang. Tak ada yang menyangka bila ayahku selalu bersusah-payah
menelan ludahnya sendiri setiap kali langkah Kak Sa’diah melintas di
depannya. Tatapan mata yang nanar memandang dari jauh. Tatapan yang
hanya disadari kakakku tanpa bisa dikeluhkannya pada orang lain....
Kecanggungan
itu berlangsung bertahun-tahun, hingga aku beranjak remaja. Aku yang
juga tumbuh mekar semanis kakakku, telah lulus SMP. Dan aku masih
menjadi anak manja ayah kami.
*
“Salmah....
Pijati ayah, nak.... Badan ayah pegal sekali...”, pinta ayah siang itu.
Hari ini hari Minggu, aku dan adik-adikku libur sekolah. Ibu mengantar
pesanan seorang pelanggan bersama adik-adikku. Aku sendirian, dan Kak
Sa’diah sedang ke warung untuk berbelanja sayuran. Ayah kami baru tiba
semalam. Ayah baru saja menyelesaikan pengiriman barang dagangan Tuan
Amir ke Surabaya. Harus menempuh perjalanan sehari-semalam untuk sampai
kesana.
Aku masuk mengikuti ayah ke dalam bilik ibu kami.
Ayah merebahkan badannya yang sedikit tambun sekarang. Ayah membuka kaus
dalamnya, menyodorkan minyak urut kepadaku, dan menyuruhku segera
memijat. Aku bubuhkan sedikit minyak di punggung ayah kami, lalu mulai
mengurut. Ibuku sangat suka pijitanku. Katanya tanganku lembut tapi
kuat, mampu mengendorkan otot yang kencang. Ayah terlena menikmati
pijatanku. Dan aku sungguh-sungguh ingin membuatnya lepas dari rasa
penat.
Aku harus mengangkat rokku agar bisa berpindah ke
sisi lain tempat tidur. Tak sengaja rok itu tersingkap. Aku
tersipu-sipu, sementara ayahku terpana melihatku.
“Maaf,
ayah...”, ucapku dengan sopan. Aku tak menyadari kecamuk di dadanya yang
baru saja tersulut. Ayahku berusaha memejamkan matanya erat-erat,
sementara pijatanku mulai meremas punggungnya dengan lembut. Bayangan
wajah ibuku tiba-tiba berkelebat dalam benak ayahku. Dahinya berkeringat
dan wajahnya tiba-tiba saja memerah.
“Marliah...”, sayup-sayup panggilnya dengan suara parau.
“Ayah
memanggilku ?”, sahutku. Aku mendekatkan wajahku padanya. Tiba-tiba aku
terkejut saat tangan ayahku menarikku hingga aku jatuh terbaring di
sisinya. Ayah mendekapku, napasnya tersengal-sengal penuh napsu....
Matanya terpejam, tapi cengkeraman tangannya begitu kencang. Aku takut.
Aku meronta agar bisa lepas dari tangannya. Bibir ayah terkatup kencang,
sedangkan sebelah kakinya mulai menindihku.... Aku menjerit, berusaha
menyadarkan ayah yang selama ini memanjakanku. Dalam bingung aku
memukulkan kepalan tanganku ke punggungnya. Dan ayahku seolah tak
merasakan apa-apa.
Jeritanku terdengar telinga Kak
Sa’diah. Dia baru saja sampai di depan pintu ketika jeritanku
mengusiknya. Tas berisi sayuran yang digenggamnya dilemparkannya begitu
saja ke lantai. Kak Sa’diah langsung berlari mencariku. Dan dia terkejut
ketika melihatku sedang bersusah-payah melepaskan diri dari dekapan
ayah kami. Aku pandangi mata kakakku dengan tatapan ngeri. Kak Sa’diah
tiba-tiba mengambil sesuatu dari dapur dan menghambur ke arah ayahku.
Diayunkannya benda itu berkali-kali ke punggung ayah. Ayah menjerit
kesakitan, berulang-ulang.... Dekapan ayah terlepas sudah dariku. Aku
melompat berdiri dari ranjang ibuku. Menghambur ke arah kakakku yang
termangu dengan tangan berlumuran darah yang mengalir dari benda itu.
Pisau dapur kesayangan ibu....
*
Kakakku
diseret ke dalam penjara oleh polisi. Ibu kami terpukul dua kali.
Pertama karena kematian suaminya yang ternyata dibunuh anak perempuan
kesayangannya sendiri. Dan kedua karena harus mengikuti proses peradilan
Kak Sa’diah yang tak kunjung usai. Kami yang miskin tak cukup mampu
menyewa pengacara mahal seperti orang-orang kaya itu. Dan meski
kesaksianku banyak meringankan hukuman kakakku, kami harus terima pada
putusan hakim yang menvonis Kak Sa’diah dengan penjara selama 10 tahun.
Ibuku pingsan mendengarnya. Aku hanya bisa menangis. Kak Sa’diah tak
menyatakan banding pada vonis itu. Ia sangat merasa bersalah karena
telah membuat ayah kami tiada. Andai kata saja waktu bisa diputar ulang,
barangkali dia akan memakai cara lain yang tak terlalu berbahaya untuk
menyadarkan ayah kami dari tindakannya yang di luar kendali. Tapi nasi
telah menjadi bubur. Ayah kami telah dikubur. Dan kakakku dengan pasrah
menerima apapun hukuman yang harus dilaluinya.
Hanya
selang dua tahun setelah ayah tiada, ibu kami jatuh sakit. Akulah yang
akhirnya meneruskan usaha ibu kami berjualan baju keliling. Aku putus
sekolah. Sedangkan adik-adikku aku haruskan meneruskan sekolah mereka.
Setidaknya aku ingin mereka lulus SMA, agar bisa bekerja di
pabrik-pabrik yang kini mulai menjamur tumbuh di daerah kami. Ibu sering
melamun dalam kesendiriannya. Dalam tidurnya, ibu sering kali
mengigaukan nama ayah. Mula-mula ibu masih mau makan barang sedikit,
tapi akhir-akhir ini minuman pun sudah sangat sulit ditelannya. Ibu kami
kurus kering, beliau hanya bisa berbaring lemah di kamarnya yang sunyi
tanpa kehadiran ayah. Kadang aku menangis diam-diam saat memandangi
ibuku yang tertidur dalam sakitnya.
‘Ayah..., mengapa
jadi begini ?’, bisikku dalam dada. Ayah yang memanjakanku ketika kecil
itu sudah tak bisa lagi mengusap kepalaku. Ayahku jahat ?, tanyaku pada
diriku sendiri berkali-kali. Aku menggelengkan kepalaku sendiri,
berusaha menyangkalnya. Pasti waktu itu ayah sedang lupa..., pasti
karena ayah terlalu rindu pada ibu kami..., pasti karena ayah sedang
ingin bergurau.... Bergurau ? Ahh..., pertanyaan terakhir itu membawaku
kembali pada kenangan akan kencangnya dekapan ayahku yang nyaris
membuatku tak bisa bernapas. Aku tak mengerti..., aku tak bisa
memahami.... Salahkan Kak Sa’diah ? Dia sudah membunuh ayah kami....
Tapi kakakku berusaha membelaku dari tindakan ayah yang tak terduga itu.
Haruskah orang yang telah menyelamatkan diri kita dipersalahkan ?
Ampuni aku, ya Tuhan.... Semua ini terlalu membingungkan....
“Salmah...,
jangan menghalangi jalan, nak.... Beri ayahmu tempat agar bisa
menghampiri ibumu ini...”, tiba-tiba terucap bisik ibuku. Aku bingung,
tak ada siapa-siapa selain kami berdua di kamar ini.
“Minggirlah
sedikit, nak.... Berikan jalan...”, ucapnya lagi. Aku beringsut, dan
ibuku tersenyum melihatnya. Kedua tangannya tiba-tiba terangkat ke atas
dadanya, seolah ingin merangkul seseorang. Hanya sejenak kedua tangan
itu tergantung disana, lalu tiba-tiba keduanya terkulai lemah. Ibuku tak
lagi bernapas. Aku tersentak menatapi wajahnya yang masih segar tapi
tak bernapas itu. Dengan perlahan aku dekati ibuku, rasa takutku makin
menjadi ketika aku menyadari kalau bibir ibuku perlahan-lahan membiru.
Ibuku telah pergi....
“Ibu.... Ibu...”, panggilku pilu. Ibuku diam tak bergerak....
*
Kak
Sa’diah telah menunaikan hukumannya dengan potongan masa tahanan.
Kakakku menjadi contoh tauladan bagi narapidana lain karena
kepandaiannya mengasah keterampilan menjahit. Hasil karya Kak Sa’diah
bahkan sudah berhasil dipasarkan ke koperasi lembaga pemasyarakatan.
Jahitan yang halus dan sulaman yang indah membuat kebaya buatan kakakku
digemari kaum ibu. Dari jasanya, Kak Sa’diah bisa membantuku memenuhi
kebutuhan hidup adik-adik kami. Dan kini dia telah bebas menghirup udara
di luar penjara wanita. Tak terhingga senangnya hatiku dan adik-adikku.
Kami langsung menuju ke pemakaman untuk berziarah ke makam kedua
orangtua kami.
Kak Sa’diah menangis dengan pundak
terguncang-guncang saat tiba di depan makam ayah dan ibu kami. Lama
sekali kami membiarkannya menangis disana. Sore menjelang maghrib
barulah kami tiba di rumah. Kak Sa’diah terpukau dengan pemandangan di
sepanjang jalan kami menuju pulang. Banyak ruko-ruko baru dibangun di
kiri-kanan jalan. Pasar-pasar yang dulu kumuh kini berubah menjadi
moderen dan penuh kendaraan roda empat terparkir di halaman. Kasihan
kakakku, dia baru tahu bila saat ini rumah kami telah dipunggungi sebuah
bangunan bertingkat empat, kantor cabang sebuah bank ternama. Membuat
rumah kami tampak kerdil. Aku senang Kak Sa’diah pulang, beberapa minggu
lagi aku akan mengajaknya bertemu dengan keluarga calon suamiku,
seorang salesman perusahaan obat-obatan. Aku sendiri sudah mantap dengan
usahaku berjualan baju, sekarang aku menyewa kios sendiri di pasar, tak
lagi berjualan keliling seperti almarhumah ibuku. Halimah dan Zakiah,
kedua adik kami, kini sudah kuliah. Aku bangga mereka punya cita-cita
tinggi.
Bang Najib, calon suamiku itu, anak seorang
pengusaha pembuat baju jadi. Sebenarnyalah aku berkenalan dengannya
karena hubungan baikku dengan ibunya. Ibu Hasnah itulah yang menjodohkan
kami berdua. Tak disangka, Bang Najib pun terpikat padaku. Jadilah kami
saling berjanji untuk membina hidup bersama suatu hari nanti. Kami
sudah berkenalan selama hampir dua tahun, sebelum akhirnya Ibu Hasnah
melamarku untuk anak lelakinya itu. Aku bangga dan bahagia, tentunya.
Aku persilakan keluarga Bang Najib mempersiapkan semuanya. Sementara aku
sendiri akan meminta bantuan adik ayah untuk menjadi wali nikahku
nanti. Berita akan rencana pernikahanku itu sudah aku sampaikan pada Kak
Sa’diah. Dia begitu terharu hingga berlinangan air mata tanpa bisa
mengucap apa-apa. Kakakku memang jadi lebih pendiam kini. Dia hanya
terlihat ‘ramai’ bila sedang menjahit baju pesanan pelanggan yang
diterimanya di rumah. Maka tak ada yang melebihi kebahagiaanku kecuali
bisa membuat kakakku tersenyum bahagia atas perkawinanku. Kami
menyelenggarakan pesta kecil-kecilan dengan hanya menggundang
sanak-saudara dan para tetangga.
*
Hidup
kami berlima sangat bahagia. Aku dan Bang Najib harus berbagi hidup
dengan ketiga saudari-saudariku. Kak Sa’diah makin hari makin dikenal
orang karena jahitannya. Dan saat ini kuliah Halimah hampir selesai.
Tinggal ujian skripsi. Aku meneruskan kesibukanku berdagang baju jadi di
kios pasar. Pelangganku banyak. Biasanya mereka pelanggan lama yang
dulu sering aku setori baju jadi di kampung-kampung. Di tempat asalnya
mereka juga berdagang baju jadi, dipasarkan ke tetangga kiri-kanan dan
para kenalan. Kalau ada baju yang tak cocok dengan selera, aku
persilakan mereka mengembalikan padaku. Begitulah hidup, semua harus mau
berbagi. Hubungan yang saling menjaga kepercayaan itu juga membuat
pelangganku senang. Bahkan ada beberapa di antara mereka yang sudah
berlangganan denganku selama lebih dari lima tahun.
Bang
Najib kadang-kadang keluar kota berama teman sekantornya, naik kendaraan
milik kantor. Kadang-kadang dia tak pulang hingga berhari-hari untuk
tugasnya itu. Tapi tak apa. Aku percaya padanya. Aku sendiri sudah hamil
tiga bulan. Duhai..., andai ibu kami tahu bila beliau akan punya cucu,
alangkah senangnya.... Aku usap perutku yang masih belum begitu
membuncit. Aku tahu janin dalam perutku tahu bila aku memikirkannya. Aku
yakin dia juga sedang tersenyum bersamaku saat ini.
Aku
sedang sibuk meladeni pelanggan siang itu, ketika handphoneku berdering
nyaring di sakuku. Dari Halimah. Ada apa dia menelponku siang-siang
begini ? Bukankah dia ada konsultasi dengan dosen pembimbing sampai
malam nanti ? Alisku berkerut, tapi tak urung aku jawab panggilan
itu....
“Halo...? Ada apa Halimah ?”, sapaku padanya. Terdengar isakan tangis dari seberang telepon.
“Kakak.... Cepat pulang, Kak.... “, kata Halimah dengan sesenggukan.
“Ada apa ?”, tanyaku heran. Perutku tiba-tiba terasa mulas.
“Ceritanya nanti saja.... Kakak cepat pulang...”, ucapnya lagi. Bulu kudukku meremang. Aku segera menutup kios dan pulang.
Bermacam
pertanyaan hilang dan timbul dari benakku. Kejadian apa lagi yang kini
menimpa kami, ya Tuhan ? Kakiku menapak masuk ke gang depan rumah dengan
gemetaran. Sepasukan polisi lalu lalang di depan rumah kami. Tanda
police line terpasang di sepanjang pagar. Aku mencoba menguak tanda
batas itu, dan seorang petugas polisi berusaha mencegahku masuk. Aku
menjelaskan tentang siapa diriku dengan penuh kecemasan. Di ruang tamu
telah menanti Halimah dan Zakiah yang terduduk menangis saling
berpegangan tangan. Aku hampiri mereka. Dan keduanya langsung menghambur
ke arahku....
“Kak Salmah.... Kak Salmah.... Mengapa
keluarga kita jadi begini, kak...?”, jerit Halimah saat memelukku. Aku
dudukkan dia di kursi, dengan bingung aku memandangi Zakiah yang juga
ikut menangis sedih bersamanya. Kemana Kak Sa’diah ?
“Ada apa, Zakiah ? Ada apa sebenarnya ?”, tanyaku gusar. Zakiah menangis lagi.
“Kak
Salmah.... Kak Najib.... Di dapur...”, ucapnya terbata-bata. Aku
terperanjat. Aku segera berlari ke dapur. Begitu banyak petugas polisi
disana. Tiga orang di antaranya sedang berjongkok di sebelah tubuh
seseorang. Celana warna coklat itu mengingatkanku pada seragam Bang
Najib yang biasa dipakainya saat kerja. Hatiku tersentak ! Aku
menghambur ke arah tubuh yang terbaring disana....
“BANG
NAJIIIB.....!!!!! ABAAANG....!!!!”, jeritku pilu. Lelaki terkasihku
terlentang dengan tubuh tertancap sebuah gunting jahit di dadanya....
*
Lelaki
kecil itu menggenggam jemariku. Rambutnya yang ikal dan senyumnya yang
manis benar-benar penjelmaan Bang Najib yang kembali hadir ke dunia.
Kini lelaki kecilku sudah berumur setahun, sedang senang-senangnya
berjalan tertatih-tatih kemana pun dia ingin. Halimah sudah lulus
sarjana, dan sedang menjadi trainee di sebuah bank BUMN. Zakiah sebentar
lagi akan menulis skripsi. Dan aku sendiri masih berjuang dengan kios
baju jadiku.
Kaki Halimah terpeleset di depan kamar mandi
yang terletak berdekatan dengan dapur kala itu. Karena limbung, dia
nyaris terjatuh kalau saja Bang Najib tidak menangkap tubuhnya.
Sayangnya, kejadian itu dikira Kak Sa’diah sebagai sesuatu yang
disengaja oleh Bang Najib untuk mengganggu Halimah. Kak Sa’diah yang
pendiam itu langsung menancapkan gunting jahit yang sedang dipegangnya
ke dada suamiku. Dia salah paham. Halimah yang meraung melihat Bang
Najib meregang nyawa, berusaha mengatakan kalau Bang Najib sedang
berusaha menolongnya agar tak terjatuh. Sanggahan itu membuat batin Kak
Sa’diah terguncang hebat. Kak Sa’diah histeris, dia kehilangan akal
sehatnya. Dokter jiwa yang memeriksanya mengatakan kalau saat ini Kak
Sa’diah terkena skizofrenia. Di kamar rumah sakit jiwa, perempuan
pendiam itu berdiam, sering duduk diam-diam dalam heningnya dunia yang
hiruk-pikuk di sekitarnya....
SELESAI
Siang hari, akhir Nopember 2010.
Bintaro Jaya 3A
Selasa, 16 Oktober 2012
PEREMPUAN YANG TERDIAM
Posted by CINDELARAS at 09.07 0 comments
Labels: CERPEN
REASONS OF LOVE
Kita duduk diam-diam
Saat rembulan malu-malu sembunyi di balik awan
(sudah berpuluh tahun kita melampaui
dalam susah dan senang hingga hari ini
dalam badai dan kemarau
menghempaskanku dan kau)
"Why ?", you asked
Then I struggled to find the answer
Aku mencarinya di balik lidahku
Menelusuri setiap tepian syarafku
Mengobrak-abrik susunan hatiku
Until then I gave up
And I looked at your eyes
(di dalamnya kutemukan telaga
begitu dalam hingga aku tak melihat dasarnya)
"I need no reasons to love you,
Not now
Not ever...".
Aku berpaling dan pejamkan mataku
Tak ingin melihat yang lain
Bintaro Jaya, on Valentine's Day, 2011.
Posted by CINDELARAS at 09.05 0 comments
Labels: POETRY
MERAIH AWAN
Sudut mataku mengekor langkah lelaki itu dengan napsu. Ya,
Tuhan.... Mengapa tak kau biarkan saja aku jadi miliknya ? Sedangkan
hatiku tak terisi nama lelaki lain kecuali dirinya ? Aku menyumpahi
diriku sendiri, mengapa aku tak jua kunjung berani mendekat. Setidaknya
mengenalkan diriku terlebih dulu akan jauh lebih baik dari pada aku
hanya termangu di tempatku berdiri sekarang. Haruskah aku berjalan ke
arahnya ? Hff.... Andai saja Xena menularkan keberaniannya padaku untuk
bisa bicara dengan lelaki itu.... Sedangkan angin yang bertiup pun mampu
menumbangkan rasa inginku setiap kali aku berusaha mencoba. Ya,
Tuhan.... Jantungku tak henti berdetak kencang setiap kali dia melintas.
Membuat setiap helai rambut di kepalaku seolah berdiri menegang. Dan
bibirku jadi kaku...tak sanggup mengucap kata.
“Ganteng,
ya ?”, oceh Linda mengagetkanku. Sialan ! Mengapa makhluk ini tahu saja
rasa hatiku ? Aku raupkan kedua telapak tanganku ke muka, aku berharap
rasa jengahku mendengar ocehannya akan segera hilang bersama angin. Tapi
tidak.... Aku jamin wajahku masih tampak bersemu merah mendengarnya.
Aku tersenyum kikuk. Mencoba mencairkan perasaanku sendiri.
“Tak ada gunanya kalau dia tak tahu...”, desisku lirih. Linda menepuk pundakku.
“Jangan khawatir.... Aku juga tertarik padanya...”, ucapnya terus-terang.
Aduuuh....
Entah sedih, entah senang mendengarnya mengucapkan itu. Yang jelas
rasaku jadi tak karuan. Senyum lelaki itu terbawa dalam setiap mimpiku,
merampas keheninganku di kala malam, berkecamuk bagai air deras tak
menemukan sungai. Aku terbelenggu. Tertawan rasa ingin meraih awan yang
terbang di atas kepalaku. Seakan begitu dekat hingga bisa kuraih, tapi
nyatanya terlampau jauh....
“Apa yang menarik darinya ?”, tanya Linda padaku. Aku tatapi lelaki itu dari kejauhan, dengan rindu-dendam.
“Dia
bagai telaga...”, jawabku singkat, tak bisa lebih jauh menjabarkan
dalam kata. Ya.... Lelaki itu memang bagai telaga. Tampak tenang, sejuk,
tak beriak, dan dalam. Aku berkaca pada diriku sendiri yang jauh dari
kedamaian. Padanya aku melihat sesuatu yang lain. Sesuatu yang tak
pernah aku miliki.
“Tapi dia tak tahu yang kau mau...”, bisik
Linda lirih di telingaku. Dan itu menyadarkanku kembali pada masalahku.
Ya.... Bagaimana mungkin lelaki itu tahu apa yang kumau, bila aku tak
pernah mengatakannya ? Tapi sejuta rantai yang mengikat kokoh harga
diriku mencegahku berkata. Tidak ! Aku tak boleh begitu saja mendekat,
aku terlalu berharga untuk lebih dulu menunjukkan diri. Tapi...sampai
kapan aku akan bisa bertahan ?
Aku mengikuti setiap
langkahnya dengan sudut mataku dari hari ke hari. Hingga akhirnya tak
sanggup lagi menelannya sendiri. Rasa inginku yang berdebur bagai ombak
di Laut Selatan, menghantamkanku ke hadapannya.
“Inilah aku..., hai Lelaki ! Penuhi rasa inginku padamu...”.
Dan lelaki itu menoleh dengan senyum padaku. Ragu-ragu....
“Jangan takut...", bisikku.
"Aku
tak akan menebasmu.... Aku hanya ingin pasrah atas hatiku. Karena aku
tak tahu harus bagaimana mengalahkannya. Mendekatlah...”, kataku pasrah.
Lelaki itu menatapku dengan rasa ingin yang tak bisa disembunyikannya
dariku. Lalu dia mendekat, dengan gelisah.
“Dia takut.... Kau terlalu luar-biasa...”, tukas Linda kala itu. Aku benci kenyataan ini, tapi inilah yang terjadi.
“Bagaimana mungkin dia takut ? Aku bukan siapa-siapa...”, sanggahku tak ingin percaya. Linda hanya menggeleng.
Aku memandangi telagaku dengan mata harap, ingin telagaku beriak setiap kali aku ada, meski aku tak menyentuhnya.
“Tenanglah....
Aku tak akan merusakmu. Aku tak akan merusak apapun yang kusayangi...”,
dendangku untuknya. Lelaki itu tersenyum. Aku tahu hatinya tulus. Namun
dia tak bisa jelas memandangku, meski tak lelah mencari. Seakan sehelai
tabir menghalangi kami...dia dan aku.
“Kemarilah....
Jangan takut.... Melangkahlah di sisiku. Kau akan baik-baik saja...”,
ajakku bersemangat. Hanya saja mungkin suaraku terdengar terlalu lantang
di telinganya, hingga nyalinya menciut. Aku pandangi telaga itu
berhenti beriak setelah sesaat aku menyentuhkan tanganku di
permukaannya. Dan dia menjauh....
“Sudahlah.... Lupakan
dia.... Suatu saat akan kau temukan telaga lain bagi hatimu...”, ucap
Linda menenangkanku. Dan aku tergugu. Aku melihat awan yang tak henti
bergerak di atas kepalaku. Begitu dekat hingga seolah dapat kuraih. Aku
termangu dalam hening. Awan itu telah pergi. Dan telaga itu kembali
sunyi.
*Dan ketika awan itu datang kembali menghampiri, hatiku sudah terbang bersama topan yang membawaku berkelana dalam pusaran.
SELESAI
Untuk mengenang seseorang yang mengalami ini :)
Bintaro Jaya, 3A
13 Maret 2011.
Posted by CINDELARAS at 09.04 0 comments
Labels: CERPEN
MUDIK
Kamar ini terisi dengkur, suamiku tertidur nyenyak di sisiku.
Sudah tiga jam lebih aku merebahkan tubuhku di atas kasur itu, tapi
mataku tak kunjung dapat memejam. Hhh.... Puasa sudah hampir usai, dua
hari lagi akan Lebaran. Dan sms di handphoneku masih saja mengabarkan
bahwa Putri, anak perempuanku, tak bisa pulang Idul Fitri nanti. Dia
memilih tidak mudik. Hhh..., sudah delapan kali Lebaran dia tak pulang.
Meski dia sering menengokku saban libur akhir tahun. Tapi tak mudik ke
rumah kami saat Lebaran ? Ahh..., sebenarnya aku tak begitu nyaman
dengan ketak-hadirannya semasa semua anakku yang lain bisa datang untuk
merayakannya bersama kami disini. Tapi Putri tetap memilih tak pulang
dengan banyak alasan. Tak mau macet di jalan, tak suka rumahnya kotor
karena ditinggal berlebaran, tak mau mengeluarkan banyak ongkos selama
bepergian, apapun dia sebutkan sebagai alasan....
"Pulanglah,
Putri.... Ibu ingin sekali-sekali kau datang dengan suami dan
anak-anakmu. Banyak kerabat berdatangan ke rumah Ibu, dan mereka selalu
menanyakanmu.... Jadi kapan kau akan pulang ?", ucapku padanya di
perbicangan kami terakhir lewat telepon.
"Ibu..., Ibu
sendiri bisa lihat di TV kalau jalur mudik itu sekarang macet sekali.
Aku takut anakku kan sakit karena terlalu lama macet di jalan, Bu. Pasti
rasanya capek sekali. Lagi pula Ibu tahu kan bagaimana kondisi anakku ?
Salah makan saja dia bisa kena radang tenggorokan. Lalu bagaimana kalau
nanti dia harus berlelah-lelah menempuh perjalanan yang tak masuk akal
itu ? Lebih baik kami menengok Ibu kalau sedang libur akhir tahun
seperti biasa. Perjalanannya nyaman, dan tak pakai macet, Bu...",
jawabnya. Aku merenung, tak ada yang tak logis dengan alasan yang dia
utarakan tadi. Tapi tradisi mudik itu sudah menjadi darah dan daging
bagi semua pengembara yang hidup jauh dari rumah asalnya di negeri ini.
Tidakkah anakku takut disebut tak biasa ?
Hhh..., kadang
aku malu bila para tetangga bertanya tentang ketak-hadirannya. Lihatlah
mereka.... Bahkan yang jauh-jauh dari luar Jawa pun bisa hadir saat
Lebaran. Hanya untuk bisa berkumpul dengan keluarga, karena cuma saat
itulah satu-satunya waktu yang tersedia untuk semua orang agar bisa
berkumpul bersama-sama di saat yang sama. Dan Putri memilih tak
melakukannya hanya karena alasan macet.
"Macetnya bisa
berjam-jam lho, Jeng.... Kemarin anakku yang dari Bandung kena macet di
beberapa tempat. Dari Bandung berangkat jam 8 malam, sampai disini jam
10 malam keesokan harinya. Banyak tabrakan di jalan, jadi macetnya luar
biasa. Tapi anakku nekat kok, semua demi bisa pulang. Takut tahun depan
tak bisa lagi merayakan Lebaran bersama saya, barangkali...", cerita Bu
Anwar, janda seumurku, tetangga sebelah rumah yang sudah sangat akrab
dengan keluarga kami. Anak lelakinya jadi dosen di Bandung, dan setiap
Lebaran dia selalu datang dengan anak dan istrinya ke rumahku, sekedar
bersilaturahmi.
Hmm..., Putri memang berbeda.
Kakak-kakaknya juga ada yang tinggal di kota lain, tapi mereka tetap
pulang setiap Lebaran. Sebenarnya, dulu Putri juga mudik setiap Lebaran.
Dengan memakai pesawat, kereta api cepat, atau mobil sendiri. Tapi
seiring waktu, perjalanan menuju mudik dilaluinya kian hari kian
melambat saja. Ahh..., aku tak menyalahkan keengganannya mudik, lalu
lintas saat ini memang gampang menimbulkan frustasi bagi semua orang.
Lihat saja di jalan itu.... Jalan yang tiga puluh tahun yang lalu sepi
dan hanya dilewati beberapa puluh kendaraan setiap menitnya, kini
dilewati beratus-ratus mobil dan motor. Ramai sekali. Jangankan
menyeberang, melintaspun terasa sulit di jalan yang penuh dengan suara
mesin dan asap knalpot. Bis, minibus, truk, mobil bak terbuka, angkot,
mobil pribadi, mobil dinas, motor pribadi, motor dinas, orang bersepeda,
dan dokar, semua melimpah ruah di jalan. Sementara jalan yang ada tak
memadai.
"Apa tidak bisa menginap di jalan sekedar melepas lelah, Putri ?", usulku padanya suatu kali.
"Lalu
berapa rupiah harus kami keluarkan untuk bisa menginap sepanjang
perjalanan, Bu ? Sampai kapan kami harus menginap ?", dia balik
bertanya. Hmm..., sesungguhnya...aku tak tahu apa-apa untuk menjawabnya.
"Atau kau bisa mampir di rumah teman-temanmu di sepanjang jalur mudik, itu bisa mengirit ongkos...", usulku lagi.
"Tapi mereka semua juga mudik, Bu.... Bagaimana aku bisa mampir ?", tanyanya lagi. Buntu.
"Bawalah tikar dan bantal, kalian bisa menginap di mana pun di sepanjang perjalanan. Sekedar istirahat...", usulku lagi.
"Lalu
bagaimana kalau kami terjebak macet tanpa ada tempat untuk minggir ke
tepi jalan ? Sudahlah, Bu.... Kami pasti akan datang saat liburan akhir
tahun. Aku janji...", katanya menghiburku.
Aku hanya
menelan ludah mendengarnya. Pembicaraan lewat telepon itu kututup dengan
perasaan kecewa. Jadi tahun ini Putri tak bisa datang juga ? Tak akan
ada foto Lebaran yang lengkap lagi kali ini, karena dia tak datang di
tengah kami. Lalu bagaimana kalau tahun depan aku tak bisa melihatnya
lagi saat Lebaran ? Seperti kata Bu Anwar tempo hari ? Duh Gusti...,
semoga Kau panjangkan umurku agar tetap bisa menyambutnya bila Putri mau
datang Lebaran tahun depan nanti. Tak tahan..., aku utarakan juga
ketakutanku padanya.
"Ibu takut tak sempat melihatmu
Lebaran tahun depan nanti, Putri. Ibu dan Bapak ini sudah tua. Ibu
sangat ingin kita bisa berkumpul disini bersama-sama dengan
kakak-kakakmu. Apa itu berlebihan...", tanyaku sedih. Sesaat dia tak
bersuara, tapi aku tahu dia tersentuh. Aku sempat memanggilnya
berulang-ulang sebelum dia melanjutkan lagi bicaranya.
"Iya,
Ibu.... Kami bicarakan dulu, ya ? Mas Darman akan aku ajak bicara nanti.
Tapi aku tidak janji...", jawabnya dengan suara tercekat. Sepertinya
dia baru saja menangis.
Ahh..., syukurlah.... Aku sungguh
berharap dia bakal datang. Itu sebabnya semalaman ini aku tak bisa
memejamkan mata barang sejenak. Aku menunggu sms darinya. Kabar
kepastian kedatangannya. Dia bilang akan memberitahuku malam ini setelah
berdiskusi dengan suaminya. Tapi jam sudah menunjukkan pukul 11 malam,
mengapa smsnya tak juga kunjung datang ? Sebegitu sulitkah untuk
memutuskan kembali ke rumah Ibunya ini ? Lagi pula, Darman sudah terlalu
sering bertemu kedua orangtuanya karena mereka tinggal di kota yang
sama. Jadi salahkah bila aku ingin dia membawa anak perempuanku
berlebaran bersama kami tahun ini ?
Lalu tiba-tiba
terdengar bunyi 'BIP' dari handphoneku. Sebuah sms ! Aku buka dengan
hati penuh harap. Dan aku membaca pesan yang sangat membahagiakan. Putri
dan keluarganya akan pulang ! Terima kasih, Tuhan.... Akhirnya anakku
akan bersama kami di hari Lebaran nanti. Aku senang sekali. Aku ciumi
pipi keriput suamiku yang sedang tertidur dengan pulas itu. Aku menarik
selimut, dan segera terlelap ke alam mimpi....
*
Hari
yang dinanti-nantikan telah tiba. Kabarnya Putri dan keluarganya
sebentar lagi akan datang, mereka baru sampai Semarang - 22 km lagi dari
rumahku. Alhamdulillah. Aku siapkan kamar tidurnya dengan
secermat-cermatnya. Anak-anak putri biasa tidur di kamar yang bersih dan
rapi, jadi aku harus membuat mereka senyaman mungkin selama tinggal
disini. Berdebar saat menunggu mereka datang. Aku tak boleh melewatkan
memberi penghiburan setelah mereka 26 jam menempuh perjalanan. Pasti
mereka lelah sekali.
Mobil SUV warna silver perlahan masuk
ke halaman. Itu mereka ! Dengan senyum berbunga aku menyambutnya,
suamiku pun berdiri dengan bangga. Akhirnya...setelah delapan tahun !
Mereka hadir juga di Lebaran kali ini. Mereka tampak begitu lelah, aku
segera menyuruh mereka mandi dan beristirahat untuk menghilangkan penat.
Anak-anak segera berbaur dengan cucu-cucuku lainnya. Mereka begitu
ceria. Ahh..., lihatlah ini ! Rasanya kekhawatiran Putri akan kondisi
anak-anaknya tak lagi bisa terbukti. Mereka baik-baik saja. Putri
merangkulku dengan hangat di kursi sofa, kami berbincang dengan asyik
bersama suami dan anak-anakku yang lain. Suasana yang sangat
menyenangkan. Semua berjalan dengan sangat baik sampai kemudian sebuah
panggilan handphone datang dari seorang tetangga Putri.
"Ha ?! Rumah saya kebakaran ?! Habis ?!", teriak Darman bingung. Putri berteriak histeris.
"Kenapa, Mas ?! Rumah kita kenapa, Mas ?!", katanya kalap. Darman linglung, handphone yang digenggamnya terjatuh ke lantai.
"Rumah
kita terbakar.... Kulkas kita meledak, lalu membakar seluruh
isinya...", jawabnya nanar. Putri meraung.... Dan aku hanya bisa
mematung....
Posted by CINDELARAS at 09.02 0 comments
Labels: CERPEN
SETANGKAI MAWAR MERAH
Aku senang sekali bertemu denganmu pagi ini. Baumu yang wangi
setelah kau mandi, dan rambutmu yang tersisir rapi itu sempat menyihirku
sesaat, seakan aku baru pertama kali melihatmu. Kau memang mengagumkan.
Hmm…, aku boleh bangga berdampingan denganmu, menjadi kekasihmu adalah
hal terindah dalam hidupku. Lagi pula, aku pantas mendapatkanmu.
Bukankah yang telah aku perjuangkan agar bisa bersamamu di waktu dulu
itu luar biasa ? Ahh…, senyummu mengejekku saja. Tapi aku tak peduli,
aku suka perempuan-perempuan itu iri melihatku berjalan bersisihan
denganmu. Biar saja, biar mereka cemburu.
Kau menggenggam
tanganku dengan hangat, sehangat sinar mentari yang merangkak naik di
sudut 60° dari tanah tempat kita berpijak. Hangat dan damai. Hatiku
berbunga-bunga memandangi senyummu yang indah dan tatap matamu yang
tanpa resah. Kau…satu-satunya lelaki yang mampu membuat hidupku begitu
penuh dengan suka-cita dan kebahagiaan, tak terhingga….
Aku
bersamamu lagi sekarang, duduk berduaan di bawah rindangnya pohon
flamboyant. Aku bersandar di bahumu yang bidang, mencoba mereguk lebih
banyak lagi kesenangan. Kau biarkan rambutku menggodamu, menyebarkan
wangi shampoo di hidungmu, menggelitik dan membuatmu mengernyit. Kau
sisihkan ujung rambut nakal itu dengan jemarimu, lembut sekali. Ahh…,
tidakkah ada perempuan yang suka sikapmu ini ? Bagiku kau adalah
keteduhan, sesejuk kerindangan daun flamboyant. Kau mencubit pipiku
dengan gemas saat aku menggelitik telingamu. Ya…, kau tak pernah bisa
menahan rasa geli itu, tiap kali aku menyentuhnya. Kau selalu geli, itu
juga sebabnya aku suka menggodamu dengan gelitikan setiap kali kau
terlena – terdiam karena melihat indahnya persawahan di depan kita.
Aku
sering menemuimu disini, aku suka tempat ini. Aku tak pernah bosan
dengan hawanya yang sejuk dan suara kicauan burung sawah yang merdu
bersahutan. Bercuit-cuit mencari sisa gabah. Naik dan turun ke tanah.
Kadang kau melamun memandangi ulah burung-burung ceria itu, mengikuti
setiap gerak mereka dengan matamu. Sayang…, tidakkah itu indah ?,
tanyamu suatu kali. Ahh…, kau memang romantis.
Sering kau
petikkan mawar merah untukku, menyuntingkannya di rambutku,
mengharumkan diriku. Tentu saja aku senang. Perempuan manapun pasti suka
mawar, apalagi yang harum seperti yang kau petikkan itu. Kau cantik
seperti mawar ini…, katamu tiap kali. Entah berapa kali kau ucapkan itu.
Dan aku selalu mabuk karenanya. Kau memang jago merayu, tapi aku sangat
suka rayuanmu. Dan aku merasa sangat beruntung karena kau tak
membaginya dengan perempuan lain selain diriku. Kau berkah dalam
hidupku.
Aku tak pernah bermimpi bakal menjadi kekasihmu
sebelumnya. Kau begitu tenar di antara para wanita. Sedangkan aku
biasa-biasa saja. Aneh…, kau justru tertarik padaku, meski banyak bunga
mengelilingimu. Yang jelas, cintamu tak sia-sia, karena aku juga
mencintaimu dengan sama hebatnya. Jodoh tak pernah salah menghampiri
kita, rupanya…. Jadi kita boleh bersuka-cita mengikatnya dalam
kisah-kasih asmara. Kalau sudah begini, siapa juga yang bakal berani
memisahkan kita ?
Aku melihat sekeliling, dan menemukan
setangkai mawar merah di belakang punggungmu. Masih segar dengan sisa
embun menempel di daunnya. Aihh…, aku ingin memetiknya untukmu. Aku
ingin memberikannya padamu. Kau sudah sering memberiku mawar merah, jadi
biarkan kali ini aku yang memberikan sekumtum mawar merah untukmu.
Saling memberi, biar adil. Aku juga mau menunjukkan rasa cintaku padamu.
Jadi jangan kau tertawakan, ya ?
Aku ulurkan setangkai
mawar itu padamu, dan aku begitu senang ketika kau menyambutnya. Kau
ciumi harumnya, dan kau letakkan di depan dada. Terima kasih, sayang….
Ini mawar yang sangat indah…, katamu. Aku berkedip. Aku terharu karena
kata-katamu yang tulus keluar dari bibirmu. Aku memelukmu sesaat, hanya
sesaat. Dan kau merangkulku dengan erat.
Kita saling
bercerita tentang masa lalu, kita bercengkrama seperti waktu dulu. Kau
kini juga menua sepertiku. Tapi di mataku, kau tetaplah lelaki gagah
yang menikahiku. Yang memberiku berjuta kemuliaan dan kebanggaan. Dan
lihatlah diri kita ! Kita masih saja rukun seperti saat kita muda. Jadi
jangan pernah iri pada anak-anak muda itu, kita lebih mesra dari
mereka. Ahh…, kau tersenyum lagi mendengarnya. Kau ini…, mengapa hanya
tersenyum-senyum saja ? Tidakkah pagi ini kau ingin mengucapkan sesuatu
yang penting ? Aku sudah lama menantikan itu…. Jadi aku mohon,
bicaralah….
Kapan kau akan mengajakku ?, aku bertanya
dengan kelu. Bibirmu terkatup dengan lengkungan yang manis, tapi kau
tetap tak mau bicara. Aku dengar suara berderap mendekat. Ahh…, aku tak
suka suara itu. Aku masih ingin bertemu denganmu lebih lama. Mengapa aku
harus pergi darimu sekarang ? Aku masih ingin disini….
“Ibu…,
waktu berkunjung kita sudah habis…”, suara perawat itu menyadarkanku.
Kau terdiam memandangku, tak juga mau mengucapkan janji. Janjimu untuk
membawaku pergi bersamamu. Mataku berkaca-kaca. Jadi aku masih harus
terpisah denganmu lebih lama ? Ahh…perpisahan ini menyakitiku.
“Kita
pulang sekarang, ya, Bu ?”, kata perawat itu lagi. Ingin aku
menolaknya, tapi bibirku terkunci. Terkatup tanpa suara sejak kau pergi
dariku. Dan kursi tempatku duduk kini berbalik memunggungimu. Aku
menoleh, masih melihatmu berdiri disana dengan mawar merah pemberianku.
Senyummu mengiringiku, tapi hatiku perih karenanya.
Perlahan-lahan
mobil kami meninggalkan tempatmu berada sekarang, meninggalkan
pemandangan sawah itu, meninggalkan tatapan mesra matamu. Sebutir air
menetes dari sudut mataku. Selamat Iedul Fitri, sayang…. Tahun depan aku
akan mengunjungimu lagi.
SELESAI
Bintaro Jaya, 9 September 2011.
(terilhami oleh mereka yang telah ditinggalkan kekasih)
Posted by CINDELARAS at 09.01 0 comments
Labels: CERPEN
ANAK ALANG-ALANG
Hari ini Among ingin sekali cepat-cepat sampai di rumah, dia tak sabar ingin segera bertemu dengan Rimbang, sapi betina miliknya yang sedang hamil tua. Kata ayah Among, Rimbang diinseminasi buatan oleh Pak Penyuluh. Entah apa artinya inseminasi buatan, Among tak paham. Yang jelas sapinya sekarang sudah bunting, dan kian hari perutnya kian membesar saja. Setelah makan siang, Among biasa membawa Rimbang pergi ke padang alang-alang, kira-kira 30 menit perjalanan dari rumahnya. Ladang alang-alang itu ada di batas desa. Disana Rimbang biasa dibiarkannya mencari makan, mengunyah rumput hijau dengan moncongnya yang lebar. Rimbang tak pernah bosan makan rumput di padang itu, terlebih lagi disana juga banyak terdapat tanaman singkong liar yang tumbuh di antara rerumputan.
Among pernah mendengar bila sekarung rumput segar bisa dijual seharga 3000 rupiah di kota. Biasanya rumput itu dijual ke para tukang sado untuk memberi makan kuda mereka. Among sempat merenung, uang 3000 rupiah itu sama dengan tiga hari uang sakunya. Kalau satu kuda habis 2 karung rumput, itu artinya sama besarnya dengan jumlah 6 hari uang sakunya. Ckckckckck….. Among tak habis pikir mengapa kusir sado di kota tak mencari rumput sendiri saja, atau bisa saja menyuruh anggota keluarganya untuk mencari rumput pakan kuda mereka. 6000 rupiah…, sayang betul bila untuk membeli dua karung rumput saja. Kalau saja Among boleh memakai uang saku 6000 rupiah per hari, bisa-bisa dia berpesta setiap hari dengan memborong jajanan di warung sekolah. Lontong, gorengan, es lilin, teh manis, bermacam keripik dan kue basah, wuahh…, bakalan kenyang tanpa harus makan siang bila dia bisa jajan dengan uang sebanyak itu saban harinya.
Rimbang melenguh, sepertinya dia kelelahan. Among membiarkan sapi betina itu rebah beristirahat di atas rumput hijau yang menghampar, mulut sapi itu masih saja mengunyah. Among mencari tempat berteduh, kebetulan ada sebuah pohon mangga yang tumbuh tak jauh dari padang rumput itu. Pohon mangga itu sedang tidak berbuah banyak. Biasanya bila sedang musim berbuah, pohon itu akan dipenuhi mangga udang berukuran kecil yang menggantung di setiap ujung dahannya seperti hiasan. Saat ini, hanya ujung-ujung dahan tertinggi saja yang masih ada buahnya, itu pun hanya sedikit. Untungnya Among tak takut memanjat, jadi dia bisa juga mengambil beberapa buah yang mengkal. Kalau sedang musim buah mangga, Among sering membidiknya dengan ketapel. Buah yang masih hijau pun dia sasar, lumayan untuk menyegarkan mulut. Tak ada yang marah bila buah mangga udang itu diambil orang, pohon itu bukan milik siapa-siapa. Jadi Among dan anak-anak lainnya yang juga sering menggembalakan sapi atau kambing mereka di ladang rumput itu tak perlu takut akan diteriaki maling. Satu pohon untuk semua, begitu saja.
Kadang kala, Among ingin juga merasakan seperti apa rasanya buah impor. Kata Pak Karwi, walikelasnya, negeri ini sudah dijajah dengan buah impor oleh negara lain. Pak Karwi bilang, buah impor itu warnanya bagus-bagus, seperti gambar lukisan yang ada di kalender sekolah. Among jadi membandingkannya dengan buah mangga mengkal yang baru saja didapatnya dari pohon di ladang alang-alang itu. Buah mangga itu kulitnya hijau, meski daging buahnya sudah agak kuning. Rasanya asam, manis, segar. Pas sekali kalau dimakan dengan bumbu sedikit garam dan cabai. Among sendiri biasa membawa cabai dan garam tumbuk dalam bungkus daun, sekedar persiapan kalau dia mendapat mangga muda lagi dari ladang. Lalu bagaimana rasa mangga impor ya ?, Among penasaran. Kalau kata Pak Karwi, rasa jeruk impor itu manis seperti gula pasir, tidak asam seperti jeruk yang ditanam di sekitar rumah Among yang tumbuh sejak jaman nenek buyutnya masih ada.
Hari sudah beranjak sore ketika Among memutuskan untuk segera pulang. Dia sudah lumayan kenyang dengan mangga mengkal. Dan di bajunya masih ada dua buah mangga mengkal lagi yang bisa dibawanya pulang untuk oleh-oleh. Among tahu, ibunya suka sekali makan mangga mengkal. Maka setiap musim mangga tak pernah lupa Among memetikkan beberapa untuk ibunya. Among menyelipkan buku pegangan yang tadi sempat dibawanya. Membaca buku pegangan di ladang alang-alang ini lebih mengasyikkan dari pada belajar di rumah saat malam karena lampu di rumah tak terlalu terang. Saat Rimbang sibuk makan rumput, Among bisa membaca setidaknya sepuluh halaman dan mengerjakan setidaknya dua jenis PR dari Pak Karwi.
“Banyak-banyaklah berlatih berhitung, Among…. Semakin kau sering berlatih menghitung, semakin kau paham bagaimana menyelesaikan soal. Kalau perlu, buatlah soal sendiri dengan rumus yang sudah diajarkan Pak Guru…”, kata Pak Karwi yang langsung diamini olehnya.
Among tahu, Sudana punya buku soal lengkap dengan segala macam pertanyaan. Anak Pak Kades itu selalu pamer kalau dia sudah mengerjakan banyak soal matematika, IPA, IPS, dan mata pelajaran lainnya. Katanya, buku semacam itu dibeli di kota. Mana ada orang berjualan buku soal di desa ini ? Kalau buku catatan banyak. Tapi Sudana itu agak pelit, hanya teman-teman tertentu saja yang diperbolehkannya melihat buku soal. Among tidak pernah diperbolehklan melihat. Untungnya, Pak Karwi masih memberinya nilai bagus. Meski nilainya masih berada di bawah nilai Sudana.
Hhemmoooo…….
Terdengar suara Rimbang melenguh panjang. Among menoleh ke arahnya. Dia baru saja akan mengajak Rimbang pulang ketika dilihatnya sapi betina itu susah berdiri. Among melihat kaki belakang sapi itu gemetaran.
“Rimbang…. Kau tak apa-apa kan ?”, tanya Among sambil mengusap kepala sapinya. Rimbang lalu berusaha keras berdiri, tapi kaki belakangnya masih juga gemetaran.
Hheemmmooooo…….
Suara Rimbang terdengar aneh, dan dia tampak sangat gelisah. Among menarik tali yang terikat di leher Rimbang, lalu berusaha mengajaknya pergi. Tapi Rimbang menolak, dia tetap bertahan di tempatnya berdiri.
Hheemmmoooooo………
Hhheeemmmooooo…….
“Ayolah, Rimbang….. Hari sudah hampir gelap. Sebentar lagi mau maghrib. Ayo kita pulang…”, bujuk Among bingung. Tapi sapi betina itu terus-menerus melenguh, dan kian lama lenguhannya kian memilukan. Seperti sedang menangis….
Among memandangi Rimbang dengan seksama, mata sapinya berlinang-linang, dan kedua kaki belakangnya makin gemetaran. Among melihat bagian belakang sapi itu menegang, kakinya bergerak saling berjauhan. Lenguhannya tak kunjung tenang, dan kepala sapi itu kadang mengangguk-angguk tak karuan. Ada apa gerangan ?
“Jangan menangis, Rimbang….. Kenapa kau menangis seperti ini ?”, tanya Among cemas tak menentu.
Among tak mengerti mengapa Rimbang melenguh seperti ini. Sapi itu nyata sekali terlihat sedang kesakitan, bunyi lenguhannya menyayat hati. Among makin bingung, melihat sapinya menangis, Among jadi ikut menangis. Lalu peristiwa demi peristiwa terjadi di depan mata Among. Saat Rimbang melenguh hebat dan perutnya makin menegang, saat kemudian sepasang kaki muncul dari bagian belakang Rimbang. Among memekik, darah bercucuran keluar dari bagian belakang sapinya yang sedang kesakitan.
"AAAaaa.....!!!! Apa yang keluar dari badanmu itu, Rimbang ? Huhuhu..... Kau berdarah, Rimbang...", teriak Among sesenggukan.
Rimbang mengejan kian kencang, sepasang kaki yang terjulur keluar dari tubuhnya itu makin lama makin panjang. Lalu kian lama kian terlihat bentuk utuh yang keluar dari bagian itu, badan seekor anak sapi ! Rimbang masih saja melenguh-lenguh kesakitan. Dia menangis, Among pun menangis bersamanya. Di depan Among kini tergeletak sesosok bayi sapi yang masih lemah. Nafasnya satu-satu…. Dengan menangis, Among membuka baju yang dipakainya untuk mengusap anak sapi itu agar tidak basah oleh lendirnya. Sekarang hanya tinggal kaus dalam yang sudah berlubang yang melindungi badan bagian atas Among. Mata anak sapi itu mengerjap-kerjap. Tapi lehernya masih lemah lunglai, dan ke empat kakinya belum mampu berdiri.
"Kau beranak, Rimbang.... Huhuhuhu..... Aku harus bagaimanaaa...? Aku harus bagaimanaaa...? Ayaaah...? Aku takut, Ayah.... Kenapa tidak ada orang disini ? Huhuhu.....", kalut Among berteriak pada sapinya, pada sekeliling. Tak ada sahutan dari siapapun disana. Rimbang lemas, darah masih juga keluar dari bagian belakang tubuhnya. Tapi kali ini, lenguhannya tak lagi sepilu sebelumnya. Among bersimpuh di sebelah anak sapi yang masih lemah itu. Badannya penuh lendir dan darah induknya.
“Kasihan anakmu, Rimbaang….. Huhuhu….. Bagaimana kalau nanti anakmu mati, Rimbaang…? Huhuhu…… Kenapa kau beranak disini, Rimbaaang…? Huhuhu….”, isak Among tak henti-henti. Tangannya yang kecil sibuk mengusap anak Rimbang yang masih lemah terbaring dengan baju yang tadi dilepasnya.
Hari sudah maghrib, dan tak ada siapa-siapa lagi di ladang alang-alang itu kecuali mereka bertiga. Among yang terus saja berlinangan air mata itu dengan sesenggukan menunggu anak Rimbang yang belum mampu berdiri dengan kakinya. Rimbang sendiri duduk terjatuh di atas rerumputan, badannya agak demam. Among sudah memberinya sekedar air untuk minum dengan batok kelapa yang ditemukannya di sekitar ladang. Rimbang meminumnya dengan lahap, tapi dia masih terlalu lemah untuk diajak pulang.
Di desa, hari sudah hampir isya’ ketika orang-orang mulai gelisah karena mendengar kabar Among belum pulang. Ayah Among mengabarkan itu pada semua orang yang berkumpul di masjid desa. Biasanya Among sudah sampai di rumah sebelum maghrib. Dan saat ini waktunya sudah terlewat banyak. Dengan dipimpin Pak Kades, mereka beramai-ramai mencari Among. Ibu Among menangis mengingatnya, dia takut terjadi apa-apa. Orang-orang mencari Among ke arah ladang alang-alang. Ayah Among tahu anak lelakinya sering ada disana. Apalagi tadi sempat ada beberapa anak yang mengatakan mereka menggembala ternak mereka bersama-sama Among disana.
Ladang yang gelap tanpa penerangan membuat Among harus berjalan perlahan sambil menuntun anak sapi dan induknya. Keduanya masih lemah, jadi Among tak bisa mengajaknya cepat-cepat. Hujan yang turun rintik-rintik menambah kesulitan mereka saat berjalan. Jalan setapak jadi becek dan licin. Among masih saja sesenggukan, dia takut bukan main. Untuk mencapai rumahnya, mereka semua harus menyeberangi jembatan kayu di atas satu-satunya sungai besar yang ada di desa ini, dan di jembatan itu tak ada penerangan sama sekali. Dengan tertatih-tatih, anak sapi yang masih lekat dengan tali pusarnya itu melangkahkan kakinya. Sebentar-sebentar anak sapi itu berhenti karena lelah, sementara Rimbang melenguh-lenguh membujuknya.
“Kenapa kau beranak saat tidak di kandang, Rimbang ? Huhuhu…. Aku takut, Rimbang… Huhuhu....”, tangis Among sambil terus bergumam. Dalam rintik hujan seperti ini, langit tak berbintang, dan bulan tak juga muncul menggantikan. Among harus memasang matanya tajam-tajam agar dia bisa mengenali jalan. Langkahnya terhenti ketika dari kejauhan dia melihat sebarisan obor berjalan mendekat….
“Amooong!!!”, teriak orang-orang.
“Amooong!!!”, mereka bersahutan.
Among lega bukan kepalang. Dengan tangis, dia berteriak….
“Ayahh!!! Huhuhu….. Aku disini, Ayah !!! Aku disiniii !!!!! Huhuhu…..”, panggil Among sambil melambai-lambaikan tangan. Dia tak tahu apakah ayahnya dan orang-orang itu melihat lambaiannya, tapi dia tak peduli. Dipanggilnya lagi ayahnya dan orang-orang itu agar lebih mendekat. Sampai akhirnya mereka betul-betul bisa melihatnya di seberang jembatan.
“Amooong!!!”, teriak Ayah Among memanggil. Dia berlari menyongsong anak lelakinya di seberang jembatan, dipelukkan anak lelaki berumur 10 tahun itu dengan erat. Tampak dua ekor sapi berbeda ukuran berdiri tak jauh dari anaknya. Dengan obornya, ayah Among menyadari seperti apa peristiwa yang dilalui anak lelakinya itu. Diusapnya kepala Among dengan bahagia….
“Kau temani Rimbang melahirkan anaknya ?”, tanyanya dengan haru. Among mengangguk dalam tangisnya, dia memeluk ayahnya seakan tak mau kehilangan. Ayahnya balas memeluk, anak sapi itu tampak sehat, dan Rimbang tampak baik-baik saja.
“Mana bajumu ?”, tanya ayah Among.
“Aku… aku memakainya untuk membersihkan anak Rimbang, Ayah…. Kasihan dia…, huhuhu….”, kisah Among berlinang-linang. Ayah Among terharu, matanya membasah. Dipeluknya lagi anak itu lekat-lekat.
“Anak baik…anak baik….. Sekarang kita pulang…. Maaf Ayah tidak tahu kau mengalami ini, Nak…”, kata ayahnya penuh kasih. Digendongnya anak lelaki itu di punggungnya, lalu orang-orang pun membantunya menggiring Rimbang dan anaknya pulang ke rumah.
*
Among sudah tak lagi mengajak Rimbang ke ladang sekarang. Sebagai gantinya, Among mencarikan sekarung – dua karung rumput segar setiap hari untuk sapinya. Anak Rimbang suka sekali menyusu pada induknya. Dan kini sudah mulai lincah berlari. Pengalaman menunggui Rimbang melahirkan itu sungguh meninggalkan kesan yang berharga. Among melihat betapa kesakitan yang diderita Rimbang saat melahirkan, darah yang mengucur keluar dari tubuhnya, dan bagaimana kaki-kaki Rimbang bergetaran menahan sakitnya. Ibunya dulu pasti juga mengalami hal yang sama saat melahirkannya. Ibunya pasti juga kesakitan seperti Rimbang. Itu sebabnya sekarang Among makin sayang dan menghormati ibunya.
“Kapan kau akan membawa anak Rimbang ke ladang ?”, tanya ayah Among.
“Kalau dia sudah kuat, Yah….”, jawab Among riang.
“Kau tidak takut lagi kesana membawa sapimu ?”, tanya ayahnya lagi. Among menggeleng mantap.
“Tidak, Yah…. Kalau anak Rimbang sudah siap, aku akan mengajaknya bertualang di ladang alang-alang itu biar dia kuat seperti induknya…”, katanya lagi.
"Akan kau beri nama siapa anak sapi itu ?", tanya ayah Among ingin tahu. Sejenak Among terdiam, dia berpikir keras.
"Hmm..... Aku akan menamainya Salang !", jawab Among mantap.
"Salang.... Apa artinya ?", tanya ayah Among. Among tersenyum mendengarnya.
"Artinya Sapi Alang-Alang...", jawabnya pendek dengan bibir tersungging senyuman.
Ayah Among tersenyum bangga, dirangkulnya anak lelaki itu dengan rasa bahagia.
SELESAI
31/10/2011, Bintaro Jaya 3A.
Posted by CINDELARAS at 08.59 0 comments
Labels: CERPEN
SAM, KAPAN KAU PULANG ? (part 2)
Angin kencang berhembus menggoyangkan pepohonan di sepanjang
tepian jalan setapak di areal parkiran. Mataku menatap lurus ke depan.
Hhh..., hari ini bakal menjadi hari yang panjang.... Ada tiga pekerjaan
yang harus selesai siang ini, dan bakal ada banyak lagi barang yang
harus kupesan ke supplier atau Senin nanti pabrik tak akan bisa
operasi. Hari Jumat yang akan penuh dengan ngotot dan debat kusir saat
meeting antar departemen. Selalu ramai seperti pasar sampai meeting
selesai.
Aku lemparkan badanku ke kursi kerja, masih
sepagi ini dan rasanya aku sudah penat memikirkannya. Hff..., semoga
saja hari ini akan ada vitamin yang bisa menjernihkan mata. Gadis
karyawati baru yang sudah tiga minggu ini bekerja di departemenku. Muda,
cantik, cerdas, dan ...ini yang penting – roknya mini. Betul-betul
vitamin buat mata bila sedang suntuk memikirkan pekerjaan yang selalu
menumpuk di setiap harinya. Tapi aku bukan lelaki bangsat seperti
beberapa rekan kerjaku yang dengan sengaja selalu mencari cara agar bisa
menggoda gadis itu. Aku cukup sopan dan selalu menjaga jarak dengannya.
Cukuplah hanya melihat dari jauh, atau bicara sekedarnya saja soal
pekerjaan. Tak lebih.
Pikiranku sedang penuh dengan
Hermin. Sudah seminggu ini aku meninggalkannya sendiri di rumah kami
yang mungil. Dia perempuan yang aku kawini. Dia perempuan paling bawel
dan manja. Seperti kucing. Sebentar-sebentar mengeong minta perhatian,
sedikit-sedikit menggerutu seperti tawon berdengung di telingaku. Aku
mengawininya dengan sebongkah cinta dan seraup asa. Tapi itu ternyata
tidak cukup bisa memuaskannya. Dia tetap bawel dan manja. Semua yang
kukerjakan bermasalah baginya. Begini salah, begitu salah. Sumber
kekesalan yang membuatku sebal adalah mendengarkan ocehannya tentang ini
-itu yang tak berkesudahan. Bosan ? Tentu saja aku sangat bosan pada
keluhannya.
“Jangan kau letakkan sepatumu di bawah meja,
Sam.... Siram toilet setelah kencing, Sam.... Apa kau tak bisa
meletakkan piring kotormu ke rak cucian piring, Sam...?
Nye...nye...nye...nye...nye....”, mulutku mencibir menirukan suara
perempuanku. Peduli amat ! Sebal....
Aku tak menyangka
bakal sesulit itu hidup bersamanya. Sudah lima tahun kami menikah, dan
dia masih saja suka mengatur-atur apa yang harus aku lakukan. Harus
begini, harus begitu, jangan begini, jangan begitu.... Seperti polisi
pengatur dunia. Semua harus berjalan dengan aturannya.
Huh...!
Apa sih salahnya meletakkan sepatu di bawah meja ? Dia kan di rumah
seharian ? Dia kan bisa menyimpankan sepatuku pada tempat yang dia mau.
Dan aku memang sering kali terlalu capek sesampaiku di rumah. Hingga aku
tak lagi memedulikan harus diletakkan dimana sepatuku. Masih untung aku
bisa berjalan masuk ke kamar meski dengan kaki pegal begitu, kalau
tidak bisa-bisa aku memilih tidur saja di sofa ruang tamu. Apa bedanya ?
Toh yang kubutuhkan hanya tidur...tidur...dan tidur. Aku lelah,
Hermin.... Jadi jangan lagi kau tambah lelahku dengan ocehanmu yang
seperti burung beo itu.
“Kau selalu saja tak mau membalas pesanku. Apa kau benar-benar tak ada waktu ?”, tanyanya tiap kali.
Hhh,
perempuan itu..., sudah berapa kali aku katakan padanya supaya tak
menggangguku dengan kiriman sms. Aku sibuk. Tapi tiap kali dia tetap
saja mengirimiku sms, seolah tak cukup baginya hidup hanya dengan
mendapatkan ciuman di pipi dan lambaian tangan saat aku berangkat ke
kantor. Lihat istri-istri tetangga itu.... Tak ada seorang pun di antara
mereka yang mendapat ciuman istimewa dari suaminya saat akan ditinggal
ke kantor. Jadi kau harus bersyukur, Hermin.... Kau sudah mendapatkan
cintaku yang tak terkira besarnya padamu, meski hanya tergambar dari
sebuah ciuman di pipimu.
“Kenapa aku tak boleh telpon ke
kantor, Sam ? Lalu bagaimana kalau nanti ada urusan darurat yang harus
aku sampaikan padamu ? Kau ini...”, keluhnya suatu kali.
Ahh...,
perempuan itu tak juga mau mengerti. Aku tak bisa seenaknya menerima
telepon saat aku bekerja, atasan pasti akan menegurku. Aku heran
menghadapinya. Bagaimana mungkin dia tak juga mengerti ?, sementara aku
sudah sering kali memberitahunya hal-hal seperti ini.
Aku
pikir aku sudah cukup memberinya kasih-sayang dan cinta. Aku juga sudah
merasa cukup bersabar dengan kerewelannya. Aku pernah berpikir kalau
kebawelannya itu cermin dari kesepian yang dirasakannya setiap saat di
rumah kami. Bisa jadi belum hadirnya buah hati di antara kamilah yang
membuatnya jadi perempuan bawel seperti sekarang ini. Tapi aku pikir
seharusnya dia tak perlu bertingkah menyebalkan seperti itu. Dan kian
hari, rewelnya kian parah saja. Bikin pusing.
“Kak Sam,
ini file yang kemarin diminta.... Saya letakkan disini, ya ?”, Sonia,
gadis muda anak baru itu meletakkan file yang kemarin kuminta di atas
meja. Dia tersenyum manis, lalu berbalik ke mejanya sendiri. Gerakan
panggulnya saat berjalan membuatku harus menahan napas. Gadis itu memang
menarik sekali.
Aku ambil file itu dan memeriksanya.
Gadis itu ternyata tak cuma cantik, tapi juga sangat cekatan. Tak mudah
mencari file setipis ini di antara tumpukan arsip di lemari yang
berantakan, hasil kerja Jono karyawan lama yang dulu memegang itu. Dan
Sonia bisa mencarinya dengan sabar. Hmm...sabar.... Sebuah kata yang
sangat sulit kutemui pada diri Hermin.
Dulu, Hermin selalu
melayaniku dengan telaten. Dia adalah pacar yang bisa kuandalkan. Penuh
perhatian, pengertian, dan dia memberiku rasa nyaman. Itu juga alasanku
menyuntingnya. Meski tak mudah untuk bisa saling menyamakan persepsi
dalam banyak hal, tapi kami sangat saling mencintai. Hanya saja, yang
kulihat pada diri Hermin kini sungguh jauh berbeda dengan yang aku
rasakan dulu. Dia jadi terlalu sensitif dan posesif. Dan entah mengapa
akhir-akhir ini dia begitu menyebalkan, seperti anak kecil mencari
perhatian.
“Sudah enak apa belum opornya ?”, tanyanya suatu kali.
Aku
coba mencicipi. Aku pikir rasanya sudah enak, jadi aku mengangguk saja.
Tapi Hermin marah, katanya kuah opornya keasinan. Dia bilang seharusnya
aku bisa merasakan bedanya. Jadi....itu salahku ? Bagiku tak ada
bedanya opornya keasinan atau kurang garam, karena kesanggupannya
memasak untuk kami pun sebenarnya sudah cukup membuatku berselera makan.
Lalu apa yang dia ributkan ? Menyebalkan.... Dan kian hari kerewelannya
semakin bertambah saja. Tak cuma memasak yang selalu dia khawatirkan,
tapi juga dekorasi interior rumah kami, bentuk badannya yang menurutnya
tambah berisi (padahal menurutku tidak), model baju yang harus dia
kenakan saat akan pergi denganku, riasan wajahnya, dandanan rambutnya,
model sepatunya, la la la la la la....... Membosankan sekali.
Dulu
Hermin tak seperti itu. Dia kini sangat berubah. Di tengah kesibukanku
yang semakin menyita waktu, haruskah dia bertingkah begitu ? Salahkukah
semua ini ?
Aku tersadar dari lamunanku dan segera
menyibukkan diri dengan setumpuk berkas yang teronggok di depanku.
Perusahaan berniat untuk menambah jenis produk dan akan segera launching
bulan depan nanti. Semua harus kami persiapkan dengan seksama. Aku
menekuninya hingga tak ingat lagi pada apa yang kupikirkan tentang
Hermin. Hmm..., biarlah aku melupakannya barang sejenak, Tuhan. Aku kan
sudah berusaha menjauhinya agar kami masing-masing bisa saling mawas
diri. Moga-moga dia menyadari sikapnya, seharusnya begitu. Ah...,
tololnya..., mengapa aku memikirkannya lagi ? Hhh....
Hari
sudah menjelang pukul 9 malam saat aku keluar dari kantor. Kemacetan di
jalan membuatku enggan meninggalkan kantor cepat-cepat. Aku tak mau
sesorean terjebak kesemrawutan lalu lintas kota yang kian hari kian
memusingkan dan bikin stress juga boros ini. Mobil kubuka dengan kunci.
Sudah hampir sebulan ini alarm mobil ngadat, tak mau berfungsi. Namanya
juga mobil tua, aku maklumi saja bagaimana kondisinya. Saat ini
perusahaan sudah tak lagi mau meminjamkan operational car pada karyawan.
Semua pegawai hanya diberi uang pengganti transport bulanan. Biar irit,
katanya.... Aku jadi iri pada pegawai-pegawai negeri yang bisa
mondar-mandir bawa mobil kesana-kemari dengan kendaraan aset negara.
Enak juga kelihatannya bisa jalan-jalan bawa keluarga dengan naik mobil
plat merah, meski itu bukan di hari kerja. Tentunya tak perlu pusing
bakal kena razia STNK dari pak polisi. Kan...milik negara.
“Coba
kau dulu mendaftar jadi PNS, Sam.... Kita tak perlu lagi merasa was-was
bila musim rasionalisasi pegawai tiba di saat krisis moneter seperti
ini...”, celoteh Hermin suatu kali.
Aku dengarkan saja dia
bicara. Hmm..., aku tak pernah bisa terlalu lama duduk berpangku tangan
di depan meja kosong yang sepi aktifitas seperti di kantor instansi
pemerintah. Aku suka bekerja, aku suka tantangan, karena itu semua
membuatku hidup. Lalu apa jadinya kalau aku cuma jadi PNS yang lebih
sering keluyuran di saat jam kerja seperti pegawai-pegawai berseragam
sipil yang lalu-lalang keluar-masuk pasar di siang hari bolong itu ? Aku
tak mungkin bisa begitu....
Sebenarnya, kantor sudah
berencana melakukan restrukturisasi pegawai lagi. Beberapa pegawai
senior sudah digeser oleh tenaga yang lebih muda dan menguntungkan bagi
perusahaan karena gajinya tidak begitu tinggi. Aku baru bekerja empat
tahun disini, dan aku kira aku sudah cukup banyak memberikan
kontribusiku pada perusahaan dan pekerjaanku. Seharusnya aku tak perlu
khawatir karenanya. Tapi entah mengapa pikiranku tak tenang kali ini.
Tekanan pekerjaan ini membuatku sedikit tertekan.
Biasanya
Hermin menghiburku saat aku jenuh seperti ini. Aku biasa meletakkan
kepalaku di pangkuannya dan menikmati setiap elusan tangannya yang
hangat di rambutku. Saat-saat kami mesra bersama, saat-saat kami bisa
berbagi rasa. Hanya saja, cerewetnya itu yang tertahankan.
“Apa
sih maunya bosmu itu ? Mengapa sih dia berbuat begitu ? Untuk apa
menyalahkan orang yang tak ada sangkut-pautnya dengan kerugian
perusahaan ? Kamu kan bukan staf marketing ? Apa dia tidak bisa bersikap
obyektif ? Dia kan juga tak selalu benar.... Orang kok semau-maunya
sendiri memperlakukan karyawan...”, perempuanku menggerutu.
Aku
sudah mendengarkannya berkali-kali, dia mengoceh seperti beo sampai
pagi. Aku jadi tak bisa tidur, karena dia terus saja mengoceh. Sampai
pagi ! Hermin..., kali ini kau tak mampu menghiburku. Kau malah bikin
aku tambah pusing. Semua jadi tambah rumit ketika paginya aku mengantuk
karena semalam kurang tidur. Aku jadi telat ke kantor. Bos mengomel. Dan
aku jadi bulan-bulanannya sepanjang hari itu. Hermin ! Ini semua karena
ocehanmu !
Mobil memasuki halaman parkir sebuah rumah
kost yang luas. Aku menginap di rumah Roy selama beberapa hari ini. Dia
teman kuliahku dulu. Masih bujangan. Kakiku mendekat ke arah pintu
ketika sekilas kudengar suara desah perempuan dari dalam kamar kost
temanku. Sejenak aku terpaku, urung mengetuk pintu. Tanganku masih
menggantung di atas pegangan pintu saat desah demi desah kembali
kudengar. Lalu aku tersadar, aku tepuk jidatku sendiri.
Biiip....biiip...biiip....
Suara handphone tiba-tiba terdengar. Cepat-cepat aku membukanya.
Sam, kapan kau pulang ?
SMS dari Hermin ! Tiba-tiba aku jadi ingin cepat pulang....
Posted by CINDELARAS at 08.58 0 comments
Labels: CERPEN
SAM, KAPAN KAU PULANG ?
Sam, kapan kau pulang ?
Terkirim
pesan lewat ponsel ke nomor yang tertuju, nomor Sam. Lagi-lagi kau tak
segera menjawabnya. Sedangkan aku tak kau bolehkan bicara lewat telepon.
Kau benar-benar membuatku frustasi. Aku kangen, Sam.... Tidakkah kau
tahu itu ? Aku tak heran kalau kau menjawab : “Tidak”. Kau memang
blo’on, lelaki paling blo’on yang pernah kucintai. Kau selalu membuatku
kesal, tak sabar, dan marah. Kau memang menyebalkan.
Aku
teringat saat kau lagi-lagi terlupa letak kunci mobilmu. Ahh..., baru
saja lima menit kau tinggalkan barang itu di suatu tempat, lalu
tiba-tiba kau lupa ! Kau memang konyol.... Lebih konyol lagi karena kau
selalu menanyaiku tentang barang-barang yang kau lupakan itu. Apa kau
pikir aku selalu tahu dimana kau meletakkan barang-barangmu ? Aku bukan
malaikat yang selalu menyertai setiap langkahmu, Sam !
Sebal.
Lagi-lagi aku kesal melihatmu hanya cengar-cengir ketika kau menemukan
kembali barang-barang itu. Walau aku masih bersyukur, karena kau tidak
pernah melupakan sudah makan atau belum. Kalau kau sampai lupa kapan kau
makan, bisa-bisa beras di dapur cepat habis karenamu.
Kau
selalu lupa menyiram kakus kamar-mandi. Bau menyengat yang selalu
membangunkanku hingga memaksaku harus menyiramnya setiap malam. Apa
tidak bisa kau siram sendiri kencingmu itu ? Kau ini sungguh-sungguh
menjengkelkan, ya ? Kau enak-enak buang air, aku yang harus
menyiramnya....
Aku juga benci melihatmu selalu menarik
baju dari lemari tanpa hati-hati, membuat baju-baju lainnya terbalik
kacau morat-marit di dalam sana. Teraduk seperti sampah. Kau pikir
kerjaanku hanya untuk merapikan bajumu, ya ? Sudah sedari dulu, dan
sampai sekarang pun kau tetap begitu. Aku jadi bertanya-tanya bagaimana
caramu dibesarkan dulu. Jangan-jangan tak ada seorangpun yang
mengajarimu bagaimana harus rapi dengan barangmu. Kau tahu rasanya
merapikan lemari baju dua kali sehari ? Rasanya memuakkan sekali.
Lihatlah
piring dan gelas yang kau geletakkan di sembarang tempat itu. Bercecer
dimana-mana lengkap dengan semut dan lalatnya. Lalu akan sampai kapan
aku harus membawanya ke tempat cucian piring ? Kau ‘kan bukan anak
kecil, Sam... ? Lalu mengapa lagi-lagi kau bikin aku geregetan ingin
menjewer kupingmu ?
“Kamu ‘kan pelengkap penderita...”,
begitu jawabmu tiap kali aku marahi. Kau ini...! Dan aku tak habis pikir
mengapa aku tak juga kunjung bisa menjauhimu setelah sekian lama aku
harus marah karenamu. Kau pasti tak pernah tahu seperti apa sakitnya
selalu marah pada orang yang dicintai. Tidak. Kau tak akan pernah tahu
rasanya. Karena bagimu, pusat dunia adalah dirimu. Ahh..., jangan-jangan
aku hanya seekor cicak yang menempel di dinding.... Kalau tidak,
mengapa kau sering abai padaku ?
Berkali-kali juga
kata-kataku tak kau gubris. Kau sering kali asyik dengan kepalamu
sendiri, kedua telingamu tertutup, dan kau hanya mendengar nyanyian
anai-anai yang terapung di atas kolam. Tak peduli suaraku sekeras
halilintar, kau tetap tak mendengar. Dan lagi-lagi aku harus menahan
diri dengan melipat tanganku, menunggumu terantuk tembokmu sendiri.
Kau
tak pernah jera, mengulanginya berkali-kali dengan cara yang sama – di
tempat berbeda. Tidakkah itu bodoh ? Kesalahan yang selalu terulang
adalah cermin kebodohan, dan herannya – kau tak juga kunjung belajar
darinya. Tapi aku lebih heran lagi karena aku masih saja memberimu
kesempatan. Kalau orang lain, pasti tak akan berbuat yang sama, Sam....
Sial ! Lalu apa jadinya kamu tanpa diriku ? Kau..., lelaki paling blo’on
yang pernah kukenal – dan aku mencintaimu seperti kucing dengan ikan
asin....
Sam, kapan kau pulang ?
Aku
kirim lagi pesan pendek ke nomormu. Aku harap kau membalasnya kali ini,
meski harapanku itu ternyata masih saja sia-sia. Pesan itu seperti
terkirim ke negara langit, tersangkut di awan, dan tak mampu terbang
sampai ke ponselmu. Aku genggam ponselku erat-erat, dengan gemas. Kalau
saja kau ada di sampingku sekarang, barangkali aku sudah menimpukmu
dengan bantal. Jangan dengan batu, aku tak mau kau sakit. Tapi kau
memang menyebalkan, sungguh menyebalkan.
Aku penasaran.
Aku kirim lagi pesan pendek ke nomormu. Dan kau masih tak juga menjawab.
Tak sabar, aku menekan nomormu – mencoba bicara. Tapi sia-sia..., kau
tak ada disana. Suara merdu Veronika terdengar dari seberang telepon : “
Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif”.
Huh..., Sam. Kau memang lelaki paling blo’on yang sangat menyebalkan. Sungguh-sungguh menyebalkan. Tapi aku rindu padamu....
Posted by CINDELARAS at 08.57 0 comments
Labels: CERPEN
SINTA GUGAT
Aihh…, Sinta terjatuh dalam keterpurukan yang dalam. Telah dikuncinya cintanya pada Rama yang telah tumbuh mengakar dalam kotak hatinya, tak ada seorang pun bisa membukanya kecuali sentuhan Rama sendiri. Sinta sudah menjaganya dengan sumpah setia, memupuknya hingga tumbuh berbunga, dan membawanya kemana pun dia pergi. Bahkan ketika kemudian dia diculik Rahwana hingga disekap dalam indahnya Istana Alengka, cinta Sinta pada Rama tetap tak tergoyahkan. Siang-malam dia berdoa agar Rama cepat datang menyelamatkannya, pagi-sore dia menunggu kemunculan Rama di taman seribu puspa. Tapi inilah akhirnya yang terjadi, Rama memang menjemputnya, tapi kemudian menuduhnya berselingkuh. Duhh…, kalau saja Sinta mau dan silau dengan kekayaan Rahwana, tentu tak sulit baginya melupakan sumpah setia dan cintanya pada suami. Rahwana tak kalah tampan dari suaminya, dia kaya, dan dia sangat memujanya. Meski sebagian orang berkata Rahwana itu lelaki yang jahat, dia tak pernah berbuat jahat dan kasar pada Sinta. Bahkan dia menjaga Sinta dengan hati-hati, dan tak rela melihatnya sedih sendirian di istananya yang megah.
Sinta mengingat kejadian demi kejadian yang dilaluinya bersama Rama. Masa bulan madu yang terusik oleh iri dan dengki ibu tiri suaminya, masa pengasingan yang bertahun-tahun dialaminya di hutan, dan perjalanan jauh yang telah berkali-kali memecahkan kulit kakinya hingga berdarah-darah selama menjadi istri Rama. Tidakkah pengorbanan itu membuat Rama mengerti bahwa bagi Sinta, suaminya sangatlah berarti. Bukankah sebagai seorang puteri kerajaan, dirinya tidak pantas diperlakukan seperti itu, hidup menggelandang di hutan tanpa merasakan enaknya hidup sejahtera di istana ? Tapi Sinta tak mengeluh, dia juga tak mau menimpakan kesalahan pada siapapun. Asalkan bisa tetap bersama dengan Rama, apapun bakal dilaluinya dengan rasa syukur. Tapi lihat sekarang…. Rama bahkan tak mau menyentuhnya karena ragu pada kesetiaan cintanya. Dunia seakan mau runtuh bersama tangisnya, dan Sinta tak tahu harus berbuat apa.
“Jangan kau menipuku dengan tangis buayamu itu. Sudah jelas kalau kau betah tinggal di istana ini. Kau pasti sudah melupakan aku, Sinta…”, tegur Rama dingin. Dalam pikirannya berkecamuk segala prasangka pada istri yang kini menangis di hadapannya.
“Kanda Rama, aku bersumpah tidak melakukan apapun selama aku ada disini. Aku menjaga kehormatanku dengan kesungguhan. Aku tak mungkin melupakan sumpah setiaku padamu, Kanda…”, jawab Sinta dengan air mata berlinang. Rama melengos mendengarnya. Dia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Sinta akrab dengan saudari Rahwana.
“Kau bisa saja selingkuh dengan lelaki itu !”, kata Rama sambil menunjuk ke arah mayat Rahwana yang tergeletak tercerai-berai di tengah alun-alun Alengka.
“Tapi aku bersumpah tak melakukan apapun dengannya, Kanda. Percayalah padaku…”, kata Sinta dengan terisak.
“Aku tidak percaya…. Sudah selama ini kita berpisah, bagaimana mungkin aku bisa percaya kata-katamu ?”, sanggah Rama dengan mulut mencibir. Sinta sedih bukan main. Menjadi istri Rama adalah satu dari kebahagiaan hidupnya, tapi mendengar tuduhan Rama adalah hal yang paling menyakitkan baginya.
Tapi tunggu dulu, kalau waktu yang lama bisa dipermasalahkan, bukankah tak ada yang mustahil bila Rama juga telah berkhianat padanya ? Bukankah selama ini Rama berada sangat jauh darinya, dan dia bisa bertemu dengan siapapun di luar sana ? Apakah Rama menuduhnya berselingkuh karena dia sendiri sebenarnya sudah berselingkuh dengan wanita lain ? Apakah Rama ragu padanya hanya karena dia tidak mau dituduh lebih dulu olehnya ? Selama waktu yang lama itu, bukankah tidak mustahil bila Rama bertemu dan menjalin hubungan dengan puteri dari kerajaan lain ? Rama tampan dan masyur namanya, wanita manapun pasti bakal terpikat olehnya. Apalagi Sinta sedang jauh darinya. Jadi bukan hal yang aneh bila Rama punya wanita idaman lain. Begitukah yang terjadi ?, bisik hati Sinta dengan curiga. Disekanya air mata yang membasahi pipinya. Dengan kepala tegak kini Sinta berdiri dan memandang wajah suaminya dengan mata menyala-nyala.
“Aku sudah mengatakan bila aku tidak pernah berkhianat padamu. Aku memang sudah menunggumu begitu lama kedatanganmu di istana ini. Waktu memang sudah jauh berlari di belakang kita, dan itulah yang telah memisahkan kita berdua. Tapi aku bersumpah aku tidak melakukan perselingkuhan atau apapun namanya dengan lelaki manapun. Yang aku kenal hanya satu pria, dan itu adalah dirimu. Bila bagimu waktu yang lama memungkinkan aku melakukan pengkhianatan, lalu bagaimana dengan dirimu ? Bukan mustahil kau juga telah berkhianat padaku di luar sana, entah dengan perempuan mana…”, kata Sinta berapi-api. Matanya tajam menusuk relung hati Rama yang terkejut dengan keberanian istrinya.
“Beraninya kau menuduhku berbuat itu, Sinta ! Kau istriku !”, hardik Rama. Sinta tak surut langkah.
“Bila Kanda Rama mampu menuduhku berkhianat, maka aku juga bisa menuduh Kanda Rama berkhianat dariku. Bukankah itu adil ?”, tanya Sinta kesal.
“Kau tidak berhak menuduhku begitu. Aku sudah bersungguh-sungguh berusaha mencarimu hingga ke istana ini. Aku sudah berperang berpeluh keringat darah untuk bisa bertemu denganmu. Dan sekarang kau malah menuduhku berselingkuh ?!”, geram Rama menjawab tuduhan istrinya.
“Lalu apa hak Kanda menuduhku berkhianat ? Bukankah aku sudah mengatakan bila aku tidak pernah melakukan itu ? Bila Kanda sudah tak percaya lagi padaku, bagaimana mungkin aku bisa mempercayai Kanda ? Kanda sungguh tidak adil !”, kata Sinta dengan pandang mata terhunus seperti pedang.
Rama terbungkam kini, mata hatinya yang buta tertutup rasa cemburu dan curiga. Kata-kata istrinya memang masuk akal, tapi hati Rama masih belum lapang menerimanya. Ingin dia meneruskan berbantahan kata dengan istrinya, tapi niat itu diurungkannya, karena dia tahu bila kata-kata istrinya pun sama benarnya. Apa haknya menuduh Sinta tanpa bukti ? Dia pun tak melihat sendiri bagaimana hubungan Sinta dan Rahwana sehari-hari selama Sinta ada disini.
“Buktikan padaku bila kau tak bersalah…”, kata Rama kemudian. Sinta tercenung. Bukti seperti apa yang suaminya inginkah ?
“Aku tak mengerti, Kanda. Bukti seperti apa ?”, tanya Sinta bingung.
“Buktikan bila kau masih sesuci ketika kau menjadi istriku…”, kata Rama.
“Dan kalau aku bisa membuktikannya ?”, tanya Sinta menantang. Rama menunduk dan menghela nafas.
“Kalau kau bisa membuktikannya, maka kau akan tetap menjadi istriku…”, jawab lelaki gagah itu.
Sinta kesal, tapi rasa itu ditahannya. Bukti seperti apa yang bisa ditunjukkannya ? Mengapa harus dengan bukti ? Lalu bagaimana kalau Rama yang sudah selingkuh ? Bagaimana Rama bisa membuktikan kalau dirinya tidak berkhianat ? Lagi-lagi Rama telah berbuat tak adil padanya. Tiba-tiba sebuah bisikan terdengar di telinganya….
“Masuklah ke dalam api, Sinta…. Kau akan bisa menunjukkan kesucianmu disana…”, bisik suara itu, entah dari mana asalnya.
Sinta lagi-lagi tercenung, benarkah bisikan itu ? Tiba-tiba pandangannya beradu dengan tatapan mata Rama yang tak bergeming di hadapannya. Mata itu biasanya menjadi telaga bagi kehausnya akan cinta kasih dan rasa sayang. Tapi kini mata itu seolah berubah menjadi ribuan duri rotan yang siap melukai kulitnya, melucuti harga dirinya.
“Masuklah ke dalam api, Sinta…. Dia akan tahu bagaimana kau sudah menjaga kesucianmu…”, bisik suara itu lagi. Sinta sadar kini, suara itu muncul dari dalam hatinya. Dia harus melakukan itu, masuk ke dalam api yang menyala !
“Baiklah, Kanda…. Aku akan membuktikan kesucianku…”, kata Sinta kemudian. Rama memandanginya dengan heran.
“Lalu bagaimana kau bisa membuktikannya padaku ?”, tanya Rama dingin, hatinya masih diselaputi curiga dan prasangka.
Sinta tak menjawab. Dia malah menyeret ranting-ranting kayu dan mengumpulkannya di tengah halaman. Makin lama jumlah ranting itu makin banyak. Dan tanpa menunggu lama, Sinta pun menyulut ranting itu dengan api kayu bakar yang didapatkannya dari dapur istana. Rama melihatnya dengan takjub, dia masih tak mengerti maksud istrinya melakukan semua itu. Angin yang berhembus membantu mengobarkan api yang menyala, hingga jilatan apinya mencapai langit. Tiba-tiba Sinta berteriak dalam kesalnya….
“Lihat aku, Kanda. Aku akan membuktikan bahwa aku tetap suci hingga sekarang. Kalau aku binasa dalam api ini, maka itu artinya aku bersalah padamu. Sekarang aku akan membuktikannya !”, serunya sambil berancang-ancang masuk ke dalam kobaran api.
Rama ngeri melihatnya, dia ingin mencegah, tapi terlambat. Tubuh Sinta sudah masuk ke dalam jilatan api yang berkobar itu. Rama jatuh terduduk di atas tanah, kepiluan hatinya saat mengetahui betapa nekatnya Sinta sudah membuatnya merasa bersalah. Tidak seharusnya dia meragukan ucapan istrinya sendiri. Bukankah istri adalah separuh nyawanya ? Kini Rama menyesali semuanya yang telah terjadi. Api yang berlomba membakar tubuh Sinta tak bisa dicegahnya, Rama berusaha memadamkannya dengan tangannya sendiri. Mengais-ngais tanah berpasir dan melemparkannya ke tengah kobaran api. Tapi api tetap menyala dengan hebatnya. Hingga akhirnya nyala api itu mengecil dengan sendirinya, menyisakan abu dan…tubuh Sinta yang tetap tegak berdiri di tengah-tengah bara. Tak ada secuil kainpun yang terbakar darinya, juga tak ada sehelai rambut Sinta pun yang terbakar olehnya. Sinta tetap utuh dan hidup ! Dan itu keajaiban ! Rama mendekat ke arah Sinta yang kini telah melangkah keluar dari dalam lingkaran bara api. Kulit kakinya tidak melepuh sama sekali. Sinta terbukti suci !
‘Sinta…, maafkan aku…”, ucap Rama kelu. Egonya mencegahnya untuk berlutut, meski sebenarnya dia ingin melakukannya. Sinta hanya memandangi lelaki itu dengan hati beku.
“Aku memaafkanmu, Kanda…. Aku tahu Kanda akan menyesali tuduhan yang Kanda lontarkan padaku…”, jawab Sinta dingin.
“Jadi kau memang masih suci, Sinta…. Kau..istri..ku…”, kata Rama terbata-bata. Tangannya terulur ingin meraih Sinta. Lengan perempuan cantik itu kini digenggamnya. Tapi tiba-tiba Sinta berontak, dan lengannya pun terlepas dari genggaman Rama. Rama terkejut melihatnya.
“Sinta…? Kau masih marah padaku ?”, tanya Rama ketakutan.
“Sudah begitu banyak yang aku alami bersamamu, Kanda. Aku mengikutimu hingga keluar-masuk hutan. Kulit kakiku telah mengelupas hingga berdarah karena hanya ingin berada dekat denganmu dimanapun kau berada. Aku bahkan melupakan keinginanku untuk hidup nyaman di istana. Aku sudah berdoa untukmu agar kau cepat sampai disini menolongku dari ancaman Rahwana. Aku berusaha tidak bunuh diri hanya agar Kanda bisa menemukan aku dengan keadaan hidup disini. Aku ketakutan siang dan malam oleh ancaman Rahwana yang selalu mencoba menggoyahkan kesetiaanku padamu. Tapi apa yang kudapat darimu ? Kanda malah menuduhku berbuat yang bukan-bukan, mendakwaku untuk perbuatan yang tak pernah kulakukan. Hatiku sakit…”, jawab Sinta menggungat. Rama kembali mengulurkan tangannya, ingin merangkul istrinya. Tapi lagi-lagi Sinta menepis dan menjauh.
“Maafkan aku, Dinda…”, kata Rama putus asa dengan suara yang serak. Sinta hanya memandanginya dari tempatnya berdiri.
“Terlampau banyak yang sudah kudapat selama ini. Aku memang mencintai Kanda, tapi aku belum bisa melupakan kejadian ini…. Aku memaafkanmu, tapi aku belum bisa melupakan apa yang sudah kau lakukan padaku, Kanda…”, kata Sinta lirih. Matanya berkaca-kaca.
“Lalu apa yang harus aku lakukan agar kau bisa kembali di sisiku ?”, tanya Rama sendu. Badannya lunglai menahan gejolak hati yang baru saja dihadapinya.
“Aku akan pergi darimu untuk sementara waktu, Kanda. Aku akan menyepi. Aku perlu waktu untuk berpikir. Bila aku sudah bisa melupakan semua kejadian ini, aku akan kembali padamu. Aku bersumpah akan tetap setia padamu…”, kata Sinta dengan penuh keteguhan.
Rama menelan ludah, tidak bertemu lama dengan istrinya saja sudah membuatnya dirinya tak nyenyak tidur selama ini. Dan kini istrinya berniat akan menyepi ? Rama tak kuasa menahan derita ini. Tak terasa air matanya menetes.
“Aku sudah mengakui kesalahanku, tidakkah itu cukup ? Mengapa sekarang kau akan pergi lagi dariku ?”, ucapnya sedih.
Tapi Sinta hanya tersenyum tipis padanya, dibacanya selaksa doa dan mantra-mantra, kedua tangannya menangkup, kepalanya mengangguk seolah berpamitan. Seekor burung besar yang terbang di angkasa tiba-tiba turun menyambar, membawa tubuh Sinta terbang bersamanya. Rama berusaha meraihnya dengan sekuat tenaga, tapi burung itu melesat cepat ke angkasa, menembus awan dan lenyap dari pandangan mata.
Selesai
Bintaro Jaya 3A, 18/04/2012.
Posted by CINDELARAS at 08.56 0 comments
Labels: CERPEN
KALA BINTANG MENGHILANG
Sudah dua tahun ini Vino menganggur setelah terkena rasionalisasi pegawai di kantornya. PHK…setelah lebih dari belasan tahun bekerja tanpa kenal lelah demi karir dan masa depan keluarga mereka. Pengabdian yang telah begitu lama itu tak begitu saja membuat perusahaan mau mempertahankan posisinya. Vino yang biasa menjadi tulang punggung keluarga, tiba-tiba harus menerima kenyataan bahwa dia tak diinginkan lagi di kantornya, terbuang seperti puluhan karyawan lainnya. Vino begitu terpukul, tenggelam dalam penyesalan tak berkesudahan, dan itu membuatnya depresi. Lelaki itu menyalahkan dirinya sendiri sebegitu rupa, mengurung dirinya di dalam kamar tanpa lampu menyala dan jendela terbuka. Nani sudah berusaha membujuknya agar bangkit kembali menghadapi dunia, tapi sejauh ini usahanya sia-sia. Vino bahkan makin menjauh dalam kesendiriannya. Nani jadi merasa ditinggalkan, baginya Vino adalah lelaki egois yang tak mau mengerti bahwa dia, Nani, juga merasakan kepedihan yang sama. Nani ingin Vino bisa kembali bersemangat bersamanya, Nani ingin Vino bisa kembali tersenyum di pagi hari, merangkulnya dengan penuh percaya diri, menjadi pelindungnya di setiap kesempatan yang dia miliki, menumbuhkan harapan bersama akan masa depan. Namun semua sudah hilang, Vino tak mau melihat kenyataan dan mengambil pelajaran dari apa yang telah dialaminya. Nani jadi merasa dilupakan, karena selama ini mereka berdua telah bersama-sama membangun impian-impian indah itu. Lalu bagaimana mungkin Vino melupakan impian dan harapan mereka ? Tidakkah dia berpikir kalau Nani berhak mendapatkan kembali impian-impian mereka yang sempat terkubur kepedihan ?
Nani mendesah dalam keraguan hatinya, beberapa hari ini sinar mentari sudah tak lagi mampu memberinya energi untuk bisa memahami Vino lebih jauh lagi. Nani lelah, tenaganya sudah habis tercurah untuk mengerti. Dua tahun sudah sejak PHK itu terjadi, dan Nani sudah sampai pada titik jenuh dalam menghadapi keputus-asaan Vino yang tiada henti. Nani sudah tak tahan lagi. Nani harus lari. Dilihatnya sesaat sekelebat bayangan yang ada di balik jendela rumahnya, Vino tampak sedang terpekur di depan tv, tangannya memegangi remote, dan matanya yang sayu memandang ke arah layar monitor. Setiap hari seperti itu, seolah tak mau lagi berpikir untuk bangkit dan menata hidupnya kembali. Andai saja ada orang lain yang bisa membantunya membujuk Vino saat ini, andai saja orang-orang yang datang silih-berganti membujuk Vino itu didengar suaranya. Vino ibarat sebuah rumah dengan pintu tertutup rapat tanpa ada orang lain yang tahu dimana dia meletakkan kuncinya. Sedangkan Nani selama ini telah menaruh banyak harapan padanya.
Ahh…, salah…. Nani sudah merasa salah karena telah menaruh banyak harapan pada lelaki itu. Seharusnya Nani menaruh harapan pada dirinya sendiri, bukan pada suaminya yang selama ini telah menemani hidupnya. Tapi kalau dia merasa seperti itu, bukankah akhirnya hubungan di antara keduanya jadi semakin terasa tak berarti ? Suami-istri yang tak mampu saling memberi, tak akan bisa meraih kedamaian. Dan Nani sudah kehilangan hal indah itu, kedamaian.
“Aku akan pergi…”, katanya lirih saat berada di ruang santai tempat Vino menonton tv. Vino tak bergeming, matanya masih saja terpaku pada layar monitor.
“Aku akan pergi besok, Vin…. Kau dengar kata-kataku ?”, tanya Nani sekali lagi. Vino menoleh sesaat, lalu kembali ke tontonan di layar tv yang sedang dinikmatinya.
“Kemana ?”, tanyanya pendek. Nani menelan ludah.
“Aku ingin bercerai darimu…”, kata Nani dengan suara serak.
Wajah Vino tampak sedikit menegang, urat di dahinya mengencang, dan bibirnya makin terkatup. Tapi dia tak menjawab.
“Kau dengar aku ? Aku ingin bercerai darimu…”, kata Nani mengulangi. Kali ini Vino tak lagi menoleh, tapi wajahnya yang memerah mengatakan kalau dia sedang marah.
Tiba-tiba lelaki itu bangkit, membuang remotenya ke atas sofa, dan masuk ke kamar dengan membanting pintunya. Nani nelangsa, keinginannya kini semakin kuat untuk secepatnya bisa berlari. Ditekannya perih yang mencakar rasa cinta di hatinya, hatinya sudah terlalu banyak terluka karenanya. Lihat apa yang dilakukan lelaki itu !, tidakkah dia orang yang tak mau tahu perasaan seorang istri ? Nani menyumpahi dirinya sendiri karena telah sedemikian dalam mencintai lelaki itu. Tak selayaknya dia diperlakukan seburuk ini. Setiap pasangan haruslah saling berbagi dalam suka dan duka, tapi sepertinya Vino tak mau berbagi kepedihan dengannya. Hal yang kemudian membuat Nani merasa lebih buruk lagi, diabaikan oleh suami sendiri. Tidak, dia tak mau lagi menjadi seperti ini. Maka kepergiannya besok adalah sebuah keniscayaan. Nani ingin mencari dirinya sendiri yang selama dua tahun ini sempat hilang.
“Aku akan mengurus semuanya. Kau akan kukabari secepatnya…”, pamitnya saat akan melangkahkan kakinya keluar ruangan. Vino menatapnya nanar, mulutnya terkunci.
Nani melangkahkan kakinya dengan gontai ke halaman depan. Lelaki itu tak menahannya, atau pun mencegahnya. Dia hanya berdiri mematung disana, di pintu rumah yang terbuka seperti gua. Andai saja lelaki mau memanggil namanya, pasti Nani akan berbalik arah dan berlari memeluknya. Tapi Vino hanya mematung disana, tak berbuat apa-apa. Dengan air mata berlinang Nani melangkah pergi, di saat-saat terakhir, dia masih ingin lelaki itu menahannya. Cegahlah…, cegahlah…, bisik hatinya berharap. Tahan aku, dan aku tak akan pergi…, bisiknya lagi. Pintu taxi yang sudah menunggu di muka pintu gerbang seolah melambai ke arahnya, sedangkan hati Nani begitu berat menggerakkan kakinya. Tapi semua harapannya sia-sia, lelaki itu tetap tak memanggil namanya. Nani membiarkan sopir taxi memasukkan semua tas bawaannya ke dalam bagasi. Dia masuk ke dalam mobil, dan menyandarkan punggungnya yang tegang sejak tadi. Ingin sekali dia menoleh agar bisa sekali lagi melihat lelaki itu. Tapi lehernya begitu kaku, tak bisa digerakkan ke arah itu, seperti engsel yang berkarat terkena asam pekat. Tak bergeming meski sejumput harapan sempat menguar di dadanya. Nani menunduk, air matanya menetes lagi. Sopir taxi menanyakan kemana mereka akan pergi, dan Nani menunjuk arah stasiun kereta.
Ponsel yang ada di tasnya tak juga kunjung berbunyi. Nani masih berharap Vino bakal menelponnya saat ini, mecegahnya agar tak jadi pergi. Tapi meski sudah sampai di loket, ponsel itu tak kunjung berdering. Sebuah karcis kereta express jurusan Jakarta-Surabaya dibelinya dari petugas di loket itu. Nani akan pulang ke rumah ibunya disana. Sejujurnya Nani tak ingin membuat ibunya repot karena kepulangannya kali ini. Tapi Nani sudah tak ingin berada lebih lama di kota ini, kota yang sudah memberikan begitu banyak kenangan bersama Vino. Nani ingin mengubur semuanya sendiri, melupakan semua yang sudah terjadi, melupakan Vino….
Suara melody khas menandakan kereta api akan segera beranjak pergi meninggalkan stasiun, Nani mencoba memejamkan matanya. Andai saja waktu bisa diputar lebih cepat, dia ingin saat ini juga dia sampai di Surabaya. Tak perlu menunggu hingga berjam-jam duduk dalam kereta seperti saat ini, untuk sampai disana. Ayolah…, bawa aku pergi segera…, pintanya. Dia tak ingin niat untuk kembali itu muncul sekarang, karena semua sudah terlambat. Tak akan ada lagi urung pergi, Nani mau semua dimulai dari awal lagi – sendiri. Dan akhirnya kereta api itu beranjak juga, membawanya pergi dari sana, dari kenangan-kenangan bersama Vino….
*
Nani masih sering sakit kepala. Sudah hampir dua bulan dia tinggal di Surabaya. Dan baru saja dia mendapatkan pekerjaan baru di sebuah perusahaan swasta di Surabaya. Hidupnya kini mulai tertata kembali, dan dengan pengalamannya bekerja selama hidup di Jakarta, tak sulit baginya untuk mendapat pekerjaan baru kali ini. Tapi beberapa waktu belakangan ini kepalanya sering pusing, terutama setiap kali dia bangun tidur. Rasanya betul-betul tidak enak. Nani curiga dia sedang sakit, hanya saja yang dirasakannya tidak begitu jelas. Entah bagian mana yang benar-benar sakit, mungkin saja karena dia masih stres memikirkan Vino yang saat ini sudah ditinggalkannya. Nani berusaha menyemangati keadaannya dengan terus berpengharapan semoga siang nanti semuanya akan sakitnya akan membaik, agar pekerjaannya tidak terganggu. Lupakan…, lupakan…, lupakan…, bisiknya. Nani ingin membuang jauh-jauh rasa rindunya pada Vino yang sudah menjadi suaminya selama hampir sepuluh tahun lamanya. Hidup hanya berdua dengannya tanpa seorang anak hadir di tengah-tengah mereka. Kemesraan yang kian lama memudar karena sepi yang menyengat di hati Nani. Dia rindu kehadiran tangis mulut bayi di rumah itu, kerinduan yang kemudian membuatnya pilu. Padahal tak seorang dokter pun mengatakan kalau mereka berdua mandul, lalu mengapa tak juga kunjung punya anak ? Apa yang salah dengan semua ini ? Dia sudah benar-benar memberikan cintanya pada Vino, lalu mengapa Tuhan tak juga memberikan mukjizatnya dengan menghadirkan seorang bayi untuknya ? Sebegitu sulitkah keinginannya terkabul ? Nani menghela nafas sedih, semua sudah ditinggalkannya jauh di belakang, Vino – anak – impian – harapan – semuanya….
Dengan menguatkan hati, kakinya melangkah menuju kantor yang baru. Aku harus bisa, aku harus sehat, ini hari-hari awal bekerjaku…, bisiknya. Meja kerjanya ada di lantai tiga, dan sering kali lift penuh di waktu pagi seperti ini. Biasanya Nani memilih naik lewat tangga yang ada di tengah-tengah gedung, jadi dia tak perlu berdesakan dan mengantre seperti yang lain. Hanya saja, saat ini Nani merasa tak begitu enak badan, jadi dia memutuskan untuk naik lift saja. Maka dengan sabar dia ikut mengantre di depan empat lift yang ada bersama berpuluh-puluh pegawai lainnya. Sepuluh menit menunggu, dan akhirnya gilirannya masuk ke dalam lift pun tiba. Sekitar sebelas orang pegawai ikut masuk ke dalam lift bersamanya, pintu segera menutup dan lift segera bergerak naik ke lantai berikutnya. Belum sampai beberapa detik, tiba-tiba Nani merasa sangat pusing. Pandangan matanya berkunang-kunang, dan badannya melemas. Nani ambruk di tengah kawanan pegawai di dalam lift, membuat beberapa pegawai perempuan berteriak terkejut hampir berbarengan. Mereka cepat-cepat menolong, dan seorang satpam di lantai 3 segera membawa Nani ke ruang P3K sesaat setelah pintu lift terbuka.
Nani siuman dari pingsannya beberapa menit kemudian. Dengan terheran didapatinya dirinya sedang rebah di atas ranjang di ruang P3K. Dokter perusahaan yang sedang piket saat itu segera menghampiri setelah tahu kalau Nani sudah siuman. Dokter berumur paruh baya itu lalu memeriksa detak nadinya, lalu dokter itu tersenyum.
“Sudah tidak apa-apa…. Sebaiknya lain kali lebih berhati-hati saja. Sudah berapa bulan kandungannya ?”, tanya dokter itu.
Nani ternganga. Kandungan ? Apa maksudnya ?
“Saya tidak mengandung, dok…”, sanggahnya dengan alis mengernyit. Dokter itu tersenyum.
“Jadi belum tahu, ya ? OK, saya beri surat pengantar untuk cek lab, ya ? Semoga dugaan saya tidak salah. Ini saya berikan vitamin untuk diminum setiap harinya agar kandungannya lebih kuat…”, kata dokter itu lagi.
Nani menerima sebungkus plastik berisi beberapa strip vitamin itu dengan wajah bingung. Cek lab ? Kandungan ? Mungkinkah…?
Dokter itu lalu mempersilakannya kembali ke ruang kerja. Nani melangkah ke arah meja kerjanya dengan dada berkecamuk. Kandungan ? Benarkah yang dia dengar itu ? Sejak kapan dia mengandung ? Bukankah selama hampir sepuluh tahun ini dia dan Vino tidak juga diberi anak ? Lalu mengapa dokter itu mengatakan kalau dia sedang mengandung ? Nani bingung. Haidnya masih lancar, dan belum pernah sekalipun tertunda seperti orang-orang hamil pada umumnya. Ahh…, pasti dokter itu salah mengira. Bisa saja dia hanya kurang darah atau yang sejenisnya. Sakit kepala ini memang sudah membuat aktifitasnya sedikit terganggu. Tapi hamil ? Sepertinya Nani tak bisa mempercayai semua dugaan itu. Tapi bagaimana kalau dokter itu benar adanya ? Bagaimana kalau ternyata memang dirinya sedang hamil ? Ahh…, haruskah dia merasa senang saat ini ? Mengapa semua ini terjadi di saat dirinya sudah berada jauh dari Vino ? Dibacanya sekali lagi surat pengantar cek lab yang ada di tangannya kini. Benar…, dokter itu yakin dirinya sedang hamil. Dan cek lab bakal memberikan jawaban apakah dirinya saat ini memang betul-betul hamil. Hati Nani tiba-tiba ciut, kalau dia benar-benar sedang hamil saat ini, berarti dia sedang bermasalah. Rencananya untuk menggugat cerai dari Vino bakal hancur berantakan karena hal ini. Dia tak mungkin mengajukan cerai bila dirinya benar-benar sedang hamil sekarang, dia takut menerima karma. Tapi tunggu dulu, semua harus jelas sekarang, aku harus cek lab secepatnya…, bisiknya.
Hari ini Nani ingin waktu kerjanya segera berlalu, surat pengantar cek lab itu harus segera dibawanya ke laboratorium terdekat. Sebenarnya bisa saja Nani membeli sendiri test-pack dari apotik, tapi dia ingin betul-batul yakin kalau dugaan dokter itu benar…atau salah. Dengan dada berdebar dia menunggu hasil tes lab di ruang yang disediakan, hanya sekitar sepuluh menit tes itu dianalisa. Lalu hasilnya diberikan padanya.
“Selamat, ya, Bu…. Anda sudah hamil sepuluh minggu…”, kata petugas lab dengan senyum ramah. Sepuluh minggu ? Itu artinya lebih dari dua bulan ?
“Tapi itu tidak mungkin, Mbak…. Saya masih haid bulan ini. Barangkali anda salah…”, sanggahnya, persis seperti ketidak-percayaannya pada dokter yang sudah menduganya kemarin.
“Bisa saja terjadi seperti itu, masing-masing orang ‘kan punya keunikan sendiri bila sedang mengandung. Tapi hasil Ibu positif, Ibu hamil sepuluh minggu…”, kata petugas itu dengan mantap.
Nani lemas, dia terduduk dengan leher ditekuk, terpekur memandangi lantai di bawah kakinya.
“Ibu bisa berkonsultasi dengan dokter kandungan di poliklinik kami, ini daftar jam prakteknya. Ibu bisa memilih dokter mana yang akan ditunjuk, semua bagus-bagus kok, Bu…”, kata petugas itu sembari menyodorkan sebuah katalog berisi jadual praktek ginekolog.
Dengan tangan gemetar Nani mengambilnya dari petugas itu. Hamil…, dirinya betul-betul hamil…. Lalu apa yang akan Vino katakan kalau dia tahu bahwa dirinya sedang hamil sepuluh minggu ? Mata Nani membasah, kali ini dia merasa berdosa atas semua keputusan yang telah diambilnya. Haruskah dia meneruskan keinginannya untuk bercerai ? Sedangkan bayi yang ada di perutnya ini berhak tahu dan mendapatkan kasih-sayang bapaknya. Bercerai hanya akan membuat anaknya terpaksa jauh dari Vino, dan Nani merasa tak berhak melakukan itu. Jadi, haruskah dia mengalah lagi sekarang ? Bakal senangkah Vino mendengar kabarnya ? Duh, Gusti…. Mengapa baru sekarang Kau berikan karunia ini ? Sedangkan aku sudah tak lagi ingin menoleh ke belakang…, rintih hatinya pilu. Dielusnya perut yang kata petugas itu berisi janin sepuluh minggu itu. Ahh…, anakku…. Anakku yang malang…, aku sudah membawamu pergi sejauh ini dari bapakmu. Apa yang harus aku lakukan ?, tanyanya dalam hati. Nani melangkah gontai meninggalkan laboratorium klinik dengan hati kacau. Dia tak mungkin menceritakan semua ini pada ibunya yang sudah tua, beliau bakal kaget dan bisa-bisa kena serangan jantung. Saat tahu Nani pulang ke Surabaya untuk menetap disana saja, ibunya langsung curiga dan gelisah tak habis-habis. Untung saja Nani mampu meyakinkannya dan hanya mengatakan kalau dirinya pindah kantor di Surabaya, bukan untuk alasan ingin bercerai dari Vino.
Ada sebuah apotik di jalan sebelum Nani sampai di rumah ibunya. Nani penasaran, dia membeli sebuah test-pack untuk men-cek ulang hasil itu. Jangan-jangan tes tadi keliru, pikirnya. Tapi lagi-lagi dia harus menerima kenyataan bahwa test-pack itu memberikan dua tanda strip pada hasilnya, itu artinya Nani memang benar-benar sedang hamil. Diambilnya ponsel dari dalam tas, Nani berniat menelepon Vino dan mengabarkan hal ini. Tapi tak ada yang mengangkat. Sepertinya Vino sudah tidur, atau dia sekarang sedang menonton tv, sibuk dengan remote controlnya, dan melupakan sekelilingnya lagi. Tiba-tiba Nani jadi kesal mengingatnya, dilemparkannya ponsel itu ke atas kasur. Vino pasti belum berubah…, dia menolak berubah…, dia pasti akan mengabaikan aku lagi…, pikirnya kali ini. Kebimbangan lagi-lagi muncul di hatinya yang rapuh. Cintanya pada lelaki itu masih sebesar gunung, tapi Nani juga tak ingin tersakiti lagi. Nani capek. Malam ini Nani tidur dengan susah-payah setelah berjam-jam menangis, dan bangun dengan mata sembab, membuatnya agak kesulitan saat ingin menyembunyikannya dengan make up. Vitamin yang diberikan dokter perusahaan itu diminumnya dengan segelas air. Dan dia sempatkan makan setangkap roti bermentega dengan isian meses sebagai sarapan. Harus makan, ini untuk anak yang ada dalam kandungannya. Dia harus dijaga, dia tak berdosa…, batin Nani sendu. Untuk sementara dia mengurungkan niatnya akan menggugat cerai Vino. Rasa bersalahnya pada janin yang ada dalam perutnya begitu besar kini, dia tak mau gegabah lagi.
Nani bekerja seperti biasa di kantor, mengerjakan semua tugas yang diletakkan di pundaknya dengan teliti dan cekatan. Sore ini dia sudah membuat janji untuk bisa berkonsultasi dengan seorang ginekolog, Nani ingin tahu mengapa dia tetap haid meski sudah mengandung selama delapan minggu lamanya. Nani takut kalau-kalau kandungannya bermasalah, jadi dia ingin cepat-cepat berkonsultasi dengan dokternya. Kabar tentang Vino tak pernah didengarnya, Vino juga tak pernah berusaha menelepon, meski ponsel Nani tak pernah ditutup untuknya. Nani jadi makin apatis dengan sikap Vino yang sepertinya tak peduli dengan keberadaannya selama ini. Vino pasti tahu kalau Nani sekarang ada di Surabaya, dia sudah meninggalkan sms tentang kota tujuannya untuk Vino sesaat sebelum dia naik kereta api kala itu. Sms yang tak berjawab, bahkan hingga saat ini. Nani tak habis pikir mengapa seorang hati lelaki seperti Vino bisa begitu lemah hanya karena kehilangan pekerjaan. Ahh…, itu semua menyakitkan. Vino tak seharusnya bersikap demikian. Nani menggelengkan kepalanya sendiri sembari bergumam, dia tak mau waktunya tersia-siakan. Saat ini pekerjaannyalah yang harus dinomor-satukan, bukan Vino. Maka segera dibuangnya jauh-jauh pemikirannya tentang Vino dan segala kesebalannya pada lelaki itu. Dan tanpa terasa hari berlalu begitu cepat, hingga mentari tak lagi menampakkan batang-hidungnya di langit.
Nani memenuhi janjinya bertemu dengan dokter malam ini. Darinya, Nani mendapat banyak informasi tentang kehamilannya. Semua normal, bagi sebagian perempuan memang terdapat gejala yang mirip seperti itu, tetap haid ketika sedang hamil. Tapi itu hanya masalah gangguan hormon, selebihnya ginekolog itu mengatakan kalau kandungannya baik-baik saja, jadi Nani tak perlu khawatir. Ahh…, andai dokter itu tahu kalau dirinya saat ini sedang bimbang karena Vino. Andai saja saat ini dokter itu tahu kalau Nani sempat berpikir untuk bercerai dari Vino. Hmm…, apa yang bakal dikatakannya ? Tidak…, tidak perlu dia bercerita banyak hal tentang masalahnya pada orang lain, Nani tak mau banyak orang tahu apa yang dia hadapi saat ini. Itu masalahnya sendiri. Tapi dia berjanji akan menjaga anak dalam perutnya ini, walau apapun yang terjadi.
*
Hari Sabtu, Nani libur seperti pegawai lainnya. Dia tak berniat pergi kemanapun kali ini. Rasanya agak malas saja. Sarapan untuk ibunya sudah dimasaknya, sepanci kecil bubur ayam dan semua perlengkapannya yang bisa dinikmati bersama. Ibunya suka sekali makan bubur ayam buatannya, dan Nani juga merasa puas karena bisa memasaknya untuk ibunya yang berumur 76 tahun itu. Keduanya sedang menikamti sarapan bubur ketika kemudian terdngar bunyi bel pintu depan. Baru jam tujuh pagi, siapa yang datang sepagi ini ?, Nani bertanya-tanya. Kakinya membawanya mendekat ke arah pintu, dan Nani ternganga saat melihat siapa yang datang.
“Vino…?”, ucapnya lirih. Dilihatnya lelaki yang kini ada di hadapannya. Tubuhnya tampak kurus dan matanya cekung seperti kurang tidur. Nani tak sempat menghindar ketika dengan cepat Vino menariknya ke dalam pelukan. Dan tiba-tiba lelaki itu mnghujaninya dengan ciuman penuh kerinduan. Nani berusaha meronta, tapi sia-sia…. Dekapan Vino begitu erat sampai dia jadi sedikit sesak nafas.
“Lepaskan, Vin…. Aku tak bisa bernafas…”, katanya parau. Lalu lengan lelaki itu mengendur. Nani langsung menjaga jarak, bahkan tangan Vino yang berusaha meraihnya kembali pun dikibaskannya. Mata Vino nanar memandanginya. Lalu tiba-tiba lelaki itu berlutut, membuat Nani kaget setengah mati.
“Jangan tinggalkan aku, Nan. Aku tak bisa hidup tanpamu…”, kata lelaki itu, serak. Tak pernah Nani mendengarnya mengucapkan kata-kata seputus-asa ini. Dada Nani jadi riuh oleh gelombang keharuan sekaligus kebimbangan. Tapi Nani menggeleng….
“Aku tak bisa kembali, Vin…. Kau menyakitiku…”, kilahnya. Vino menatapnya dengan mata memohon.
“Maafkan aku…. Kau boleh melakukan apapun untuk menghukumku, tapi jangan pernah meninggalkan aku lagi. Aku tak akan sanggup, Nan. Tetaplah jadi istriku…. Kembalilah…” pintanya. Bibirnya tergetar menahan perasaan yang muncul silih-berganti antara dendam rindu dan cinta. Vino bangkit dan mendekat ke arahnya, Nani mundur selangkah. Lalu tiba-tiba ibu Nani muncul dari arah ruang makan, jalan tertatih-tatih dengan tongkat kaki tiganya dengan langkah terseret.
“Apa itu Vino ?”, tanya ibu sepuh itu. Nani menoleh ke belakang dan mengangguk. Vino segera menghampiri ibu mertuanya dan mencium tangannya. Ibu Nani tampak senang.
“Mengapa istrimu tidak kau antar ? Apa kau tidak khawatir dia pergi sendirian ke Surabaya ? Kau sehat, Nak ?”, tanya ibu Nani. Vino mengangguk dengan takzim.
“Iya, Bu…. Saya sehat, alhamdulillah. Ibu baik-baik saja ‘kan ?”, Vino balik bertanya. Ibu mertuanya mengangguk-angguk dan tertawa. Nani lalu disuruhnya mengantar Vino ke kamar, dan Nani terpaksa menuruti ibunya. Dia tak mau ibunya kesal karenanya.
Nani membiarkan lelaki itu tidur di atas ranjangnya, kamar ini memang tersedia khusus untuk mereka bila sedang mudik lebaran. Dan di kamar ini pula dulu mereka berdua menghabiskan malam pertama seusai pernikahan. Kamar yang penuh dengan kenangan yang pernah memberinya bermacam kebahagiaan. Nani baru akan beranjak keluar kamar ketika kemudian didengarnya Vino memanggil namanya.
“Jangan pergi…. Aku ingin bicara denganmu…”, kata lelaki itu. Nani menahan langkahnya, lalu menutup kembali pintu yang sebelumnya sempat terbuka. Dia berbalik dan menatap lelaki itu.
“Apa lagi yang akan kau katakan padaku ?”, ucapnya dingin. Vino menghela nafas panjang.
“Aku tak bisa kembali ke Jakarta…”, katanya. Alis Nani mengernyit heran.
“Kenapa ?”, tanya Nani.
“Aku sudah menjual semuanya…. Rumah kita, mobil kita, barang-barang kita…. Aku hanya membawa surat-surat berharga, perhiasan-perhiasanmu, dan sekoper baju kita. Aku sudah menjual semuanya, Nan…. Kita tak bisa kembali ke rumah itu…”, kata lelaki itu. Nani membeku mendengarnya, mulutnya ternganga, semua ini tak pernah diduganya sama sekali. Menjual semua yang sudah dengan susah-payah mereka kumpulkan bersama selama ini ? Rumah, mobil, dan semua perabotan kesayangan yang telah dengan teliti dipilihnya, semua lenyap begitu saja. Bagaimana mungkin Vino bisa berbuat itu tanpa diskusi dengannya terlebih dahulu ?
“Apa kamu gila ? Untuk apa kamu menjual semuanya ? Sudah susah-payah kita mengumpulkan semuanya selama ini. Dan kau dengan seenaknya menjual semuanya ? Kau tega, Vin…”, kata Nani kesal. Ahh…, lelaki itu lagi-lagi menunjukkan keegoisannya dengan mengambil keputusan sendiri tanpa meminta pertimbangannya. Apakah sekarang dia masih harus mengalah lagi ?, protes Nani dalam hati.
“Kita bisa beli rumah baru disini, kita juga bisa membeli mobil baru untuk keperluanmu disini. Kita akan tinggal di Surabaya mulai saat ini. Tapi jangan sekali-kali kau pernah meninggalkan aku lagi, aku tak sanggup…”, kata Vino dengan mata membasah.
“Tapi kau egois…. Aku tak sanggup lagi menerima keegoisanmu itu. Aku tak mau, Vin…”, tukas Nani, setengah menangis.
“Aku akan berusaha memperbaiki semuanya. Aku memang kekanakan selama ini, tapi aku akan belajar menjadi lebih baik. Aku janji…”, bujuk Vino. Nani tiba-tiba merasa pusing, dia menggeleng dengan penuh keraguan.
“Aku tak tahu…. Aku tak bisa berpikir…. Kau terlalu egois bagiku, Vin. Aku tak ingin kau sakiti lagi. Aku capek…. Aku….aku…aah…”, tiba-tiba tubuh Nani sempoyongan. Kesadarannya tiba-tiba saja hilang. Nani pingsan.
Kejutan yang didengarnya dari mulut Vino membuatnya sedih, dan dia tak sanggup menahannya. Vino kebingungan melihat istrinya jatuh pingsan. Cepat-cepat dibawanya tubuh Nani ke depan rumah dan mencari tumpangan ke rumah sakit. Pada seorang pembantu, Vino berpesan agar hal itu tidak diberitahukan kepada ibu mertuanya. Vino membawa Nani dengan menumpang sebuah becak, dan dokter segera memeriksa kondisi istrinya sesampainya di UGD. Pertolongan pertama segera diberikan untuknya, dokter lalu meminta seorang perawat untuk memasang selang infus ke tangan Nani agar tubuhnya lebih kuat. Dari dokter pula Vino mendengar kalau istrinya sedang hamil, hal yang membuat Vino terkejut bukan main.
Perempuan itu masih tergolek tak sadarkan diri di atas tempat tidur rumah sakit. Botol infus itu baru setengah kosong, ketika Nani tiba-tiba merintih, menandakan kalau dia sudah kembali tersadar. Vino mengusap rambut istrinya dengan lembut, dan ketika perempuan itu benar-benar membuka matanya, Vino menatapnya dengan penuh haru.
“Mengapa kau tak mengatakannya padaku ?”, bisiknya pelan ke dekat telinga Nani. Nani menoleh.
“Apa ?”, tanyanya.
“Mengapa kau tak mengatakan padaku kalau kau sedang hamil ? Kau tega sekali…”, kata lelaki itu nelangsa. Nani menelan ludah mendengarnya. Dibiarkannya tangan lelaki itu mengusap rambutnya berkali-kali. Ahh…, dia sudah tahu sekarang…. Apa yang harus aku perbuat ?, tanya hatinya bimbang.
“Kau membawa anakku dalam perutmu, dan kau masih tak mau memaafkan aku ? Kau tega sekali…”, kata lelaki itu lagi. Sesaat tadi Nani sempat melihat ada sebutir air mata menetes dari ujung mata Vino, Nani mengatupkan pelupuk matanya, tak mau melihat.
“Aku baru akan memberitahumu. Tapi kau keburu datang…”, ujarnya beralasan. Ahh…. Tidak…. Nani sebenarnya merasa sangat bersalah tentang hal ini. Seharusnya dia langsung memberitahu Vino sedari awal dia tahu kalau dirinya hamil. Tapi bukankah dia sudah berusaha melakukannya ? Hanya saja, waktu itu teleponnya tak diangkat. Salahnya adalah…dia tak mengulangi mencoba menelepon Vino lagi.
“Jangan biarkan aku terpisah darinya, aku berhak memberikan kasih-sayangku padanya. Berjanjilah kau tak akan pergi lagi…”, kata lelaki itu lagi. Kali ini suaranya terdengar sangat bersungguh-sungguh. Nani memandangi wajah lelaki itu dengan seksama. Matanya yang cekung dan basah, pipinya yang berubah tirus, dan kerut di dahi yang sebelumnya belum pernah ada. Vino tampak lebih tua. Ya, Tuhan…, sebegitu sedihkah dia setelah kutinggalkan selama hampir dua bulan ini ? Tapi lidah Nani masih terasa kelu, belum bisa berkata apa-apa. Vino balik menatapnya, dan tiba-tiba dia seolah mengerti apa yang dipikirkan Nani.
“Aku janji tak akan kekanakan lagi. Aku sudah mendapatkan pekerjaan disini. Besok Senin aku akan mulai bekerja lagi, jadi kau tak perlu khawatir. Aku minta maaf karena selama ini aku sudah egois, hanya memikirkan keterpurukanku tanpa mengindahkan perasaanmu. Aku tak akan mengabaikanmu lagi. Tapi aku mohon, tetaplah menjadi istriku, Nan.... Jangan tinggalkan aku…”, kata lelaki itu dengan menggenggam erat tangannya.
Nani memejamkan matanya. Tuhan…, bila suamiku sudah mengatakan janjinya seperti ini, patutkah aku tak mempercayainya ? Lihat apa yang sudah kulakukan padanya… Dia kurus karena kehilanganku. Jadi patutkah aku menolak memaafkannya ? Sebutir air mata menetes dari sudut matanya. Bagaimanapun Tuhan sudah memberikan jawaban atas semua kegelisahannya selama ini. Suami yang mau mengerti perasaannya, dan seorang anak yang kini hadir dalam rahimnya. Nani mengangguk.
“Nan…. Katakan sesuatu, Nan…”, kata Vino. Nani membuka matanya dan tersenyum.
“Aku tak pernah pergi kemana-mana. Kau selalu ada dalam hatiku…”, bisiknya mesra. Vino terharu, dipeluknya Nani dengan penuh rasa syukur.
Hujan rintik-rintik tiba-tiba turun di luar sana, membasahi halaman rumah sakit dan menyebarkan aroma. Karunia Tuhan yang tiada terhingga.
Selesai
Bintaro Jaya 3A
15 Mei 2012
Posted by CINDELARAS at 08.49 0 comments
Labels: CERPEN