BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Kamis, 01 April 2010

KASET UNTUK DIA

"Gus..., kenalin dong !"

Agus tetap melenggang meninggalkan ruangan, ocehan Samsul tak dihiraunya. Heh..., ada-ada saja.... Entah mengapa Samsul bisa tergila-gila sama Mariah yang anak Pak Guru Hamid itu. Gadis sombong berkulit putih yang selalu berjalan dengan kepala tertunduk, tak pernah mau menoleh tiap kali dipanggil saat bertemu di jalan. Masih banyak gadis lain yang tak kalah menarik di sekolah itu, mengapa juga harus Mariah ? Sampai pusing Agus mencari cara agar Samsul tak mencoba mendekati Mariah. Gadis pemarah itu mudah sekali meludah setiap kali ada siulan pemuda tertuju padanya.

Hah ! Apa bagusnya gadis yang suka meludah ? Gadis-gadis lain akan tersenyum-senyum tiap kali Agus memberi siulan. Mereka akan mendekat dengan wajah sumringah kepadanya. Tapi Mariah tidak pernah seperti itu. Gadis angkuh yang barangkali merasa paling cantik di dunia itu tak pernah sudi mendengar siulannya. Bahkan selalu meludah ! Agus heran mengapa Samsul sampai mabuk kepayang bermimpi ingin menjadikannya pacar. Sampai-sampai buku pelajarannya penuh puisi, coretan tentang cinta di hampir setiap lembar paling belakang catatannya.

"Ngaca kamu ! Mana mau gadis seangkuh Mariah mau sama kamu ? Kamu ngimpi ya ?", Agus berkata ketus. Dia masih saja teringat-ingat cara Mariah meludah. Menyebalkan.

"Ah..., jangan gitu dong.... Aku tidak enak tidur, aku tidak enak makan.... Aku mau kenalan sama Mariah. Adikmu kan teman karibnya, masak teman karib adikmu bukan gadis baik-baik ?", bujuk Samsul lagi.

"Mungkin dia gadis baik-baik, tapi dia sombong. Lagi pula, kenapa kamu tidak kenalan sendiri saja ? Tinggal datang ke rumahnya, ajak kenalan. Beres kan ? Cuma jangan kaget kalau nanti kamu sampai diusir dari rumahnya. Kamu memang suka cari perkara....", kata Agus sinis.

Dia jadi teringat ulah konyol Samsul setiap kali pulang sekolah. Samsul sengaja mampir dulu ke rumah Agus cuma untuk bisa memanjat pohon jambu kelutuk di kebun belakang agar bisa mengintip Mariah yang kadang terlihat melintas di dalam dapur rumahnya yang berbatasan pagar tembok dengan rumah Agus. Bahkan Agus pernah begitu geli ketika mendapati wajah dan tangan Samsul yang bentol-bentol gara-gara kena ulat bulu yang sedang berpesta di dahan pohon jambu. Konyol sekali. Apa perlu berulah sampai sejauh itu ? Bertengger seperti burung dari siang hingga menjelang maghrib sampai dibela-belain lupa makan siang. Konyol betul ! Agus geleng-geleng kepala....

"Ya sudahlah, aku mau kenalan sendiri saja. Sepertinya kamu malas mengenalkan aku padanya. Atau..., jangan-jangan kamu juga naksir sama Mariah ?", tuduh Samsul penuh selidik.

Alis Agus langsung berkerut marah, barangkali kalau sampai dia naksir Mariah itu tandanya dunia sudah kiamat ! Seperti di dunia ini tidak ada orang lain saja. Agus jadi terkenang lagi dengan cara meludah Mariah yang khas : ...mata melirik, kepala menunduk, lalu CUIIHH....!  Ternodalah trotoar pejalan kaki dibuatnya.

Agus merasa tak perlu memperpanjang dialog dengan Samsul. Perutnya terasa lapar. Kakinya segera melangkah pergi menuju kantin, meninggalkan Samsul yang masih terbengong-bengong sendiri di depan pintu kelas.

*
Siang itu Mariah pulang dengan kepala tertunduk seperti biasanya. Tangannya erat mendekap tas sekolah yang dibawanya. Ada kira-kira sepuluh buku di dalamnya, lima buku pegangan dan lima lainnya buku catatan, lumayan berat juga. Rindangnya pepohonan yang menaungi sepanjang trotoar jalan raya tak membuat kepalanya tetap dingin. Matanya melirik-lirik ke arah seberang jalan, di depan masjid raya satu-satunya yang ada di kota kecil itu. Disanalah biasanya gerombolan pemuda anak-anak STM selalu berkumpul sepulang sekolah. Pemuda-pemuda yang tak pernah bosan menggodanya dengan siulan-siulan menyebalkan. Mariah sama sekali tak pernah suka siulan-siulan itu. Lagak mereka semakin membuatnya muak saja. Entah sudah berapa kali dia meludah setiap kali habis disiuli. Mariah tak pernah menghitung. Tapi sudah banyak, karena sudah sering kali dia berbuat begitu.

Entah sebab apa para pemuda itu suka menyiulinya setiap kali dia pulang sekolah. Jalur pulang yang mengharuskannya melewati jalan di seberang masjid, membuatnya mau-tak-mau harus sering berhadapan dengan kelompok pemuda STM itu. Mereka memang sering nongkrong di depan halaman masjid. menyiuli setiap gadis yang lewat di jalur itu. Jadi Mariah bukan satu-satunya. Hanya saja Mariah merasa risih. Enak betul para pemuda usil itu menyiulinya seperti burung.

Padahal Mariah tak merasa ada yang aneh dengan dirinya, meski dia memang sedikit berbeda dari gadis kebanyakan. Tapi rasanya sedikit perbedaan itu bukan hal yang patut dipermasalahkan. Apa salahnya punya kulit sedikit lebih putih dari yang lain ? Apa salahnya rambutnya lebih coklat kepirangan daripada yang lain ? Ada apa pula dengan langkahnya yang tegap ? Apakah itu salah ? Lalu mengapa mereka selalu menggodanya dengan siulan-siulan menyebalkan seperti itu ?

Mariah tak habis pikir.

Mariah mengenali salah satu pemuda yang menggodanya, dia tau betul orang itu. Dia abang Surti, teman sebangkunya. Orang angkuh yang entah mengapa lebih suka menggodanya dengan siulan-siulan menyebalkan daripada sekedar bertegur-sapa dengannya setiap kali dia bertandang ke rumah Surti. Bila bertemu di rumah Surti, pemuda itu selalu diam, cuek sekali. Tapi lihat apa yang dilakukannya setiap kali bersama anggota gerombolannya di depan masjid itu. Aneh sekali. Mariah tak pernah bertemu pemuda seaneh itu sebelumnya.

Dan kini tibalah waktunya pertunjukkan itu dimulai. Selalu ketika tepat berada di bawah pohon Flamboyant, suara-suara siulan bersahutan terdengar dari seberang jalan, seperti suara siulan sekelompok burung sriti yang berisik memenuhi telinga. Membuat jantung Mariah jadi berdebar-debar lagi. Kepalanya semakin dalam menunduk. Telapak tangannya pucat dan mendingin. Perut Mariah terasa sedikit kejang, dan kakinya seakan ingin cepat-cepat terbang dari sana. Air liurnya mengumpul dalam rongga mulut. Dan kepalanya berkeringat dingin. Semakin lama air liur itu semakin banyak saja terkumpul dalam mulutnya, hingga akhirnya.....

CUIIIHH...!!!

Basah sudah trotoar tak berdosa dengan ludahnya. Tiba-tiba Mariah merasa menyesal mengapa lagi-lagi dia harus meludah seperti itu. Dia benci pada telinganya yang tak sanggup mendengar riuhnya siulan. Dia marah pada air ludahnya yang selalu saja mengumpul setiap kali kecemasan akan godaan itu datang. Dan terlebih lagi, Mariah marah pada dirinya sendiri karena tak sanggup cuek pada siulan-siulan iseng para pemuda itu. Kalau sudah begini, rasa-rasanya Mariah mau menangis saja....

Suara riuh para pemuda dari seberang jalan meningkahi aksi Mariah siang itu. Sudah beberapa kali Mariah memergoki mereka saling bertaruh untuk apa yang sering dilakukannya setiap kali habis disiuli. Sialan ! Kekesalannya rupanya malah dijadikan hiburan ! Untung saja ada gang sempit yang bisa dijadikan jalan lintas menuju rumah, jadi Mariah tak perlu berlama-lama berjalan melintas jalur depan masjid itu. Ahh.... Lega sekali rasanya bisa bebas dari gangguan gerombolan menyebalkan yang ada di sana.

*
"Gus..., temani aku ya ?", bujuk Samsul dengan rengekan khasnya.

"Enggak ! Aku gak mau ! Pergi saja sendiri....", tolak Agus ketus. Heran seheran-herannya. Nekat sekali Samsul membujuknya seperti tadi. Ini adalah kali ke 4 Samsul membujuknya pergi. Dan Agus tetap kukuh dengan jawabannya. Maka dibiarkannya Samsul pergi sendirian kesana. Agus cuma bisa memandangi punggung sahabatnya dengan rasa prihatin. Tapi barangkali memang harus begitu, biar Samsul tau sendiri seperti apa angkuhnya gadis itu. Heh ! Belum tau dia.....

Baru kira-kira tiga menit, tapi rasanya Agus ingin sekali tau apa yang terjadi di rumah belakang itu, rumah Mariah. Penasaran, Agus nekat memanjat pohon jambu kelutuk dan seenaknya nangkring di sebuah dahan yang lumayan tinggi hingga dirinya bisa mengintip ke arah halaman depan rumah Mariah. Beberapa lama dia menunggu, lalu datanglah Samsul ke rumah itu. Tapi aneh, beberapa kali Samsul terdengar membunyikan bel pintu, tapi sama sekali tak dibukakan. Apa tidak ada orang ? Samsul lalu terlihat mengulanginya beberapa kali. Dan tetap saja tak ada seorang pun yang membukakan pintu. Hmm.... Baguslah ! Itu lebih baik daripada diusir oleh gadis sombong itu. Lebih baik mereka tak bertemu. Perlahan Agus turun dari atas dahan pohon jambu. Dia lega Samsul gagal bertemu Mariah. Sahabat karibnya yang baik hati itu memang tak pantas mendapatkan pacar segalak Mariah. Agus tentu saja tak akan pernah rela.

Samsul kembali ke rumah Agus dengan wajah nelangsa. Agus cuma bisa menghiburnya. Dengan cekatan diambilnya peralatan pancing di gudang sebelah kandang ayam.

"Mancing, yuk !", ajaknya bersemangat. Samsul hanya bisa mengangguk lemas....

*
Gadis angkuh itu tampak memasuki halaman rumah Agus. Surti ada di sampingnya. Mereka berdua memang akrab sejak masuk di kelas yang sama. Agus melengos ketika dilihatnya Mariah lewat di sampingnya saat berada di selasar depan ruang musholla. Sebentar tadi mata mereka sempat berpandangan satu-sama-lain. Ada seulas senyum tipis menghias wajah itu, tapi Agus membuang jauh-jauh rasa simpatinya. Dasar hipokrit ! Heh !, dikiranya siapa dia ?

Agus merasa sebal pada kepura-puraan itu. Dia heran juga pada kesetiaan Surti yang selama ini mau saja jadi teman gadis sombong itu. Dan sepertinya gadis itu kali ini akan berada lumayan lama di rumah mereka. Sialan ! Itu artinya Agus harus segera pergi. Tapi kemana ? Samsul hari ini sedang disuruh ibunya ke rumah neneknya di Semarang. Dan teman-teman yang lain juga sedang ikut bimbingan tes. Dirogohnya saku celana jeans yang dipakainya. Cuma ada uang sejumlah 5.000 rupiah saja disana. Uang segitu tak cukup buat beli tiket. Batal sudah niat mau nonton film di bioskop alun-alun. Agus lalu memutuskan untuk berdiam diri di kamar saja.

Surti sibuk menyiapkan minuman untuk Mariah yang datang bersamanya ke rumah siang ini. Mariah dibiarkannya menunggu di ruang tengah. Rencananya mereka akan mengerjakan makalah Sosiologi bersama-sama. Mula-mula Surti memintanya mengerjakan makalah itu di rumah Mariah saja, tapi Mariah malah membujuknya agar mengerjakan tugas itu disini. Padahal rumah Mariah jauh lebih nyaman daripada kondisi rumah Surti. Maklum, keluarga Mariah memang lebih punya. Tapi Mariah malah mengajaknya disini, dan Surti merasa terharu melihat Mariah mau saja duduk bersimpuh di lantai tanpa alas karpet dengan kaki telanjang. Tidak duduk di atas kursi sofa seperti yang biasa dia lakukan di rumahnya.

"Minum, yuk !", ajak Surti sambil mempersilakan. Teh tubruk yang dibuatnya diseruput pelan-pelan. Mariah suka sekali teh yang begini. Ada rasa sepat yang khas di lidah, membuat siapa pun yang meminumnya menjadi merasa nyaman. Mereka berdiskusi hingga beberapa saat. Sampai tiba-tiba Mariah pamit mau ke kamar kecil.

"Ada di belakang, sebelah dapur. Kamu sudah tau kan ?", kata Surti mengingatkan. Mariah segera permisi, rasanya dia sudah tak tahan lagi....

Kaki Mariah bergegas ke kamar itu, matanya jadi tidak begitu awas melihat sekeliling. Kepalanya yang tertunduk tak menyadari bahwa ada sesosok tubuh pemuda baru saja keluar dari dalam kamar kecil. Hingga mereka pun bertubrukan....

ADUHH...!!!

Keduanya terhuyung ke belakang. Parahnya, badan pemuda itu lebih besar daripada tubuh Mariah yang langsing. Hingga Mariah terpental agak jauh ke arah tembok dapur. Pemuda itu tampak marah, tangannya segera mencengkeram bahu Mariah dengan kasar.

"Gadis sombong ! Kau pikir kau bisa jalan seenaknya di rumah orang, ha ?!", hardiknya dengan suara seperti guntur. Mariah membelalakkan matanya dengan rasa takut. Rasa sakit di bahunya karena cengkeraman tangan pemuda itu membuatnya meringis, lalu menangis....

Agus terkejut sewaktu melihat gadis itu menangis, dia tak menyangka apa yang dia lakukan akan membuat gadis itu menangis. Cengkeraman tangannya segera dia lepaskan, membuat gadis itu jatuh terduduk di atas lantai. Rupanya, tadi tubuh gadis itu sampai terangkat beberapa senti ke atas. Dan Agus tak menyangka ternyata gadis itu berbadan seringan itu. Dia masih berdiri terpaku ketika Surti berlari-lari mendekat ke arah dapur. Surti menatapnya dengan tatapan penuh amarah. Dibiarkannya adik perempuannya itu menolong Mariah. Dan Agus cepat-cepat berbalik arah, pergi entah kemana lewat pintu belakang.

*
"Gus..., antar aku ke rumah Mariah ya ?", bujuk Samsul untuk kesekian kalinya siang itu. Tumben, kalau biasanya Agus lantang menolak, kali ini dia diam saja. Tapi itu pertanda yang bagus buat Samsul. Artinya Agus sudah merestui niatnya mau kenalan sama Mariah, gadis yang siang-malam jadi impian tidurnya.

"Kamu harusnya jangan cuma kenalan sama dia. Bawa oleh-oleh lah...", celetuk Agus tiba-tiba. Samsul jadi sumringah, ini pertanda sangat positif !

"Oleh-oleh ? Tapi oleh-oleh apa ?", tanya Samsul bertanya-tanya, "Bawa bunga ?, norak ah ! Bawa coklat ?, nanti gemuk ! Bawa buku ?, buku apa ?", Samsul garuk-garuk kepala sendiri memikirkannya.

"Sebentar..., aku ambilkan sesuatu di kamar. Kamu tunggu disini ya ?", pesan Agus padanya. Samsul mengangguk. Dan diapun menunggu dengan gelisah.

10 menit kemudian, Agus muncul di rumah tamu dengan sebuah kotak kecil terbungkus rapi di tangan kanannya. Dia menyodorkan bungkusan itu ke tangan Samsul yang segera menerimanya dengan senang hati.

"Apa ini ?", tanya Samsul penasaran.

"Kaset ! Kata Surti, Mariah suka kaset ini.... Tapi kamu datang sendiri, ya ?", jawab Agus tanpa tersenyum. Samsul senang luar biasa. Dia segera pamit ke rumah Mariah. Agus memandangnya dengan tegang, bibirnya mengatup membentuk garis.

Sudah dua minggu sejak insiden tubrukan berbuah tangisan di ruang belakang itu terjadi. Agus selalu teringat-ingat tatapan mata penuh kengerian pada wajah ayu Mariah yang memucat saat itu. Mata yang terbelalak dengan pupil yang mengecil tanda jerih. Apakah mata gadis seperti itu yang selama ini dijulukinya paling sombong dan galak ? Apakah dia telah berlebihan memperlakukannya ? Bayangan suara tangisan gadis itu selalu saja terngiang di telinganya. Agus baru menyadari bila gadis itu ternyata lebih takut daripada dirinya. Dia yang selalu memberikan predikat buruk pada gadis yang tak begitu dikenalnya. Gadis yang wajahnya kemudian selalu terkenang dalam mimpi indahnya. Dan bila dia beruntung, siang ini gadis itu akan tau apa yang telah ditulisnya di dalam bungkus kaset yang dibawa Samsul padanya. Disana tertera....

Mariah.... 
Aku ingin jadi pacarmu.


Agus


***





0 comments: