BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Minggu, 13 Juni 2010

I D O L A

BAB I. Terpukau


Bibir pemuda itu menyerocos panjang-lebar tentang fasilitas kampus Universitas Mangkulangit. Wajahnya yang ganteng dengan dagu tegas, hidung yang bangir, serta rambut hitam sedikit bergelombang membuat penampilannya yang bersahaja tampak menarik bukan main. Tantri menelan ludahnya berkali-kali. Matanya tak kunjung berhenti memandangi pemuda itu dari tempatnya duduk kali ini, di sebuah ruang kuliah - sebuah wahana mencari ilmu di Fakultas Ekonomi, Universitas Mangkulangit. Sudah sejak setengah jam yang lalu pemuda itu bicara, Tantri tak menyimak kata-katanya. Perhatiannya terpusat pada jakun, mata, bibir, dan pundak yang bidang milik Hariawan, pemuda menarik yang sudah menghipnotisnya dengan pesona tak terbantahkan. Merasa diperhatikan, tiba-tiba pemuda itu menoleh ke arahnya dan tersenyum, membuat pipi Tantri merona. Tantri menundukkan kepalanya, menyesali tingkah yang sudah dilakukannya tadi. Sebentar kemudian kembali dia melirik, pemuda itu meneruskan bicaranya. Tantri menghela nafas lega, kali ini dia berusaha sekuat tenaga tak lagi merayapi lekuk wajah pemuda itu.

Tantri sedang membereskan tas dan alat tulis dari bangkunya ketika tak sengaja bahunya tersenggol seseorang yang melintas di sampingnya. Gang kursi yang tersisa memang begitu sempit hingga cuma menyisakan sedikit ruang untuk berjalan. Agak terhuyung, Tantri mencoba menahan tubuhnya agar tak terjatuh ke samping.

"Maaf...", terdengar suara seorang pria yang menabraknya. Tantri menoleh dan terkejut, orang itu Hariawan ! Tantri tersenyum canggung....

"Tidak apa-apa...", sahutnya kikuk. Pemuda itu mengangguk sopan, dan membalikkan badan. 'Ah..., senggolan itu....', Tantri menggigit bibirnya sendiri, '...senggol aku lagi...', bisiknya dalam hati. Baru tiga kali ini dia bertemu dengan Hariawan yang sudah semester 5 itu. Dan dia sudah merasa jatuh cinta pada pandangan pertama....

Cinta pada pandangan pertama ? Hei...! Bagaimana dengan Karrel yang sudah dipacarinya sejak masih SMA ? Tantri memejamkan mata. Rasa sebal dan bosan menghinggapi jiwanya. Masa 2 tahun pacaran dengan Karrel bukan lagi hal yang bisa membuat hidupnya bersemangat. Karrel memang jenaka, dia suka melucu dan menghiburnya saat sedih. Karrel juga orang yang selalu siap membantunya bila sedang perlu. Tapi keputusan Karrel untuk masuk ke Institut Kesenian Jayaguna sungguh tak bisa dia mengerti. Jadi seniman !, pekerjaan macam apa itu ? Mana mungkin bisa memberi jaminan bisa menafkahi keluarga ?

"Nilai kamu itu bagus-bagus, Karrel.... Kenapa kamu tidak mau kuliah di universitas bersamaku ? Kamu bisa belajar musik sambil kuliah kan ?", ucap Tantri kala itu. Karrel cuma terdiam membisu. Dengan cuek diambilnya sebuah gitar dari sudut ruang tamu rumahnya, lalu jemari tangannya mulai memetik senar, mengalunkan sebuah lagu.... Stairway to Heaven....

"Karrel...!, aku sedang bicara !", kata Tantri sewot. Karrel menoleh sejenak, lalu meneruskan keasyikannya memetik gitar.


"Aku akan belajar musik, itu yang aku inginkan dari dulu. Kau juga sudah tau apa mauku.... Kenapa sekarang bingung ?", celetuk Karrel tiba-tiba. Cuek, tak seperti biasanya. Tantri jatuh terduduk di atas sofa, cita-cita Karrel begitu kukuh bagai baja. Sudah jauh hari dia tau kecintaan Karrel pada musik. Bahkan sebuah grup musik sudah dibentuknya bersama beberapa teman lain di sekolah. Mereka menyebut diri 'The Rocketeers', sering diundang manggung sebagai band pembuka di beberapa mall. Sekokoh itukah cita-citanya hingga dia tak mau belajar yang lain ? Padahal nilai Karrel sangat bagus di bidang Matematika, Fisika, dan Kimia. Nilai-nilainya yang lain juga tak ada yang mengecewakan. Tapi memutuskan untuk masuk ke IKJ bukanlah pilihan yang mudah dimengerti. Tantri teringat pada pengalaman hidup seorang almarhum pamannya yang pernah kondang jadi artis di masa Ade Manukutu. Tak sedikitpun kemakmuran yang dimilikinya saat usianya merambat tua. Apalagi sejak pamannya terkena stroke dan terpaksa tinggal di sebuah rumah jompo. Begitulah hidup. Sekali berarti, sudah itu mati. Dan Tantri tak mau Karrel mengalami hal yang sama. Tapi rasanya bujukannya sia-sia.


Lalu keduanya berpisah begitu saja. Mengambil langkah masing-masing ke tempat yang dituju. Hal yang tak pernah Tantri sadari sebelumnya. Karrel yang dulu selalu ada bila dia butuhkan, yang selalu melindungi dirinya saat diperlukan. Ternyata Karrel bisa begitu keras dengan kemauannya jadi musisi. Beberapa lama Tantri berpikir, jangan-jangan dirinya yang terlalu memaksa selama ini. Hhh..., Tantri menyesal telah memaksa Karrel untuk memilih. Tapi nasi sudah menjadi bubur, keputusan sudah diambil. Dan kini Tantri harus melangkah sendiri di kampus UNIMA ini. Tanpa Karrel....


*


Hariawan sadar ada sepasang mata yang sedari tadi memandanginya dengan teliti. Gadis itu duduk di barisan terdepan, seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus panjang sebahu. Gadis itu yang selama tiga hari ini melihatnya seakan ingin menjelajahi setiap sudut wajahnya, membuatnya agak risih. Tapi dipandangi gadis secantik itu, apa ruginya sih ? Hhmm.... Gadis cantik.... Semalam tadi Linda sudah menelponnya, hari ini mereka akan bertemu di warung sate Pak Kangsa di alun-alun. Linda..., gadis yang digilainya setengah mati sejak mereka mengambil mata kuliah stastistik. Pendekatan yang tidak mudah, Linda cukup selektif dengan orang-orang yang dikenalnya. Dan Hariawan senang bukan main begitu cintanya berbalas. 


Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore ketika session terakhir selesai dibahas. Hariawan tersenyum sendiri saat melihat pipi Tantri yang merona karena terpergok memandanginya. Dalam hati, Hariawan merasa senang. Jarang-jarang ada gadis semanis itu mau memandanginya hingga nyaris tak berkedip. Bagai magnet, setiap gerak-geriknya tak pernah luput dari mata indah gadis manis itu. Dada Hariawan seakan terpompa dengan rasa bangga. Dengan nakal, terbersit pikiran untuk menggodanya. Sengaja disenggolnya pundak si gadis saat melintas menuju pintu ruangan. Gadis itu sampai terhuyung ke samping. Ahh..., sudahlah.... Melihat matanya yang indah pun sudah cukup menggoda iman. Hariawan segera teringat akan janjinya bertemu dengan Linda malam nanti. Sudah sesore ini, dia masih harus pulang ke rumah kos untuk mandi sebelum sampai di alun-alun.


Hariawan menyempatkan diri menuju pos panitia, beberapa teman ditemuinya disana. Masing-masing sudah tampak kelelahan setelah menempuh segala kegiatan. Arman yang menjadi panitia untuk fakultas hukum tampak sedang berdiskusi dengan timnya di salah satu sudut pos. Tampak lembaran berkas tergeletak di hampir seluruh permukaan meja panitia. Hariawan memunguti kertas-kertas yang ada di mejanya, merapikannya, dan menyimpannya ke dalam laci. 


Ada beberapa orang yang bersama-sama dengannya menjadi panitia untuk OSPEK di bagian fakultas ekonomi saat ini. Ada Tari si Bendahara, Budi si Sekretaris, Surya untuk seksi Distribusi dan Perlengkapan, Wibi untuk seksi Keamanan sekaligus Kesehatan, Sari untuk seksi Konsumsi, Baskoro yang memegang seksi dokumentasi, dan beberapa orang lainnya yang menjadi penggerak di seksi umum. 


Tari yang bertugas jadi bendahara anak ekonomi juga tengah sibuk dengan urusan laporan keuangan. Tak boleh ada yang terlewat, semua hitungan harus diperiksa dengan teliti. Budi, nama lengkapnya Budianti, seorang gadis berbadan mungil yang menjadi sekretaris panitia fakultas ekonomi, sedang sibuk mengetik selebaran untuk dibagikan besok pagi. Rencananya besok pagi akan dilangsungkan upacara pembubaran. Baskoro yang diserahi bagian seksi dokumentasi tak pernah lepas dari kamera yang selalu tergantung di lehernya. Beberapa mahasiswa akan dipanggil ke tengah lapangan sebagai wakil dari semua mahasiswa yang diterima tahun ini. Pak Rektor akan memimpin penanggalan tanda peserta orientasi, lalu secara simbolik akan mentahbiskan mereka menjadi mahasiswa resmi di kampus ini. Semua jadual sudah ditentukan, tugas Hariawan sekarang adalah berkoordinasi dengan panitia fakultas-fakultas lainnya agar persiapan pelaksanaan upacara besok pagi berjalan sesuai dengan rencana.


"Tadi ada yang pingsan di Ruang E...", kata Wibi saat mendekat. 
"Oh ya ?! Berapa orang ?", tanya Hariawan.
"Cuma satu, cewek. Katanya tadi pagi lupa tidak sarapan...", sambung Wibi lagi. Hariawan menggelengkan kepalanya.
"Baru OSPEK..., apa jadinya kalau ikut kegiatan lain ?", gumam Hariawan sambil menunduk membereskan tasnya. Wibi tak begitu mendengar perkataannya.
"Kau bilang apa ?", tanya Wibi.
"Tidak apa-apa.... Moga-moga saja besok tidak terjadi lagi...", kata Hariawan sambil tersenyum dan menepuk pundak kiri temannya. Wibi mengangguk-angguk. Tiba-tiba terdengar jeritan Budi dari meja Baskoro. Semua mata tertuju padanya....


"Apaan sih ?", tanya Tari penasaran. Di tangan Budi terdapat selembar foto hasil jepretan Baskoro. Wajah Budi memerah dan bibirnya tersenyum kesal.
"Masa aku lagi begini dipotret juga sama Baskoro ! Nyebeliiiin...!!!!", protes Budi sambil mempertunjukkan foto dirinya yang diambil oleh Baskoro di Ruang E saat mengupil. Baskoro tersenyum-senyum geli melihatnya.
"Makanya kalau mau ngupil, liat-liat dulu tempatnya.... Yang lain sedang serius mendengar ceramah, eh...kamu seenaknya saja ngupil. Aku jepret saja pake lensa zoom, kena deh !", jawab Baskoro tak mau kalah.
"Awas kalau nanti kamu pasang foto ini di ECOS !", ancam Budi. ECOS adalah majalah resmi Fakultas Ekonomi di kampus ini.
"Terserah aku lah..., kalau kamu mau fotonya tidak aku masukkan, ada syaratnya...", bujuk Baskoro.
"Apa ?", tanya Budi kesal.
"Mau dong jadi pacarku...", kata Baskoro tanpa rasa sungkan di tengah kerumunan anak-anak panitia. Tidak ada yang tak tahu seperti apa sukanya Baskoro pada Budi. Pemuda bertinggi badan lebih dari 185 cm itu sudah lama naksir Budi yang tinggi badannya tak lebih dari 155 cm. Dunia memang penuh warna.
"Ogah !", jawab Budi sebal. Dilemparkannya lembaran foto itu ke arah Baskoro. Semua orang tersenyum geli melihat Budi yang sedang ngambek. Para penonton lalu bubar setelah pertunjukkan drama satu babak itu selesai.


*


Kaki Hariawan tengah melangkah ke halaman parkir yang terletak di depan kantor administrasi ketika dia melihat gadis manis itu disana. Gadis itu sedang berjongkok di samping sepeda motornya yang tampak bermasalah. Hariawan mendekat untuk menyapa....


"Ada masalah ?", tanyanya pada Tantri. Gadis itu menoleh dan terkejut ketika melihat wajah Hariawan berada di belakangnya. 
"Sepeda motorku gak mau nyala...", ujarnya kikuk. Tak disangka dia akan bertemu pemuda itu disini. Hariawan menunduk untuk melihat-lihat motor itu, Tantri membiarkannya saja. Dia malah bergeser ke samping agar Hariawan bisa memeriksa sepeda motor itu dengan lebih leluasa. Tantri mengamatinya dari belakang, Hariawan tampak cukup mengerti dengan yang dia lakukan. Tak beberapa lama, Hariawan mencoba menghidupkan mesin motor itu. Beberapa kali dicoba, dan akhirnya motor itu menyala juga. Tantri lega sekali, kalau pemuda itu tidak membantunya, entah apa yang akan terjadi padanya....


"Bensinnya kemasukaan air. Lain kali kalau beli bensin ke pom bensin saja, jangan beli eceran di pinggir jalan...", nasehat Hariawan padanya. Tantri tersipu mendengarnya, dia heran bagaimana Hariawan tau dimana dia biasa membeli bensin selama ini. Jalan yang lumayan memutar dari rumahnya ke pom bensin terdekat membuatnya malas membeli disana. Biasanya Tantri membeli bensin literan di depan kompleks saja. Tapi nasehat Hariawan itu menyadarkannya akan pentingnya membeli bensin dari tempat yang seharusnya. Tantri mengangguk dengan canggung....


"Terima kasih, Mas...", katanya.
"Hariawan. Namaku Hariawan...", kata Hariawan mengenalkan diri. Tentu saja gadis itu sudah tau namanya di ruang kampus tadi. Tapi memperkenalkan diri dengan lebih formal sepertinya tidak ada salahnya.
"Oh..., eh..., Tantri.  Saya Tantri.... Terima kasih..., Mas Hariawan...", sahut Tantri dengan senyum yang canggung. Berhadapan dengan pemuda berwajah ganteng itu membuat dadanya berdeburan tak menentu. Hariawan balas tersenyum, dia lalu pamit menuju sepeda motor tua berwarna putih bermerek YAHAMA keluaran tahun '70-an. Sebuah sepeda motor yang cukup antik untuk jamannya. Sepeda motor itulah yang dulu telah menghantarkan Bapaknya menjadi seorang insinyur elektro, sarjana pertama kelahiran desa asal keluarga Bapaknya itu di kota Mojokerso sana. Hariawan memasukkan kunci ke dalam lubangnya, menyalakan mesin dan bergegas menuju pintu parkir yang telah dijaga oleh Pak Sarmin, satpam kampus yang sudah puluhan tahun mengabdi di UNIMA ini. Tantri dan sepeda motornya sudah tak lagi terlihat, hanya berpuluh-puluh mahasiswa lain yang juga bersiap keluar dari halaman parkir.


Mata yang indah.... Hariawan terkenang-kenang mata berbulu lentik yang dimiliki gadis itu. Tantri..., Hariawan membisikkan nama itu dalam hati. Pipinya yang merona, senyumnya yang kikuk, dan tatapan mata cantiknya yang selalu mengekor kemana pun dia berdiri. Hariawan merasakan sensasi yang begitu lain bila dibandingkan rasa cintanya pada Linda. Ada ketulusan dalam naifnya tatapan gadis itu padanya. Hal yang tak mungkin dijumpainya pada diri Linda yang sempurna dengan segala kedewasaannya. Hhh..., Hariawan mengutuki dirinya sendiri karena terus saja memikirkan gadis itu. Gas motor pun dipacu, malam ini dia harus bertemu Linda di alun-alun.


*


Herman mengernyit melihat Linda yang tiba-tiba terlihat sibuk merapikan meja kerjanya. Si Penghuni Terakhir..., itu label yang diberikan teman-teman sekantor pada gadis manis yang sekarang menjadi staf personalia di perusahaan ini. Konon Linda diterima melalui seleksi yang langsung diadakan di kampus asalnya bersama kira-kira 600 kandidat yang lain dari berbagai tahun kelulusan. Gadis yang cemerlang, tersaring dari 8 orang finalis yang diberi kesempatan wawancara terakhir dengan direktur personalia. Herman mengaguminya. 


"Mau kemana ?", tanya Herman iseng. Linda mengangkat kepalanya, senyumnya yang manis seperti sihir yang membuat Herman sejenak terpana....


"Ada janji sama temanku, Mas...", jawab gadis itu. 
"Teman apa pacar ?", tanya Herman dengan senyum menggoda. 
"Aku kan sudah dewasa, masak aku gak boleh pacaran ?", jawab Linda tak kalah heboh. Dia tersenyum-senyum melihat Herman mengacung-acungkan jari telunjuknya.


"Jangan pulang malam, ya ?! Nanti dimarahi Mama, lho !", kata Herman sok tua. Linda hanya membalas dengan senyuman, dia lalu melambaikan tangannya dan berpamitan.


Herman menatap punggung gadis itu hingga tak lagi terlihat dari pandangan. Diambilnya nafas berat menyadari betapa usianya sudah jauh merambat.


"Selamat Ulang Tahun, Sayang...", terngiang ucapan Ibunya lewat telepon saat usianya sampai ke angka 30, "...kapan Ibu dibawakan menantu ?", tanya Ibunya kala itu. Hhh..., sudah berulang kali dia berusaha mendekati perempuan. Tak terkecuali Norma yang juga satu atap kantor dengannya.


"Bawakan Ibu menantu orang Jawa. Kita ini orang Jawa. Kalau orang Padang itu tidak seperti orang Jawa yang serba mau pangerten dan nrimo. Lihat menantu Tante Anna itu, cantik sih, tapi kok yang dipikirkan cuma keluarga Padangnyaaa terus. Mas Gunawan jadi tidak sering lagi bisa berkumpul dengan kita setiap lebaran. Kan kasihan Tante Anna, to ? Sudah tua, hidup sendiri, anak-anaknya yang lain jauh.... Yang rumahnya terdekat, sama-sama di Jakarta, malah tidak sering ketemu.... Orang Padang itu sak karepe dewe...", kata Ibunya. Waduh..., padahal Norma itu berasal dari keluarga Padang. Dan Herman tahu betul kalau Norma tidak seperti yang Ibunya katakan tentang orang Padang.


"Kan tidak semua orang Padang seperti yang Ibu katakan itu. Orang itu dimana-mana sama saja, Bu. Orang Jawa juga banyak yang semaunya sendiri, mau menang sendiri. Apa tidak sebaiknya kita melihat seseorang dari pribadinya saja ? Masing-masing orang itu pasti punya kekurangan.... Iya kan, Bu ?", kata Herman dengan santun mengingatkan. Ibunya agak terpana mendengar perkataannya.


"Sudahlah.... Pokoknya kalau kamu mau berbakti pada Ibu, carikan Ibu menantu orang Jawa, bukan orang Padang. Gampang, to ?", kata Ibunya lagi. Herman cuma bisa menelan ludah mendengarnya. Baru saja dia bercerita tentang Norma yang sudah didekatinya selama empat bulan ini pada Ibu. Belum apa-apa, Ibunya sudah memberi lampu merah. Gagal sudah, empat bulan pendekatan berakhir sia-sia. Dan Herman terpaksa memutuskan hubungan itu.


"Ibumu itu ternyata kolot, ya ?", kata Norma dongkol. Herman mengangkat bahu dan kedua telapak tangannya.
"Maafkan aku, Norma. Tapi aku tidak bisa membantah kata Ibuku. Dia yang membesarkan aku sejak Bapakku tidak ada...", kata Herman pelan.
"Ibumu kolot, dan kamu cukup bodoh untuk tidak membuatnya mengerti", kata Norma ketus, "...Lalu untuk apa kita berdekatan selama empat bulan ini ? Semua sia-sia....!", sambungnya lagi. Dengan gusar dia bangkit dan berbalik meninggalkan Herman yang termangu-mangu sendirian. 


Herman menyesal bukan main. Norma pindah ke kantor lain tak lama sesudahnya. Herman tahu, dialah yang menyebabkan Norma tidak nyaman lagi bekerja satu kantor dengannya. Dan sekarang hadir Linda, staf baru yang menyegarkan suasana kantor dengan keluguan sekaligus keluasan pengetahuannya. Cuma perlu diajari sebentar, Linda pasti akan bisa menghandle semua tugas dengan sangat prima. Herman cukup puas mendapat bantuan dari pegawai yunior seperti Linda. Memberikan pesona tersendiri di atas kekagumannya pada  penampilan penuh energi gadis itu. Diam-diam Herman berharap gadis itu juga suka padanya. Tapi Linda sudah punya pacar ! Hhh..., gadis semanis itu, tentu saja sudah punya pacar. Tapi dengar-dengar pacarnya masih kuliah. Artinya dia lebih mapan dibanding pemuda itu. Bukankah dirinya sudah punya penghasilan yang pasti lebih lumayan dibanding pacar Linda yang masih mahasiswa itu ? Tapi..., siapa tahu ?


***




BAB II. Bunga-Bunga Wangi Padang Rumput


"Hari !", terdengar teriak Linda memanggil, tangannya melambai-lambai. Sebentar tadi Hariawan memang sempat celingukan mencari dimana kira-kira Linda duduk. Rupanya gadis itu mengambil tempat paling dekat dengan wastafel yang menempel di dinding belakang restoran. Hariawan mengayunkan langkahnya ke meja Linda, senyum sumringah gadis itu begitu menghangatkan.  Angin  yang berhembus kencang di sepanjang perjalanan menuju rstoran itu membuat kedua tangan Hariawan terasa beku. Musim pancaroba sudah datang. Sebentar lagi mungkin akan tiba musim penghujan, membawa butiran-butiran langit membasahi bumi. Waktu sudah menunjukkan pukul 6.55. Cuma 5 menit lebih awal dari janji mereka yang bersepakat akan bertemu jam 7 malam. Hariawan mengambil kursi lalu mendudukkan dirinya di depan Linda. Sebuah buku menu bergambar semacam potongan steak dan segala perlengkapannya tampak begitu menggugah selera. Linda mengambil sebuah buku menu, lalu mengambilkan sebuah lagi untuk Hariawan.


"Mau makan apa ?", tanya Linda.
"Ini restoran mahal, Lin...", kata Hariawan tak menjawab. Dia masih sibuk melihat-lihat sekeliling yang dipenuhi orang-orang kelimis berdasi dan para wanitanya berhak tinggi. Sebentar dipandanginya dandanannya sendiri. Cuma tampil dengan T-Shirt lama, celana jeans dan jaket lusuh terbuat dari kulit yang entah apa jenisnya. 
"Sudahlah.... Kamu mau makan apa ?", tanya Linda lagi. Hariawan mencoba membaca daftar makanan dalam buku menu itu. Beberapa judul makanan yang terdengar asing terpampang disana. Hariawan yakin menu itu disusun dengan bahasa Perancis yang sama sekali tak dia pahami. Tapi dari gambarnya, Hariawan tahu kalau restoran ini menjual berbagai jenis steak. Steak ala Perancis ? Bibir Hariawan tersenyum sendiri. Yang dia dengar orang Perancis sangat suka makan bekicot. Tapi dia belum tahu kalau ternyata orang Perancis juga suka makan steak. Ahh..., dimana-mana yang namanya daging bakar pasti enak. Begitu Hariawan menyimpulkan. 
"Aku tidak tahu..., kau saja yang memilihkan", jawabnya kemudian. Linda segera memanggil seorang pelayan. Dia memesankan beberapa jenis makanan dan juga minuman. Hariawan mencium lengan jacketnya, agak apek. Dia menyesal mengapa tadi sampai lupa memakai tidak memakai parfum. 
"Aku pesankan dua steak sapi dan dua lemontea ice saja, ya ?", kata Linda sepeninggal sang pelayan restoran. 
"Apa saja lah.... Ada cerita apa ?", tanya Hariawan.
"Di kantor ? Wah, aku bersyukur banget punya senior yang baik dan penuh perhatian. Namanya Mas Herman. Dia mengajariku segala macam. Orangnya serius, tapi kadang juga bisa melucu. Dan kamu tahu nggak ?, Mas Herman itu lulusan terbaik kampus kita untuk jurusan Psikologi Perusahaan 7 tahun yang lalu, lho ! Hebat, ya ?!", kisah Linda penuh semangat. Linda sedang dalam masa bulan madunya dengan pekerjaan yang baru setengah tahun ini didapatkannya setelah lulus sarjana. Hariawan tertinggal beberapa mata kuliah darinya, IPK yang tinggi memungkinkan Linda mengambil kredit mata kuliah lebih banyak setiap semesternya. Ngebut seperti kereta ekspress. Wusss.... Tahu-tahu Linda lulus lebih dulu. Hariawan harus dengan sabar melewati masa-masa sendirinya di kampus. Kadang ngelangut di perpustakaan tanpa seorangpun menemani seperti ketika dulu Linda belum lulus dari kampus. 
"Eh ! Kok malah ngalamun ?", ledek Linda. Hariawan gelagapan. 
"Aah.... Capek, nih.... Beberapa hari ini aku memimpin OSPEK mahasiswa baru. Dari pagi jam 6 sampai malam jam 7 baru kelar. Untung hari ini persiapan terakhir untuk penutupan acara besok pagi, jadi aku bisa pulang lebih awal. Eh..., siapa tadi ? Mas Herman ? Jadi... kenapa dia ?", tanya Hariawan.
"Mas Herman itu managerku. Dia sedikit bicara, tapi aku sih merasa sebenarnya dia orang yang sangat perhatian pada anak buahnya. Buktinya, dia mau mengajariku segala macam. Kalau kata Bu Anjar yang di bagian marketing sih, Mas Herman itu dulu pernah pacaran sama staffnya yang bernama Norma. Tapi mereka sudah putus karena Ibunya Mas Herman tidak mau punya menantu orang Padang. Kasihan, ya ?", celoteh Linda lagi. Hariawan manggut-manggut. Perbincangan mereka kemudian sedikit terganggu dengan kedatangan sang pelayan yang membawakan pesanan mereka.


"Pesanannya sudah tersaji semua ya, Mbak ?", tanya si pelayan dengan sopan. Linda mengangguk puas. Si pelayan lalu mempersilakan mereka untuk menyantap hidangan sebelum dia berlalu kembali ke dapur.


"Harganya berapa, Lin ?", tanya Hariawan iseng. Linda sedang sibuk mengiris daging bakar di atas piringnya yang lebar.
"Tidak usah ditanya harganya, yang penting kita makan saja...", jawabnya dengan senyum dikulum. Hari ini dia baru saja mendapat gajinya yang ke-enam sejak diterima bekerja di perusahaan. Genap enam bulan masa percobaan, dan kemarin SK pengangkatannya sebagai pegawai tetap telah diterimanya dari tangan Herman. 


Hariawan menatapi piring steak yang tersaji di hadapannya. Baru kali ini dia melihat daging bakar sebesar itu. Biasanya di rumah Ibu cuma terhidang empal yang diiris tebal dengan ukuran kira-kira 5 x 5 x 1 cm. Itupun harus dibagi dengan seluruh penghuni rumah, masing-masing cuma dapat dua potong. Dan daging di depannya kini dihidangkan dalam potongan kira-kira 12 x 18 x 2,5 cm ! Hariawan menelan ludah. Pasti daging sebesar itu akan sangat mengenyangkan. Pantas saja bule-bule itu badannya besar-besar, makannya saja berporsi-porsi lebih banyak daripada orang Indonesia yang prianya rata-rata cuma setinggi 165 cm. Dilihatnya Linda yang sedang makan dengan lahap. Hariawan pun mulai mengiris steaknya dengan pisau dan garpu yang tersedia. Dicobanya sepotong daging, lalu dikunyahnya dengan cermat. Hmm..., daging yang empuk ! Tidak alot dan berlemak seperti steak kaki lima yang biasa disantapnya bila sedang banyak rejeki hasil berjualan T-Shirt. Iseng-iseng, Hariawan dan Baskoro memang membuat usaha penyablonan T-Shirt sendiri. Lumayan juga hasilnya, paling tidak keuntungannya bisa dipakai untuk membeli buku-buku bagus di toko buku Griyamedia dan memenuhi biaya makan tiap bulan.


"Enak gak ?", tanya Linda. Hariawan mengangguk-angguk senang.
"Ini tebal dan empuk !", kata Hariawan. Linda tersenyum.
"Aku tahu kamu akan senang makan disini. Bos di kantorku sudah beberapa kali mengajak kami makan disini. Dan menu ini yang paling banyak dicari pelanggan. Mas Herman juga suka pesan menu ini. Dulu aku pikir pasti dagingnya alot. Tapi ternyata empuk banget. Enak kan ?!", tanya Linda mengulang. Hariawan mengangguk lagi, lalu meneruskan mengiris potongan daging di atas piringnya. 


"Mas Herman itu sudah punya rumah sendiri di Jaka Sampurna, Bekasi. Kamu harusnya kenalan dengannya. Dia itu orang muda yang sukses dalam karir. Setidaknya untuk usia semuda dirinya, dia termasuk berhasil ", kisah Linda berbunga-bunga. Hariawan tersenyum saja mendengarnya. Hhh..., keuntungan hasil penjualan kaos memang cuma dua setengah jutaan per bulan per tahun. Itu sudah lumayan banyak dibanding saat dirinya dan Baskoro memulai berjualan T-Shirt hampir tiga tahun yang lalu yang per bulannya paling-paling cuma laku 25 buah.


"Bagaimana mahasiswa barunya ? Asyik-asyik gak ?", tanya Linda mengalihkan topik pembicaraan.
"Lumayan. Setidaknya lebih menurut daripada mahasiswa baru yang diterima tahun lalu. Yang sekarang ini sepertinya juga lebih banyak yang pintar", kisah Hariawan.
"Hmm.... Tidak percuma kalau selama lima tahun ini kampus kita menggenjot mutu, ya ? Sekarang peminat yang ingin masuk ke kampus kita makin lama mutunya juga makin bagus. Tidak sia-sia Pak Billy mengirim para dosen untuk lebih banyak menimba ilmu untuk mengambil gelar di strata berikutnya. Waduh..., aku jadi rindu sama teman-teman kita...", kata Linda sedikit sendu. Hariawan tersenyum kecil.


"Mereka baik-baik saja. Mereka bangga karena kamu sudah berhasil lulus dan bekerja lebih dulu. Budiati sangat kagum denganmu. Begitu juga dengan Tari dan Sari yang selama ini begitu aktif di senat ", kata Hariawab menimpali.


"Kapan targetmu lulus, Har ?", tanya Linda tiba-tiba. Hariawan sedikit tertegun mendengarnya.
"Moga-moga tahun ini sudah selesai...", jawabnya tak pasti. Pak Harjo, dosen pembimbing skripsi yang perfeksionis, selalu menuntutnya untuk bisa menyusun skripsi sesempurna mungkin. Lembar demi lembar yang telah disusunnya, telah bolak-balik direvisi ulang. Sudah sejak dua semester lalu dia menyusun skripsi itu, tapi tak juga kunjung selesai.


"Kita pulang ?", tanya Linda. Hariawan mengangguk. Linda lalu memanggil seorang pelayan untuk meminta bill pembayaran. Setelah membayar semua yang dipesan, mereka berdua berjalan keluar restoran. Keduanya lalu berjalan menuju tempat parkir sepeda motor. Linda selekasnya membonceng di belakang saat Hariawan telah siap dengan motornya yang sudah dinyalakan mesinnya.


*


"Tantri ada, Tante ?", tanya Karrel lewat telepon. Bu Made yang menerima telepon itu. 
"Belum pulang. Ada pesan untuk Tantri ?", Bu Made balik bertanya.
"Tidak, sampaikan saja kalau saya akan pergi ke Bandung sampai dua minggu nanti, Tante", jawab Karrel.
"OK, nanti Tante Made sampaikan pada Tantri, ya ? Itu saja ?", tanya Bu Made lagi.
"Iya, Tante. Itu saja. Salam untuk semua, Tante...", pamit Karrel sebelum menutup teleponnya.
"Terima kasih, Karrel...", sambut Bu Made. Gagang telepon baru saja diletakkan ketika tiba-tiba pintu depan terbuka. Tantri baru saja sampai !


"Karrel baru saja telepon...", kata Bu Made mengabarkan. Dada Tantri berdesir mendengar nama itu diucapkan. Karrel.... Apa kabarnya sekarang ?
"Dia titip pesan pada Ibu untuk disampaikan padamu. Katanya dia akan ke Bandung sampai dua minggu mendatang.... Dia juga titip salam untuk semua...", kata Bu Made lagi. Tantri mengangguk tanda mengerti. Saat SMA, tak pernah seharipun dia lewatkan waktu untuk bertemu Karrel. Selama masa sendirinya seperti sekarang ini, rasanya bilik yang dulu sempat disinggahi Karrel dalam hatinya begitu kosong, hampa.... Karrel yang lucu dengan gurauannya, Karrel yang selalu menjaga, Karrel yang bersuara meski serak tapi merdu bila bernyanyi. Cocok sekali menjadi rocker. Bakat nge-bandnya memang hebat. Bisa membuat para penonton menggeliat seperti cacing kepanasan setiap kali suaranya yang melengking menghentak panggung. Sudah pernah menjuarai ajang Lomba Band untuk jingle sebuah produk mie instant bersama teman-temannya, Karrel sangat disukai penggemar fanatiknya yang kebanyakan berasal dari kalangan remaja. Tak terkecuali gadis-gadis bunga sekolah yang tergila-gila padanya. Sesuatu yang pernah Tantri pertanyakan mengapa dirinya yang terpilih menjadi pacarnya di sekolah, bukan yang lain.


"Karena aku suka padamu...", begitu katanya dengan singkat dan padat, seperti biasa. Begitulah Karrel, bibirnya tak pernah dipenuhi bunga-bunga. Meski sering bergurau, tapi dia merumuskan cinta dengan sederhana. 








Berharap


terusin entar....

0 comments: