BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Selasa, 16 Oktober 2012

REMBULAN DI ATAS SERUNI


Aku duduk di kursi teras ini sendirian.  Bulan yang temaram tampak bersembunyi di balik tebalnya mega yang berarak di langit. Malam yang kelabu, setidaknya itu yang aku rasakan saat ini. Aku yang sudah tak bisa lagi disebut remaja, aku yang sudah mapan dengan pekerjaan dan penghasilan, aku yang kata orang cukup tampan, ahh...itu semua omong kosong. Bagi ibuku aku tetaplah anak bungsunya yang tak boleh menentukan pilihanku sendiri.

"Jadi lelaki itu harus bisa membawa diri..., jangan hanya bisa sembarangan berkata-kata dan bertingkah-laku. Ingat, Candra, kamu itu seorang ningrat. Seorang ningrat tidak patut melakukan sesuatu yang tidak bermartabat. Jaga kehormatan keluargamu, nama besar almarhum eyangmu, nama besar almarhum ayahmu.... Ingat-ingat itu !", kata ibuku setiap kali aku melakukan sesuatu yang tidak berkenan di hatinya.

"Inggih, Ibu.... Saya akan mengingatnya...", jawabku waktu itu. Kata-kata yang sejak aku kecil kupelajari dari keluarga kami dan orang-orang yang melayaniku di rumah besar kami, para abdi dalem yang sejak kecil menemaniku di saat kedua orang tuaku sibuk dengan kegiatan mereka.

Ya, ibuku memang mengatakan yang sebenarnya, aku memang berasal dari keluarga bangsawan Jawa, penuh tatakrama dan aturan. Ibu mendidik semua anak-anaknya untuk mengenal semua tatacara dalam tradisi keluarga besar kami. Menurut silsilah, kami memang masih berkerabat dekat dengan keluarga Keraton Solo. Bahkan almarhum Eyang Kakung kami bergelar Kanjeng Raden Tumenggung. Eyang sendiri adalah seorang pujangga keraton. Jadi itulah yang harus kami jaga, nama besar kebangsawanan kami.

"Seperti tata surya, kita ini ibarat matahari bagi masyarakat yang ada di sekeliling kita. Kita memberi mereka cahaya agar mereka dapat melihat, dan mengganti kegelapan yang menyelimuti hidup mereka dengan penerangan. Kita adalah sumber pengetahuan...", kata ibuku meneruskan. Aku mengangguk saja, tak ada gunanya aku berdebat dengannya. Lagi pula, hal itu ora ilok. Tidak baik bagi seorang anak untuk mendebat ibunya sendiri.

"Segala yang sudah almarhum Bapak pelajari tentang tata cara tradisi keluarga kita itu harus kamu pelajari juga. Pada akhirnya nanti, kamu yang akan memegang kendali Puro Suryaningrat ini. Jangan sampai tradisi itu terhenti sampai disini. Kamu harus bisa menjadi penerus nama baik Bapak, menjadi kepala keluarga Suryaningratan...", kata ibuku dengan pandangan tajam menatapku. Aku hanya mampu menundukkan kepalaku dan mengangguk setuju. Ada banyak buku yang disimpan almarhum Bapak di ruang pustaka Dalem Suryaningratan. Aku sendiri pernah membaca beberapa buku di antaranya. Isi dari buku-buku itu sebenarnya menarik, tapi sebagian dari buku-buku itu ditulis dengan aksara Jawa kuno. Dan meski aku sudah dididik untuk mempelajari buku-buku itu sejak aku masih kanak-kanak, bagiku pribadi buku-buku itu ketinggalan jaman.

Telah berabad rumah kami berdiri. Tanah yang kami miliki memungkinkan keluarga besar kami untuk mempunyai banyak abdi dalem. Masing-masing abdi dalem mempunyai tugas yang berbeda. Maka tak heran bila masing-masing paviliun juga memiliki pengurus yang berbeda pula. Jaman memberikan banyak pengaruh bagi kondisi rumah besar kami. Hadirnya internet dan peralatan moderen membawa masuknya teknologi canggih yang telah mengubah wajah dunia di manapun kita semua berada. Perubahan jaman juga memberikan pengaruh yang nyata pada transportasi yang kami gunakan. Supir-supir yang mengabdi sebagai abdi dalem kami haruslah mereka-mereka yang paham tak hanya mobil-mobil yang manual, tapi juga yang bertransmisi otomatik. Kalau saja Eyang kami masih ada sekarang, barangkali beliau akan terheran-heran melihat betapa berkembangnya kemajuan dunia otomotif jaman sekarang. Apalagi kalau beliau sempat melihat mobil yang digerakkan dengan remote seperti yang sering kita tonton lewat film James Bond 007.

Ya, Eyang kami yang juga seorang Kanjeng Raden Tumenggung itu pasti bakal terkesima melihat itu semua. Tapi seperti apapun, aku tak yakin beliau akan memperlihatkan ekspresi yang nyata saat sedang berada di tengah-tengah orang banyak. Ojo gumunan..., mungkin falsafah itu yang bakal beliau ingat. Maka menunjukkan raut muka yang datar tanpa ekspresi adalah cara paling ningrat yang bisa beliau tunjukkan demi nama besarnya.

Hhh..., agak absurd sebenarnya. Aku pribadi merasa nama besar itu tak lagi berguna, hanya sebuah simbol saja, bahwa kami terlahir dari keluarga yang pada jaman dahulu kala pernah menjadi yang terpandang di kalangan manusia Jawa. Dahulu kala. Bukan kala kini. Aku yang hidup di masa ini tidak lagi bisa mengatakan dengan gagah pada orang-orang yang bertemu denganku di jalan, dan menyombongkan diri sebagai seorang Raden, misalnya. Aku sama nervousnya dengan orang-orang lain yang melamar pekerjaan bersamaku untuk sebuah posisi sebagai staf personalia perusahaan di kantor tempatku bekerja saat ini. Aku juga sama bodohnya dengan orang-orang lain yang tidak lulus seleksi CPNS. Lalu apa arti sebuah gelar bangsawan ? Aku selalu mempertanyakannya. Bagi orang-orang di luar sana, keberadaanku tak beda dengan orang-orang yang terlahir dari kalangan jelata. Sama-sama makan nasi, sama-sama menghirup udara, dan sama-sama butuh kebebasan. Tapi bebaskah aku saat ini ? Entahlah....

"Meski jaman sudah berubah, kamu tidak boleh melupakan jati diri kamu sebagai seorang ningrat yang harus menjadi contoh tauladan bagi masyarakat banyak. Maka kamu harus bisa membawa diri, berhati-hati dalam memilih teman, berhati-hati dalam memilih calon istri. Umurmu 'kan sudah 25 tahun, sebentar lagi pasti kamu akan membawa seorang perempuan ke rumah ibumu ini sebagai menantu. Hanya sekali seumur hidup, Candra.... Maka jangan sampai kamu berbuat keliru...", kata ibuku.

"Inggih, Ibu...", sahutku. Duuh...berat sekali pesan yang aku terima itu. Aku tak cuma harus menjadi patron, tapi juga harus menjadi mercusuar. Sementara aku merasa tak mampu berbuat banyak dengan keterbatasanku.

Tapi pesan hanya bisa aku iyakan. Karena begitulah cara keluarga kami bicara, satu arah. Kata-kata ibuku memang banyak benarnya. Tapi sesungguhnya aku bosan mendengarnya. Aku sudah mendengar nasehat serupa sejak aku kecil, hingga aku remaja, hingga kini aku sudah bekerja pun ibuku masih menasehatiku dengan pesan yang kurang-lebih sama. Betapa bosannya. Barangkali di hati ibuku, aku tak pernah bisa berpikir sendiri, hingga ibu harus sering-sering berpesan hal-hal semacam itu padaku.

Aku lalu teringat pada Wahyuni, teman SMAku yang pernah aku bawa ke rumah waktu itu. Wahyuni gadis yang manis, dia pintar dan sopan. Aku menyukainya. Aku sempat berpacaran selama setahun dengannya sebelum kemudian aku mengajaknya main ke rumah. Saat itu aku yakin ibuku akan senang dengannya. Tapi ternyata aku salah. Ibuku memang menyambutnya dengan senyuman. Tapi di belakang hari, ibuku lalu melarangku membawanya lagi ke rumah kami.

"Wahyuni itu anaknya manis sekali...", puji ibuku kala memulai pembicaraan kami. Aku mengangguk senang.

"Dia yang termanis di kelas, Ibu.... Bagaimana pendapat Ibu tentang Wahyuni ?", aku bertanya, ingin tahu reaksinya. Ibu diam sejenak, lalu menjawab keingin-tahuanku.

"Ibu tahu kamu suka pada Wahyuni. Ibu tahu kamu sudah beranjak remaja. Tapi Wahyuni bukan gadis yang pantas menjadi pacarmu. Dia hanya anak seorang pegawai di toko batik, Candra.... Lain kali jangan ajak lagi gadis itu ke rumah ini. Kamu mengerti 'kan maksud ibumu ?", kata ibu kala itu.

Ucapan yang sejenak membuat jantungku berhenti berdetak. Wahyuni adalah cinta pertamaku, lalu bagaimana aku bisa melupakannya hanya karena dia anak pegawai sebuah toko batik ? Aku pun kembali mengutuki diriku sendiri. Pada akhirnya yang kulakukan pada gadis itu sungguh pengecut. Aku tak tega mengatakan alasan mengapa kami harus berpisah. Aku lalu hanya mampu mengatakan padanya kalau aku tidak lagi bisa menemuinya, karena aku akan sekolah di luar kota. Aku tak mau dia menungguku, maka aku memilih memutuskan hubungan kami. Begitulah yang terjadi, aku sudah berbohong padanya. Pada gadis yang kepadanya cinta pertamaku aku berikan. Aku heran mengapa ibuku masih saja mempertimbangkan latar belakang keluarga Wahyuni. Bukankah dia anak yang baik, pintar, dan wajahnya cantik. Tidakkah itu cukup baginya untuk diterima sebagai pacarku ?

Itu...adalah kekecewaan pertamaku pada aturan ibu, dan pada omong kosong nama besar keluarga ini.

*
Aku masuk ke sebuah universitas terkenal di luar kota, aku masuk Fakultas Hukum, dan disana aku bertemu dengan Nona yang sungguh mati cantiknya luar biasa. Nona adalah orang yang ceria. Dia tidak suka basa-basi, dan dia suka berorganisasi. Aku mengaguminya. Aku memandangnya sebagai seorang perempuan yang berpikiran moderen, maju, banyak wawasan, dan bisa diajak berbagi. Aku bersemangat sekali menjalin hubungan dengannya. Tapi aku tak mau salah langkah kali itu, sebelum aku menyatakan cintaku padanya aku harus mengenalkannya dulu pada ibuku, aku sengaja mengajaknya bersama dengan teman-teman kuliah kami ke rumah ibu. Supaya aku tahu pandangan ibuku padanya.

"Besok akan ada beberapa teman yang datang ke rumah, Ibu. Mohon ijin supaya mereka bisa diterima disini...", pintaku pada Ibu.

"Bawa saja temanmu. Mungkin pustaka yang ditinggalkan Bapak bisa membuat mereka tertarik untuk ikut mempelajari. Buku-buku yang ada di ruang pustaka juga ada yang berisi tentang hukum adat Keraton. Itu pasti cukup menarik...", jawab Ibu saat itu dengan senyum terkembang. Aku senang beliau mengijinkan aku membawa teman-temanku ke rumah. Mungkin karena aku sudah cukup dewasa.

Aku kemudian mengajak Nona dan teman-temanku lainnya. Dan aku kira aku sudah memilih perempuan yang paling hebat. Karena selain cantik dan ramah, Nona adalah seorang perempuan yang supel dan mudah bergaul. Dengan tak meninggalkan adat ketimuran, dia bisa berbincang akrab dengan ibuku, sesuatu yang membuat aku menjadi lega saat melihatnya. Tapi ketika semua usai, tiba-tiba ibuku mendekat dan kembali mengeluarkan nasehat itu.

"Nona itu cantik sekali, ya ?", kata Ibu. Hatiku berdebar-debar. Apa pendapatnya sekarang ?

"Inggih, Ibu. Dia aktif di Senat Mahasiswa Fakultas. Saya mengaguminya...", kataku terus-terang. Aku mau ibuku tahu bagaimana besarnya rasa sukaku pada Nona.

"Ibu tahu kamu suka pada Nona. Ibu juga tahu kalau kamu sudah dewasa. Tapi sebaiknya kamu pikirkan masak-masak pilihanmu, Candra. Nona itu bukan orang Jawa, dia orang Manado, adat-istiadat keluarganya pasti berbeda jauh dengan kita. Kamu tidak mau 'kan keluarga besar almarhum Eyang antipati pada calon istrimu ? Carilah yang seakar dengan budaya kita, orang yang punya pandangan dan adab yang sama dengan keluarga kita. Nona memang cantik, ibu akui itu. Tapi ibu khawatir dia tak bisa menyesuaikan diri dengan tradisi keluarga kita. Jadi kalau kamu ingin menjadikannya calon istrimu, pikirkanlah lagi masak-masak, karena ibumu ini tidak akan mendukungmu...", kata ibuku saat itu.

"Nona itu gadis yang sangat baik, Ibu.... Dia orang yang istimewa...", kataku pelan, aku ingin menyanggahnya dengan penjelasan ini. Tapi sia-sia. Dan aku kecewa.

"Ya, Ibu juga tahu kalau dia anak yang baik. Tapi dia bukan orang yang bisa mendukung tradisi keluarga kita. Ingat, tugasmu adalah meneruskan tanggung-jawab Eyangmu sebagai pengangeng pura Suryaningratan. Jadi urungkan niatmu untuk menjadikan Nona sebagai calon istrimu...", kata Ibu tegas.

Aku tak tahan, sebenarnya.... Aku amat sangat ingin mengatakan keberatanku pada alasan ibu. Aku sudah dewasa. Dan aku pikir aku layak mendapatkan kebebasan memilih siapapun yang bisa jadi pacar atau calon istriku.

"Jangan pernah kamu berpikir ibu tidak sayang padamu.... Ibu hanya ingin kamu selamat dunia-akhirat.... Jangan hanya mempertimbangkan hawa nafsu. Ikuti saja apa yang ibumu ini nasehatkan, Candra. Semua untuk kebaikanmu sendiri.... Ingat..., kamu adalah satu-satunya anak laki-laki almarhum bapakmu. kamulah tumpuan harapan seluruh keluarga bapakmu ini. Kakak-kakak perempuanmu tidak bisa meneruskan tradisi menjaga harta pusaka almarhum Eyang. Hanya kamu yang kelak bisa menjaganya, karena kamu adalah anak laki-laki bapakmu satu-satunya...", kata ibuku lagi.

Aku menghela nafas, urung mengungkapkan rasa gusarku saat itu. Tapi bagaimanapun aku sudah merasa kecewa. Kekecewaan keduaku pada ibuku yang lagi-lagi membuatku tak berdaya. Harta pusaka..., betapa berat beban yang harus aku sandang selama hidupku. Aku menoleh ke arah lemari jati kuno yang terletak di dalam kamar tidur ibuku. Pusaka-pusaka peninggalan Bapak memang masih tersimpan disana. Tak ada seorang pun adik Bapak yang mau mengurusnya, karena pusaka-pusaka itu secara tradisi hanya boleh disimpan oleh anak laki-laki pertama dari keturunan sebelumnya. Jadi akulah yang dimaksud ibuku itu, akulah yang bakal diminta untuk menerima dan menjaga pusaka peninggalan leluhur kami. Aku.... Mengapa harus aku ? Bukan yang lain.

Dan aku pun melalui hari-hariku di kampus dengan tidak memacari siapa-siapa. Aku sedikit banyak takut kalau-kalau ibuku bakal menolak lagi calon pacarku. Aku lalu hanya berkonsentrasi pada kuliahku, agar aku cepat-cepat bisa menyelesaikan studiku, lalu cepat-cepat bekerja. Ya..., bekerja agar aku bisa secepatnya mandiri seperti saat ini. Bisa menghidupi diri-sendiri, membeli kebutuhanku sendiri, menabung untuk keperluanku sendiri. Bukankah itu tujuan setiap orang bekerja ? Alangkah gagahnya orang yang mandiri. Aku tidak begitu bangga dengan harta melimpah warisan Eyang dan Bapak. Aku ingin bisa dipandang sebagai diriku sendiri. Bukan sebagai cucu Eyang ataupun anak Bapak.

*
Aku sudak selesai kuliah, dan sudah pula bekerja. Bukan langkah yang mudah ketika memulai semuanya. Aku harus membiasakan diriku untuk hidup sendiri dulu, sebelum akhirnya nanti aku punya pendamping hidup. Dan kupikir sudah cukup sekarang aku menunggu waktu bagi diriku sendiri. Kurasa aku sudah sangat matang untuk mempertimbangkan perempuan seperti apa yang bisa menjadi pendampingku. Rumahku yang terpisah jauh dari kediaman ibuku memudahkan aku untuk pacaran lagi. Kali ini dengan Seruni, gadis Melayu yang bekerja di seberang kantorku. Gadis yang bertubuh tinggi dan langsing, nyaris seperti peragawati. Aku mengenalnya karena kami sering bertemu di kantin yang sama. Dia adalah anak seorang perwira tinggi AD, seorang brigjen yang sering kali terlihat di layar televisi.

Seruni adalah perempuan yang lembut tapi tegas, aku menyukai keterbukaannya dan sekaligus menghormati sikap femininnya. Dia bekerja sebagai seorang tenaga medis. Ya, Seruni adalah dokter muda yang bekerja di kantor itu, tugasnya adalah memberikan perawatan dan pengobatan pertama untuk setiap pegawai yang datang ke kliniknya. Bila sakit si pegawai termasuk gawat, dia bakal memberikan rekomendasi bagi si pegawai untuk merujuk ke rumah sakit. Aku merasa sangat beruntung bertemu dengannya, karena dia begitu memahamiku. Diam-diam aku berpacaran dengannya selama 3 tahun. Aku belum berani mengenalkannya pada ibuku, karena aku takut ibuku tak bisa menerimanya. Sampai akhirnya Seruni memintaku untuk mengenalkan dirinya pada ibuku. Aku tak bisa lagi menyembunyikannya dari ibuku. Maka tak ada pilihan lain bagiku kecuali membawanya pulang ke rumah ibu.

Dan ibuku menerimanya dengan keramahan dan senyuman, seperti ketika dulu aku mengajak Nona ke rumah ini. Aku berdoa semoga kali ini ibuku tak akan keberatan dengan pilihanku. Bukankah Seruni berasal dari keluarga yang terpandang ? Dia seorang dokter, dan dia juga sudah mengenalku selama 3 tahun belakangan. Jadi aku yakin ibuku bakal menerimanya. Tak mungkin aku salah kali ini.

Tapi lagi-lagi aku harus patah hati. Aku harus merelakan Seruni pergi dari sisiku. Meski dia berasal dari keluarga terpandang, tapi keluarga besarku menolaknya. Alasannya adalah karena ibuku sudah menjodohkan aku dengan seorang gadis anak seorang kerabat jauh almarhum Bapak. Seorang anak bangsawan lainnya.

"Alasan mengapa Ibu selalu menolak gadis-gadis yang dulu pernah kamu kenalkan pada Ibu adalah karena adanya perjodohan ini, Candra. Bapak sudah wanti-wanti pada Ibu agar wasiat ini jangan sampai tak terwujud. Dan Ibu sudah berjanji padanya untuk hal itu. Bukan karena gadis-gadis temanmu itu tidak baik untukmu, tapi karena Ibu sudah berjanji akan menjalankan ikrar Bapak untuk mengawinkanmu dengan anak Oom Wijanarko. Perjodohanmu sudah ditentukan sejak kalian masih kecil. Kamu dan Anggun sudah dijodohkan oleh almarhum Bapak dan Oom Wijanarko sejak kalian masih sama-sama balita. Maaf kalau ibu baru memberitahukan ini sekarang. Tapi sepertinya kini sudah saatnya kamu bertemu dengan jodohmu. Ini adalah janji yang telah diikrarkan Bapak, Candra. Kamu harus berbesar hati menerimanya...", kata ibuku. Aku sampai termangu mendengarnya. Perjodohan ? Sejak aku masih balita ? Bagaimana mungkin di jaman sudah semaju ini, Ibu masih saja menggunakan cara itu untuk mencarikan istri buatku ? Lagi pula si Anggun itu..., aku sama sekali tak mengenalnya.

"Saya tidak mengenalnya, Ibu...", kataku, berusaha menyanggah keinginannya.

"Kamu akan segera mengenalnya. Sebentar lagi kamu pasti bisa bertemu dengannya. Kamu bisa melihat fotonya sekarang, Ibu menyimpannya untukmu. Oom Wijanarko yang sudah mengirimkan foto-foto gadis itu kemarin lusa lewat pos. Anaknya cantik dan berpendidikan. Dia baru saja lulus Master dari Australia...", kata ibuku. Beliau lalu mengambil sebuah bungkusan amplop besar yang berisi beberapa foto diri seorang gadis yang belum pernah kukenal.

Foto-foto Anggun aku lihat dengan rasa enggan. Gadis dalam foto itu memang terlihat cantik, bulu matanya lentik dan hidungnya bangir. Tapi lebih dari semua itu, aku belum mengenalnya. Jadi bagaimana bisa aku kawin dengannya ? Aku 'kan bukan seekor kuda....

Tapi aku benar-benar tak berdaya. Aku tak mungkin melawan janji orang yang sudah mati, terlebih itu janji bapakku sendiri. Ini sebuah wasiat yang belum pernah dicabutnya, janji perjodohan itu masih berlaku bahkan sampai Bapak sudah meninggal. Kali ini, bahkan aku tak hanya kecewa pada ibuku, tapi juga kecewa pada janji bapakku. Seruni menangis saat aku mengatakan semua itu padanya. Dia merasa aku telah berbuat tak adil. Aku sudah bersumpah kalau selama ini aku tak tahu apa-apa, tapi gadis itu terlanjur kecewa. Aku sudah menghancurkan hatinya.

Dan kini muncullah gadis itu, orang yang selama ini telah dijodohkan denganku. Sesuai dengan namanya, Anggun adalah seorang perempuan yang cantik dan elegan. Kecantikannya Jawa sekali, dengan wajah bulat telur dan bentuk tubuh yang singset. Aku yakin dia dibesarkan dengan cara-cara perawatan tradisional sebagaimana putri-putri keraton jaman dulu. Tapi entah mengapa aku tak berselera. Di balik keanggunannya, dia adalah seorang perempuan yang membosankan, terlalu serius dan agak kaku, kurasa.

"Ajak Anggun jalan-jalan, Nak Candra.... Dia ini agak kuper...", kata Oom Wijanarko saat aku dan keluarga besar kami berkunjung ke rumahnya. Rumah Oom Wijanarko satu kota dengan rumah pribadiku, kira-kira hanya berjarak 6 km. Anggun tampak tersipu-sipu malu mendengar ucapan papinya. Ini adalah langkah perkenalan sebelum lamaran kami dilaksanakan.

Dan gadis itu ternyata pemalu sekali. Aku tak menyangka gadis yang sudah berhasil menyelesaikan kuliah di luar negeri seperti dia bisa tampil sepemalu itu. Gadis itu bahkan selalu tampak kaku bila sedang bicara denganku.

"Mau makan malam dimana ?", tanyaku basa-basi. Anggun terlihat kikuk untuk menjawab.

"Dimana saja boleh.... Saya belum tahu restoran mana yang biasa Mas Candra kunjungi. Saya juga belum tahu makanan kesukaan Mas Candra...", jawabnya dengan senyum canggung saat aku mengajaknya keluar makan malam bersamaku.

Ugh..., membosankan sekali berjalan dengannya. Sikapnya yang selalu kaku itu makin membuat aku muak. Aku tahu gadis itu pura-pura ramah denganku. Mungkin saja dia juga merasa asing.

"Baru kali ini berjalan dengan pria sepertiku ?", tanyaku dengan tampang cuek. Anggun tersenyum saja.

"Aku biasa berjalan dengan teman-teman wanitaku. Dengan teman-teman pria juga pernah, tapi tidak sering...", katanya malu-malu. Pipinya agar memerah ketika aku memandangi wajahnya. Kelihatannya dia agak jengah.

"Kamu belum pernah pacaran ?", tanyaku tiba-tiba, dan membuat pipinya makin merah saja.

"Belum...", jawabnya dengan wajah tertunduk.

"Kenapa ?", aku penasaran sekarang.

"Sejak SMP, Papi sudah mengatakan pada saya kalau saya sudah dijodohkan dengan Mas Candra...", jawabnya tersipu-sipu. Mukanya makin dalam tertekuk ke arah leher.

Aku tersenyum geli melihatnya. Gadis bodoh itu rupanya benar-benar sudah melupakan masa mudanya hanya karena mengetahui telah dijodohkan denganku. Bodoh sekali.

"Kamu bisa saja berpacaran dengan yang lain sebelum menjadi istriku...", kataku padanya. Gadis itu tak menjawab, sepertinya dia enggan berkata-kata.

Kami habiskan malam itu dengan makan malam di sebuah restoran steak langgananku. Heran, untuk seorang gadis yang telah biasa hidup di Australia, selera makan Anggun sangat Indonesia. Alih-alih memilih beef steak yang jadi menu andalan resto ini, Anggun malah meminta seporsi nasi plus sambal dan ayam bakar dengan bumbu kecap saja untuk makan malamnya. Dia bahkan makan dengan tangannya, tidak memakai sendok dan garpu. Aku memandangi cara gadis itu makan di piringnya, dan aku tiba-tiba menyadari bila ternyata di samping pemalu, Anggun adalah seorang gadis yang sederhana.

Ibu senang sekali mendengar kabar kami sudah sering pergi bersama. Ibu lalu mulai mencari-cari tanggal yang baik untuk melamar Anggun. Ibu berdiskusi dengan para kerabat kami, dan akhirnya menentukan hari lamaran yang bakal jatuh dua bulan dari hari pertemuan pertama kami. Aku sudah tak mau lagi memikirkan apakah aku keberatan dengan keputusan itu. Bukankah aku tak pernah punya pilihan selama ini ? Lalu untuk apa aku pusing karenanya ?

Lalu terjadilah peristiwa lamaran itu. Beberapa wakil keluarga besar kami melamar Anggun agar mau aku pinang sebagai istri. Acara lamaran ini tak jauh jarak waktunya dengan acara pertunangan yang terselenggara hanya seminggu sesudahnya. Semua prosesnya sangat cepat, bahkan aku sendiri sempat terheran-heran.

Keluarga besar kami pun kembali mengunjungi keluarga besar Oom Wijanarko seminggu kemudian untuk mengikrarkan pertunanganku dengan Anggun. Iringan hantaran mengular sampai ke jalan raya, semua dipersiapkan ibuku dengan matang. Serangkaian acara berlangsung silih-berganti, dan aku mengikutinya dengan perasaan datar, tidak bersedih, tapi juga tidak gembira. Biasa saja. Ini kewajibanku, untuk menunaikan janji Bapak. Itu saja.

Tapi seperti apapun aku mencoba menyukainya, aku tetap belum bisa jatuh cinta padanya. Anggun bukan perempuan yang asyik diajak berdiskusi. Dia jenis perempuan yang patuh dan tak banyak mengeluh. Kurang menantang bagiku.

"Anggun itu sudah dipersiapkan untuk menjadi istri yang taat pada suami. Kamu beruntung mendapatkan calon istri seperti dia. Dia itu bidadari, Candra.... Mungkin kamu tidak percaya ucapan Ibu saat ini, tapi suatu saat nanti kamu pasti akan menyadarinya...", kata Ibu ketika aku mencoba mengutarakan keherananku pada kepatuhan Anggun.

Aku lalu teringat pada Nona yang enerjik dan penuh inisiatif, aku juga teringat dengan Seruni yang selalu bisa dijadikan teman diskusi yang asyik. Istri yang taat, apa menariknya perempuan seperti itu ? Aku perlu perempuan yang bisa membuat aku bersemangat menghadapi hidup, bukan seorang perempuan yang hanya bisa pasrah. Semakin aku memikirkannya, semakin aku merasa apatis. Aku bisa bayangkan hidup seperti apa yang bakal aku jalani dengan perempuan itu. Kehidupan yang datar, tanpa gejolak dan tanpa warna-warni. Aku melihat hidup yang abu-abu di depanku. Betapa bosannya.

"Kau hanya menelponku untuk mengatakan ini ?", kata-kata Seruni terdengar sinis di telpon. Dia sepertinya sangat gusar dengan kabar tentang rencana perjodohanku yang sudah ditetapkan ibuku. Ahh..., aku maklumi kemarahannya, aku pun merasakan kemarahan yang sama.

"Maafkan aku, Runi. Tapi aku tak berdaya...", sahutku lemah.

"Aaaahh.....!", terdengar kekesalan Seruni dari seberang telepon. Seruni marah sekali. Aku terdiam.

"Kau ! Kau selalu mengatakan hal yang sama. Tak berdaya..., bukan maumu..., sudah dijodohkan orang tua..., apa lagi yang akan kamu katakan nanti ? Aku betul-betul muak padamu, Candra. Aku sekarang betul-betul muak dengan pendirianmu yang lemah itu. Apa kamu laki-laki tulen ? Tingkahmu seperti banci !", ketus Runi membalas keluhanku.

Tak pernah dia memaki sekeras itu padaku sebelumnya. Apa yang dia ucapkan menyakiti hatiku, dia sudah mengusik harga diriku sebagai lelaki. Aku dibilang banci ? Kurang ajar sekali.

Tapi aku juga menyadari bila apa yang dikatakannya itu masuk akal. Ketakberdayaanku memang mirip kelakuan banci. Aku banci kaleng ! Tak mampu menentukan pilihanku sendiri. Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, aku bahkan tak berani memberontak pada ibuku. Hhh..., aku tekan rasa sakit di dada karena ucapan Runi itu.

"Runi..., dengarkan aku...", kataku, mencoba untuk bersabar.

"Tidak ! Aku tidak mau dengar apa-apa. Jangan lagi kamu menelponku. Kita sudah tamat !", kata Runi ketus, lalu menutup telponnya.

Aku termangu di meja kerjaku. Pak Andre yang duduk di seberang meja kerjaku rupanya sempat mengamatiku.

"Benar-benar putus ?", tanyanya. Dia tahu aku sudah putus dari Seruni. Aku hanya mengangguk lemas.

"Harimu masih panjang, boi.... Jangan patah semangat. Masih ada banyak perempuan di luar sana. Pilih satu dan jadikan dia istrimu...", kata Pak Andre.

Aku hanya tersenyum kecut mendengarnya mengatakan itu. Hhh..., kalau saja dia tahu....

*
Hari pernikahanku dengan Anggun pun ditetapkan sudah. Anggun juga sudah mendapat pekerjaan sebagai seorang tenaga akunting di sebuah bank ternama. Tapi lebih dari segalanya, dia tetap seorang perempuan yang sederhana. Aku menikahinya di rumah keluarganya yang berhalaman luas dan berbangunan asri. Pernikahan itu sendiri disaksikan oleh banyak kalangan. Bahkan beberapa teman masa kecilku pun ikut serta berdatangan. Anggun didandani dengan sangat cantik. Kecantikannya memancar membuat semua tetamu yang datang terkesima memandangnya. Aku sendiri tak heran dia bakal tampil secantik itu. Orang yang tidak terbiasa berdandan, pasti akan tampil sangat menarik saat sudah didandani seperti itu. Bagaimana tidak ?, Anggun memang tak suka bermake-up lengkap seperti perempuan lainnya. Baginya kesederhanaan adalah penampilan yang sempurna.

Prosesi pernikahan kami sungguh melelahkan. Setelah pernikahan itu, kami harus juga melewati prosesi ngundhuh mantu, sebuah prosesi yang menggambarkan telah diboyongnya sang mempelai wanita ke dalam keluarga mempelai laki-laki. Prosesi ini diadakan di Dalem Pura Suryaningratan, rumah keluarga besar kami. Selepas prosesi ini, aku akan dianugerahi gelar baru, sebagai penerus almarhum Bapak. Dan aku juga yang bakal didapuk menjadi pemimpin pura keluarga besar kami. Bukan hal yang luar biasa untukku, bukankah sejak dulu aku sudah tahu bakal mendapatkan anugerah ini ? Anugerah..., mengapa kata itu terdengar seperti ironi ? Aku tak merasa teranugerahi. Yang bakal kuterima ini hanyalah beban yang mengikat kakiku.

Menikahi wanita yang tak kucintai, mengerjakan tugas yang tak kusenangi, mengiyakan permintaan yang tak kuingini.... Aku benar-benar sudah jadi orang paling munafik di dunia. Aku seharusnya terlaknat karena semua sakit hati yang sudah aku torehkan di hati gadis-gadis yang dulu pernah aku cintai. Ketika semua orang bisa dengan nikmat melalui hari-hari mereka bersama dengan istri yang mereka pilih sendiri, aku harus menjalani hari-hariku yang membosankan bersama Anggun, istri pilihan ibuku itu.

Aku dan Anggun lalu pindah ke rumah besar kami di Pura Suryaningratan. Aku terpaksa meninggalkan pekerjaanku di kantor, dan hanya berkonsentrasi mengurus Dalem Pura serta mengelola semua aset usaha keluarga yang ditinggalkan Bapak untukku. Ada tiga usaha keluarga yang bergerak di bidang perhotelan, travel agency, dan pembuatan batik. Semuanya adalah bidang-bidang yang kami kuasai selama ini. Keluarga kami memang memiliki banyak ketertarikan pada bidang pariwisata dan busana. Anggun membantuku dengan juga ikut mengelola bagian finance. Itu keahliannya. Aku memercayakan jabatan sebagai Direktur Finace kepadanya. Sedangkan aku sendiri menjadi Direktur Utama.

Aku tak mau selamanya tenggelam dalam kesedihanku karena berpisah dari Seruni. Aku sengaja membuat diriku sendiri sibuk dengan jadual dan pekerjaanku. Aku dan Anggun sama-sama terlarut dengan kegiatan kami masing-masing. Dengan bekerja, aku benar-benar bisa melupakan Seruni. Tapi meskipun sudah menikah, aku tidur terpisah dari Anggun. Dan sejujurnya, aku belum pernah menyentuhnya sejak kami resmi menjadi suami-istri.

Sebenarnya aku kasihan pada Anggun, tapi perempuan itu tak pernah menunjukkan rasa keberatannya padaku. Dia begitu sabar menanti hatiku terbuka untuknya. Frekuensi perjumpaan kami memang akhirnya mencairkan rasa keterasingan kami satu sama lain, aku sekarang bisa bicara dengan enak dengannya. Meski pembicaraan kami jauh dari kata asyik dan hangat seperti ketika dulu aku berbicara dengan Seruni. Duuh...Seruni.... Nama itu terlintas lagi di benakku. Apa kabarnya kini ? Aku sengaja mencari kabar tentangnya di kantor Seruni. Tapi karyawan disana bilang, Seruni sudah pindah ke luar kota. Dimana dia ? Aku merinduinya.

Anggun mengajakku makan malam di luar kali ini. Dia mengajakku mampir ke sebuah restoran Jepang yang terletak di sudut jalan. Restoran itu ditata dengan apik, ada beberapa ruangan yang disekat-sekat dengan dinding kayu yang mengharuskan pengunjungnya melepas sepatu, karena harus duduk bersila di dalamnya. Dan ada juga meja-meja moderen yang disusun layaknya restoran lain dengan sebuah kompor di tengah-tengah masing-masing mejanya. Itu untuk memasak makanan seperti Shabu-shabu dan berbagai jenis hotpot lainnya.

Aku sudah duduk di meja yang Anggun pesan. Anggun lalu berpamitan ke toilet, itu kebiasaannya sebelum memesan makanan. Tiba-tiba mataku menangkap sesosok perempuan berparas cantik. Perempuan itu tersenyum manis dari mejanya yang terletak di sudut restoran. Giginya rapi dan bibirnya merah menggoda. Sejenak disibaknya rambut yang tergerai menutupi telinga. Aku tahu dia masih single, tak ada cincin kawin menghiasi jemarinya. Aku masih terpesona ketika Anggun tiba-tiba datang kembali ke meja kami dari toilet.

"Mau makan apa, Mas ?", dia bertanya, membuat aku tersadar dari keterpesonaanku.

"Apa saja.... Kau saja yang pilih...", jawabku sekenanya. Anggun mengangguk, lalu mulai membuka-buka buku menu yang disediakan pelayan restoran, sementara aku mulai mencari-cari lagi keberadaan perempuan itu. Tapi makhluk cantik itu sudah tak ada, meja di sudut itu sudah kosong....

"Ada apa, Mas ?", tanya Anggun tiba-tiba. Dia ikut melihat-lihat sekeliling, sementara aku jadi tersadar dengan ulahku yang sudah jelalatan mencari-cari bayangan perempuan itu. Aku lalu menggeleng.

"Tidak ada apa-apa. Aku cuma mau ke toilet. Ke arah mana tadi ?", tanyaku, mengalihkan pembicaraan.

"Disana, Mas. Masuk dari samping dapur itu lalu belok ke kiri...", kata Anggun menunjukkan arah. Aku segera bangkit dan menuju ke toilet. Berharap aku akan bertemu makhluk cantik itu disana.

Tapi aku tak menemukannya. Makhluk cantik itu seperti lenyap bersama angin. Entah mengapa aku terpikat padanya. Mungkinkah karena senyumnya ? Kubasahi wajahku dengan air dari keran di wastafel. Aku segera menyobek beberapa lembar tissue dari samping wastafel, lalu menyeka wajahku dengannya. Seorang anak lelaki kecil mendongak memandangiku, lalu tiba-tiba seorang lelaki menarik tangannya menuju ke toilet.

"Orang itu pakai tissue toilet buat mukanya, Pah...", kata si anak kecil. Aku tertegun mendengarnya.

"Sstt...!", desis si ayah sambil menempelkan telunjuknya ke mulut, meminta si anak untuk diam. Keduanya lalu masuk ke sebuah toilet yang kosong.

Aku pandangi wajahku di kaca. Ada serpihan tissue berwarna putih yang menempel di dahi dan juga pelipisku. Aku ambil serpihan itu dan membuangnya. Aku enggan untuk cepat-cepat keluar sana. Kalau boleh, aku mau secepatnya pulang. Sepertinya aku sedang tidak enak badan. Semua sendiku pegal sekali.

Tiba-tiba handphoneku berbunyi, itu nomor handphone Seruni !

"Halo ?!", sapaku. Suara perempuan yang kurindui itu terdengar dari seberang sana.

"Candra !, cepat kemari ! Aku takut !", kata Runi, nafasnya agak tersengal. Sepertinya dia baru saja berlari.

"Runi ?! Ada apa ?", tanyaku cemas. Tak biasanya Runi menelpon dengan berita seperti ini. Apa yang terjadi dengannya ?

"Cepat kemari, Candra ! Ada orang yang mau masuk ke dalam rumakku lewat pintu belakang.... Aku harus bagaimana ?", katanya bingung.

"Kamu dimana ? Bukankah kamu sudah pindah ke kota lain ?", tanyaku bingung.

"Iya, Candra.... Aku ada disini, di Solo.... Aku tinggal di Cluster Solo Permai sekarang.... Sudahlah..., aku sedang ketakutan. Cepatlah kemari.... Aku takut...", jelasnya dengan suara berbisik.

Cluster Solo Permai, itu kira-kira hanya 2 km dari tempatku berada saat ini. Jadi dia tinggal disana selama ini. Ahh...rinduku..., aku sekarang tahu mengapa aku begitu ingin bertemu dengannya. Ternyata dia ada di dekatku....

"Hubungi satpam, Runi.... Aku akan segera kesana...", kataku cepat, segera setelah dia beri alamat rumahnya.

"Ya.... Ya.... Aku akan panggil satpam...", kata Runi sambil menutup telponnya. Aku bergegas keluar toilet dan berlari keluar restoran. Begitu cepatnya aku berlari hingga aku terlupa akan keberadaan Anggun disana. Aku segera menuju ke tempat parkir, dan segera menghidupkan mesin mobilku. Anggun tampak berlari-lari menuju ke arahku, dia terlihat bingung. Tapi aku tak menggubrisnya, aku terus saja melaju menuju rumah Seruni.

Setiba di gerbang cluster, aku segera menghubungi markas satpam. Seorang satpam kompleks lalu melaporkan kalau empat orang temannya sudah menuju rumah Seruni berdasarkan laporan Seruni sebelumnya. Aku lalu lekas-lekas menuju kesana, dan tiba di saat sudah banyak orang berkumpul di depan rumah Seruni. Aku memarkir mobilku sekenanya. Lalu cepat-cepat keluar.

Begitu pintu mobil kubuka, seorang perempuan segera menghambur ke arahku. Ahh...Seruni.... Perempuan itu memelukku erat dan menempelkan kepalanya ke dadaku, dan dia mulai menangis.

"Sshh...jangan menangis, sayang.... Apa yang terjadi ?", tanyaku berusaha menentramkannya. Gadis itu masih sesenggukan ketika aku mulai mengendurkan pelukannya.

"Dua orang.... Mereka mau mencuri dan mencongkel pintu rumahku.... Satu di antara keduanya membawa belati dan tadi akan menyerangku.... Kalau saja satpam tidak datang, barangkali mereka sudah menusukku sekarang. Aku takut, Candra...", katanya kemudian di sela-sela tangis.

Aku membiarkannya menuntaskan rasa gundahnya. Hidup sendirian di rumah cluster seperti ini memang penuh resiko. Tapi bukan Seruni bila tidak suka hidup mandiri. Dia memang lebih memilih punya rumah sendiri dibandingkan hidup bersama kedua orangtuanya yang sangat berkecukupan. Hal yang juga membuatku kagum padanya.
Seruni sudah tenang kini, sebuah mobil polisi datang ke tempat perkara, dua pencuri yang tertangkap satuan satpam pun digelandang ke kantor polisi terdekat. Seruni diminta untuk memberikan keterangan kepada polisi di kantor mereka, dan aku menemani Seruni sampai semua urusannya selesai disana.

Di kantor polisi, aku sempat mengamati Seruni. Aku ingin dia baik-baik saja setelah berpisah denganku. Jadi, baik-baik sajakah dia ? Seruni tidak tampak lebih kurus, dan penampilannya tetap terawat. Tapi hati orang siapa yang tahu ? Perempuan cantik itu begitu cerdas hingga semua yang dilakukannya selalu dengan logika. Kalau saja tadi dia tidak panik karena takut, barangkali dia tak akan menelponku. Atau jangan-jangan...dia hanya terpikir untuk menelponku karena dia selama ini memang rindu padaku ? Duuh..., perempuanku.... Aku juga rindu padamu....

"Candra...", perempuan itu memanggilku. Aku tersadar dari lamunan.

"Terima kasih sudah mengantarku sampai kesini. Aku sudah merepotkanmu. Maaf, ya...", katanya bersungguh-sungguh. Aku tersenyum. Perempuan itu lalu mengambil tas tangan yang diletakkannya di atas kursi, lalu mengajakku keluar kantor polisi.

"Kau tak perlu mengantarku pulang, aku bisa naik taxi...", cegahnya ketika aku menggandengnya mendekati mobilku.

"Tidak.... Aku akan mengantarmu pulang. Masuklah...", paksaku. Seruni menurut, malam memang sudah sangat larut, jadi dia tak mau bertele-tele.

"Kenapa tidak memberitahuku kalau kau pindah kesini ?", tanyaku, agak kesal sebenarnya.

"Untuk apa ? Aku pindah kesini karena tugas. Itu saja...", jawab Seruni. Aku merasakan kebekuan dalam pembicaraan kami. Aku terdiam sesaat.

"Aku rindu padamu, Seruni...", kataku mengejutkannya. Dia memandangku sesaat.

"Kau sudah beristri. Kau tak pantas berkata seperti itu...", katanya.

"Tapi aku tak mencintainya. Aku mencintaimu...", kataku tanpa menoleh.

"Kau munafik...", ujarnya ketus. Aku menghela nafas.

"Kau memerlukanku seperti aku memerlukanmu. Jangan ingkari itu...", kataku. Seruni menoleh dengan marah.

"Turunkan aku disini !", kata Seruni tiba-tiba. Perempuan itu lalu membuka pintu. Aku terkejut bukan main.

"Runi...", aku mengerem mobil. Lalu meraih tangannya agar dia tak meloncat turun dari mobilku.

"Biarkan aku pulang sendiri.... Aku sudah salah menelponmu tadi. Aku hanya panik. Kebetulan nomormu yang kupencet. Itu bukan sengaja...", katanya dengan menahan tangis. Lihatlah dia..., perempuan itu lagi-lagi menyangkal kerinduannya padaku. Aku masih tak mau melepaskan tangannya, sementara dia terus meronta agar aku membiarkannya turun dari mobil.

"Jangan turun disini.... Aku akan mengantarmu.... Baiklah, aku tak akan bicara apa-apa lagi denganmu. Ayolah..., jangan turun disini. Biarkan aku mengantarmu sampai di rumah. Ok ?", bujukku. Seruni memandangku dengan tatapan tak berdaya. Ditutupnya lagi pintu mobil yang tadi sempat terbuka. Aku lega luar-biasa. mobil segera kupacu sampai ke rumahnya.

Aku turunkan perempuan itu tepat di depan rumahnya yang asri. Seruni segera meloncat turun dan mengucapkan terima-kasih. Aku turun dari mobil dan bergegas belari mengejarnya, meraih tangannya, dan menariknya ke arahku. Aku peluk dia, aku ciumi rambutnya. Seruni meronta, tapi dekapanku tak bisa dilepaskannya. Sampai akhirnya dia menyerah, membiarkanku mendekapnya di dadaku. Aku mendekapnya hingga rinduku tak lagi membara. Dan melepasnya pelan-pelan setelah semua rindu ini reda.

PLAKK !

Seruni menamparku. Pipi kiriku sampai kebas rasanya. Aku yakin ada tanda merah disana.

"Runi...", bibirku lirih memanggilnya. Perempuan itu lalu berbalik menuju rumahnya, meninggalkanku berdiri sendirian di dekat mobilku.

Tak ada yang bisa kulakukan kecuali masuk ke dalam mobil dan menghidupkan mesinnya. Sudahlah..., bisa bertemu Seruni malam ini saja sudah lumayan mengobati kerinduanku padanya. Salahkah yang aku lakukan ini ? Tak bolehkah aku bertemu dengan perempuan yang kucintai ? Mobil sudah kupacu sampai di jalan raya ketika aku tersadar kalau aku sudah meninggalkan Anggun sendirian di restoran tadi. Ahh..., bodohnya.... Begitu paniknya aku mendapat telpon dari Seruni sampai-sampai Anggun aku lupakan begitu saja. Sudah pulangkah dia ? Ahh..., tentu saja dia sudah pulang sekarang. Ini sudah pukul 01.15 dini hari. Restoran itu pasti sudah tutup sejak jam 10.00 malam tadi.
Sampai di rumah, Anggun sudah tidur di kamarnya sendiri. Aku harap dia tidak marah kali ini. Aku benar-benar lupa kalau tadi aku pergi bersamanya. Tapi badanku sudah sangat penat, aku segera tertidur setelah tubuhku menyentuh pembaringan.

*
Aku bangun kesiangan. Anggun sudah mendahuluiku ke kantor dengan diantar sopir. Tumben. Biasanya dia menyetir sendiri ke kantor. Aku sarapan sendirian di ruang makan yang besar dan luas ini, di meja marmer oval yang bertemankan duabelas kursi. Biasanya Anggun duduk di seberang meja, nun di ujung sana. Dan aku duduk disini, di ujung lainnya. Inilah tradisi, meja ini memang dipersiapkan untuk acara makan bersama banyak orang. Rasa dingin selalu menyelimuti kebersamaan kami di meja ini. Aku dan Anggun, kami terpisah sedemikian rupa oleh keangkuhan meja marmer peninggalan keluarga.

Aku menatap handphone di tanganku, aku jadi teringat sesuatu. Seruni ?, apa yang akan dilakukannya hari ini ? Aku pencet nomor telepon perempuan itu, berharap dia masih mau bicara denganku setelah peristiwa semalam.

"Halo...", terdengar suara yang sangat kukenal dari seberang.

"Seruni..., kau baik-baik saja ?", tanyaku penuh perhatian. Ayolah..., aku memang masih menaruh perhatian padanya.

"Ya, everything's fine. Maaf soal semalam...", katanya datar. Sesaat aku menangkap aura dingin yang terpancar dari nada suaranya.

"Tidak apa-apa, kau berhak berbuat begitu. Aku yang seharusnya minta maaf padamu...", jawabku. Keheningan menyergap kami untuk sesaat, aku bingung mau bicara apa dengannya.

"Kalau boleh...", kataku.

"Kalau bisa...", kata Seruni, bersamaan. Kami jadi sama-sama terdiam.

"Kau saja dulu...", katanya.

"Kalau boleh, aku akan mengajakmu makan siang.... Kau ada waktu nanti ?", tanyaku. Seruni menghela nafas, aku tak tahu bagaimana raut mukanya saat ini, tapi aku yakin dia masygul.

"Candra...", kata perempuan itu di telepon.

"Ya...", sahutku.

"Kalau bisa...jangan temui aku lagi !", kata Seruni, membuat aku terdiam.

"Aku sudah melakukan sebuah kesalahan semalam. Aku seharusnya tak minta tolong padamu. Aku sendiri tak tahu mengapa aku memanggilmu di telepon. Barangkali aku memang terlalu panik...", jelasnya.

"Tapi aku senang melakukannya untukmu. Aku senang masih bisa membantumu. Semua ini bukan salahmu, Runi...", kataku.

"Ya..., semua terjadi begitu saja, aku sungguh-sungguh tak sengaja. Tapi, Candra, jangan temui aku lagi, ya ?", pintanya. Aku menelan ludah yang terasa pahit di tenggorokanku.

"Tapi aku merindukanmu, Runi...", kataku memohon.

"Kau sudah menikah. Jangan sakiti hati istrimu...", jawabnya dengan suara tercekat. Pasti sulit baginya untuk mengungkapkan itu.

"Aku tidak pernah mencintainya. Aku bahkan tak pernah menyentuhnya...", sahutku dengan suara kering. Terdengar helaan nafas dari seberang telepon. Kami lalu terdiam sesaat.

"Ijinkan aku bertemu lagi denganmu, Runi...", pintaku lagi. Seruni masih terdiam.

"Aku mohon, ijinkan aku...", kataku dengan suara serak.

"Baiklah..., mari kita bertemu. Nanti siang kita makan bersama di restoran depan kantor baruku. Kau tahu 'kan tempatnya ?", sahutnya. Aku senang bukan main.

Baiklah..., akhirnya aku punya kesempatan untuk sekali lagi bertemu dengannya. Aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Terima kasih, Tuhan. Ahh...akankah Tuhan marah bila aku bertemu Seruni ? Sedang berselingkuhkah aku ? Aku menggeleng sendiri. Aku tak mencintai Anggun. Aku juga belum menyentuhnya. Jadi apa salahnya aku berjuang untuk cintaku sendiri. Kali ini aku akan meraih apa yang seharusnya sejak dulu aku dapatkan. Aku sudah mapan, dan aku tak mau lagi bertindak hanya karena pertimbangan Ibu. Aku layak berjuang untuk kebahagiaanku.

Aku bertemu dengan Anggun di kantor pagi ini. Aneh, dia tidak marah setelah apa yang aku lakukan padanya semalam. Sikapnya tidak berubah, dan kata-katanya juga masih terarah. Tak tampak sama sekali emosi di wajahnya yang ayu. Apakah dia berpura-pura ? Entahlah..., aku tak menghiraukannya. Pendeknya, aku tak peduli. Semua pekerjaan berjalan dengan normal, tak ada peselisihan dan pertengkaran. Dan itu bagus.

*
Aku ada disini sekarang, duduk berseberangan dengan Seruni di restoran depan kantor barunya. Seruni tampak sangat cantik dengan balutan baju berwarna merah, warna favoritnya. Warna itu cocok sekali dengan kulitnya yang putih bersih, menambah kecantikan alaminya yang memancar seperti rembulan di langit di saat malam. Rembulan..., sebutan yang tak pernah disukainya. Dia selalu protes bila aku perumpamakan begitu. Katanya rembulan itu bulat, dan dia lonjong. Jadi keduanya tidak sama. Begitu protesnya. Ahh..., perempuanku. Bahkan saat marah pun terlihat cantik.

Seorang perempuan datang mendekat ke meja kami saat kami sudah selesai memesan menu.

"Dokter Seruni...", sapa perempuan itu.

Kami menoleh ke arahnya. DEGG ! Jantungku serasa berhenti berdetak. Itu perempuan yang aku lihat di restoran Jepang tempo hari ! Perempuan cantik yang aku lihat saat aku akan makan malam dengan Anggun malam itu.

"Ohh..., Mariska.... Mau makan siang juga ?", tanya Seruni. Perempuan itu tersenyum, cantik sekali.

"Iya, Dok.... Ini siapa ?", tanya Mariska sambil menunjuk ke arahku.

"Ohh..., kenalkan. Ini...teman lamaku.... Candra, kenalkan ini Mariska, sekretaris direksi. Mariska, kenalkan ini Candra, direktur utama PT Anugerah Surya Abadi...", kata Seruni memperkenalkan kami berdua. Kami lalu bersalaman. Dan entah mengapa senyum perempuan itu menarik sekali dilihat. Aku jadi terpana.

"Mariska...", katanya memperkenalkan diri.

"Candra...", kataku. Tanganku tiba-tiba saja berkeringat dingin. Ada apa ini sebenarnya ? Aku sendiri bingung merasakannya.

"Kalau ada lowongan, saya mau bekerja di tempat Pak Candra.... Gajinya bagus nggak ?", tanya Mariska dengan senyum basa-basi.

"Ahh..., perusahaan saya belum apa-apa dibandingkan perusahaan kalian. Hanya perusahaan kecil...", jawabku merendah. Aku melihat deretan gigi yang putih bersih menghiasi senyumnya.

"Pak Candra bisa saja.... PT ASA 'kan perusahaan yang cukup terkenal di kota ini. Yang memimpin pasti orang hebat ! ", pujinya. Aku jadi tersipu.

"Mau bergabung dengan kita untuk makan siang ?", tanya Seruni tiba-tiba.

"Ohh..., tidak usah, Dok. Saya sudah janjian sama teman-teman lainnya. Itu..., mereka ada di meja belakang sana", kata Mariska sambil menunjuk ke meja yang ada di deretan belakang.

Perempuan itu lalu berpamitan dengan sopan. Seorang pelayan lalu datang ke meja kami untuk menghantarkan hidangan. Seruni berdeham sesaat sebelum kami mulai menyantap menu yang telah kami pesan.

"Kau masih saja seperti dulu...", katanya. Aku mengernyitkan alis.

"Apanya yang seperti dulu ?", tanyaku heran.

"Kau masih saja mata keranjang...", jawabnya. Aku mendengus.

"Aku tidak melakukan apa-apa...", protesku.

"Kau mata keranjang, Candra. Akuilah itu. Itulah dirimu...", kata perempuan itu. Aku terdiam, meneruskan makan siangku dengan pikiran melayang membayangkan perempuan cantik bernama Mariska. Lalu tiba-tiba aku kembali teringat pada perempuan yang kini ada di hadapanku.

"Aku mencintaimu, Seruni...", kataku dengan tatapan bersungguh-sungguh padanya. Seruni tersenyum mendengarnya.

"Kau mencintaiku, tapi kau menikahi orang lain. Kau mencintaiku, tapi matamu lapar memandang sekretaris cantik bernama Mariska itu. Cintamu aneh sekali...", ujarnya. Aku jadi mati kutu.

"Apa aku tak cukup pantas untukmu ?', tanyaku kelu.

"Kau sangat pantas bersanding dengan siapapun. Siapa yang tak setuju mengatakan kalau kau ganteng, kaya, dan muda. Kau memenuhi segala kriteria calon suami idaman, Candra...", jawabnya diplomatis.

"Kau tak menjawab pertanyaanku...", timpalku. Seruni lagi-lagi tersenyum.

"Aku sudah memberikan jawaban yang jelas padamu...", sahutnya. Aku memandanginya, tak mengerti.

"Aku tak bisa lagi menerima cintamu, Candra. Aku bukan lagi Seruni yang dulu. Aku ingin berkeluarga, tapi tidak denganmu...", jawabnya tegas, membuat aku lemas.

"Lalu bagaimana denganku ?", tanyaku kelu. Seruni meraih tanganku.

"Kau akan baik-baik saja. Mulailah menerima istrimu, meski kau tak mencintainya. Percayalah bahwa cinta akan tumbuh di hati kalian berdua. Yakinlah, Candra...", kata Seruni, meruntuhkan angan-anganku. Aku tarik tanganku darinya, rasa kecewa yang mengalir bagai air bah menenggelamkan semua asa.

"Jadi kau sudah tak lagi mencintaiku...", kataku sedih, seluka hatiku yang pedih ditinggalkan rembulan.

"Waktu telah mengubahku. Aku senang dengan keadaanku kini. Aku masih ingin menikmati kesendirianku. Aku bahagia, Candra...", katanya lagi. Perempuan ini, aku tak mengenalinya lagi. Dia terlihat begitu percaya diri dengan ucapannya tadi. Ahh..., dia sudah melupakanku.

"Aku sudah selesai dengan makan siangku. Apakah kau keberatan kalau aku pamit duluan ?", tanyanya. Aku menggeleng.

"Tidak. Silakan saja...", kataku pendek. Seruni lalu memanggil pelayan, dia tak mengijinkanku membayar semua tagihan makan siang kami. Perempuan perkasa itu lalu meninggalkanku sendiri di meja ini, tenggelam dalam lamunan panjangku.

*
Matahari tengah bersinar begitu teriknya di atas jalan raya yang melintas di antara restoran dan kantor baru Seruni. Aku masih termangu saat tanpa kutahu, Seruni menyeberang jalan dengan air mata berlinang membasahi kedua pipinya yang lembut.

SELESAI

0 comments: