Aku senang sekali bertemu denganmu pagi ini. Baumu yang wangi
setelah kau mandi, dan rambutmu yang tersisir rapi itu sempat menyihirku
sesaat, seakan aku baru pertama kali melihatmu. Kau memang mengagumkan.
Hmm…, aku boleh bangga berdampingan denganmu, menjadi kekasihmu adalah
hal terindah dalam hidupku. Lagi pula, aku pantas mendapatkanmu.
Bukankah yang telah aku perjuangkan agar bisa bersamamu di waktu dulu
itu luar biasa ? Ahh…, senyummu mengejekku saja. Tapi aku tak peduli,
aku suka perempuan-perempuan itu iri melihatku berjalan bersisihan
denganmu. Biar saja, biar mereka cemburu.
Kau menggenggam
tanganku dengan hangat, sehangat sinar mentari yang merangkak naik di
sudut 60° dari tanah tempat kita berpijak. Hangat dan damai. Hatiku
berbunga-bunga memandangi senyummu yang indah dan tatap matamu yang
tanpa resah. Kau…satu-satunya lelaki yang mampu membuat hidupku begitu
penuh dengan suka-cita dan kebahagiaan, tak terhingga….
Aku
bersamamu lagi sekarang, duduk berduaan di bawah rindangnya pohon
flamboyant. Aku bersandar di bahumu yang bidang, mencoba mereguk lebih
banyak lagi kesenangan. Kau biarkan rambutku menggodamu, menyebarkan
wangi shampoo di hidungmu, menggelitik dan membuatmu mengernyit. Kau
sisihkan ujung rambut nakal itu dengan jemarimu, lembut sekali. Ahh…,
tidakkah ada perempuan yang suka sikapmu ini ? Bagiku kau adalah
keteduhan, sesejuk kerindangan daun flamboyant. Kau mencubit pipiku
dengan gemas saat aku menggelitik telingamu. Ya…, kau tak pernah bisa
menahan rasa geli itu, tiap kali aku menyentuhnya. Kau selalu geli, itu
juga sebabnya aku suka menggodamu dengan gelitikan setiap kali kau
terlena – terdiam karena melihat indahnya persawahan di depan kita.
Aku
sering menemuimu disini, aku suka tempat ini. Aku tak pernah bosan
dengan hawanya yang sejuk dan suara kicauan burung sawah yang merdu
bersahutan. Bercuit-cuit mencari sisa gabah. Naik dan turun ke tanah.
Kadang kau melamun memandangi ulah burung-burung ceria itu, mengikuti
setiap gerak mereka dengan matamu. Sayang…, tidakkah itu indah ?,
tanyamu suatu kali. Ahh…, kau memang romantis.
Sering kau
petikkan mawar merah untukku, menyuntingkannya di rambutku,
mengharumkan diriku. Tentu saja aku senang. Perempuan manapun pasti suka
mawar, apalagi yang harum seperti yang kau petikkan itu. Kau cantik
seperti mawar ini…, katamu tiap kali. Entah berapa kali kau ucapkan itu.
Dan aku selalu mabuk karenanya. Kau memang jago merayu, tapi aku sangat
suka rayuanmu. Dan aku merasa sangat beruntung karena kau tak
membaginya dengan perempuan lain selain diriku. Kau berkah dalam
hidupku.
Aku tak pernah bermimpi bakal menjadi kekasihmu
sebelumnya. Kau begitu tenar di antara para wanita. Sedangkan aku
biasa-biasa saja. Aneh…, kau justru tertarik padaku, meski banyak bunga
mengelilingimu. Yang jelas, cintamu tak sia-sia, karena aku juga
mencintaimu dengan sama hebatnya. Jodoh tak pernah salah menghampiri
kita, rupanya…. Jadi kita boleh bersuka-cita mengikatnya dalam
kisah-kasih asmara. Kalau sudah begini, siapa juga yang bakal berani
memisahkan kita ?
Aku melihat sekeliling, dan menemukan
setangkai mawar merah di belakang punggungmu. Masih segar dengan sisa
embun menempel di daunnya. Aihh…, aku ingin memetiknya untukmu. Aku
ingin memberikannya padamu. Kau sudah sering memberiku mawar merah, jadi
biarkan kali ini aku yang memberikan sekumtum mawar merah untukmu.
Saling memberi, biar adil. Aku juga mau menunjukkan rasa cintaku padamu.
Jadi jangan kau tertawakan, ya ?
Aku ulurkan setangkai
mawar itu padamu, dan aku begitu senang ketika kau menyambutnya. Kau
ciumi harumnya, dan kau letakkan di depan dada. Terima kasih, sayang….
Ini mawar yang sangat indah…, katamu. Aku berkedip. Aku terharu karena
kata-katamu yang tulus keluar dari bibirmu. Aku memelukmu sesaat, hanya
sesaat. Dan kau merangkulku dengan erat.
Kita saling
bercerita tentang masa lalu, kita bercengkrama seperti waktu dulu. Kau
kini juga menua sepertiku. Tapi di mataku, kau tetaplah lelaki gagah
yang menikahiku. Yang memberiku berjuta kemuliaan dan kebanggaan. Dan
lihatlah diri kita ! Kita masih saja rukun seperti saat kita muda. Jadi
jangan pernah iri pada anak-anak muda itu, kita lebih mesra dari
mereka. Ahh…, kau tersenyum lagi mendengarnya. Kau ini…, mengapa hanya
tersenyum-senyum saja ? Tidakkah pagi ini kau ingin mengucapkan sesuatu
yang penting ? Aku sudah lama menantikan itu…. Jadi aku mohon,
bicaralah….
Kapan kau akan mengajakku ?, aku bertanya
dengan kelu. Bibirmu terkatup dengan lengkungan yang manis, tapi kau
tetap tak mau bicara. Aku dengar suara berderap mendekat. Ahh…, aku tak
suka suara itu. Aku masih ingin bertemu denganmu lebih lama. Mengapa aku
harus pergi darimu sekarang ? Aku masih ingin disini….
“Ibu…,
waktu berkunjung kita sudah habis…”, suara perawat itu menyadarkanku.
Kau terdiam memandangku, tak juga mau mengucapkan janji. Janjimu untuk
membawaku pergi bersamamu. Mataku berkaca-kaca. Jadi aku masih harus
terpisah denganmu lebih lama ? Ahh…perpisahan ini menyakitiku.
“Kita
pulang sekarang, ya, Bu ?”, kata perawat itu lagi. Ingin aku
menolaknya, tapi bibirku terkunci. Terkatup tanpa suara sejak kau pergi
dariku. Dan kursi tempatku duduk kini berbalik memunggungimu. Aku
menoleh, masih melihatmu berdiri disana dengan mawar merah pemberianku.
Senyummu mengiringiku, tapi hatiku perih karenanya.
Perlahan-lahan
mobil kami meninggalkan tempatmu berada sekarang, meninggalkan
pemandangan sawah itu, meninggalkan tatapan mesra matamu. Sebutir air
menetes dari sudut mataku. Selamat Iedul Fitri, sayang…. Tahun depan aku
akan mengunjungimu lagi.
SELESAI
Bintaro Jaya, 9 September 2011.
(terilhami oleh mereka yang telah ditinggalkan kekasih)
Selasa, 16 Oktober 2012
SETANGKAI MAWAR MERAH
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar