BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Selasa, 16 Oktober 2012

KALA BINTANG MENGHILANG

Hujan turun rintik-rintik membasahi halaman, daun-daun membasah, dan lampu gantung bergoyang perlahan tertiup angin. Nani menatap jauhnya kelam yang menyekap malam, kepalanya pusing, dan entah mengapa perutnya begitu mual sekarang. Rasa di dada Nani menusuk makin dalam, seperti mencekik leher, meremas paru-parunya hingga susah bernafas. Pikiran-pikiran itu…, angan-angan itu…. Semakin keras dia mencoba menghalaunya, semakin berat rasa itu membebani kepalanya. Buntu. Nani tak mampu lagi berpikir sekarang. Yang ada dalam hatinya hanya keinginan untuk lari, dan selamanya menghilang dari semua beban ini. Lenyap dan sirna bersama angin. Tapi beranikah dia melakukan itu ? Sementara sebelah hatinya masih memaksanya untuk bertahan, menancapkan kaki kuat-kuat ke tanah tempatnya berpijak sekarang. Seperti paku. Bintang dan bulan yang biasa menemaninya bersembunyi entah dimana, seolah mereka tahu kalau Nani sedang marah saat ini. Nani marah pada dirinya sendiri, marah sekali. Marah karena tak kunjung bisa menetapkan hati. Haruskah dia pergi ?, atau haruskah dia tetap berada disini ? Dua pilihan yang saling berperang ingin mendahului satu sama lain, menyeretnya masuk dalam pusaran kehidupan berikutnya. Ahh…, kalau saja Nani punya nyali….

Sudah dua tahun ini Vino menganggur setelah terkena rasionalisasi pegawai di kantornya. PHK…setelah lebih dari belasan tahun bekerja tanpa kenal lelah demi karir dan masa depan keluarga mereka. Pengabdian yang telah begitu lama itu tak begitu saja membuat perusahaan mau mempertahankan posisinya. Vino yang biasa menjadi tulang punggung keluarga, tiba-tiba harus menerima kenyataan bahwa dia tak diinginkan lagi di kantornya, terbuang seperti puluhan karyawan lainnya. Vino begitu terpukul, tenggelam dalam penyesalan tak berkesudahan, dan itu membuatnya depresi. Lelaki itu menyalahkan dirinya sendiri sebegitu rupa, mengurung dirinya di dalam kamar tanpa lampu menyala dan jendela terbuka. Nani sudah berusaha membujuknya agar bangkit kembali menghadapi dunia, tapi sejauh ini usahanya sia-sia. Vino bahkan makin menjauh dalam kesendiriannya. Nani jadi merasa ditinggalkan, baginya Vino adalah lelaki egois yang tak mau mengerti bahwa dia, Nani, juga merasakan kepedihan yang sama. Nani ingin Vino bisa kembali bersemangat bersamanya, Nani ingin Vino bisa kembali tersenyum di pagi hari, merangkulnya dengan penuh percaya diri, menjadi pelindungnya di setiap kesempatan yang dia miliki, menumbuhkan harapan bersama akan masa depan. Namun semua sudah hilang, Vino tak mau melihat kenyataan dan mengambil pelajaran dari apa yang telah dialaminya. Nani jadi merasa dilupakan, karena selama ini mereka berdua telah bersama-sama membangun impian-impian indah itu. Lalu bagaimana mungkin Vino melupakan impian dan harapan mereka ? Tidakkah dia berpikir kalau Nani berhak mendapatkan kembali impian-impian mereka yang sempat terkubur kepedihan ?

Nani mendesah dalam keraguan hatinya, beberapa hari ini sinar mentari sudah tak lagi mampu memberinya energi untuk bisa memahami Vino lebih jauh lagi. Nani lelah, tenaganya sudah habis tercurah untuk mengerti. Dua tahun sudah sejak PHK itu terjadi, dan Nani sudah sampai pada titik jenuh dalam menghadapi keputus-asaan Vino yang tiada henti. Nani sudah tak tahan lagi. Nani harus lari. Dilihatnya sesaat sekelebat bayangan yang ada di balik jendela rumahnya, Vino tampak sedang terpekur di depan tv, tangannya memegangi remote, dan matanya yang sayu memandang ke arah layar monitor. Setiap hari seperti itu, seolah tak mau lagi berpikir untuk bangkit dan menata hidupnya kembali. Andai saja ada orang lain yang bisa membantunya membujuk Vino saat ini, andai saja orang-orang yang datang silih-berganti membujuk Vino itu didengar suaranya. Vino ibarat sebuah rumah dengan pintu tertutup rapat tanpa ada orang lain yang tahu dimana dia meletakkan kuncinya. Sedangkan Nani selama ini telah menaruh banyak harapan padanya.

Ahh…, salah…. Nani sudah merasa salah karena telah menaruh banyak harapan pada lelaki itu. Seharusnya Nani menaruh harapan pada dirinya sendiri, bukan pada suaminya yang selama ini telah menemani hidupnya. Tapi kalau dia merasa seperti itu, bukankah akhirnya hubungan di antara keduanya jadi semakin terasa tak berarti ? Suami-istri yang tak mampu saling memberi, tak akan bisa meraih kedamaian. Dan Nani sudah kehilangan hal indah itu, kedamaian.

“Aku akan pergi…”, katanya lirih saat berada di ruang santai tempat Vino menonton tv. Vino tak bergeming, matanya masih saja terpaku pada layar monitor.

“Aku akan pergi besok, Vin…. Kau dengar kata-kataku ?”, tanya Nani sekali lagi. Vino menoleh sesaat, lalu kembali ke tontonan di layar tv yang sedang dinikmatinya.

“Kemana ?”, tanyanya pendek. Nani menelan ludah.

“Aku ingin bercerai darimu…”, kata Nani dengan suara serak.

Wajah Vino tampak sedikit menegang, urat di dahinya mengencang, dan bibirnya makin terkatup. Tapi dia tak menjawab.

“Kau dengar aku ? Aku ingin bercerai darimu…”, kata Nani mengulangi. Kali ini Vino tak lagi menoleh, tapi wajahnya yang memerah mengatakan kalau dia sedang marah.

Tiba-tiba lelaki itu bangkit, membuang remotenya ke atas sofa, dan masuk ke kamar dengan membanting pintunya. Nani nelangsa, keinginannya kini semakin kuat untuk secepatnya bisa berlari. Ditekannya perih yang mencakar rasa cinta di hatinya, hatinya sudah terlalu banyak terluka karenanya. Lihat apa yang dilakukan lelaki itu !, tidakkah dia orang yang tak mau tahu perasaan seorang istri ? Nani menyumpahi dirinya sendiri karena telah sedemikian dalam mencintai lelaki itu. Tak selayaknya dia diperlakukan seburuk ini. Setiap pasangan haruslah saling berbagi dalam suka dan duka, tapi sepertinya Vino tak mau berbagi kepedihan dengannya. Hal yang kemudian membuat Nani merasa lebih buruk lagi, diabaikan oleh suami sendiri. Tidak, dia tak mau lagi menjadi seperti ini. Maka kepergiannya besok adalah sebuah keniscayaan. Nani ingin mencari dirinya sendiri yang selama dua tahun ini sempat hilang.

“Aku akan mengurus semuanya. Kau akan kukabari secepatnya…”, pamitnya saat akan melangkahkan kakinya keluar ruangan. Vino menatapnya nanar, mulutnya terkunci.

Nani melangkahkan kakinya dengan gontai ke halaman depan. Lelaki itu tak menahannya, atau pun mencegahnya. Dia hanya berdiri mematung disana, di pintu rumah yang terbuka seperti gua. Andai saja lelaki mau memanggil namanya, pasti Nani akan berbalik arah dan berlari memeluknya. Tapi Vino hanya mematung disana, tak berbuat apa-apa. Dengan air mata berlinang Nani melangkah pergi, di saat-saat terakhir, dia masih ingin lelaki itu menahannya. Cegahlah…, cegahlah…, bisik hatinya berharap. Tahan aku, dan aku tak akan pergi…, bisiknya lagi. Pintu taxi yang sudah menunggu di muka pintu gerbang seolah melambai ke arahnya, sedangkan hati Nani begitu berat menggerakkan kakinya. Tapi semua harapannya sia-sia, lelaki itu tetap tak memanggil namanya. Nani membiarkan sopir taxi memasukkan semua tas bawaannya ke dalam bagasi. Dia masuk ke dalam mobil, dan menyandarkan punggungnya yang tegang sejak tadi. Ingin sekali dia menoleh agar bisa sekali lagi melihat lelaki itu. Tapi lehernya begitu kaku, tak bisa digerakkan ke arah itu, seperti engsel yang berkarat terkena asam pekat. Tak bergeming meski sejumput harapan sempat menguar di dadanya. Nani menunduk, air matanya menetes lagi. Sopir taxi menanyakan kemana mereka akan pergi, dan Nani menunjuk arah stasiun kereta.

Ponsel yang ada di tasnya tak juga kunjung berbunyi. Nani masih berharap Vino bakal menelponnya saat ini, mecegahnya agar tak jadi pergi. Tapi meski sudah sampai di loket, ponsel itu tak kunjung berdering. Sebuah karcis kereta express jurusan Jakarta-Surabaya dibelinya dari petugas di loket itu. Nani akan pulang ke rumah ibunya disana. Sejujurnya Nani tak ingin membuat ibunya repot karena kepulangannya kali ini. Tapi Nani sudah tak ingin berada lebih lama di kota ini, kota yang sudah memberikan begitu banyak kenangan bersama Vino. Nani ingin mengubur semuanya sendiri, melupakan semua yang sudah terjadi, melupakan Vino….

Suara melody khas menandakan kereta api akan segera beranjak pergi meninggalkan stasiun, Nani mencoba memejamkan matanya. Andai saja waktu bisa diputar lebih cepat, dia ingin saat ini juga dia sampai di Surabaya. Tak perlu menunggu hingga berjam-jam duduk dalam kereta seperti saat ini, untuk sampai disana. Ayolah…, bawa aku pergi segera…, pintanya. Dia tak ingin niat untuk kembali itu muncul sekarang, karena semua sudah terlambat. Tak akan ada lagi urung pergi, Nani mau semua dimulai dari awal lagi – sendiri. Dan akhirnya kereta api itu beranjak juga, membawanya pergi dari sana, dari kenangan-kenangan bersama Vino….

*
Nani masih sering sakit kepala. Sudah hampir dua bulan dia tinggal di Surabaya. Dan baru saja dia mendapatkan pekerjaan baru di sebuah perusahaan swasta di Surabaya. Hidupnya kini mulai tertata kembali, dan dengan pengalamannya bekerja selama hidup di Jakarta, tak sulit baginya untuk mendapat pekerjaan baru kali ini. Tapi beberapa waktu belakangan ini kepalanya sering pusing, terutama setiap kali dia bangun tidur. Rasanya betul-betul tidak enak. Nani curiga dia sedang sakit, hanya saja yang dirasakannya tidak begitu jelas. Entah bagian mana yang benar-benar sakit, mungkin saja karena dia masih stres memikirkan Vino yang saat ini sudah ditinggalkannya. Nani berusaha menyemangati keadaannya dengan terus berpengharapan semoga siang nanti semuanya akan sakitnya akan membaik, agar pekerjaannya tidak terganggu. Lupakan…, lupakan…, lupakan…, bisiknya. Nani ingin membuang jauh-jauh rasa rindunya pada Vino yang sudah menjadi suaminya selama hampir sepuluh tahun lamanya. Hidup hanya berdua dengannya tanpa seorang anak hadir di tengah-tengah mereka. Kemesraan yang kian lama memudar karena sepi yang menyengat di hati Nani. Dia rindu kehadiran tangis mulut bayi di rumah itu, kerinduan yang kemudian membuatnya pilu. Padahal tak seorang dokter pun mengatakan kalau mereka berdua mandul, lalu mengapa tak juga kunjung punya anak ? Apa yang salah dengan semua ini ? Dia sudah benar-benar memberikan cintanya pada Vino, lalu mengapa Tuhan tak juga memberikan mukjizatnya dengan menghadirkan seorang bayi untuknya ? Sebegitu sulitkah keinginannya terkabul ? Nani menghela nafas sedih, semua sudah ditinggalkannya jauh di belakang, Vino – anak – impian – harapan – semuanya….

Dengan menguatkan hati, kakinya melangkah menuju kantor yang baru. Aku harus bisa, aku harus sehat, ini hari-hari awal bekerjaku…, bisiknya. Meja kerjanya ada di lantai tiga, dan sering kali lift penuh di waktu pagi seperti ini. Biasanya Nani memilih naik lewat tangga yang ada di tengah-tengah gedung, jadi dia tak perlu berdesakan dan mengantre seperti yang lain. Hanya saja, saat ini Nani merasa tak begitu enak badan, jadi dia memutuskan untuk naik lift saja. Maka dengan sabar dia ikut mengantre di depan empat lift yang ada bersama berpuluh-puluh pegawai lainnya. Sepuluh menit menunggu, dan akhirnya gilirannya masuk ke dalam lift pun tiba. Sekitar sebelas orang pegawai ikut masuk ke dalam lift bersamanya, pintu segera menutup dan lift segera bergerak naik ke lantai berikutnya. Belum sampai beberapa detik, tiba-tiba Nani merasa sangat pusing. Pandangan matanya berkunang-kunang, dan badannya melemas. Nani ambruk di tengah kawanan pegawai di dalam lift, membuat beberapa pegawai perempuan berteriak terkejut hampir berbarengan. Mereka cepat-cepat menolong, dan seorang satpam di lantai 3 segera membawa Nani ke ruang P3K sesaat setelah pintu lift terbuka.

Nani siuman dari pingsannya beberapa menit kemudian. Dengan terheran didapatinya dirinya sedang rebah di atas ranjang di ruang P3K. Dokter perusahaan yang sedang piket saat itu segera menghampiri setelah tahu kalau Nani sudah siuman. Dokter berumur paruh baya itu lalu memeriksa detak nadinya, lalu dokter itu tersenyum.

“Sudah tidak apa-apa…. Sebaiknya lain kali lebih berhati-hati saja. Sudah berapa bulan kandungannya ?”, tanya dokter itu.

Nani ternganga. Kandungan ? Apa maksudnya ?

“Saya tidak mengandung, dok…”, sanggahnya dengan alis mengernyit. Dokter itu tersenyum.

“Jadi belum tahu, ya ? OK, saya beri surat pengantar untuk cek lab, ya ? Semoga dugaan saya tidak salah. Ini saya berikan vitamin untuk diminum setiap harinya agar kandungannya lebih kuat…”, kata dokter itu lagi.

Nani menerima sebungkus plastik berisi beberapa strip vitamin itu dengan wajah bingung. Cek lab ? Kandungan ? Mungkinkah…?

Dokter itu lalu mempersilakannya kembali ke ruang kerja. Nani melangkah ke arah meja kerjanya dengan dada berkecamuk. Kandungan ? Benarkah yang dia dengar itu ? Sejak kapan dia mengandung ? Bukankah selama hampir sepuluh tahun ini dia dan Vino tidak juga diberi anak ? Lalu mengapa dokter itu mengatakan kalau dia sedang mengandung ? Nani bingung. Haidnya masih lancar, dan belum pernah sekalipun tertunda seperti orang-orang hamil pada umumnya. Ahh…, pasti dokter itu salah mengira. Bisa saja dia hanya kurang darah atau yang sejenisnya. Sakit kepala ini memang sudah membuat aktifitasnya sedikit terganggu. Tapi hamil ? Sepertinya Nani tak bisa mempercayai semua dugaan itu. Tapi bagaimana kalau dokter itu benar adanya ? Bagaimana kalau ternyata memang dirinya sedang hamil ? Ahh…, haruskah dia merasa senang saat ini ? Mengapa semua ini terjadi di saat dirinya sudah berada jauh dari Vino ? Dibacanya sekali lagi surat pengantar cek lab yang ada di tangannya kini. Benar…, dokter itu yakin dirinya sedang hamil. Dan cek lab bakal memberikan jawaban apakah dirinya saat ini memang betul-betul hamil. Hati Nani tiba-tiba ciut, kalau dia benar-benar sedang hamil saat ini, berarti dia sedang bermasalah. Rencananya untuk menggugat cerai dari Vino bakal hancur berantakan karena hal ini. Dia tak mungkin mengajukan cerai bila dirinya benar-benar sedang hamil sekarang, dia takut menerima karma. Tapi tunggu dulu, semua harus jelas sekarang, aku harus cek lab secepatnya…, bisiknya.

Hari ini Nani ingin waktu kerjanya segera berlalu, surat pengantar cek lab itu harus segera dibawanya ke laboratorium terdekat. Sebenarnya bisa saja Nani membeli sendiri test-pack dari apotik, tapi dia ingin betul-batul yakin kalau dugaan dokter itu benar…atau salah. Dengan dada berdebar dia menunggu hasil tes lab di ruang yang disediakan, hanya sekitar sepuluh menit tes itu dianalisa. Lalu hasilnya diberikan padanya.

“Selamat, ya, Bu…. Anda sudah hamil sepuluh minggu…”, kata petugas lab dengan senyum ramah. Sepuluh minggu ? Itu artinya lebih dari dua bulan ?

“Tapi itu tidak mungkin, Mbak…. Saya masih haid bulan ini. Barangkali anda salah…”, sanggahnya, persis seperti ketidak-percayaannya pada dokter yang sudah menduganya kemarin.

“Bisa saja terjadi seperti itu, masing-masing orang ‘kan punya keunikan sendiri bila sedang mengandung. Tapi hasil Ibu positif, Ibu hamil sepuluh minggu…”, kata petugas itu dengan mantap.

Nani lemas, dia terduduk dengan leher ditekuk, terpekur memandangi lantai di bawah kakinya.

“Ibu bisa berkonsultasi dengan dokter kandungan di poliklinik kami, ini daftar jam prakteknya. Ibu bisa memilih dokter mana yang akan ditunjuk, semua bagus-bagus kok, Bu…”, kata petugas itu sembari menyodorkan sebuah katalog berisi jadual praktek ginekolog.

Dengan tangan gemetar Nani mengambilnya dari petugas itu. Hamil…, dirinya betul-betul hamil…. Lalu apa yang akan Vino katakan kalau dia tahu bahwa dirinya sedang hamil sepuluh  minggu ? Mata Nani membasah, kali ini dia merasa berdosa atas semua keputusan yang telah diambilnya. Haruskah dia meneruskan keinginannya untuk bercerai ? Sedangkan bayi yang ada di perutnya ini berhak tahu dan mendapatkan kasih-sayang bapaknya. Bercerai hanya akan membuat anaknya terpaksa jauh dari Vino, dan Nani merasa tak berhak melakukan itu. Jadi, haruskah dia mengalah lagi sekarang ? Bakal senangkah Vino mendengar kabarnya ? Duh, Gusti…. Mengapa baru sekarang Kau berikan karunia ini ? Sedangkan aku sudah tak lagi ingin menoleh ke belakang…, rintih hatinya pilu. Dielusnya perut yang kata petugas itu berisi janin sepuluh minggu itu. Ahh…, anakku…. Anakku yang malang…, aku sudah membawamu pergi sejauh ini dari bapakmu. Apa yang harus aku lakukan ?, tanyanya dalam hati. Nani melangkah gontai meninggalkan laboratorium klinik dengan hati kacau. Dia tak mungkin menceritakan semua ini pada ibunya yang sudah tua, beliau bakal kaget dan bisa-bisa kena serangan jantung. Saat tahu Nani pulang ke Surabaya untuk menetap disana saja, ibunya langsung curiga dan gelisah tak habis-habis. Untung saja Nani mampu meyakinkannya dan hanya mengatakan kalau dirinya pindah kantor di Surabaya, bukan untuk alasan ingin bercerai dari Vino.

Ada sebuah apotik di jalan sebelum Nani sampai di rumah ibunya. Nani penasaran, dia membeli sebuah test-pack untuk men-cek ulang hasil itu. Jangan-jangan tes tadi keliru, pikirnya. Tapi lagi-lagi dia harus menerima kenyataan bahwa test-pack itu memberikan dua tanda strip pada hasilnya, itu artinya Nani memang benar-benar sedang hamil. Diambilnya ponsel dari dalam tas, Nani berniat menelepon Vino dan mengabarkan hal ini. Tapi tak ada yang mengangkat. Sepertinya Vino sudah tidur, atau dia sekarang sedang menonton tv, sibuk dengan remote controlnya, dan melupakan sekelilingnya lagi. Tiba-tiba Nani jadi kesal mengingatnya, dilemparkannya ponsel itu ke atas kasur. Vino pasti belum berubah…, dia menolak berubah…, dia pasti akan mengabaikan aku lagi…, pikirnya kali ini. Kebimbangan lagi-lagi muncul di hatinya yang rapuh. Cintanya pada lelaki itu masih sebesar gunung, tapi Nani juga tak ingin tersakiti lagi. Nani capek. Malam ini Nani tidur dengan susah-payah setelah berjam-jam menangis, dan bangun dengan mata sembab, membuatnya agak kesulitan saat ingin menyembunyikannya dengan make up. Vitamin yang diberikan dokter perusahaan itu diminumnya dengan segelas air. Dan dia sempatkan makan setangkap roti bermentega dengan isian meses sebagai sarapan. Harus makan, ini untuk anak yang ada dalam kandungannya. Dia harus dijaga, dia tak berdosa…, batin Nani sendu. Untuk sementara dia mengurungkan niatnya akan menggugat cerai Vino. Rasa bersalahnya pada janin yang ada dalam perutnya begitu besar kini, dia tak mau gegabah lagi.

Nani bekerja seperti biasa di kantor, mengerjakan semua tugas yang diletakkan di pundaknya dengan teliti dan cekatan. Sore ini dia sudah membuat janji untuk bisa berkonsultasi dengan seorang ginekolog, Nani ingin tahu mengapa dia tetap haid meski sudah mengandung selama delapan minggu lamanya. Nani takut kalau-kalau kandungannya bermasalah, jadi dia ingin cepat-cepat berkonsultasi dengan dokternya. Kabar tentang Vino tak pernah didengarnya, Vino juga tak pernah berusaha menelepon, meski ponsel Nani tak pernah ditutup untuknya. Nani jadi makin apatis dengan sikap Vino yang sepertinya tak peduli dengan keberadaannya selama ini. Vino pasti tahu kalau Nani sekarang ada di Surabaya, dia sudah meninggalkan sms tentang kota tujuannya untuk Vino sesaat sebelum dia naik kereta api kala itu. Sms yang tak berjawab, bahkan hingga saat ini. Nani tak habis pikir mengapa seorang hati lelaki seperti Vino bisa begitu lemah hanya karena kehilangan pekerjaan. Ahh…, itu semua menyakitkan. Vino tak seharusnya bersikap demikian. Nani menggelengkan kepalanya sendiri sembari bergumam, dia tak mau waktunya tersia-siakan. Saat ini pekerjaannyalah yang harus dinomor-satukan, bukan Vino. Maka segera dibuangnya jauh-jauh pemikirannya tentang Vino dan segala kesebalannya pada lelaki itu. Dan tanpa terasa hari berlalu begitu cepat, hingga mentari tak lagi menampakkan batang-hidungnya di langit.

Nani memenuhi janjinya bertemu dengan dokter malam ini. Darinya, Nani mendapat banyak informasi tentang kehamilannya. Semua normal, bagi sebagian perempuan memang terdapat gejala yang mirip seperti itu, tetap haid ketika sedang hamil. Tapi itu hanya masalah gangguan hormon, selebihnya ginekolog itu mengatakan kalau kandungannya baik-baik saja, jadi Nani tak perlu khawatir. Ahh…, andai dokter itu tahu kalau dirinya saat ini sedang bimbang karena Vino. Andai saja saat ini dokter itu tahu kalau Nani sempat berpikir untuk bercerai dari Vino. Hmm…, apa yang bakal dikatakannya ? Tidak…, tidak perlu dia bercerita banyak hal tentang masalahnya pada orang lain, Nani tak mau banyak orang tahu apa yang dia hadapi saat ini. Itu masalahnya sendiri. Tapi dia berjanji akan menjaga anak dalam perutnya ini, walau apapun yang terjadi.

*
Hari Sabtu, Nani libur seperti pegawai lainnya. Dia tak berniat pergi kemanapun kali ini. Rasanya agak malas saja. Sarapan untuk ibunya sudah dimasaknya, sepanci kecil bubur ayam dan semua perlengkapannya yang bisa dinikmati bersama. Ibunya suka sekali makan bubur ayam buatannya, dan Nani juga merasa puas karena bisa memasaknya untuk ibunya yang berumur 76 tahun itu. Keduanya sedang menikamti sarapan bubur ketika kemudian terdngar bunyi bel pintu depan. Baru jam tujuh pagi, siapa yang datang sepagi ini ?, Nani bertanya-tanya. Kakinya membawanya mendekat ke arah pintu, dan Nani ternganga saat melihat siapa yang datang.

“Vino…?”, ucapnya lirih. Dilihatnya lelaki yang kini ada di hadapannya. Tubuhnya tampak kurus dan matanya cekung seperti kurang tidur. Nani tak sempat menghindar ketika dengan cepat Vino menariknya ke dalam pelukan. Dan tiba-tiba lelaki itu mnghujaninya dengan ciuman penuh kerinduan. Nani berusaha meronta, tapi sia-sia…. Dekapan Vino begitu erat sampai dia jadi sedikit sesak nafas.

“Lepaskan, Vin…. Aku tak bisa bernafas…”, katanya parau. Lalu lengan lelaki itu mengendur. Nani langsung menjaga jarak, bahkan tangan Vino yang berusaha meraihnya kembali pun dikibaskannya. Mata Vino nanar memandanginya. Lalu tiba-tiba lelaki itu berlutut, membuat Nani kaget setengah mati.

“Jangan tinggalkan aku, Nan. Aku tak bisa hidup tanpamu…”, kata lelaki itu, serak. Tak pernah Nani mendengarnya mengucapkan kata-kata seputus-asa ini. Dada Nani jadi riuh oleh gelombang keharuan sekaligus kebimbangan. Tapi Nani menggeleng….

“Aku tak bisa kembali, Vin…. Kau menyakitiku…”, kilahnya. Vino menatapnya dengan mata memohon.

“Maafkan aku…. Kau boleh melakukan apapun untuk menghukumku, tapi jangan pernah meninggalkan aku lagi. Aku tak akan sanggup, Nan. Tetaplah jadi istriku…. Kembalilah…” pintanya. Bibirnya tergetar menahan perasaan yang muncul silih-berganti antara dendam rindu dan cinta. Vino bangkit dan mendekat ke arahnya, Nani mundur selangkah. Lalu tiba-tiba ibu Nani muncul dari arah ruang makan, jalan tertatih-tatih dengan tongkat kaki tiganya dengan langkah terseret.

“Apa itu Vino ?”, tanya ibu sepuh itu. Nani menoleh ke belakang dan mengangguk. Vino segera menghampiri ibu mertuanya dan mencium tangannya. Ibu Nani tampak senang.

“Mengapa istrimu tidak kau antar ? Apa kau tidak khawatir dia pergi sendirian ke Surabaya ? Kau sehat, Nak ?”, tanya ibu Nani. Vino mengangguk dengan takzim.

“Iya, Bu…. Saya sehat, alhamdulillah. Ibu baik-baik saja ‘kan ?”, Vino balik bertanya. Ibu mertuanya mengangguk-angguk dan tertawa. Nani lalu disuruhnya mengantar Vino ke kamar, dan Nani terpaksa menuruti ibunya. Dia tak mau ibunya kesal karenanya.

Nani membiarkan lelaki itu tidur di atas ranjangnya, kamar ini memang tersedia khusus untuk mereka bila sedang mudik lebaran. Dan di kamar ini pula dulu mereka berdua menghabiskan malam pertama seusai pernikahan. Kamar yang penuh dengan kenangan yang pernah memberinya bermacam kebahagiaan. Nani baru akan beranjak keluar kamar ketika kemudian didengarnya Vino memanggil namanya.

“Jangan pergi…. Aku ingin bicara denganmu…”, kata lelaki itu. Nani menahan langkahnya, lalu menutup kembali pintu yang sebelumnya sempat terbuka. Dia berbalik dan menatap lelaki itu.

“Apa lagi yang akan kau katakan padaku ?”, ucapnya dingin. Vino menghela nafas panjang.

“Aku tak bisa kembali ke Jakarta…”, katanya. Alis Nani mengernyit heran.

“Kenapa ?”, tanya Nani.

“Aku sudah menjual semuanya…. Rumah kita, mobil kita, barang-barang kita…. Aku hanya membawa surat-surat berharga, perhiasan-perhiasanmu, dan sekoper baju kita. Aku sudah menjual semuanya, Nan…. Kita tak bisa kembali ke rumah itu…”, kata lelaki itu. Nani membeku mendengarnya, mulutnya ternganga, semua ini tak pernah diduganya sama sekali. Menjual semua yang sudah dengan susah-payah mereka kumpulkan bersama selama ini ? Rumah, mobil, dan semua perabotan kesayangan yang telah dengan teliti dipilihnya, semua lenyap begitu saja. Bagaimana mungkin Vino bisa berbuat itu tanpa diskusi dengannya terlebih dahulu ?

“Apa kamu gila ? Untuk apa kamu menjual semuanya ? Sudah susah-payah kita mengumpulkan semuanya selama ini. Dan kau dengan seenaknya menjual semuanya ? Kau tega, Vin…”, kata Nani kesal. Ahh…, lelaki itu lagi-lagi menunjukkan keegoisannya dengan mengambil keputusan sendiri tanpa meminta pertimbangannya. Apakah sekarang dia masih harus mengalah lagi ?, protes Nani dalam hati.

“Kita bisa beli rumah baru disini, kita juga bisa membeli mobil baru untuk keperluanmu disini. Kita akan tinggal di Surabaya mulai saat ini. Tapi jangan sekali-kali kau pernah meninggalkan aku lagi, aku tak sanggup…”, kata Vino dengan mata membasah.

“Tapi kau egois…. Aku tak sanggup lagi menerima keegoisanmu itu. Aku tak mau, Vin…”, tukas Nani, setengah menangis.

“Aku akan berusaha memperbaiki semuanya. Aku memang kekanakan selama ini, tapi aku akan belajar menjadi lebih baik. Aku janji…”, bujuk Vino. Nani tiba-tiba merasa pusing, dia menggeleng dengan penuh keraguan.

“Aku tak tahu…. Aku tak bisa berpikir…. Kau terlalu egois bagiku, Vin. Aku tak ingin kau sakiti lagi. Aku capek…. Aku….aku…aah…”, tiba-tiba tubuh Nani sempoyongan. Kesadarannya tiba-tiba saja hilang. Nani pingsan.

Kejutan yang didengarnya dari mulut Vino membuatnya sedih, dan dia tak sanggup menahannya. Vino kebingungan melihat istrinya jatuh pingsan. Cepat-cepat dibawanya tubuh Nani ke depan rumah dan mencari tumpangan ke rumah sakit. Pada seorang pembantu, Vino berpesan agar hal itu tidak diberitahukan kepada ibu mertuanya. Vino membawa Nani dengan menumpang sebuah becak, dan dokter segera memeriksa kondisi istrinya sesampainya di UGD. Pertolongan pertama segera diberikan untuknya, dokter lalu meminta seorang perawat untuk memasang selang infus ke tangan Nani agar tubuhnya lebih kuat. Dari dokter pula Vino mendengar kalau istrinya sedang hamil, hal yang membuat Vino terkejut bukan main.

Perempuan itu masih tergolek tak sadarkan diri di atas tempat tidur rumah sakit. Botol infus itu baru setengah kosong, ketika Nani tiba-tiba merintih, menandakan kalau dia sudah kembali tersadar. Vino mengusap rambut istrinya dengan lembut, dan ketika perempuan itu benar-benar membuka matanya, Vino menatapnya dengan penuh haru.

“Mengapa kau tak mengatakannya padaku ?”, bisiknya pelan ke dekat telinga Nani. Nani menoleh.

“Apa ?”, tanyanya.

“Mengapa kau tak mengatakan padaku kalau kau sedang hamil ? Kau tega sekali…”, kata lelaki itu nelangsa. Nani menelan ludah mendengarnya. Dibiarkannya tangan lelaki itu mengusap rambutnya berkali-kali. Ahh…, dia sudah tahu sekarang…. Apa yang harus aku perbuat ?, tanya hatinya bimbang.

“Kau membawa anakku dalam perutmu, dan kau masih tak mau memaafkan aku ? Kau tega sekali…”, kata lelaki itu lagi. Sesaat tadi Nani sempat melihat ada sebutir air mata menetes dari ujung mata Vino, Nani mengatupkan pelupuk matanya, tak mau melihat.

“Aku baru akan memberitahumu. Tapi kau keburu datang…”, ujarnya beralasan. Ahh…. Tidak…. Nani sebenarnya merasa sangat bersalah tentang hal ini. Seharusnya dia langsung memberitahu Vino sedari awal dia tahu kalau dirinya hamil. Tapi bukankah dia sudah berusaha melakukannya ? Hanya saja, waktu itu teleponnya tak diangkat. Salahnya adalah…dia tak mengulangi mencoba menelepon Vino lagi.

“Jangan biarkan aku terpisah darinya, aku berhak memberikan kasih-sayangku padanya. Berjanjilah kau tak akan pergi lagi…”, kata lelaki itu lagi. Kali ini suaranya terdengar sangat bersungguh-sungguh. Nani memandangi wajah lelaki itu dengan seksama. Matanya yang cekung dan basah, pipinya yang berubah tirus, dan kerut di dahi yang sebelumnya belum pernah ada. Vino tampak lebih tua. Ya, Tuhan…, sebegitu sedihkah dia setelah kutinggalkan selama hampir dua bulan ini ? Tapi lidah Nani masih terasa kelu, belum bisa berkata apa-apa. Vino balik menatapnya, dan tiba-tiba dia seolah mengerti apa yang dipikirkan Nani.

“Aku janji tak akan kekanakan lagi. Aku sudah mendapatkan pekerjaan disini. Besok Senin aku akan mulai bekerja lagi, jadi kau tak perlu khawatir. Aku minta maaf karena selama ini aku sudah egois, hanya memikirkan keterpurukanku tanpa mengindahkan perasaanmu. Aku tak akan mengabaikanmu lagi. Tapi aku mohon, tetaplah menjadi istriku, Nan.... Jangan tinggalkan aku…”, kata lelaki itu dengan menggenggam erat tangannya.

Nani memejamkan matanya. Tuhan…, bila suamiku sudah mengatakan janjinya seperti ini, patutkah aku tak mempercayainya ? Lihat apa yang sudah kulakukan padanya… Dia kurus karena kehilanganku. Jadi patutkah aku menolak memaafkannya ? Sebutir air mata menetes dari sudut matanya. Bagaimanapun Tuhan sudah memberikan jawaban atas semua kegelisahannya selama ini. Suami yang mau mengerti perasaannya, dan seorang anak yang kini hadir dalam rahimnya. Nani mengangguk.

“Nan…. Katakan sesuatu, Nan…”, kata Vino. Nani membuka matanya dan tersenyum.

“Aku tak pernah pergi kemana-mana. Kau selalu ada dalam hatiku…”, bisiknya mesra. Vino terharu, dipeluknya Nani dengan penuh rasa syukur.

Hujan rintik-rintik tiba-tiba turun di luar sana, membasahi halaman rumah sakit dan menyebarkan aroma. Karunia Tuhan yang tiada terhingga.


Selesai

Bintaro Jaya 3A
15 Mei 2012

0 comments: