BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Kamis, 03 Juni 2010

JEJAK DI TEPIAN TELAGA



"Lihat itu ! Ada ikan !", Tommy menunjukkan ujung jarinya ke arah telaga. Berly melongok kesana. Seekor ikan gabus berenang perlahan di antara rumpun gelagah yang tumbuh menjulang. Berly tertawa-tawa senang. Belum pernah dia lihat ikan hidup berenang sedekat itu di sebelah kakinya. 

"Itu namanya ikan gabus bego...", kata Tommy. Alis Berly mengernyit, sungguh nama yang aneh.

"Mengapa dikatakan begitu ?", tanyanya heran.

"Lihat ini...", kaki Tommy melangkah perlahan ke dekat ikan seukuran telapak tangan itu. Dalam waktu sekejap, di tangan Tommy tiba-tiba tergenggam ikan gabus malang yang terpaksa harus kesusahan bernapas di luar air habitat hidupnya.

"Ini disebut ikan gabus bego karena untuk menangkapnya gampang banget. Ikan kayak gini mudah didapat...", kata Tommy sambil menunjukkan ikan gabus dalam genggamannya ke dekat wajah Berly. Kasihan, mulut ikan itu komat-kamit kelelahan, ikan itu tidak berontak ingin lepas dari genggaman. Badannya lemas saja, tidak melawan. Barangkali itu pula yang membuatnya dijuluki ikan gabus bego.

"Lepaskan.... Kasihan, Tom.... Lepaskan ikan itu....", kata Berly iba. Tommy menurut, ikan itu dilepaskan kembali ke dalam air. Diam sebentar, lalu ikan itu berenang kembali dan menjauh.

"Pulang, yuk ?!" ajak Berly. Tommy mengangguk, mereka berjalan menuju tanah di tepian telaga. Kaki-kaki telanjang itu berkecipakan di dalam air, sejuknya air telaga yang dipenuhi ki ambang memberikan kesan sangat menyenangkan. Kaki Tommy melangkah dengan lincah, dia melompat-lompat sesekali. Membuat langkahnya semakin cepat sampai ke tepian. Tiba-tiba Berly berteriak kecil....

"Aduh....!", tubuhnya terguling ke samping, kakinya tersangkut terjerat akar gelagah yang mengurat di dasar tepian telaga. Bajunya basah kuyup, hingga rambutnya pun ikut lengket terkena air. Tommy malah tertawa geli melihatnya, sudah seringkali dia wanti-wanti agar Berly berhati-hati menjaga langkahnya selama berjalan berkeliling tepian Telaga Arum yang indah nan asri itu. Telaga yang bersahabat, dengan banyaknya karamba ikan tersebar di seluruh penjuru, cukuplah bila dikatakan telaga ini adalah pusat dari segala kegiatan masyarakat di Desa Karangwuni. Cukup menempuh perjalanan dengan sepeda motor selama 30 menit saja dari kota untuk mencapai tempat ini. Dan entah mengapa Tommy sangat senang berada di telaga itu, tempat yang telah dikunjunginya berpuluh-puluh kali sejak SMP. 







"Mari...", tangan Tommy terulur mencoba menolong Berly yang masih saja terduduk di atas dasar tepian telaga yang cuma setinggi lutut orang dewasa. Tangan Tommy disambutnya, lalu....hup ! Berly pun berdiri tegak kembali. Sayang..., bajunya jelas tidak akan kering sampai dia sampai ke rumah nanti. Berly menggerutu sendiri, kelalaiannya yang telah membuatnya harus tersungkur di tepian telaga tadi membuatnya sedikit kesal.

"Mengapa sih kamu suka sekali datang kesini ? Coba kalau tadi kita jalan-jalan ke Puncak Arum, pasti aku tak akan basah seperti sekarang...", omelnya. Tommy tersenyum saja.

"Kalau kamu hati-hati, kamu pasti tidak akan terjatuh seperti tadi...", balas Tommy, membuat Berly bertambah kesal karena tampak konyol dalam setelan T-shirt dan blue jeansnya yang tampak sedikit tua warnanya karena basah oleh air.

"Ke Puncak Arum ?", ajak Tommy. Kontan Berly menggeleng, dia tak mau terlihat semakin konyol di hadapan orang-orang yang mungkin bakal melihatnya di Puncak Arum di saat hari menjelang sore seperti sekarang.

"Aku mau pulang !", Berly merajuk. Dia melangkah ke tepian telaga, mengambil sepasang sepatu kets yang teronggok disana, lalu berjalan menjauh ke arah sepeda motor yang terparkir di bawah sebuah pohon dadap. Tommy mengangkat bahu, cepat-cepat dia mengambil sepatunya dan memakainya juga. Wajah Berly masih cemberut, air masih tampak menetes dari anak rambut. Tommy tak mau banyak komentar, dia segera menghidupkan mesin motor, lalu menarik gasnya segera setelah Berly naik di boncengan.

"Nanti kita nonton, yuk ?!", suara Tommy memecah kebisuan. Berly tak menjawab, hatinya masih sebal. Rasa dingin menyergap dengan hebat ketika angin mulai berhembus menerobos sela-sela pori baju basahnya. Membuatnya menggigil, seakan hampir beku di sadel belakang. Bibirnya bergetar, giginya gemeretuk. Kedua tangannya terkepal. Tommy kian lama kian merasakan getaran tubuh Berly di punggungnya, dia melihat sejenak ke arah spion. Tampak bibir Berly yang sedikit membiru. Tommy terkejut melihatnya. Segera dia meminggirkan sepeda motornya, lalu turun melihat keadaan Berly. Tangan Berly terasa begitu dingin.

Tommy membuka jaketnya, dan memakaikannya di tubuh Berly yang kedinginan. Berly tak berucap sepatah pun. Udara pegunungan yang semakin terasa dingin karena akan datangnya malam, membuatnya harus bekerja keras menghilangkan rasa beku itu dari dalam tubuhnya.

"Maaf.... Harusnya kita pulang siang tadi.... Aku terlalu senang bermain di telaga atas, aku seharusnya tidak membiarkanmu berjalan sendiri disana...", kata Tommy menyesal. Deretan pohon teh yang terhampar di sisi kiri kanan jalan hanya tampak remang-remang. Jam sudah menunjukkan pukul 5.46 sore, dan mereka masih berada di pertengahan jalur pulang menuju kota, 20 km dari Telaga Arum.

"Kita jalan pelan-pelan, OK ? Kita cari warung kopi supaya kamu bisa sedikit hangat...", ajaknya lagi. Motor distarter, lalu melaju perlahan turun ke arah kota. Lampu jalan yang cuma berjumlah sedikit membuat Tommy harus ekstra hati-hati melihat jalan. Dia tak mau tertimpa celaka karena salah kira melihat jalan. Terpaan angin dingin menusuk dari arah depan, untungnya dia memakai kaos lengan panjang. Tiba-tiba kedua tangan Berly terulur ke depan, lalu melingkar di pinggang Tommy dengan erat. Kepala Berly bersandar di punggung Tommy, kali ini tak lagi terasa getaran menggigil. Tommy lega, dia berharap semoga Berly tak masuk angin karenanya.

*

"Aku mau ke Papua.... Aku mau melihat Danau Bira...", kata Tommy suatu kali. Berly tertegun, baru saja wisuda sarjana selesai mereka lalui. Sudah belasan kali Tommy ikut ekspedisi ke danau-danau terpencil di hampir seluruh penjuru negeri. Lalu tiba-tiba sekarang Tommy mengatakan akan pergi ke Papua ?

"Kita baru saja usai wisuda. Tidakkah kau ingin rehat barang sejenak setelah padatnya agenda kita di semester ini ? Mengapa harus ke Danau Bira, Tom ? Tempat itu jauh sekali...", kata Berly resah. Hobi Tommy ini, makin lama makin menjadi saja. Berly tahu betapa cintanya Tommy pada alam danau. Tak disangkalnya bila pengetahuan Tommy tentang perairan air tawar sungguh sangat luas, nyaris sepaham sarjana biologi, meski sesungguhnya dia kuliah di fakultas kedokteran.

"Aku harus kesana, itulah tempat yang telah aku impikan sejak aku kecil. Aku sering mendengar cerita Oom Boy tentang tempat itu. Dan rasanya sekarang bekalku telah cukup. Apalagi aku juga akan membawa bendera kampus dalam ekspedisi ini. Lumayan kan ?", sanggah Tommy dengan bangga. Nilainya yang tinggi telah mendudukkannya sebagai salah satu orang yang ditunjuk oleh kampus sebagai anggota tim ekspedisi Danau Bira. Tugasnya kali ini adalah untuk mengetahui sejauh mana masyarakat di sekitar danau itu mengenal arti sanitasi dan kesehatan.

"Tapi tidak harus sekarang kan, Tom ? Kita harus memikirkan diri kita sendiri dulu, baru nanti kita bisa ikut serta memberikan kontribusi kita bagi kampus atau lembaga lainnya.... Aku ingin kita bekerja, lalu menikah....", kata Berly sendu. Tommy terpana mendengarnya. Menikah ? Setelah berpacaran sejauh ini, cuma itukah yang dipikirkan Berly ? Tommy mencoba bertanya....

"Kita baru 24 tahun. Apakah kau sudah semantap itu ? Kau ingin kita menikah ?", tanya Tommy ragu-ragu.

"Iya, Tom.... Tidakkah kau bosan berpacaran ? Aku ingin kau jadi suamiku, jadi ayah anak-anakku. Sudah hampir 6 tahun aku mengenalmu. Sepertinya tak ada alasan lagi untuk menunda pernikahan kita. Kita sudah wisuda, lalu apa lagi yang akan kita tunggu ?", kilah Berly. 

Tommy tertunduk, masa 6 tahun pengenalan memang bukan waktu yang pendek. Tommy juga ingin Berly menjadi istrinya, memberikannya anak-anak yang lucu, menemaninya sebagai pendamping hidup. Tapi tidak sekarang..., belum saatnya.... Tommy masih ingin terbang bebas bagai burung mengarungi indahnya alam negeri khatulistiwa yang serbaneka ini. Dia ingin keterampilannya mengobati pasien dapat bermanfaat bagi orang-orang di pedalaman. Kesempatan ke Danau Bira adalah jalan menuju cita-cita. Tapi menikah ? 

Tommy tanpa sadar menggelengkan kepalanya.... Gerakan yang dilihat dengan nyata oleh Berly yang tiba-tiba saja merasa begitu kecewa. Pengorbanannya untuk selalu mendampingi dan mencintai Tommy selama ini, tidakkah itu cukup bagi Tommy untuk menghadiahinya dengan sebuah lamaran ? Air mata bening tampak menggantung di sudut pelupuk mata, Berly berusaha menahannya dengan sekuat tenaga. Tapi tak kuasa. Isak lirih Berly terpecah sudah, Berly bangkit dari bangku di bawah flamboyant, dan berlari.... Berlari tanpa peduli Tommy berteriak memanggil namanya hingga berkali-kali..., dan berkali-kali....

*

"Dok..., kelihatannya capek sekali ?", sapa seorang perawat kepala. Berly memaksa tersenyum, bekerja di bagian UGD memang memerlukan tenaga ekstra. Hari ini ada beberapa pasien patah tulang yang masuk, mereka korban kecelakaan sepeda motor. Berly heran betul kalau memikirkan betapa saat ini jumlah sepeda motor di jalan kian hari kian menyemut. Kemudahan yang diberikan pihak leasing dalam memberikan kredit kepemilikan kendaraan roda doa sungguh luar-biasa. Seringkali Berly bertemu anak-anak tanggung seusia siswa kelas 1 SMP sudah dibekali sepeda motor oleh orangtua mereka untuk mencapai sekolah. Bukankah itu melanggar undang-undang lalu lintas ? Dengan keadaan kota sering penuh sesak dengan sepeda motor yang dikendarai oleh orang-orang tua, pemuda-pemudi remaja, dan anak-anak pra-ABG begini, tentu saja akan banyak terjadi kecelakaan di jalan raya. Sampai lelah betul Berly berdiri di depan meja operasi. Menjahit luka robek dan menutupnya dengan kasa steril.

Berly berjalan melenggang ke arah kantin. Dia ingin melepas penat barang sejenak. Ketika kopi sudah didapat di tangan, Berly menghirupnya pelan-pelan. Rasa dan aroma kopi hazelnut menyeruak masuk ke dalam lubang hidungnya yang bangir. Sedap..., nikmat..., menenangkan..., membuatnya terbayang pada telaga sejuk di atas bukit, telaga yang riuh dengan tawa canda Tommy.... Ahh...., Tommy.... Apa yang sedang dilakukannya kini ? Berly memejamkan matanya dengan sedih. Perpisahan terakhir dengan Tommy tak pelak merupakan peristiwa paling menyesakkan. Tommy yang sedari mula dapat diraihnya, akhirnya memilih pergi untuk mengejar cita-cita. Bertualang ke Danau Bira.... Sudah dua tahun ini Tommy disana, berkutat dengan agenda memberikan pengetahuan akan sanitasi dan kesehatan bagi suku-suku di sekitar danau. Telah 24 pucuk surat terkirim untuk Berly dari tepian Danau Bira, mengabarkan tentang Tommy dan semua aktifitasnya....

Aku akan pulang awal bulan depan.... Tunggulah aku di Telaga Arum, tanggal 1 Desember 1990, jam 8 pagi seperti biasa....

Begitu Tommy menulis dalam surat terakhirnya. Surat yang berangsur-angsur terasa hambar untuknya, tak lagi segila dulu menelan rindunya. Semua datar, begitu saja. Berly menengadahkan wajahnya, butiran air mata mengalir ke sudut kiri dan kanan matanya, mengalir menetes membasahi kedua telinga. Dingin. Tapi Berly harus mulai berkemas, besok pagi dia akan cuti. Pinta Tommy untuk bertemu di Telaga Arum tak akan dibiarkannya begitu saja berlalu.

*

Pagi-pagi sekali Berly sudah bangun. Setelah mandi dan bersiap dengan baju tebal lengan panjang dan jaket, Berly bersiap pergi ke Telaga Arum, menunaikan niatnya bertemu Tommy disana. 2 tahun sudah tak bertemu, Berly tersipu sendiri membayangkan betapa akan mesra pertemuannya nanti. Make-up sudah dipakainya sesederhana mungkin, Tommy tak pernah menyukai make-up berlebihan. Sengaja dipilihnya baju lengan panjang warna merah sangat muda, warna yang disukai Tommy untuknya. Tak lupa sepasang sepatu kets baru yang semalam dibelinya di toko seberang rumah sakit. Berly ingin Tommy senang dengan apa yang dipakainya sekarang. Sudah beres..., sekarang tinggal menstarter mobilnya dan melaju menuju Telaga Arum.
Jalan berkelok di sepanjang jalur lalu-lintas dan bunyi alunan musik dari radio membuat pikiran Berly selalu terjaga. Hari sudah pukul 8 pagi ketika mobilnya mulai masuk pelataran parkir tempat wisata Telaga Arum. Sebuah tempat favorit ditujunya, batu ceper di bawah pohon manggis besar berjarak 20 meter dari tepian telaga. Tempat Tommy biasa mengajaknya duduk bersama sambil menikmati indahnya suasana. Jam 8 lebih 10 menit, dan Berly belum juga melihat kehadiran Tommy disana. Berly terus menunggu dengan sabar, hingga tiba-tiba sebuah mobil jeep mendekat ke arah parkiran. Berly memandangnya dengan seksama. Seorang pria muncul dari dalamnya, dari punggungnya pun Berly sudah tahu, itu bukan Tommy. Berly menghela nafas, dibuangnya pandangan kembali ke arah telaga. Suara kaki seseorang terdengar mendekat ke arahnya, lalu langkah itu terhenti ketika jaraknya sudah sampai 3 meter dari tempatnya duduk.

"Dokter Berly ?", sapa orang itu. Berly terkejut dan menoleh.

"Ya ?!", sahutnya dengan heran. Dia tak mengenal lelaki itu, lelaki berambur keriting dengan kulit kehitaman.

"Saya membawa pesan Dokter Tommy untuk anda...", kata orang asing itu. Berly tambah tak mengerti.

"Ya ?!", sahutnya lagi.

"Barangkali Dokter Berly tidak percaya ini, tapi saya betul-betul membawa pesan dari Dokter Tommy...", jelas pria itu lagi. Kesungguhan terpancar dari kedua matanya yang bersinar lembut, mengisahkan sebuah ketulusan. Tiba-tiba pria itu melihat ke arah pohon, dia sempat tertegun sejenak....

"Apakah ini sebuah pohon manggis, Dokter ?", tanya pria itu. Berly mengangguk canggung.

"Kalau begitu saya mohon maaf, dapatkah Dokter Berly berdiri barang sejenak ?", pinta pria itu. Berly lekas-lekas berdiri dan bergeser menjauh. Dia tetap tak mengerti ketika pria asing itu berjalan mendekat ke arah batu ceper yang baru saja didudukinya. Tangan kekar sang lelaki asing menggeser batu itu dengan sekuat tenaga, lalu menggulingkannya. Dan Berly begitu takjub ketika mendapati sebuah peti kuningan berukuran kecil terpendam di antara tanah yang tersingkap. Pria itu mengambil kotak kuningan dengan hati-hati, lalu mengulurkannya pada Berly. Berly ragu menerimanya, tapi tiba-tiba pria asing itu berkata....

"Terimalah, Dokter Berly. Inilah pesan Dokter Tommy pada saya....".

Kotak kuningan yang indah, motifnya berukir seperti batik indah memenuhi seluruh permukaan luarnya. Berly mengamatinya dengan teliti, kotak kuningan itu pasti mahal sekali.

"Bukalah, Dokter....", pinta pria itu. Dan Berly membukanya dengan hati-hati. Hatinya berdesir mendapati sepasang cincin emas bergrafir namanya dan nama Tommy. Berly terharu, tiba-tiba saja dia ingin menangis. Sebelah tangannya menutupi bibirnya yang terasa kelu....


"Dimana Dokter Tommy sekarang ? Mengapa dia harus mengirimmu menyampaikan pesan ini ? Mengapa dia tidak datang sendiri ?", tanya Berly bertubi-tubi. Mata pria asing itu menatap sendu.
"Dokter Tommy meninggal karena malaria dua hari lalu.... Itulah pesan terakhir yang dibisikkan Dokter Tommy ke telingaku....", jawab pria itu. Kotak kuningan itu terlepas jatuh dari tangan, Berly menjeritkan tangis penuh kesedihan....






SELESAI

Bintaro Jaya 3A, 3 Juni 2010.

0 comments: