BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Selasa, 16 Oktober 2012

PEREMPUAN YANG TERDIAM


Ini hari yang kami tunggu-tunggu. Kami berlima datang ke tempat ini untuk menjemput kakak perempuanku. Kak Sa’diah keluar dikawal dua orang sipir perempuan. Kepalanya terbalut kerudung pemberian almarhumah ibu kami. Kerudung katun warna abu-abu. Wajahnya masih semanis dulu. Hanya guratan usia yang berbekas di dahi dan sudut matanya. Ah…, Kak Sa’diah…. Aku sambut kehadirannya dengan haru. Pahlawanku yang tercinta. Hari ini adalah hari kebebasannya.

*

Kak Sa’diah yang paling manis dari kami semua. Badannya sudah mekar sempurna sebagai remaja, sementara aku masih bau kencur. Rambut Kak Sa’diah panjang dan hitam. Dia selalu menyisir dan mengepangnya dengan sederhana, tanpa pita dan hiasan apa-apa. Dia juga anak yang baik, tak pernah bersungut-sungut setiap kali ibu kami meminta bantuannya.

Kakakku Sa’diah baru berumur 19 tahun ketika peristiwa itu terjadi. Usia kami memang selisih 3 tahun saja. Kisah yang akhirnya menyeretnya masuk ke dalam dinginnya bui. Ibu kami pedagang baju keliling, dan kami empat bersaudara, perempuan semua. Ayah kami seorang supir truk. Pekerjaannya mengharuskannya berkeliling antar kota membawa dagangan milik Tuan Amir, orang keturunan Arab yang berdagang kulit lembu. Sudah sejak muda, ayah kami bekerja padanya.

Ayah kami suka berjudi. Entah bagaimana mulanya ayah kami gemar berjudi. Yang jelas, ibu kami sering kali harus merelakan uang simpanannya diambil ayah. Ayah kami selalu berkata bila uang itu akan dijadikan modalnya untuk jadi kaya. Ayah kami percaya kalau suatu waktu dia akan menang besar dalam berjudi. Hal yang dia impikan adalah akan memberikan kami rumah yang lebih besar dari pada yang dimilikinya sekarang. Rumah kami semi permanen, separuh terbuat dari tembok, dan separuhnya lagi terbuat dari kayu. Ayah ingin bisa membuatkan kami rumah yang pantas, agar kami berempat tak perlu berdesakan tidur dalam satu dipan besar.

“Percayalah…. Uangmu ini akan kujadikan berlipat-lipat…. Kita akan kaya, Mar…”, bujuk ayah tiap kali meminta ibu kami menyerahkan uang simpanannya untuk berjudi. Ibu kami orang yang tegas, tapi dia begitu sayang pada ayah. Hal yang seringkali tak aku mengerti, meski ibu bisa bersikap galak pada kami, di hadapan ayah, ibuku tak berdaya. Hanya sungut-sungutnya yang terdengar setelah ayah pergi. Kasihan, ibuku…. Bersusah-payah dia mengumpulkan rupiah demi rupiah, tapi selalu saja habis di meja judi.

“Jangan sekali-kali kalian kawin dengan lelaki yang suka berjudi.... Membuat pusing kepala saja…”, ucapnya pada kami, anak-anak perempuannya. Kak Sa’diah adalah anak yang paling dekat dengan ibu kami. Dia memahami hati ibuku, lebih dari kami semua.

“Kalau ibu tak mau kami kawin dengan lelaki yang suka berjudi, mengapa ibu juga kawin dengan penjudi ?”, tanya Kak Sa’diah suatu kali. Ibu kami sampai termangu mendengarnya. Dengan lirih dijawabnya….

“Ibu tak tahu, Nak…. Ibu tak tahu mengapa…”.

Ibu kami sering termenung sendirian di kursi depan, biasanya Kak Sa’diah yang akan menemaninya duduk disana. Kak Sa’diah akan dengan senang hati memijiti kaki dan pundak ibu kami. Berjualan baju keliling dari kampung ke kampung setiap hari bukanlah hal yang mudah bagi ibu. Apalagi ayah kami sama sekali tak peduli dengan usahanya.

“Berjualan sajalah kau kemanapun kau mau. Aku tak akan mencegahmu. Tapi aku tak bisa membantumu. Jadi kau pikirkanlah sendiri bagaimana cara berbelanja dan berdagang itu. Aku banyak urusan di kerjaanku sendiri…”, dalih ayah. Tidak adil, rasanya memang tidak adil. Sedari pagi buta ibuku menyiapkan sendiri dagangannya, mencatat angka demi angka dalam notes kecilnya. Ibu sangat rapi, dia tak pernah lalai memberi tanda untuk barang yang sudah terbeli. Hanya sedikit selisih yang didapatnya dari berjualan baju. Semua dikumpulkan dengan hati-hati untuk biaya sekolah kami. Ayah hanya memberi kami nafkah untuk membeli makanan dan pakaian. Kata ayah, uangnya hanya cukup untuk membeli semua itu. Ayah memang tak begitu tertarik pada pendidikan. Dia sendiri cuma sekolah sampai kelas 4 SD. Lalu putus sekolah…. Sebelum akhirnya bekerja pada Tuan Amir.

Kak Sa’diah selalu riang bila ayah sedang tak ada di rumah. Entah mengapa. Kami hanya merasa begitu. Dia jarang sekali berbicara pada ayah, tak seperti kami yang seringkali bergurau dengan ayah tiap kali ayah kami pulang ke rumah. Bila ayah pergi, Kak Sa’diah akan segera berubah menjadi gadis yang banyak senyum, dan suka bergurau. Mula-mula, aku tak menyadarinya. Tapi setelah usia kakakku 16 tahun, aku mulai merasa keanehan itu.

“Kakak selalu diam tiap kali ayah di rumah…”, usikku suatu kali saat kami berdua ada di dapur.
“Ah…. Kau ini bicara apa ?”, tanya Kak Sa’diah tanpa berpaling padaku.
“ Kami sering bercengkrama dengan ayah. Tapi Kak Sa’diah tak pernah lagi bersenda-gurau bersama kami dan ayah. Mengapa, Kak ?”, tanyaku.

“Tidak apa-apa. Kakak merasa sudah terlalu besar untuk bergurau seperti kalian. Kakak ingin membantu ibu agar ibu tak lagi terlalu capai…”, jawabnya. Masuk akal. Cuma saja masih ada sesuatu yang menggelitik untuk ditanyakan. Kak Sa’diah jarang sekali bertegur sapa dengan ayah kami. Tapi mungkin saja Kak Sa’diah memang sibuk. Aku juga sering membantu ibu kami di dapur. Bahkan sejak umurku sembilan tahun, aku sudah terbiasa mencuci bajuku sendiri. Sama seperti kakak dan adik-adikku.

Keengganan Kak Sa’diah bicara dengan ayah makin nyata ketika aku melihat mereka berselisih jalan siang itu. Tangan ayah menyentuh pundak Kak Sa’diah. Tiba-tiba tangan Kak Sa’diah menepisnya, membuat sentuhan tangan ayah urung sampai di pundaknya. Ayah tampak tak marah. Tapi wajah Kak Sa’diah terlihat masam seperti tak suka. Ada apa sebenarnya ? Aku berlari di belakang Kak Sa’diah yang bergegas menuju dapur. Langit mendung terpampang di wajah yang seharusnya manis itu. Mengapa dia begitu gusar ?

“Mengapa, Kak ? Kakak tak boleh begitu pada ayah…”, kataku mengingatkan. Aku tak terima Kak Sa’diah memperlakukan ayahku sebegitu sengitnya. Apa salahnya ?

“Diamlah, Salmah. Tak ada apa-apa…”, ucapnya, berusaha menenangkanku. Aku tak mengerti. Aku jelas betul melihatnya menepis tangan ayah di selasar tadi. Tidakkah ada sesuatu yang bisa menjelaskan ini ?

*

Ibu kami sedang berkeliling untuk berdagang baju dari kampung ke kampung. Rumah sepi. Kak Sa’diah sendiri tinggal di dalamnya. Aku dan adik-adikku sedang bersekolah. Kak Sa’diah sudah lulus SMP. Tapi dia menolak meneruskan sekolah di SMA. Kak Sa’diah tak sampai hati membiarkan ibu berpayah-payah sendiri mengurus rumah kami.

“Biarlah aku di rumah, Bu.... Salmah, Halimah, dan Zakiah masih perlu dijaga. Sa’diah sudah cukup senang bisa sekolah sampai lulus SMP. Sekarang saatnya Sa’diah membalas jasa ibu dengan membantu merawat adik-adik...”, pintanya kala itu. Ibu berlinangan air mata. Ingin rasanya beliau menghantar Kak Sa’diah sekolah setinggi-tingginya, tapi kami memang tak mampu. Ibu kami hanya bisa menatap haru sambil mengusap rambut kakakku. Seolah ingin memohon maaf padanya....

Begitulah..., Kak Sa’diah akhirnya menjadi perawat kami selama ibu pergi berdagang seharian. Kak Sa’diah merawat kami dengan kasih-sayang. Dia itu guru kami kala belajar, dokter kami kala kami sakit, pelipur hati kami kala bersedih. Kak Sa’diah adalah segala-galanya.

Siang itu Kak Sa’diah sedang di dapur, menyiapkan makan siang untuk kami bertiga. Pintu rumah tak dikuncinya, karena kami tinggal di perkampungan yang aman. Tak pernah ada pencuri berkeliaran di kampung ini. Barangkali karena pada umumnya penduduk di kampung ini miskin. Jadi kampung kami terhindar dari incaran maling.

Keasyikan Kak Sa’diah memasak membuatnya tak menyadari saat ayah kami tiba di rumah. Ayah baru saja sampai setelah semalaman dia berjudi di tempat berkumpulnya para supir truk di pangkalan, kira-kira lima kilometer dari rumah kami. Mata ayah memerah. Sudah lama ayah menyimpan rindu pada ibu kami. Dan racun arak yang diteguknya semalam tadi belum juga hilang dari kepalanya yang tiba-tiba terkenang pada ibu. Dengan langkah limbung didekapnya Kak Sa’diah yang sedang berdiri di dapur. Kak Sa’diah kaget bukan kepalang, dekapan itu begitu kuat membelenggunya dari belakang. Sekilas dia melihat ayah kami mendekapnya dengan mulut masih berbau arak. Kak Sa’diah takut. Dia berusaha meronta.

“Ayah !, ayah !, apa yang ayah lakukan !?”, sergah Kak Sa’diah.
“Aku rindu padamu, Marliah...”, bisik ayah dengan mata memerah. Tiba-tiba ayah menyeret kakakku ke kamar ibu kami. Dengan mata terbelalak karena jerih, kakakku tergagap-gagap bicara....

“Ayah...a..yah...jangan...a..yah.... Ayaaah !”, kali ini Kak Sa’diah menangis. Ayah kami jadi tersadar. Dia termangu memandangi kakakku yang masih didekapnya itu. Wajahnya yang berkeringat mendekat ke arah Kak Sa’diah, lalu ayah mendengus....

“Heeh.... Kau Sa’diah rupanya.... Aah.... Mana ibumu...?”, ucap ayah sambil menghentakkan kedua tangannya, melepaskan dekapannya pada kakakku. Kak Sa’diah menangis dan mundur beberapa langkah. Ayah berbalik arah dan memunggunginya.

“Maaf...”, katanya pendek. Lalu ayah masuk ke kamar ibu dan menutup pintunya. Tak ada yang lebih menyedihkan hati Kak Sa’diah melebihi hal itu. Ketika ayah hampir saja memaksanya....

Mulut Kak Sa’diah terdiam saat ibu kami pulang. Dia tak mengatakan apa-apa. Matanya yang sembab pun luput dari perhatian ibu yang sudah terlalu lelah. Ayah kami tak bangun-bangun hingga hari sudah hampir malam. Ibu kami meladeninya seperti biasa. Karena alasan lelah, Kak Sa’diah berpamitan untuk tidur terlebih dulu. Sementara ayah juga bungkam malam itu.

*

“Aku perlu yang kau simpan itu.... Berikan padaku...”, paksa ayah keesokan harinya. Ayah akan bekerja lagi hari ini. Tangan ibu tergetar menyerahkan isi dompetnya. Uang itu seharusnya simpanan untuk membayar sekolahku dan adik-adikku bulan depan nanti. Tapi ibu kami berusaha ikhlas. ‘Allah Maha Mengatur segalanya.... Allah pasti tak akan melupakan apa yang aku perlukan...’, bisiknya dalam hati sambil matanya tak lepas memandangi uang yang sekarang telah berpindah ke saku celana ayahku.

Pintu kamar ibuku terkuak sedikit. Dan mereka tak tahu bila mata Kak Sa’diah melihat semua yang terjadi di sana. Mata yang sedih itu terhanyut dalam keharuan kala melihat getaran tangan ibu. Bibirnya tetap saja mengatup. Semua disimpannya dalam hati.

“Biar aku yang mencuci, Bu. Ibu siap-siap saja berangkat bekerja. Sa’diah sudah siapkan sarapan untuk ibu...”, kata kakakku saat ayah kami sudah pergi. Ibu mengangguk kaku. Air matanya seakan mau tumpah. Tapi ditahannya. Kedua perempuan ibu-beranak itu kemudian saling terdiam. Tak berkata apa-apa....

“Ibu berangkat sekarang. Kalau ayahmu pulang, siapkan makan untuknya. Ibu sudah tinggalkan uang secukupnya untuk belanja. Jaga adik-adikmu, ya ?”, pamit ibu kami padanya. Kak Sa’diah mengangguk dan tersenyum. Dihantarnya ibu kami hingga di halaman depan. Dipandanginya punggung ibuku hingga tak tampak lagi di tikungan.

Kak Sa’diah tak ingin kejadian lalu itu terulang. Sejak itu dia selalu mengunci pintu rumah saat sedang sibuk di bekerja di belakang. Mata merah, bau arak mulut ayah kami, dan dekapannya yang menyesakkan napas itu meninggalkan kenangan teramat mengerikan untuknya. Kakak sadar apa yang pernah terjadi. Kala itu ayah kami tengah hilang kesadaran karena racun arak yang memabukkan. Walau dia masih bersyukur karena ayah cepat tersadarkan siapa dirinya, tak urung hal itu membuatnya jerih.

Setelah kejadian itu, ayah pun jadi agak terdiam tiap kali bertemu dengan kakakku. Hanya saja tak ada yang tahu. Entah bagaimana tiba-tiba timbul rasa penasaran di hati ayahku. Penasaran melihat mekarnya tubuh kakakku yang ranum itu. Mengingatkannya pada ibuku saat muda. Tubuh yang segar dan kencang. Tak ada yang menyangka bila ayahku selalu bersusah-payah menelan ludahnya sendiri setiap kali langkah Kak Sa’diah melintas di depannya. Tatapan mata yang nanar memandang dari jauh. Tatapan yang hanya disadari kakakku tanpa bisa dikeluhkannya pada orang lain....

Kecanggungan itu berlangsung bertahun-tahun, hingga aku beranjak remaja. Aku yang juga tumbuh mekar semanis kakakku, telah lulus SMP. Dan aku masih menjadi anak manja ayah kami.

*

“Salmah.... Pijati ayah, nak.... Badan ayah pegal sekali...”, pinta ayah siang itu. Hari ini hari Minggu, aku dan adik-adikku libur sekolah. Ibu mengantar pesanan seorang pelanggan bersama adik-adikku. Aku sendirian, dan Kak Sa’diah sedang ke warung untuk berbelanja sayuran. Ayah kami baru tiba semalam. Ayah baru saja menyelesaikan pengiriman barang dagangan Tuan Amir ke Surabaya. Harus menempuh perjalanan sehari-semalam untuk sampai kesana.

Aku masuk mengikuti ayah ke dalam bilik ibu kami. Ayah merebahkan badannya yang sedikit tambun sekarang. Ayah membuka kaus dalamnya, menyodorkan minyak urut kepadaku, dan menyuruhku segera memijat. Aku bubuhkan sedikit minyak di punggung ayah kami, lalu mulai mengurut. Ibuku sangat suka pijitanku. Katanya tanganku lembut tapi kuat, mampu mengendorkan otot yang kencang. Ayah terlena menikmati pijatanku. Dan aku sungguh-sungguh ingin membuatnya lepas dari rasa penat.

Aku harus mengangkat rokku agar bisa berpindah ke sisi lain tempat tidur. Tak sengaja rok itu tersingkap. Aku tersipu-sipu, sementara ayahku terpana melihatku.

“Maaf, ayah...”, ucapku dengan sopan. Aku tak menyadari kecamuk di dadanya yang baru saja tersulut. Ayahku berusaha memejamkan matanya erat-erat, sementara pijatanku mulai meremas punggungnya dengan lembut. Bayangan wajah ibuku tiba-tiba berkelebat dalam benak ayahku. Dahinya berkeringat dan wajahnya tiba-tiba saja memerah.

“Marliah...”, sayup-sayup panggilnya dengan suara parau.
“Ayah memanggilku ?”, sahutku. Aku mendekatkan wajahku padanya. Tiba-tiba aku terkejut saat tangan ayahku menarikku hingga aku jatuh terbaring di sisinya. Ayah mendekapku, napasnya tersengal-sengal penuh napsu.... Matanya terpejam, tapi cengkeraman tangannya begitu kencang. Aku takut. Aku meronta agar bisa lepas dari tangannya. Bibir ayah terkatup kencang, sedangkan sebelah kakinya mulai menindihku.... Aku menjerit, berusaha menyadarkan ayah yang selama ini memanjakanku. Dalam bingung aku memukulkan kepalan tanganku ke punggungnya. Dan ayahku seolah tak merasakan apa-apa.

Jeritanku terdengar telinga Kak Sa’diah. Dia baru saja sampai di depan pintu ketika jeritanku mengusiknya. Tas berisi sayuran yang digenggamnya dilemparkannya begitu saja ke lantai. Kak Sa’diah langsung berlari mencariku. Dan dia terkejut ketika melihatku sedang bersusah-payah melepaskan diri dari dekapan ayah kami. Aku pandangi mata kakakku dengan tatapan ngeri. Kak Sa’diah tiba-tiba mengambil sesuatu dari dapur dan menghambur ke arah ayahku. Diayunkannya benda itu berkali-kali ke punggung ayah. Ayah menjerit kesakitan, berulang-ulang.... Dekapan ayah terlepas sudah dariku. Aku melompat berdiri dari ranjang ibuku. Menghambur ke arah kakakku yang termangu dengan tangan berlumuran darah yang mengalir dari benda itu. Pisau dapur kesayangan ibu....

*

Kakakku diseret ke dalam penjara oleh polisi. Ibu kami terpukul dua kali. Pertama karena kematian suaminya yang ternyata dibunuh anak perempuan kesayangannya sendiri. Dan kedua karena harus mengikuti proses peradilan Kak Sa’diah yang tak kunjung usai. Kami yang miskin tak cukup mampu menyewa pengacara mahal seperti orang-orang kaya itu. Dan meski kesaksianku banyak meringankan hukuman kakakku, kami harus terima pada putusan hakim yang menvonis Kak Sa’diah dengan penjara selama 10 tahun. Ibuku pingsan mendengarnya. Aku hanya bisa menangis. Kak Sa’diah tak menyatakan banding pada vonis itu. Ia sangat merasa bersalah karena telah membuat ayah kami tiada. Andai kata saja waktu bisa diputar ulang, barangkali dia akan memakai cara lain yang tak terlalu berbahaya untuk menyadarkan ayah kami dari tindakannya yang di luar kendali. Tapi nasi telah menjadi bubur. Ayah kami telah dikubur. Dan kakakku dengan pasrah menerima apapun hukuman yang harus dilaluinya.

Hanya selang dua tahun setelah ayah tiada, ibu kami jatuh sakit. Akulah yang akhirnya meneruskan usaha ibu kami berjualan baju keliling. Aku putus sekolah. Sedangkan adik-adikku aku haruskan meneruskan sekolah mereka. Setidaknya aku ingin mereka lulus SMA, agar bisa bekerja di pabrik-pabrik yang kini mulai menjamur tumbuh di daerah kami. Ibu sering melamun dalam kesendiriannya. Dalam tidurnya, ibu sering kali mengigaukan nama ayah. Mula-mula ibu masih mau makan barang sedikit, tapi akhir-akhir ini minuman pun sudah sangat sulit ditelannya. Ibu kami kurus kering, beliau hanya bisa berbaring lemah di kamarnya yang sunyi tanpa kehadiran ayah. Kadang aku menangis diam-diam saat memandangi ibuku yang tertidur dalam sakitnya.

‘Ayah..., mengapa jadi begini ?’, bisikku dalam dada. Ayah yang memanjakanku ketika kecil itu sudah tak bisa lagi mengusap kepalaku. Ayahku jahat ?, tanyaku pada diriku sendiri berkali-kali. Aku menggelengkan kepalaku sendiri, berusaha menyangkalnya. Pasti waktu itu ayah sedang lupa..., pasti karena ayah terlalu rindu pada ibu kami..., pasti karena ayah sedang ingin bergurau.... Bergurau ? Ahh..., pertanyaan terakhir itu membawaku kembali pada kenangan akan kencangnya dekapan ayahku yang nyaris membuatku tak bisa bernapas. Aku tak mengerti..., aku tak bisa memahami.... Salahkan Kak Sa’diah ? Dia sudah membunuh ayah kami.... Tapi kakakku berusaha membelaku dari tindakan ayah yang tak terduga itu. Haruskah orang yang telah menyelamatkan diri kita dipersalahkan ? Ampuni aku, ya Tuhan.... Semua ini terlalu membingungkan....

“Salmah..., jangan menghalangi jalan, nak.... Beri ayahmu tempat agar bisa menghampiri ibumu ini...”, tiba-tiba terucap bisik ibuku. Aku bingung, tak ada siapa-siapa selain kami berdua di kamar ini.

“Minggirlah sedikit, nak.... Berikan jalan...”, ucapnya lagi. Aku beringsut, dan ibuku tersenyum melihatnya. Kedua tangannya tiba-tiba terangkat ke atas dadanya, seolah ingin merangkul seseorang. Hanya sejenak kedua tangan itu tergantung disana, lalu tiba-tiba keduanya terkulai lemah. Ibuku tak lagi bernapas. Aku tersentak menatapi wajahnya yang masih segar tapi tak bernapas itu. Dengan perlahan aku dekati ibuku, rasa takutku makin menjadi ketika aku menyadari kalau bibir ibuku perlahan-lahan membiru. Ibuku telah pergi....

“Ibu.... Ibu...”, panggilku pilu. Ibuku diam tak bergerak....

*

Kak Sa’diah telah menunaikan hukumannya dengan potongan masa tahanan. Kakakku menjadi contoh tauladan bagi narapidana lain karena kepandaiannya mengasah keterampilan menjahit. Hasil karya Kak Sa’diah bahkan sudah berhasil dipasarkan ke koperasi lembaga pemasyarakatan. Jahitan yang halus dan sulaman yang indah membuat kebaya buatan kakakku digemari kaum ibu. Dari jasanya, Kak Sa’diah bisa membantuku memenuhi kebutuhan hidup adik-adik kami. Dan kini dia telah bebas menghirup udara di luar penjara wanita. Tak terhingga senangnya hatiku dan adik-adikku. Kami langsung menuju ke pemakaman untuk berziarah ke makam kedua orangtua kami.

Kak Sa’diah menangis dengan pundak terguncang-guncang saat tiba di depan makam ayah dan ibu kami. Lama sekali kami membiarkannya menangis disana. Sore menjelang maghrib barulah kami tiba di rumah. Kak Sa’diah terpukau dengan pemandangan di sepanjang jalan kami menuju pulang. Banyak ruko-ruko baru dibangun di kiri-kanan jalan. Pasar-pasar yang dulu kumuh kini berubah menjadi moderen dan penuh kendaraan roda empat terparkir di halaman. Kasihan kakakku, dia baru tahu bila saat ini rumah kami telah dipunggungi sebuah bangunan bertingkat empat, kantor cabang sebuah bank ternama. Membuat rumah kami tampak kerdil. Aku senang Kak Sa’diah pulang, beberapa minggu lagi aku akan mengajaknya bertemu dengan keluarga calon suamiku, seorang salesman perusahaan obat-obatan. Aku sendiri sudah mantap dengan usahaku berjualan baju, sekarang aku menyewa kios sendiri di pasar, tak lagi berjualan keliling seperti almarhumah ibuku. Halimah dan Zakiah, kedua adik kami, kini sudah kuliah. Aku bangga mereka punya cita-cita tinggi.

Bang Najib, calon suamiku itu, anak seorang pengusaha pembuat baju jadi. Sebenarnyalah aku berkenalan dengannya karena hubungan baikku dengan ibunya. Ibu Hasnah itulah yang menjodohkan kami berdua. Tak disangka, Bang Najib pun terpikat padaku. Jadilah kami saling berjanji untuk membina hidup bersama suatu hari nanti. Kami sudah berkenalan selama hampir dua tahun, sebelum akhirnya Ibu Hasnah melamarku untuk anak lelakinya itu. Aku bangga dan bahagia, tentunya. Aku persilakan keluarga Bang Najib mempersiapkan semuanya. Sementara aku sendiri akan meminta bantuan adik ayah untuk menjadi wali nikahku nanti. Berita akan rencana pernikahanku itu sudah aku sampaikan pada Kak Sa’diah. Dia begitu terharu hingga berlinangan air mata tanpa bisa mengucap apa-apa. Kakakku memang jadi lebih pendiam kini. Dia hanya terlihat ‘ramai’ bila sedang menjahit baju pesanan pelanggan yang diterimanya di rumah. Maka tak ada yang melebihi kebahagiaanku kecuali bisa membuat kakakku tersenyum bahagia atas perkawinanku. Kami menyelenggarakan pesta kecil-kecilan dengan hanya menggundang sanak-saudara dan para tetangga.

*

Hidup kami berlima sangat bahagia. Aku dan Bang Najib harus berbagi hidup dengan ketiga saudari-saudariku. Kak Sa’diah makin hari makin dikenal orang karena jahitannya. Dan saat ini kuliah Halimah hampir selesai. Tinggal ujian skripsi. Aku meneruskan kesibukanku berdagang baju jadi di kios pasar. Pelangganku banyak. Biasanya mereka pelanggan lama yang dulu sering aku setori baju jadi di kampung-kampung. Di tempat asalnya mereka juga berdagang baju jadi, dipasarkan ke tetangga kiri-kanan dan para kenalan. Kalau ada baju yang tak cocok dengan selera, aku persilakan mereka mengembalikan padaku. Begitulah hidup, semua harus mau berbagi. Hubungan yang saling menjaga kepercayaan itu juga membuat pelangganku senang. Bahkan ada beberapa di antara mereka yang sudah berlangganan denganku selama lebih dari lima tahun.

Bang Najib kadang-kadang keluar kota berama teman sekantornya, naik kendaraan milik kantor. Kadang-kadang dia tak pulang hingga berhari-hari untuk tugasnya itu. Tapi tak apa. Aku percaya padanya. Aku sendiri sudah hamil tiga bulan. Duhai..., andai ibu kami tahu bila beliau akan punya cucu, alangkah senangnya.... Aku usap perutku yang masih belum begitu membuncit. Aku tahu janin dalam perutku tahu bila aku memikirkannya. Aku yakin dia juga sedang tersenyum bersamaku saat ini.

Aku sedang sibuk meladeni pelanggan siang itu, ketika handphoneku berdering nyaring di sakuku. Dari Halimah. Ada apa dia menelponku siang-siang begini ? Bukankah dia ada konsultasi dengan dosen pembimbing sampai malam nanti ? Alisku berkerut, tapi tak urung aku jawab panggilan itu....

“Halo...? Ada apa Halimah ?”, sapaku padanya. Terdengar isakan tangis dari seberang telepon.
“Kakak.... Cepat pulang, Kak.... “, kata Halimah dengan sesenggukan.
“Ada apa ?”, tanyaku heran. Perutku tiba-tiba terasa mulas.
“Ceritanya nanti saja.... Kakak cepat pulang...”, ucapnya lagi. Bulu kudukku meremang. Aku segera menutup kios dan pulang.

Bermacam pertanyaan hilang dan timbul dari benakku. Kejadian apa lagi yang kini menimpa kami, ya Tuhan ? Kakiku menapak masuk ke gang depan rumah dengan gemetaran. Sepasukan polisi lalu lalang di depan rumah kami. Tanda police line terpasang di sepanjang pagar. Aku mencoba menguak tanda batas itu, dan seorang petugas polisi berusaha mencegahku masuk. Aku menjelaskan tentang siapa diriku dengan penuh kecemasan. Di ruang tamu telah menanti Halimah dan Zakiah yang terduduk menangis saling berpegangan tangan. Aku hampiri mereka. Dan keduanya langsung menghambur ke arahku....

“Kak Salmah.... Kak Salmah.... Mengapa keluarga kita jadi begini, kak...?”, jerit Halimah saat memelukku. Aku dudukkan dia di kursi, dengan bingung aku memandangi Zakiah yang juga ikut menangis sedih bersamanya. Kemana Kak Sa’diah ?

“Ada apa, Zakiah ? Ada apa sebenarnya ?”, tanyaku gusar. Zakiah menangis lagi.
“Kak Salmah.... Kak Najib.... Di dapur...”, ucapnya terbata-bata. Aku terperanjat. Aku segera berlari ke dapur. Begitu banyak petugas polisi disana. Tiga orang di antaranya sedang berjongkok di sebelah tubuh seseorang. Celana warna coklat itu mengingatkanku pada seragam Bang Najib yang biasa dipakainya saat kerja. Hatiku tersentak ! Aku menghambur ke arah tubuh yang terbaring disana....

“BANG NAJIIIB.....!!!!! ABAAANG....!!!!”, jeritku pilu. Lelaki terkasihku terlentang dengan tubuh tertancap sebuah gunting jahit di dadanya....

*

Lelaki kecil itu menggenggam jemariku. Rambutnya yang ikal dan senyumnya yang manis benar-benar penjelmaan Bang Najib yang kembali hadir ke dunia. Kini lelaki kecilku sudah berumur setahun, sedang senang-senangnya berjalan tertatih-tatih kemana pun dia ingin. Halimah sudah lulus sarjana, dan sedang menjadi trainee di sebuah bank BUMN. Zakiah sebentar lagi akan menulis skripsi. Dan aku sendiri masih berjuang dengan kios baju jadiku.

Kaki Halimah terpeleset di depan kamar mandi yang terletak berdekatan dengan dapur kala itu. Karena limbung, dia nyaris terjatuh kalau saja Bang Najib tidak menangkap tubuhnya. Sayangnya, kejadian itu dikira Kak Sa’diah sebagai sesuatu yang disengaja oleh Bang Najib untuk mengganggu Halimah. Kak Sa’diah yang pendiam itu langsung menancapkan gunting jahit yang sedang dipegangnya ke dada suamiku. Dia salah paham. Halimah yang meraung melihat Bang Najib meregang nyawa, berusaha mengatakan kalau Bang Najib sedang berusaha menolongnya agar tak terjatuh. Sanggahan itu membuat batin Kak Sa’diah terguncang hebat. Kak Sa’diah histeris, dia kehilangan akal sehatnya. Dokter jiwa yang memeriksanya mengatakan kalau saat ini Kak Sa’diah terkena skizofrenia. Di kamar rumah sakit jiwa, perempuan pendiam itu berdiam, sering duduk diam-diam dalam heningnya dunia yang hiruk-pikuk di sekitarnya....


SELESAI

Siang hari, akhir Nopember 2010.
Bintaro Jaya 3A

0 comments: