BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Selasa, 16 Oktober 2012

SINTA GUGAT

Hari ini Sinta sedang menangis. Air matanya jatuh satu-satu ke pipinya yang halus bak sutera. Dia sedang bersedih, hatinya remuk redam. Setelah semua yang dialaminya selama ini, dia tak mengira suaminya akan menuduhnya melakukan hal yang tidak pernah barang sekalipun terpikirkan olehnya. Dan yang lebih menyedihkan, Rama telah menuduhnya dengan penuh kesadaran, mendakwanya dengan kesungguhan, berprasangka bila Sinta telah selingkuh.

Aihh…, Sinta terjatuh dalam keterpurukan yang dalam. Telah dikuncinya cintanya pada Rama  yang telah tumbuh mengakar dalam kotak hatinya, tak ada seorang pun bisa membukanya kecuali sentuhan Rama sendiri. Sinta sudah menjaganya dengan sumpah setia, memupuknya hingga tumbuh berbunga, dan membawanya kemana pun dia pergi. Bahkan ketika kemudian dia diculik Rahwana hingga disekap dalam indahnya Istana Alengka, cinta Sinta pada Rama tetap tak tergoyahkan. Siang-malam dia berdoa agar Rama cepat datang menyelamatkannya, pagi-sore dia menunggu kemunculan Rama di taman seribu puspa. Tapi inilah akhirnya yang terjadi, Rama memang menjemputnya, tapi kemudian menuduhnya berselingkuh. Duhh…, kalau saja Sinta mau dan silau dengan kekayaan Rahwana, tentu tak sulit baginya melupakan sumpah setia dan cintanya pada suami. Rahwana tak kalah tampan dari suaminya, dia kaya, dan dia sangat memujanya. Meski sebagian orang berkata Rahwana itu lelaki yang jahat, dia tak pernah berbuat jahat dan kasar pada Sinta. Bahkan dia menjaga Sinta dengan hati-hati, dan tak rela melihatnya sedih sendirian di istananya yang megah.

Sinta mengingat kejadian demi kejadian yang dilaluinya bersama Rama. Masa bulan madu yang terusik oleh iri dan dengki ibu tiri suaminya, masa pengasingan yang bertahun-tahun dialaminya di hutan, dan perjalanan jauh yang telah berkali-kali memecahkan kulit kakinya hingga berdarah-darah selama menjadi istri Rama. Tidakkah pengorbanan itu membuat Rama mengerti bahwa bagi Sinta, suaminya sangatlah berarti. Bukankah sebagai seorang puteri kerajaan, dirinya tidak pantas diperlakukan seperti itu, hidup menggelandang di hutan tanpa merasakan enaknya hidup sejahtera di istana ? Tapi Sinta tak mengeluh, dia juga tak mau menimpakan kesalahan pada siapapun. Asalkan bisa tetap bersama dengan Rama, apapun bakal dilaluinya dengan rasa syukur. Tapi lihat sekarang…. Rama bahkan tak mau menyentuhnya karena ragu pada kesetiaan cintanya. Dunia seakan mau runtuh bersama tangisnya, dan Sinta tak tahu harus berbuat apa.

“Jangan kau menipuku dengan tangis buayamu itu. Sudah jelas kalau kau betah tinggal di istana ini. Kau pasti sudah melupakan aku, Sinta…”, tegur Rama dingin. Dalam pikirannya berkecamuk segala prasangka pada istri yang kini menangis di hadapannya.

“Kanda Rama, aku bersumpah tidak melakukan apapun selama aku ada disini. Aku menjaga kehormatanku dengan kesungguhan. Aku tak mungkin melupakan sumpah setiaku padamu, Kanda…”, jawab Sinta dengan air mata berlinang. Rama melengos mendengarnya. Dia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Sinta akrab dengan saudari Rahwana.

“Kau bisa saja selingkuh dengan lelaki itu !”, kata Rama sambil menunjuk ke arah mayat Rahwana yang tergeletak tercerai-berai di tengah alun-alun Alengka.

“Tapi aku bersumpah tak melakukan apapun dengannya, Kanda. Percayalah padaku…”, kata Sinta dengan terisak.

“Aku tidak percaya…. Sudah selama ini kita berpisah, bagaimana mungkin aku bisa percaya kata-katamu ?”, sanggah Rama dengan mulut mencibir. Sinta sedih bukan main. Menjadi istri Rama adalah satu dari kebahagiaan hidupnya, tapi mendengar tuduhan Rama adalah hal yang paling menyakitkan baginya.

Tapi tunggu dulu, kalau waktu yang lama bisa dipermasalahkan, bukankah tak ada yang mustahil bila Rama juga telah berkhianat padanya ? Bukankah selama ini Rama berada sangat jauh darinya, dan dia bisa bertemu dengan siapapun di luar sana ? Apakah Rama menuduhnya berselingkuh karena dia sendiri sebenarnya sudah berselingkuh dengan wanita lain ? Apakah Rama ragu padanya hanya karena dia tidak mau dituduh lebih dulu olehnya ? Selama waktu yang lama itu, bukankah tidak mustahil bila Rama bertemu dan menjalin hubungan dengan puteri dari kerajaan lain ? Rama tampan dan masyur namanya, wanita manapun pasti bakal terpikat olehnya. Apalagi Sinta sedang jauh darinya. Jadi bukan hal yang aneh bila Rama punya wanita idaman lain. Begitukah yang terjadi ?, bisik hati Sinta dengan curiga. Disekanya air mata yang membasahi pipinya. Dengan kepala tegak kini Sinta berdiri dan memandang wajah suaminya dengan mata menyala-nyala.

“Aku sudah mengatakan bila aku tidak pernah berkhianat padamu. Aku memang sudah menunggumu begitu lama kedatanganmu di istana ini. Waktu memang sudah jauh berlari di belakang kita, dan itulah yang telah memisahkan kita berdua. Tapi aku bersumpah aku tidak melakukan perselingkuhan atau apapun namanya dengan lelaki manapun. Yang aku kenal hanya satu pria, dan itu adalah dirimu. Bila bagimu waktu yang lama memungkinkan aku melakukan pengkhianatan, lalu bagaimana dengan dirimu ? Bukan mustahil kau juga telah berkhianat padaku di luar sana, entah dengan perempuan mana…”, kata Sinta berapi-api. Matanya tajam menusuk relung hati Rama yang terkejut dengan keberanian istrinya.

“Beraninya kau menuduhku berbuat itu, Sinta ! Kau istriku !”, hardik Rama. Sinta tak surut langkah.

“Bila Kanda Rama mampu menuduhku berkhianat, maka aku juga bisa menuduh Kanda Rama berkhianat dariku. Bukankah itu adil ?”, tanya Sinta kesal.

“Kau tidak berhak menuduhku begitu. Aku sudah bersungguh-sungguh berusaha mencarimu hingga ke istana ini. Aku sudah berperang berpeluh keringat darah untuk bisa bertemu denganmu. Dan sekarang kau malah menuduhku berselingkuh ?!”, geram Rama menjawab tuduhan istrinya.

“Lalu apa hak Kanda menuduhku berkhianat ? Bukankah aku sudah mengatakan bila aku tidak pernah melakukan itu ? Bila Kanda sudah tak percaya lagi padaku, bagaimana mungkin aku bisa mempercayai Kanda ? Kanda sungguh tidak adil !”, kata Sinta dengan pandang mata terhunus seperti pedang.

Rama terbungkam kini, mata hatinya yang buta tertutup rasa cemburu dan curiga. Kata-kata istrinya memang masuk akal, tapi hati Rama masih belum lapang menerimanya. Ingin dia meneruskan berbantahan kata dengan istrinya, tapi niat itu diurungkannya, karena dia tahu bila kata-kata istrinya pun sama benarnya. Apa haknya menuduh Sinta tanpa bukti ? Dia pun tak melihat sendiri bagaimana hubungan Sinta dan Rahwana sehari-hari selama Sinta ada disini.

“Buktikan padaku bila kau tak bersalah…”, kata Rama kemudian. Sinta tercenung. Bukti seperti apa yang suaminya inginkah ?

“Aku tak mengerti, Kanda. Bukti seperti apa ?”, tanya Sinta bingung.

“Buktikan bila kau masih sesuci ketika kau menjadi istriku…”, kata Rama.
“Dan kalau aku bisa membuktikannya ?”, tanya Sinta menantang. Rama menunduk dan menghela nafas.

“Kalau kau bisa membuktikannya, maka kau akan tetap menjadi istriku…”, jawab lelaki gagah itu.

Sinta kesal, tapi rasa itu ditahannya. Bukti seperti apa yang bisa ditunjukkannya ? Mengapa harus dengan bukti ? Lalu bagaimana kalau Rama yang sudah selingkuh ? Bagaimana Rama bisa membuktikan kalau dirinya tidak berkhianat ? Lagi-lagi Rama telah berbuat tak adil padanya. Tiba-tiba sebuah bisikan terdengar di telinganya….

“Masuklah ke dalam api, Sinta…. Kau akan bisa menunjukkan kesucianmu disana…”, bisik suara itu, entah dari mana asalnya.

Sinta lagi-lagi tercenung, benarkah bisikan itu ? Tiba-tiba pandangannya beradu dengan tatapan mata Rama yang tak bergeming di hadapannya. Mata itu biasanya menjadi telaga bagi kehausnya akan cinta kasih dan rasa sayang. Tapi kini mata itu seolah berubah menjadi ribuan duri rotan yang siap melukai kulitnya, melucuti harga dirinya.

“Masuklah ke dalam api, Sinta…. Dia akan tahu bagaimana kau sudah menjaga kesucianmu…”, bisik suara itu lagi. Sinta sadar kini, suara itu muncul dari dalam hatinya. Dia harus melakukan itu, masuk ke dalam api yang menyala !

“Baiklah, Kanda…. Aku akan membuktikan kesucianku…”, kata Sinta kemudian. Rama memandanginya dengan heran.

“Lalu bagaimana kau bisa membuktikannya padaku ?”, tanya Rama dingin, hatinya masih diselaputi curiga dan prasangka.

Sinta tak menjawab. Dia malah menyeret ranting-ranting kayu dan mengumpulkannya di tengah halaman. Makin lama jumlah ranting itu makin banyak. Dan tanpa menunggu lama, Sinta pun menyulut ranting itu dengan api kayu bakar yang didapatkannya dari dapur istana. Rama melihatnya dengan takjub, dia masih tak mengerti maksud istrinya melakukan semua itu. Angin yang berhembus membantu mengobarkan api yang menyala, hingga jilatan apinya mencapai langit. Tiba-tiba Sinta berteriak dalam kesalnya….

“Lihat aku, Kanda. Aku akan membuktikan bahwa aku tetap suci hingga sekarang. Kalau aku binasa dalam api ini, maka itu artinya aku bersalah padamu. Sekarang aku akan membuktikannya !”, serunya sambil berancang-ancang masuk ke dalam kobaran api.

Rama ngeri melihatnya, dia ingin mencegah, tapi terlambat. Tubuh Sinta sudah masuk ke dalam jilatan api yang berkobar itu. Rama jatuh terduduk di atas tanah, kepiluan hatinya saat mengetahui betapa nekatnya Sinta sudah membuatnya merasa bersalah. Tidak seharusnya dia meragukan ucapan istrinya sendiri. Bukankah istri adalah separuh nyawanya ? Kini Rama menyesali semuanya yang telah terjadi. Api yang berlomba membakar tubuh Sinta tak bisa dicegahnya, Rama berusaha memadamkannya dengan tangannya sendiri. Mengais-ngais tanah berpasir dan melemparkannya ke tengah kobaran api. Tapi api tetap menyala dengan hebatnya. Hingga akhirnya nyala api itu mengecil dengan sendirinya, menyisakan abu dan…tubuh Sinta yang tetap tegak berdiri di tengah-tengah bara. Tak ada secuil kainpun yang terbakar darinya, juga tak ada sehelai rambut Sinta pun yang terbakar olehnya. Sinta tetap utuh dan hidup ! Dan itu keajaiban ! Rama mendekat ke arah Sinta yang kini telah melangkah keluar dari dalam lingkaran bara api. Kulit kakinya tidak melepuh sama sekali. Sinta terbukti suci !

‘Sinta…, maafkan aku…”, ucap Rama kelu. Egonya mencegahnya untuk berlutut, meski sebenarnya dia ingin melakukannya. Sinta hanya memandangi lelaki itu dengan hati beku.

“Aku memaafkanmu, Kanda…. Aku tahu Kanda akan menyesali tuduhan yang Kanda lontarkan padaku…”, jawab Sinta dingin.

“Jadi kau memang masih suci, Sinta…. Kau..istri..ku…”, kata Rama terbata-bata. Tangannya terulur ingin meraih Sinta. Lengan perempuan cantik itu kini digenggamnya. Tapi tiba-tiba Sinta berontak, dan lengannya pun terlepas dari genggaman Rama. Rama terkejut melihatnya.

“Sinta…? Kau masih marah padaku ?”, tanya Rama ketakutan.

“Sudah begitu banyak yang aku alami bersamamu, Kanda. Aku mengikutimu hingga keluar-masuk hutan. Kulit kakiku telah mengelupas hingga berdarah karena hanya ingin berada dekat denganmu dimanapun kau berada. Aku bahkan melupakan keinginanku untuk hidup nyaman di istana. Aku sudah berdoa untukmu agar kau cepat sampai disini menolongku dari ancaman Rahwana. Aku berusaha tidak bunuh diri hanya agar Kanda bisa menemukan aku dengan keadaan hidup disini. Aku ketakutan siang dan malam oleh ancaman Rahwana yang selalu mencoba menggoyahkan kesetiaanku padamu. Tapi apa yang kudapat darimu ? Kanda malah menuduhku berbuat yang bukan-bukan, mendakwaku untuk perbuatan yang tak pernah kulakukan. Hatiku sakit…”, jawab Sinta menggungat. Rama kembali mengulurkan tangannya, ingin merangkul istrinya. Tapi lagi-lagi Sinta menepis dan menjauh.

“Maafkan aku, Dinda…”, kata Rama putus asa dengan suara yang serak. Sinta hanya memandanginya dari tempatnya berdiri.

“Terlampau banyak yang sudah kudapat selama ini. Aku memang mencintai Kanda, tapi aku belum bisa melupakan kejadian ini…. Aku memaafkanmu, tapi aku belum bisa melupakan apa yang sudah kau lakukan padaku, Kanda…”, kata Sinta lirih. Matanya berkaca-kaca.

“Lalu apa yang harus aku lakukan agar kau bisa kembali di sisiku ?”, tanya Rama sendu. Badannya lunglai menahan gejolak hati yang baru saja dihadapinya.

“Aku akan pergi darimu untuk sementara waktu, Kanda. Aku akan menyepi. Aku perlu waktu untuk berpikir. Bila aku sudah bisa melupakan semua kejadian ini, aku akan kembali padamu. Aku bersumpah akan tetap setia padamu…”, kata Sinta dengan penuh keteguhan.

Rama menelan ludah, tidak bertemu lama dengan istrinya saja sudah membuatnya dirinya tak nyenyak tidur selama ini. Dan kini istrinya berniat akan menyepi ? Rama tak kuasa menahan derita ini. Tak terasa air matanya menetes.

“Aku sudah mengakui kesalahanku, tidakkah itu cukup ? Mengapa sekarang kau akan pergi lagi dariku ?”, ucapnya sedih.

Tapi Sinta hanya tersenyum tipis padanya, dibacanya selaksa doa dan mantra-mantra, kedua tangannya menangkup, kepalanya mengangguk seolah  berpamitan. Seekor burung besar yang terbang di angkasa tiba-tiba turun menyambar, membawa tubuh Sinta terbang bersamanya. Rama berusaha meraihnya dengan sekuat tenaga, tapi burung itu melesat cepat ke angkasa, menembus awan dan lenyap dari pandangan mata.

Selesai

Bintaro Jaya 3A, 18/04/2012.

0 comments: