BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Senin, 12 April 2010

KASET UNTUK DIA (part 2 - sebuah sekuel)

Dunia sudah kiamat !

Berkali-kali Agus mengaduk rambutnya yang sedikit bergelombang. Otaknya benar-benar sudah berubah jadi tumpul sekarang. Cuma tersisa secuil sel yang waras. Agus benci menyadari virus-virus memabukkan itu sudah mulai hinggap menguasai kepalanya. Bikin tidurnya tak pernah nyenyak, sampai mukanya jadi kuyu tiap kali ke sekolah. Jam pelajaran terasa begitu lambat. Agus ingin setiap kali kelas ini cepat-cepat selesai, agar dia bisa selekasnya berlari ke depan masjid di sebelah sekolah, menunggu saat yang istimewa ketika bunga mekar itu tampak di seberang jalan. Rasanya seperti hampir gila....

*
Agus melirik pemuda berkulit sawo mentah disebelahnya. Musuh dalam selimut !, Agus mengutuki dirinya sendiri karena telah menjadi musuh dalam selimut bagi pemuda sahabatnya itu. Tapi ini soal hati, belum pernah Agus merasa sekacau ini. Samsul memang sudah lama mabuk kepayang pada Mariah. Sampai bertingkah macam-macam..., hal paling konyol yang dapat Samsul lakukan selain kebiasaannya mengupil setiap kali bicara dengan teman. Tapi Agus suka kegigihan Samsul. Biar dia sudah mengejeknya habis-habisan selama itu. Ya..., selama itu. Karena itu dulu, sebelum Agus dihinggapi sakit yang sama. Merindu pada wajah ayu Mariah yang kian hari kian lekat di matanya.

Haruskah aku berterus-terang padanya ?, berulang-kali Agus bertanya dalam hati. Niat yang selalu urung karena Agus menyadari bila dia terus-terang juga naksir Mariah, tak ayal perang akan segera pecah ! Tapi capek juga jadi bunglon selama ini, berpura-pura tak ada perasaan apa-apa mengenai Mariah pada Samsul adalah hal yang membuat Agus lelah. Dia sendiri berjuang sekuat-tenaga agar rasa sukanya tak terdeteksi siapapun. Entah olok-olok apa yang akan diterimanya kalau sampai teman-temannya tau.

"Gus ! Makasih sarannya kemarin, ya....", kata Samsul berseri-seri. Agus cuma menoleh sebentar.

"Mariah kebetulan akan keluar rumah waktu aku ajak kenalan di jalan, habis tanggung sih. Dari pada di rumah kan kesannya formal banget, jadi begitu ketemu di jalan depan rumahnya ya langsung aja aku ajak kenalan. Dia gak sombong ! Kamu salah kalau bilang dia itu angkuh. Dia mau nerima kasetnya, pasti semalam kaset itu sudah didengarnya. Wah ! Kamu jago kasih saran ! Kenapa kamu gak cari cewek juga, Gus ?", goda Samsul. Agus tersenyum getir. Ahh..., andai saja dia tau yang sebenarnya, entah apa yang akan terjadi nanti.

"Kau tau ?, senyumnya indah sekali....", kata Samsul berbunga-bunga, matanya memejam membayangkan bibir Mariah yang merekah bak buah delima, tersenyum lembut ke arahnya. Agus membuang muka, ada sebersit cemburu mendengarnya....

*
Bel istirahat kedua berbunyi, Mariah masih menyelesaikan tulisan dalam catatan sesuai pemaparan guru Kimia di papan tulis. Pelajaran yang memusingkan bila tidak dipahami dari awal. Untungnya Mariah cepat memperlajari inti sari pelajaran itu. Beberapa kalimat lagi, lalu semua akan selesai.

Nah ! Selesai sudah ! Mariah segera memasukkan buku catatan dan buku pegangan pinjaman dari sekolah ke dalam tas kanvas yang dibawanya. Sebuah tas kesayangan yang dimilikinya sedari masih duduk di kelas 2 SMP dulu. Ibunya sempat heran ketika dia memilih membeli tas itu di pasar. Bagi ibunya, tas kulit maupun tas bermotif bunga lebih indah dibanding tas kanvas sederhana yang dibelinya itu. Mariah memang lebih suka menghargai fungsi. Tas kanvas warna khaki bersaku banyak dan berbentuk sederhana ini baginya lebih menarik dari pada tas kulit yang bermerek mahal maupun tas bermotif bunga seperti yang saat itu sedang "in" disukai orang. Dan yang lebih bagus lagi, tas itu awet sekali.

"Ke kantin, yuk !", ajak Surti tiba-tiba. Mariah mengangguk. Sebuah dompet warna hitam diambilnya dari dalam saku sebelah dalam tas kanvas. Siang ini rasanya haus sekali, Mariah ingin membeli segelas es cendol sokanegara yang menjadi bestseller di kantin sekolah. Es cendol tepung beras dengan sirup gula merah dan sedikit campuran potongan nangka manis, disajikan dengan gelas es besar seukuran 300 cc dengan harga cuma 2500 rupiah saja. Slurp..., baru membayangkannya saja rasanya Mariah sudah ingin segera sampai di kantin.

Kerumunan murid yang bergerombol di muka kantin membuat Mariah dan Surti harus bersabar menunggu giliran. Maka segera setelah mendapatkan gelasnya masing-masing, Mariah dan Surti cepat-cepat mencari tempat yang paling pas untuk bisa menikmati es cendol mereka. Dan memang benar !, es cendol itu segar sekali ! Apalagi di hari terik seperti sekarang.

"Mariah...., aku minta maaf soal Mas Agus kemarin....", kata Surti tiba-tiba. Mariah menghentikan menyendok cendolnya sejenak, lalu dia menoleh dengan tersenyum.

"Tidak apa-apa. Biarkan saja. Aku tidak apa-apa, Surti", jawabnya dengan manis.

"Jangan begitu, aku betul-betul ingin kamu tau kalau aku tak tau apa-apa tentang sikap Mas Agus itu. Sebenarnya aku juga heran mengapa dia begitu benci padamu. Aku sudah pernah menegurnya karena sering mengolok-olokmu setiap kamu pulang sekolah. Tapi Mas Agus itu nekat saja. Ah !, aku malu sama kamu, Mariah.... Kakakku itu betul-betul tidak sopan....", keluh Surti dengan penuh sesal. Dia memang sering melihat kakaknya bergerombol di seberang jalan didepan masjid itu. Berteriak-teriak seperti bonek kalah taruhan. Menyebalkan ! Surti malu mengakuinya abang.

"Sudah.... Mungkin kemarin dia sedang kesal pada orang lain.... Kita omongin yang lain saja, ya ?", ajak Mariah sambil mengaduk gula merah dalam gelas es cendolnya. Ada perih menusuk dalam dadanya, apa yang dilakukan Agus kemarin sore itu memang mengejutkannya. Mariah tak menyangka Agus akan berbuat sekasar itu. Tak ada seorang pun di rumah Mariah yang pernah berbuat begitu. Sebagai anak tunggal dari sepasang orangtua yang sibuk bekerja, Mariah tak pernah merasakan seperti apa punya adik maupun kakak. Dia hanya terbiasa hidup dengan ditemani neneknya yang kini sudah berusia 68 tahun, serta seorang pengasuh yang sekaligus pembantu rumah-tangga. Tak ada siapa-siapa lagi. Jangankan perlakuan kasar, kata-kata kasar pun tak pernah diperolehnya di rumah.

Lain betul dengan pergaulan di luar rumah yang mengharuskannya terlibat dengan masyarakat yang memiliki berbagai sifat. Ada yang mudah curiga, ada yang naif, ada yang suka iri, ada yang rendah diri, .... Entahlah. Mariah yakin masih banyak hal yang akan dipelajarinya dalam hidup. Tapi umpatan keras dari bibir Agus kemarin memang menyakitkan. Dan cengkeraman tangan itu masih dirasakannya hingga kini, sakit ! Pagi tadi, Mariah melihat bekas biru tercetak di lengan atas kiri dan kanannya. Kalau saja ibunya tau, ibunya pasti akan marah bukan main pada pemuda itu. Mariah yakin betul hal itu. Tapi Mariah tak ingin melapor, kegusaran Surti pada abangnya saat itu saja sudah membuatnya merasa terbela.

"Mas Agus pergi sampai jam 9 malam kemarin, begitu sampai di rumah dia langsung dimarahi ibu dan bapakku. Biar tau rasa dia ! Aku memang sudah melaporkan itu pada mereka. Aku juga bilang kalau Mas Agus sering menggodamu setiap kali kau pulang ke rumah sehabis sekolah. Seenaknya saja dia mau lari dari masalah. Yang aku heran, dia tidak mau minta maaf padamu. Kamu kan tidak sengaja menabraknya di depan kamar mandi ? Mengapa dia harus semarah itu ?", Surti terus saja mengoceh dengan gusar. Mariah tersenyum pahit, bentakan Agus kemarin memang telah membuat nyalinya ciut.

"Sudahlah..., kita habiskan saja es cendol ini. Sebentar lagi ada pelajaran Matematika, Pak Sitompul tidak pernah terlambat sampai ke kelas kita. Kita harus cepat-cepat balik kesana", kata Mariah menyadarkan.

Pak Sitompul adalah guru Matematika yang paling disiplin mengenai waktu. Beliau tak pernah membolos kerja, tak pernah terlambat mengajar, dan tak pernah sehari pun memberi kelonggaran murid untuk bisa pulang lebih awal dari jam akhir sekolah. Betul-betul disiplin. Teman-teman Mariah bilang, guru kayak Pak Sitompul adalah jenis orang yang paling galak soal korupsi waktu. Tapi sepertinya itu sebuah contoh yang bagus, terbukti dari rasa hormat guru-guru yang lain pada Pak Sitompul yang begitu tinggi. "Hargailah waktu, pergunakan dengan sebaik mungkin, selagi kau diberi kesempatan oleh yang telah menghidupkanmu...", begitu bunyi wejangan Pak Sitompul di sela-sela jam mengajarnya.

Langkah kaki Mariah dan Surti segera bergegas ke kelas mereka. Tak beberapa lama suara bel masuk kembali terdengar. Pak Sitompul memasuki ruangan dengan tenang, semua murid menyimak. Suara Pak Sitompul yang jernih dan tegas menguasai ruangan dengan seketika. Dalam ketenangan itu, tiba-tiba Mariah melamun. Ingatannya kembali pada peristiwa kemarin sore itu, ketika Agus mencekeram bahunya dan mengangkatnya ke dinding....

*
"Aku mau ke rumah Mariah lagi nanti siang... Sudah seminggu nih, aku ingin melihat wajahnya lagi. Atau sebaiknya aku menunggunya di depan pintu pagar rumahnya saja, ya ? Rumah itu sepi sekali....", celetuk Samsul siang itu, tiba-tiba. Agus bungkam, cuma kupingnya yang mendengar.

"Aku heran kenapa setiap kali kesana tidak ada yang membukakan pintu. Apa iya kalau siang di rumah itu tidak ada siapa-siapa ? Aku sudah sering mengintip dari atas pohon jambu, ada sedikitnya 3 orang disitu. Mariah, neneknya, dan seorang pembantunya. Tapi mereka tak pernah membukakan pintu. Padahal bel pintunya selalu nyaring terdengar. Kenapa ya ?", tanya Samsul penasaran. Agus cuma mengangkat bahu dengan malas. Dia juga tidak tau mengapa Samsul tak pernah bisa masuk kesana. Dia juga tak peduli. Pikirannya kini sedang penuh dengan gambar wajah Mariah yang selalu terbayang dalam setiap kedipan mata. Rasanya tak menentu.....

"Tapi aku tak akan menyerah, aku akan tetap kesana siang nanti. Yang penting aku bisa PDKT. Iya kan, Gus ?", tanya Samsul dengan bersemangat.

"Ah..., terserah kamu mau apa. Aku sedang tidak bisa berpikir apa-apa. Suntuk !", sahut Agus sekenanya. Agus menelungkupkan kepalanya di atas meja. Lagi-lagi tangisan lirih Mariah yang terngiang di telinganya. Membuat Agus semakin resah. Pelajaran di sekolah hari itu tak satu pun yang masuk dalam kepalanya. Agus begitu tersiksa.

*
Tak seperti biasa, Agus tak lagi ikutan usil bersiul-siul dari seberang jalan saat Mariah lewat sepulang sekolah. Teman-temannya tidak begitu peduli dengan hal itu, mereka tetap bersiul-siul sekenanya untuk menggoda gadis itu. Anehnya, kali itu Mariah tidak lagi meludah, dia cuma terlihat semakin mempercepat langkahnya supaya lekas berlalu dari sana. Seperti berlari. Dan hal itu berlangsung sampai berulang-kali. Hingga akhirnya teman-teman se-gang Agus merasa aneh sendiri. Ternyata keadaan sudah tidak semenarik dulu lagi. Apa bagusnya menyiuli gadis yang terbirit-birit kabur dari seberang jalan ? Mariah sudah tidak pernah lagi meludah sekarang, dia cuma kabur ! Betul-betul tidak asyik !

"Eh..., kamu perhatikan gak ? Kok anak itu gak pernah meludah lagi ya ?", tanya Wibisono siang itu.

"Alah..., dulu dia meludah kamu marah, sekarang dia gak meludah kamu heran. Memang harusnya dia mesti bagaimana ?", tanya Samsul membela. Dia juga ikut dalam gerombolan tukang siul itu, tapi cuma pada Mariah saja dia mau memberi siulan. Semua teman di gang itu juga tau kalau dia naksir berat sama Mariah. Itu sebabnya dia gak terima ketika Wibisono mengkritik sikap Mariah kali ini.

"Tapi dia sudah berubah ! Apa barangkali dia sekarang mulai takut pada kita ?", tanya Wibisono sambil nyengir. Agus mendengar kalimat itu dengan diam. Takut ! Ya ! Tentu saja Mariah takut setelah dibentaknya tempo hari. Rasa sesal Agus semakin lama semakin bertambah besar saja. Sampai kapan gadis itu akan takut tiap kali lewat di seberang sana ? Heeeh..., Agus mulai berpikir kebiasaannya berkumpul di muka masjid itu bukan sesuatu yang menguntungkan.

"Mulai besok aku tak akan ikut kalian disini. Bapakku menyuruhku membantunya mengirimkan telur-telur ayam ke beberapa pasar. Tarno sudah berhenti kerja sejak kemarin. Jadi kalian saja yang duduk-duduk disini besok ya ?", kata Agus mengagetkan semua temannya.

"Yaaah..... Gak asyik banget sih ? Terus kalau sampai di rumah terlalu cepat, aku mau ngapain ?", tanya Wibisono. Agus tak acuh mendengarnya. Yang penting dia bisa menghindar dari kebiasaannya menggoda setiap gadis cantik yang lewat di jalan itu. Omelan ibunya yang tak putus, setelah Surti melaporkan apa yang sering dia lakukan pada Mariah, seminggu yang lalu itu, membuatnya tambah mantap bertobat. Hah ! Bertobat ? Rasanya dosanya gede banget....

"Aku pulang ! Sebentar lagi bapakku selesai menghitung telur dari kandang. Biasanya setelah ashar, telur-telur itu sudah siap kirim. Udah ya ?", pamit Agus, membuat teman-temannya kecewa. Dengan langkah mantap, Agus meninggalkan halaman depan masjid. Kakinya melangkah ke seberang, menuju gang kecil yang sering dilewati Mariah setiap kali dia pulang. Matanya tajam saat melihat rumah besar yang didiami keluarga gadis itu. Tak tampak seorang pun di halaman depan, tidak juga raut wajah ayu gadis remaja yang beberapa hari ini mengisi mimpinya.

Sebuah gordyn yang tersingkap membuat Agus terkesiap. Sepasang mata bening menatap dari balik jendela kamar depan. Agus tau, itu mata Mariah. Tak sadar, langkah Agus terhenti disana. Ditatapnya lekat-lekat sepasang mata indah itu. Lalu Agus melihat seulas senyum tipis ke arahnya. Agus gugup. Tiba-tiba saja dia jadi berkeringat dingin. Cuma sesaat. Lalu gordyn itu menutup lagi. Agus terpaku di tempatnya berdiri. Kaset itu ! Pasti Mariah sudah membaca tulisannya ! Senyum Mariah itu.... Apakah dia mau menerimaku ? Agus memandangi gordyn jendela yang tak lagi terbuka itu, lalu menghela nafas.... Ditinggalkannya jalanan di depan rumah Mariah dengan hati rindu dendam.

Tak ada orang lain yang tau, sepasang mata mengawasi gerak-gerik Agus dari balik pagar gang sempit itu. Rasa heran memenuhi kepalanya, dia tak mengerti mengapa Agus lama berdiri disana....

*
Mariah tersenyum senang sendirian. Baru saja tadi dia melihat pemuda itu di depan rumahnya. Pipinya yang memerah terasa hangat. Dadanya berdegup kencang. Dia berusaha menenangkannya sebisa mungkin. Tangannya meraih kaset Michael Buble yang tergeletak di dekat tape recorder. Dengan hati-hati dibukanya sampul kaset itu, sebuah tulisan rapi terpampang dengan indah. Ahh.... Tak sangka pemuda itu akan menulis seperti ini. Pemuda yang selama ini sering menggodanya tiap kali pulang sekolah, ternyata suka padanya. Dunia ini memang aneh ! Mariah pikir, pemuda itu membencinya setengah mati. Bukankah selama ini pemuda itu sering sinis bila bertemu dengannya di rumah Surti ? Tapi kaset itu ? Berbanding terbalik 180 derajat dengan apa yang sering disaksikannya setiap kali pulang sekolah. Apa iya pemuda itu tertarik padanya ? Mariah ragu. Tapi tatapan yang lekat yang baru saja dilihatnya dari arah depan rumah itu sungguh menghunjam, membuat jantungnya seakan  berhenti berdetak. Mariah menangkap bersit sinar rindu dalam tatapan itu. Membuat hatinya melambung, hingga senyumnya tak henti menghias bibir.

TEEEEETT.....!!!!

Terdengar suara bel pintu. Mbok Nah yang sudah setengah tuli sedang asyik melihat TV di ruang tengah. Acara kesayangannya sinetron penuh tangisan. Mariah malas membukakan pintu, PR Matematika dari Pak Sitompul yang jumlahnya bejibun membuatnya malas mengangkat kaki. Tapi bel pintu depan tetap saja terdengar. Eyangnya di jam-jam seperti ini pasti sedang istirahat, sedangkan Mbok Nah sepertinya tak juga mendengar. Terpaksalah Mariah ke pintu depan. Gordyn jendela depan dibukanya sedikit, sesosok pemuda tampak berdiri canggung di depan pintu. Ah..., orang itu lagi. Dia yang telah memberikan kaset itu pada Mariah waktu itu. Apakah dia juga akan membawa pesan lain hari ini ? Mariah berdebar penuh harap. Tangannya perlahan membukakan pintu. Dan pemuda itu tersenyum menganggukkan kepala menyapanya.....

"Halo..., Mariah.... Boleh aku bicara denganmu sebentar ?", sapa Samsul sopan. Hatinya berbunga-bunga melihat cantiknya rupa Mariah yang sama sekali tanpa make-up.

"Mau bertemu saya ?", tanya Mariah seakan tak yakin. Pemuda itu datang tanpa membawa apapun. Ah..., Mariah sungguh berharap pemuda itu membawa pesan lisan. Adakah ? Matanya menatap pemuda itu beberapa saat, hal yang membuat Samsul salah tingkah.

"Ya..... Eeh..... Saya..... Kamu..... Eeh....", Samsul tak bisa menutupi kegugupannya. Dia bingung mau mulai darimana. Tiba-tiba saja lidahnya kelu, tak dapat berkata-kata lagi.

"Ya ? Ada apa ?", tanya Mariah penasaran. Pemuda itu malah tambah gugup. Keringatnya mengalir berbutir-butir di kedua pelipis.

"Eeh.... Mungkin lain kali saja, ya ? Saya permisi dulu....", pamit Samsul kikuk. Badannya langsung berbalik dan melangkah ke arah pintu pagar depan. Mariah memandanginya tak mengerti.

"Mas...!", teriak Mariah memanggil. Samsul menoleh dengan grogi.

"Terima kasih sudah diantarkan kasetnya.... Kaset Mas Agus bagus...!", ucapnya sayup-sayup. Samsul tersenyum kikuk, dia tak begitu dengar suara Mariah yang hilang-timbul ditelan suara bising deru mobil angkot yang lewat di depan rumah. Samsul kembali membalikkan badan lalu cepat-cepat keluar dari halaman. Alisnya Mariah sampai berkerut melihat pemuda yang kini cuma tampak dari punggungnya, melangkah terbirit-birit seperti sedang dikejar anjing. Diam-diam rasa sesal merayap dalam hatinya. Ahh.... Andai saja pemuda itu membawa pesan lainnya. Alangkah senangnya.....

*
Samsul sampai di rumah Agus dengan hati gundah. Badannya yang berisi segera saja dia lemparkan ke atas kasur di kamar Agus yang penuh dengan poster tertempel di dinding. Rasanya kesal sekali. Cuma tinggal sedikit !, sedikit lagi untuk bisa mengenal Mariah lebih dekat.... Sialnya rasa gugup itu datang lagi, meremuknya hingga tak mampu berkata-kata. Hah ! Dipukulnya bantal Agus yang sedang didekapnya. Entah kapan lagi kesempatan bagus seperti tadi akan terulang. Sungguh kesempatan yang disia-siakan. Padahal Mariah sudah di depan mata. Cuma perlu bicara..... Dan itupun belum juga bisa dilakukannya. Hah ! Samsul merasa sangat bodoh dengan kepengecutannya. Bodoh sekali.

Agus baru saja selesai mengantar berkotak-kotak kayu telur ayam ke semua langganan bapaknya ketika melihat Samsul yang tertidur pulas di atas kasur kapuknya. Samsul memang sudah sangat biasa keluar-masuk di rumah ini. Dia sudah seperti keluarga sendiri. Maklumlah, sejak SD mereka berdua sudah bersahabat akrab. Dan itu sudah berlanjut sampai SMP, lalu STM seperti sekarang. Heran juga melihat Samsul yang seakan lupa mencopot sepatunya sebelum tertidur. Biasanya Samsul akan melepas sepatunya di luar kamar, lalu tidur di kasur kapuk itu dengan masih mengenakan kaus kaki. Tapi kali ini tidak. Sepasang sepatu itu masih setia melekat di kedua kakinya yang berukuran 44, dua angka lebih besar dari ukuran sepatu Agus yang cuma 42. Dengan iseng, dimasukkannya sebatang pensil ke dalam mulut Samsul yang menganga. Itu cukup untuk membuat Samsul terkejut lalu terbangun dan menyadari batang pensil yang baru saja masuk ke dalam mulutnya, lalu melemparkannya kembali ke arah Agus yang sedang tertawa geli.

"Ngagetin aja ! Baru ngimpi, tau ?!...", omel Samsul kesal. Baru saja dia mimpi duduk berhadapan dengan Mariah di sebuah kedai Bakso Joko langganannya. Samsul begitu senang bisa mengajak gadis itu kesana. Mariah yang cantik..., yang senyumnya menawan..., yang memotong baksonya dengan anggun..., yang memasukkan potongan baksonya dengan bibir merah merekah.... Bikin Samsul terpesona, sampai mulutnya ikut-ikutan menganga.... Serasa mau ngiler.... Tau-tau ada rasa benda keras masuk ke dalam mulut. Bikin rasa nikmat karena melihat indahnya wajah Mariah dan enaknya Bakso Joko menguap seperti asap. Hah ! Rupanya pensil Agus yang sedang diemutnya ! Dalam hati Samsul menangisi menguapnya wajah Mariah dari tidurnya yang sesaat. Dilihatnya Agus nyengir senang mentertawakan. Betul-betul menyebalkan.

"Enaknya....siang-siang bisa molor. Bantu Bapak di belakang, yuk !", ajak Agus kemudian. Samsul bangun dari dipan dengan malas. Siang-siang begini pasti Bapak Agus sedang sibuk-sibuknya memberi minum ayam-ayam peliharaannya. Samsul memang biasa membantu bila sedang mampir ke rumah Agus. Lumayan, bapak Agus selalu memberinya sedikit uang saku setelah membantu memberi minum ayam dan membersihkan kandang. Beberapa rupiah saja, tapi cukup untuk membeli karcis nonton bioskop di depan alun-alun.

Agus berkemas mau ke kandang ayam ketika bahu kanannya tiba-tiba tertahan tangan Samsul.

"Jangan goda Mariah lagi, ya ?", kata Samsul. Agus menoleh pada sahabatnya. Raut wajah Samsul yang serius membuatnya urung menimpali dengan gurauan. Kalau sudah serius begini, Samsul tak akan segan-segan bertindak apapun demi maksudnya. Agus merasakan ancaman yang akan muncul tiba-tiba bila dia melanggar kata-kata Samsul. Sekilas terlintas seulas senyum di wajah Mariah dari balik gordyn jendela yang tersingkap itu. Seulas senyum yang sempat meluluh-lantakkan perasaannya hingga terpaku termangu-mangu di depan pagar rumah Mariah....

"Kasian dia, Gus. Dia tak pantas kita goda seperti itu. Sebaiknya kita belajar untuk tidak mengganggu siapapun yang lewat di seberang masjid. Kamu juga harus ingat peringatan ibumu.... Jangan ganggu Mariah lagi, ya ?!", kata Samsul. Agus melengos, dia memang sudah tak ingin menggoda gadis itu lagi. Bukankah dia sudah terlanjur jatuh hati ?

"Ya, Gus ? Jangan goda lagi, ya ?", kata Samsul.

"Hmm....", Agus mendeham sambil menganggukkan kepalanya dengan kaku. Situasi ini sungguh canggung. Agus tak mau Samsul tau perasaannya pada Mariah. Tapi dia juga ingin gadis itu menjawab tulisan yang diterakannya dalam kaset kiriman itu.

"Sudahlah.... Ke belakang bantu bapak, yuk ! Sudah jam hampir jam 2.30, kasian bapak bekerja sendirian", ajak Agus, mengalihkan topik pembicaraan. Samsul mengangguk, dia mengikuti langkah Agus ke arah kandang di belakang rumah. Matanya sempat melihat-lihat batang pohon jambu kelutuk yang terlewat sebelum mencapai kandang. Dia berniat akan memanjat pohon itu lagi selepas membantu bapak Agus nanti. Siapa tau bisa melihat bayangan Mariah dari dalam rumahnya di balik pagar....

*
Malam itu Agus tak bisa belajar, hatinya gelisah. Makin hari memang hatinya makin tak menentu. Dia ingin mendengar jawaban itu. Cuma dengan mendengarnya, hati Agus akan kembali tentram. Tak peduli seperti apa bunyinya nanti. Tapi dia harus mendengar jawaban itu.

Agus melangkah gelisah ke rumah Mariah yang ada di tepi jalan utama. Rumah yang tenang dan sunyi. Agus diam membisu memandangi gordyn jendela kamar Mariah yang tertutup, cuma tampak pedar-pedar sinar lampu neon dari sela kisi-kisi di atas jendela. Lama dia mematung disana, mengharap akan melihat wajah Mariah tersembul dari dalamnya. Dia terkaget oleh suara gerbang pagar yang bergeser. Lebih terkejut lagi ketika melihat wajah yang tak asing di matanya.

Mariah baru saja pulang dari membeli peralatan sekolah. Di tangannya tergenggam sebuah tas plastik warna putih berisi beberapa buku tulis dan ball point. Dia terheran-heran melihat ada orang yang sedang terdiam berdiri di depan pagar rumahnya. Tapi rasa herannya segera berubah menjadi bahagia setelah tau Aguslah yang sedang berdiri disana. Pipinya memerah saat pemuda itu melihatnya.

"Hai !", sapa mereka bersamaan. Agus jengah, Mariah pun tersipu, membuatnya tertunduk malu. Kalau saja saat itu hari telah siang, pasti semua orang bisa melihat betapa merona wajah Mariah karenanya.

"Baru dari mana ?", tanya Agus basa-basi. Dia berusaha setenang mungkin menghadapi gadis itu. Meski untuk berlaku normal itu sangat sulit dalam keadaan seperti sekarang. Tangannya yang berkeringat dimasukkannya ke dalam saku celana.

"Dari toko..., beli buku...", jawab Mariah pendek. Diliriknya pemuda berbadan tinggi yang sedang berdiri di depan pagar itu. Dan lagi-lagi Mariah tertunduk malu saat tatapan mata mereka berbenturan satu-sama-lain. Degup jantung keduanya kencang bertabuhan. Agus ingin banyak bicara, tapi mulutnya seperti terkunci. Mariah menunggu setiap kata yang akan didengarnya dengan rasa tak menentu. Sudah di muka pintu..., jangan pulang dulu.... Harap Mariah dalam hatinya. Tapi bibir Agus tak jua berkata sepatah pun. Dengan perlahan Mariah menutup gerbang itu. Dan sesaat sebelum dia usai menutup pintu pagar itu, tiba-tiba tangannya dikejutkan oleh genggaman lembut Agus yang menahannya. Maraih terbelalak memandang pemuda jangkung itu.

"Jawab aku, Mariah....", pintanya dengan lemah. Matanya yang sendu menatap, memohon penuh harap. Mariah jadi semakin menyadari betapa menariknya bentuk mata dan alis pemuda itu. Dadanya berdesir kala merasakan tangan Agus yang lain meraih lengannya. Anehnya, Mariah tak ingin sentuhan itu cepat-cepat terlepas dari tangannya.

"Tunggu aku di depan sekolah besok siang....", ucap Mariah menenangkan dirinya sebisa mungkin. Sesaat tangannya balas menggenggam. Itu pun sudah cukup membuat Agus tersenyum. Senyum terindah yang pernah dilihat Mariah seumur hidupnya. Perlahan Agus melepas genggamannya. Dibiarkannya Mariah masuk ke rumah. Agus memandangi punggung gadis itu hingga tak terlihat lagi dari tempatnya berdiri. Tak pernah Agus merasa sesenang ini. Kakinya menghentak dan kedua tangannya terkepal di depan dada. Yes ! Akhirnya....

*
Samsul celingukan mencari-cari wajah Agus yang entah sedang ada dimana. Tumben ! Biasanya Agus akan menunggunya di depan pintu gerbang STM. Tapi tak secuilpun wajah itu ada disana. Samsul lalu bergabung dengan teman-temannya yang lain di depan masjid sebelah STM. Mereka sedang asyik ngobrol soal pelajaran kelistrikan mobil yang baru saja diujikan Pak Eman. Dulu Pak Hamid, bapak Mariah, yang mengajar mata pelajaran itu sebelum beliau diangkat menjadi kepala sekolah di STM ini. Pak Hamid orang yang berwibawa, selalu berjarak dengan pada muridnya. Tak seperti Pak Eman yang suka membanyol dan senang bergurau dengan murid-muridnya. Meski keduanya sama asyiknya dalam menyampaikan pelajaran di kelas.

Wibisono, Teguh, Firman, dan Wahyu sudah tampak berkumpul di depan masjid. Mereka sedang sibuk melepas kaos kaki saat Samsul sampai disana, bersiap-siap untuk sholat dzuhur bersama. Cuma perlu beberapa menit untuk menunaikan ibadahnya, lalu kembali duduk-duduk di pagar pendek pembatas trotoar dengan halaman masjid, bersiut-siut setiap kali melihat cewek cantik seperti biasa. Sudah beberapa saat Samsul menyadari betapa munafiknya mereka. Baru saja tadi bertobat dengan sholat, memohon ampun pada Tuhan untuk segala kesalahan. Tau-tau setelah itu ramai lagi menggoda orang. Tapi aneh, Agus tak juga tampak batang hidungnya. Kemana dia ?

"Langsung pulang kali, waktu itu kan dia bilang mau bantu bapaknya ngirim telor ayam", celetuk Teguh. Teman-temannya manggut-manggut. Tapi Samsul masih merasa ada yang aneh, karena tak biasanya Agus tak pamitan dulu dengannya. Lumayan lama juga dia menunggu disana. Barulah dia menyadari kalau ternyata hari itu Mariah belum juga terlihat melintas di seberang jalan. Apakah dia sakit ? Ah..., betapa sepi dunia bila tak bisa melihat gadis itu melintas di seberang sana. Rasa rindu merayap dalam hati Samsul yang tak jua menngkap satu pun bayangan Mariah yang biasanya berjalan tertunduk menuju gang sempit yang menghubungkan jalan raya itu dengan jalan utama di depan rumahnya.

*
Sudah 3 minggu lebih Agus tak pernah menampakkan diri di depan masjid. Samsul penasaran betul ingin tau kemana pemuda itu pergi selepas sekolah. Kemarin dia sudah berusaha secepat mungkin sampai di rumah Agus, tapi ternyata Agus tak ada di rumah. Kata ibunya, Agus sekarang sampai di rumah jam setengah dua. Itu berarti ada waktu kira-kira satu setengah jam selepas sekolah yang dipergunakan Agus untuk melakukan hal lain entah dimana. Seperti belut, kecepatannya untuk selekasnya kabur dari sekolah begitu hebat. Tau-tau raib dari kelas, tak bisa dipegang lagi ekornya.

Maka Samsul siang itu sengaja kabur dari sekolah lebih awal. Dia sengaja bolos dari kelas Pak Tarno yang mengajarkan Bahasa Inggris, agar bisa menguntit Agus sepulang sekolah nanti. Samsul bersembunyi di warung es campur Sederhana di seberang sekolah. Duduk berlama-lama menanti Agus pulang. Dan disanalah Agus berada, tampak di antara gerombolan murid lain yang kelasnya ada di areal paling depan di sekolah mereka. Agus menyeberang jalan dengan cepat, tapi anehnya dia tidak mengambil arah pulang. Agus malah berjalan ke arah selatan. Mau kemana dia ?

Samsul mengendap-endap menguntit beberapa meter di belakang Agus yang berjalan dengan tergesa-gesa. Dan langkahnya terhenti ketika Agus tampak berdiri menunggu di depan gerbang SMA. Samsul bersembunyi di balik batang pohon mahoni yang kekar berdiri di tepian jalan. Pohon berdaun rimbun yang sudah tegak tumbuh disana sejak 20 taun yang lalu. Buahnya sering jatuh di tepi jalan. Rasa isinya pahit, seperti jamu. Tapi sedang apa Agus disana ? Siapa yang ditunggunya ?

Kaki Samsul hendak beranjak mendekat ke arah Agus ketika tiba-tiba dilihatnya seseorang berlari mendekati Agus yang sedang berdiri di depan gerbang. Matanya tak percaya saat melihat wajah cantik yang dikenalnya tersenyum lepas dan dengan manja tampak bergayut di lengan Agus yang kini wajahnya kelihatan sumringah. Dia Mariah !

Kepala Samsul terasa agak pusing, hatinya seperti teremas. Jadi selama ini Agus sudah demikian dekat dengan gadis itu. Betul-betul pengkhianat ! Samsul mendengus marah. Hatinya terbakar cemburu. Tapi emosi itu dipendamnya dalam-dalam. Bukan saat ini, tapi Agus harus memberi penjelasan untuk semua yang sudah dilihatnya siang ini padanya !

*
Darah naik sampai kepala Samsul. Dia teringat pertemuannya  yang lalu... Ketika Samsul terpana mendengar Mariah mengatakan itu.... Saat baru saja dia bisa sedikit leluasa bicara dengan gadis itu di teras rumahnya, dan tiba-tiba saja Mariah mengucapkan terima-kasih padanya. Mariah bilang, Mariah suka dengan kaset Agus yang sudah diantarkan kepadanya dulu. Kaset Agus yang sudah diantarkannya ? Mengantar kaset ? Jadi selama ini Mariah cuma menganggap dia sebagai pengantar kaset Agus ? Padahal dengan jelas Samsul sudah mengatakan bila kaset itu pemberiannya untuk Mariah. Tapi mengapa gadis itu menyebutnya kaset Agus ? Jangan-jangan....?

"Dulu aku heran waktu dia menyebutku cuma pengantar kasetmu, aku juga sempat heran sewaktu kau pernah aku lihat berlama-lama berdiri di depan pagar rumahnya, dan siang ini kau kulihat sudah digandengnya dengan mesra. Apa maksudmu, Gus ?", kata Samsul kesal, bahu Agus ditekannya dengan tangan. Celaka !, inilah yang ditakutkan Agus selama ini. Ini juga sebabnya dia tak mau Samsul tau hubungannya dengan Mariah.

"Apa maksudmu, Gus ?", teriak Samsul marah. Tangannya mencengkeram kerah baju Agus, membuat Agus sedikit tercekik.

"Ya !... Huk.!..huk...! Aku.... Aku memang sudah pacaran dengannya....!", teriak Agus di sela cekikan di kerah lehernya.

"Pengkhianat !!!", Samsul balas berteriak. DHUAGG ! Kepalan segera menghantam dagu Agus, membuat pandangannya berkunag-kunang. Agus masih bertahan dengan tetap bersandar pada dinding lemari.

"Dia sudah jadi pacarku ! Puas ?!", jawab Agus menggelegar, menyentakkan Samsul, membuatnya semakin naik pitam.

"Haaah !!! Kau tau aku suka padanya ! Tapi kau malah memacarinya. Kau pengkhianat !", Samsul menyerapah sengit. Tinju Samsul kembali melayang mengenai pipi kiri Agus. DHUAGG ! Agus tersungkur di sudut kamar, pipinya terasa pegal. Agus mengusap pipi kirinya dengan tangan, pukulan kedua ini membuat rahangnya seperti mau copot. Tapi inilah resiko yang harus dihadapinya. Dan Agus sudah siap dengan kemarahan Samsul ini.

"Apapun yang akan kau tumpahkan, aku tak akan surut. Aku rasa aku sudah cukup memberimu waktu  untuk mendekatinya, tapi kau tak juga bisa menyatakan perasaanmu padanya. Jadi jangan salahkan aku kalau saat ini aku bisa mendapatkannya...", Agus lantang membela diri.

"Tapi dia cuma menganggap aku jadi tukang antar kasetmu ! Bagaimana mungkin dia tau kalau itu milikmu ? Apa yang kau masukkan dalam bungkusan kaset itu ?" tanya Samsul dengan marah. Telunjuknya menuding lurus ke arah Agus, seperti mau menusuk matanya. Agus terdiam tak menjawab, nafasnya mengebu tak menentu. Dia teringat tulisan dalam kaset itu....

Mariah.... 
Aku ingin jadi pacarmu....


 Hmm... Dia memang salah soal itu. Dia tak berterus-terang pada Samsul kalau dia sudah menulis sebuah pesan dalam bungkusan kaset yang diberikannya pada Samsul untuk Mariah. Tapi mengatakan yang sesungguhnya tentang tulisan itu pada Samsul juga bukan pilihan yang menguntungkan. Dia ingin tulisan itu cuma jadi rahasia dirinya dengan Mariah.

Dan kediaman Agus rupanya harus dibayar dengan mahal. Sekepal tinju Samsul kembali melayang, mengenai pipi kanannya. Kali ini Agus betul-betul tak berdaya, dia tersungkur - tak ingat apa-apa....

*
Lima tahun sudah sejak lulus STM, kini Agus telah menjadi seorang pegawai di Perusahaan Listrik Negara seusai meraih gelas sarjana. Sejak peristiwa pemukulan itu, Agus tak pernah lagi bertegur sapa dengan Samsul. Bahkan hingga keduanya selesai ujian sekolah. Dan masing-masing lalu menapak ke arah yang berbeda untuk meneruskan kuliah di kota yang berlainan pula. Agus ke Bandung, dan Samsul ke Surabaya.

Agus sedang berjalan-jalan di pusat pertokoan ketika melihat sepasang manusia yang sedang asyik bergandeng mesra. Seorang gadis bule dan seorang pemuda perlente. Tak silap pandangan Agus melihatnya. Pria itu Samsul !. Agus bergegas mendekat ke arahnya, hingga keduanya saling berhadapan. Keduanya saling menatap, keduanya langsung teringat. Agus terkesiap memandang sahabat kecilnya yang sudah menjelma menjadi pemuda tampan itu, tapi sesaat langkahnya tertahan. Dia teringat hal terakhir yang pernah terjadi di antara mereka. Agus termangu dalam keraguan. Sampai tiba-tiba Samsul merangkulnya dengan erat. Hingga mau-tak-mau Agus membalasnya dengan rangkulan yang tak kalah kencangnya. Keduanya memang rindu. Sesaat mereka berpelukan seperti saudara yang telah lama tak bertemu satu-sama-lain. Lalu rangkulan itu mengendur, seiring dengan sapa yang teruntai dari mulut Samsul.

"Aku rindu padamu, Gus ! Apa kabarmu ?", tanya Samsul. Agus tersenyum bahagia, pelukan erat sahabatnya itu berarti segalanya.

"Kau keren !", kata Agus sambil melirik gadis bule di sebelah Samsul.

"Oh..., dia tunanganku...", kata Samsul mengenalkan. Agus terpesona. Tak pernah disangka Samsul juga punya selera pada gadis bule. Agus mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

"Apa kabar Mariah ?", tanya Samsul tiba-tiba. Agus memandang sahabat kecilnya itu dengan sendu. Lalu bibirnya tersenyum pahit. Pandangannya menerawang jauh menembus langit-langit pertokoan.

"Sudah kawin. Dia menikah dengan dosennya.... Dia tak sabar menungguku wisuda....", jawab Agus pendek.  Samsul menatapnya dengan haru. Ditepuk-tepuknya bahu Agus yang bidang.


SELESAI

0 comments: