BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Jumat, 30 April 2010

PILIHAN

"RSBI atau CIBI atau Reguler Plus ? Yang mana neh ?"


Itulah pertanyaan yang dilempar seorang kerabat dalam statusnya di fb. Mula-mula gak ngeh, meski agak-agak bisa meraba kalau yang dibicarakan pasti soal sekolah. Rupanya RSBI itu (seperti yang sudah kuduga) kependekan dari Rintisan Sekolah Berstandard Internasional. CIBI itu (ternyata) istilah untuk kelas akselerasi (kepanjangannya apa gak taw neh). Dan Reguler Plus untuk sekolah berstandard nasional yang ditambah dengan program unggulan lain hingga waktu belajarnya bertambah beberapa jam setiap harinya (5 hari sekolah, Sabtu libur).

Hmm.... Seorang kerabat lain mengutarakan bagaimana diskriminatifnya program RSBI itu bagi siswa tak mampu. Itu betul. Dalam sekolah yang memiliki program RSBI, memang biaya yang lumayan bunyi itu sangat diperlukan, demi terpenuhinya kelengkapan fasilitas sekolah sesuai standard internasional pada umumnya. Pasalnya, standard internasional itu belum umum dipakai semua sekolah. Maka terengah-engahlah beberapa sekolah yang ditunjuk menjadi media pelaksanaan program RSBI di banyak daerah. Terkesan memaksa, karena sangat minimnya kesiapan SDM di sekolah-sekolah tertunjuk itu, yang pastinya para pengajarnya lebih memahami cara mengajar dengan Bahasa Indonesia sebagai pengantar pelajaran (bukan Bahasa Inggris sebagaimana disyaratkan dalam kurikulum internasional).

Apa yang diusahakan DIKNAS agar para guru itu siap memakai media Bahasa Inggris dalam menghantar pelajaran di kelas ? Sepertinya cara-cara kayak perolehan sertifikasi dan pembekalan sudah mulai banyak diberikan. Tapi cukupkah upaya itu untuk membuat semua guru sekolah RSBI siap memberikan pelajaran dengan bahasa asing ? Untuk fakta bahwa otak seseorang hanya dapat dengan mudah menyerap kemampuan bahasa ibu dan bahasa asing sebelum usianya mencapai 11 tahun, kayaknya usaha membekali para guru, yang barangkali banyak yang usianya sudah melebihi angka 40 itu, akan sia-sia. Kan otak mereka sudah tak lagi fleksibel menerima bahasa asing to ?

*
Ini contoh Pak S, seorang guru matematika yang notabene orang Jogja, di sebuah sekolah menengah pertama yang lumayan terkenal di Jakarta Selatan. Si guru diharuskan memakai Bahasa Inggris dalam memberikan pelajaran. Yang terjadi adalah perintah semacam ini :

"OK (dibaca= o - ke , bukan= ow - khay). Let's open page (dibaca= pek, bukan=peij)...(mikir)...selikur ! (bs. jawa = duapuluh satu)"

Kasian betul. Gara-gara lupa angka 21 itu sebutan inggrisnya apa, yang keluar malah Bahasa Jawa. Pasti hal itu tidak akan terjadi terlalu parah kalau memakai Bahasa Indonesia yang kian lama kian banyak menggeser fungsi bahasa daerah dalam komunikasi sehari-hari. Padahal kejadian waktu itu, terjadi ketika di sekolah itu masih berlaku program kelas bilingual, bukan kelas murni Internasional. Apa jadinya kalau sekarang si Bapak pinter yang ahli matematika ini mengajar pakai Bahasa Inggris saban harinya di kelas yang sudah RSBI ? Bisa-bisa malah mogok bicara dia. Atau malah pilih pakai bahasa tarzan ya ?

Jadi ingat sama cerita seorang kerabat yang mengatakan kalau sebuah pondok pesantren terkenal di Jawa Timur sana, di pertengahan tahun 1980-an, selalu memberi hukuman untuk setiap murid yang ketahuan memakai Bahasa Indonesia saat bicara, padahal diharuskan berbahasa Inggris. Hukumannya dengan cara disuruh ngemut daun kelapa kering (blarak) seharian. Wkekekek..... Apa iya kita mesti nyuruh si Bapak ahli matematika itu ngemut blarak juga biar Bahasa Inggrisnya lancar ? Ada-ada saja.....

Itu baru soal SDM. Ada juga kelatahan guru untuk menggunakan fasilitas sekolah. Namanya juga sekolah unggul, maka orangtua murid sampai ada yang menuntut kalau sebisa mungkin semua fasilitas yang ada harus dimanfaatkan sebesar-besarnya. Lalu terjadilah sebuah insiden ketika seorang guru Tata Boga masuk ke dalam kelas, dan menyuruh 2 orang anak lelaki untuk mengambil OHP dari ruang penyimpanan. Sampai berkeringat betul ke 2 anak itu, mendorong OHP yang rodanya seret ke dalam kelas. Begitu dipasang, ternyata OHP itu cuma mau digunakan untuk menyorot sebuah gambar....

"Anak-anak.... INI...TEKO...!"

Seluruh anak dalam kelas sampai hening. Lalu beberapa anak perempuan yang duduk di depan bereaksi dengan mulut membundar sambil berbunyi....

"OOOooo........ "

Sementara anak-anak lelaki dalam kelas tetap bengong.

*
OK. Stop bicara soal SDM dan fasilitas sekolah. Sekarang mari kita bicara soal program CIBI atau akselerasi. Program ini sebenarnya disiapkan oleh pemerintah untuk mewadahi anak-anak jenius yang menginginkan bisa melalui masa 3 tahun pendidikan, hanya dengan menempuh 2 tahun masa belajar saja. Kurikulumnya dibuat sedemikian rupa sehingga mata pelajaran itu dipadatkan sepadat mungkin. Ada beberapa syarat yang harus dipatuhi seorang murid supaya bisa masuk ke program ini. Misalnya syarat yang mengharuskan nilai si calon murid akselerasi tak boleh kurang dari sekian-sekian, dan harus memiliki IQ serendahnya sekian-sekian.

Ada sih kemungkinan anak yang punya kriteria di bawah itu bisa masuk juga ke program akselerasi. Tapi biasanya yang begini ini akan dihantam dengan biaya yang lebih tinggi dari anak-anak lainnya. Betul-betul butuh tenaga dan pikiran (dan duit), karena si anak akan dituntut untuk bisa menyelesaikan tugas yang luar biasa berat selama menempuh pendidikan yang dipadatkan ini. Kalau yang bisa konsentrasi dan tak suka main sih gak papa. Tapi kalau anaknya masih suka santai dan main-main ya sebaiknya dipertimbangkan lagi. Karena akselerasi bukan kelas yang bisa untuk main-main. Ini kelas dengan tegangan tinggi. Tugas hariannya saja bejibun abiss... Belum makalah dan laporan ini-itu.

Ada cerita soal program akselerasi ini yang ditawarkan guru walikelas anakku waktu itu. Ketika si anak aku tawari masuk ke kelas akselerasi, si anak memberikan jawaban seperti ini :

"Ibu.... Sekolahku itu sekolah bagus..."

"Lalu ?", tanyaku.

"Guru-guru disana itu semua bagus..."

"Lalu ?", tanyaku lagi.

"Kalau sekolahnya bagus, guru-gurunya bagus, artinya aku akan menyia-nyiakan sisa waktu 1 tahun untuk bisa bersekolah disana kalau aku ambil kelas akselerasi. Aku mau matang dalam semua pelajaran. Aku mau menguasai apapun yang guru-guru bisa ajarkan. Kalau cuma 2 tahun, artinya belum semua ilmu bisa aku serap habis dari mereka, meski itu dipadatkan. Aku gak suka belajar pake dikejar-kejar deadline, Bu. Masak belajar pake lari ?", jawab anakku.

Dengan pendapat penuh pertimbangan seperti ini, apa yang bisa aku perbuat kecuali memberinya kebebasan ? Alhamdulillah, anakku selesai dari SMP dengan nilai tertinggi dari seluruh 360 siswa yang ada dalam satu angkatan. Sungguh pilihan yang tepat untuknya. Dengar-dengar, setelah anak-anak seangkatan yang mengambil program akselerasi lulus dari sekolah itu, banyak yang lulusnya cuma dengan nilai pas-pasan. Bahkan ada yang harus dikatrol, karena program itu tidak boleh gagal, semua harus lulus. Jadi yang kurang pun harus diluluskan. Tapi itu yang terjadi di tahun 2007. Mungkin sekarang keadaannya sudah berbeda.

OK, ambil positifnya aja. Baik untuk pilihan kelas RSBI dan akselerasi, pertimbangan orangtua merupakan faktor kesekian dari keberhasilan anak. Yang paling penting untuk bisa sukses dari kedua program itu hanyalah niat dan semangat si anak. Kalau si anak mampu dan bersemangat untuk menempuh program itu, ya apa salahnya disupport sepenuhnya oleh orangtua. Karena bagaimana pun yang akan mengalami enak atau tidaknya ya cuma si anak itu sendiri. Bukan orangtuanya. Si orangtua paling-paling cuma kebagian "menjerit" kalau diharuskan membayar biaya sekolah yang tinggi, hehehe.

Yang jelas, lulusan RSBI diharapkan bisa berkomunikasi lebih baik dalam bahasa asing. Dan lulusan akselerasi bisa lebih cepat lulus dari kelas RSBI maupun reguler.

*
Lalu bagaimana dengan program Reguler Plus. Hehehe..., kayak mau milih french fries di resto aja. Mau pilih regular ?, apa large ? Ya..ya..ya... Kelas reguler maksudnya ya kelas biasa dengan kurikulum biasa. Yang dimaksud dengan plus disini adalah plus tambahan pelajaran unggulan seperti les bahasa dan semacamnya. Jadi jam belajarnya molor sampai beberapa waktu. Buat orangtua yang sibuk bekerja kantoran sih kayaknya program ini OK banget. Karena satu paket dengan kurikulum sekolah, artinya si anak sudah gak perlu repot-repot lagi ikutan les macam-macam di luaran. Lumayan ngirit. Apalagi beban kurikulum sekolahnya tak begitu padat seperti RSBI dan akselerasi. Kalau si anak termasuk yang suka menikmati hidup sih sebaiknya pakai program ini. Bisa lebih santai sedikit.

Masalahnya akan kembali pada kata "Plus" yang menempel di belakang kata reguler. "Plus" disini sangat berkaitan erat dengan biaya (lagi-lagi). Karena tak mungkin sekolah akan memberikan tambahan program di luar kurikulum bila tak ada biaya. Sejauh biayanya tidak tinggi sih tidak masalah. Yang menjadi persoalan adalah apabila akhirnya dengan pemberian pelajaran "Plus" ini lalu membuat orangtua siswa terbebani dengan biaya tinggi. Padahal kalau sudah niat masuk ke sekolah reguler "Plus" pasti harus menyetujui untuk juga ikut serta dalam kegiatan "Plus". Dan itu bisa menimbulkan konflik bagi si anak murid, bila orangtuanya tidak mampu mambayar. Hanya saja, dibandingkan dengan kedua program terdahulu, sepertinya program reguler "Plus" ini agak lebih aman. Si anak akan tetap bisa mendapat pengajaran dengan jelas dalam bahasa nasional, dan tak terlalu dikekang oleh waktu.

Tapi bagaimana pun juga, semua kembali pada kemauan dan kemampuan si anak. Selebihnya, kita hanya bisa mendoakan.


0 comments: