Kamar ini terisi dengkur, suamiku tertidur nyenyak di sisiku.
Sudah tiga jam lebih aku merebahkan tubuhku di atas kasur itu, tapi
mataku tak kunjung dapat memejam. Hhh.... Puasa sudah hampir usai, dua
hari lagi akan Lebaran. Dan sms di handphoneku masih saja mengabarkan
bahwa Putri, anak perempuanku, tak bisa pulang Idul Fitri nanti. Dia
memilih tidak mudik. Hhh..., sudah delapan kali Lebaran dia tak pulang.
Meski dia sering menengokku saban libur akhir tahun. Tapi tak mudik ke
rumah kami saat Lebaran ? Ahh..., sebenarnya aku tak begitu nyaman
dengan ketak-hadirannya semasa semua anakku yang lain bisa datang untuk
merayakannya bersama kami disini. Tapi Putri tetap memilih tak pulang
dengan banyak alasan. Tak mau macet di jalan, tak suka rumahnya kotor
karena ditinggal berlebaran, tak mau mengeluarkan banyak ongkos selama
bepergian, apapun dia sebutkan sebagai alasan....
"Pulanglah,
Putri.... Ibu ingin sekali-sekali kau datang dengan suami dan
anak-anakmu. Banyak kerabat berdatangan ke rumah Ibu, dan mereka selalu
menanyakanmu.... Jadi kapan kau akan pulang ?", ucapku padanya di
perbicangan kami terakhir lewat telepon.
"Ibu..., Ibu
sendiri bisa lihat di TV kalau jalur mudik itu sekarang macet sekali.
Aku takut anakku kan sakit karena terlalu lama macet di jalan, Bu. Pasti
rasanya capek sekali. Lagi pula Ibu tahu kan bagaimana kondisi anakku ?
Salah makan saja dia bisa kena radang tenggorokan. Lalu bagaimana kalau
nanti dia harus berlelah-lelah menempuh perjalanan yang tak masuk akal
itu ? Lebih baik kami menengok Ibu kalau sedang libur akhir tahun
seperti biasa. Perjalanannya nyaman, dan tak pakai macet, Bu...",
jawabnya. Aku merenung, tak ada yang tak logis dengan alasan yang dia
utarakan tadi. Tapi tradisi mudik itu sudah menjadi darah dan daging
bagi semua pengembara yang hidup jauh dari rumah asalnya di negeri ini.
Tidakkah anakku takut disebut tak biasa ?
Hhh..., kadang
aku malu bila para tetangga bertanya tentang ketak-hadirannya. Lihatlah
mereka.... Bahkan yang jauh-jauh dari luar Jawa pun bisa hadir saat
Lebaran. Hanya untuk bisa berkumpul dengan keluarga, karena cuma saat
itulah satu-satunya waktu yang tersedia untuk semua orang agar bisa
berkumpul bersama-sama di saat yang sama. Dan Putri memilih tak
melakukannya hanya karena alasan macet.
"Macetnya bisa
berjam-jam lho, Jeng.... Kemarin anakku yang dari Bandung kena macet di
beberapa tempat. Dari Bandung berangkat jam 8 malam, sampai disini jam
10 malam keesokan harinya. Banyak tabrakan di jalan, jadi macetnya luar
biasa. Tapi anakku nekat kok, semua demi bisa pulang. Takut tahun depan
tak bisa lagi merayakan Lebaran bersama saya, barangkali...", cerita Bu
Anwar, janda seumurku, tetangga sebelah rumah yang sudah sangat akrab
dengan keluarga kami. Anak lelakinya jadi dosen di Bandung, dan setiap
Lebaran dia selalu datang dengan anak dan istrinya ke rumahku, sekedar
bersilaturahmi.
Hmm..., Putri memang berbeda.
Kakak-kakaknya juga ada yang tinggal di kota lain, tapi mereka tetap
pulang setiap Lebaran. Sebenarnya, dulu Putri juga mudik setiap Lebaran.
Dengan memakai pesawat, kereta api cepat, atau mobil sendiri. Tapi
seiring waktu, perjalanan menuju mudik dilaluinya kian hari kian
melambat saja. Ahh..., aku tak menyalahkan keengganannya mudik, lalu
lintas saat ini memang gampang menimbulkan frustasi bagi semua orang.
Lihat saja di jalan itu.... Jalan yang tiga puluh tahun yang lalu sepi
dan hanya dilewati beberapa puluh kendaraan setiap menitnya, kini
dilewati beratus-ratus mobil dan motor. Ramai sekali. Jangankan
menyeberang, melintaspun terasa sulit di jalan yang penuh dengan suara
mesin dan asap knalpot. Bis, minibus, truk, mobil bak terbuka, angkot,
mobil pribadi, mobil dinas, motor pribadi, motor dinas, orang bersepeda,
dan dokar, semua melimpah ruah di jalan. Sementara jalan yang ada tak
memadai.
"Apa tidak bisa menginap di jalan sekedar melepas lelah, Putri ?", usulku padanya suatu kali.
"Lalu
berapa rupiah harus kami keluarkan untuk bisa menginap sepanjang
perjalanan, Bu ? Sampai kapan kami harus menginap ?", dia balik
bertanya. Hmm..., sesungguhnya...aku tak tahu apa-apa untuk menjawabnya.
"Atau kau bisa mampir di rumah teman-temanmu di sepanjang jalur mudik, itu bisa mengirit ongkos...", usulku lagi.
"Tapi mereka semua juga mudik, Bu.... Bagaimana aku bisa mampir ?", tanyanya lagi. Buntu.
"Bawalah tikar dan bantal, kalian bisa menginap di mana pun di sepanjang perjalanan. Sekedar istirahat...", usulku lagi.
"Lalu
bagaimana kalau kami terjebak macet tanpa ada tempat untuk minggir ke
tepi jalan ? Sudahlah, Bu.... Kami pasti akan datang saat liburan akhir
tahun. Aku janji...", katanya menghiburku.
Aku hanya
menelan ludah mendengarnya. Pembicaraan lewat telepon itu kututup dengan
perasaan kecewa. Jadi tahun ini Putri tak bisa datang juga ? Tak akan
ada foto Lebaran yang lengkap lagi kali ini, karena dia tak datang di
tengah kami. Lalu bagaimana kalau tahun depan aku tak bisa melihatnya
lagi saat Lebaran ? Seperti kata Bu Anwar tempo hari ? Duh Gusti...,
semoga Kau panjangkan umurku agar tetap bisa menyambutnya bila Putri mau
datang Lebaran tahun depan nanti. Tak tahan..., aku utarakan juga
ketakutanku padanya.
"Ibu takut tak sempat melihatmu
Lebaran tahun depan nanti, Putri. Ibu dan Bapak ini sudah tua. Ibu
sangat ingin kita bisa berkumpul disini bersama-sama dengan
kakak-kakakmu. Apa itu berlebihan...", tanyaku sedih. Sesaat dia tak
bersuara, tapi aku tahu dia tersentuh. Aku sempat memanggilnya
berulang-ulang sebelum dia melanjutkan lagi bicaranya.
"Iya,
Ibu.... Kami bicarakan dulu, ya ? Mas Darman akan aku ajak bicara nanti.
Tapi aku tidak janji...", jawabnya dengan suara tercekat. Sepertinya
dia baru saja menangis.
Ahh..., syukurlah.... Aku sungguh
berharap dia bakal datang. Itu sebabnya semalaman ini aku tak bisa
memejamkan mata barang sejenak. Aku menunggu sms darinya. Kabar
kepastian kedatangannya. Dia bilang akan memberitahuku malam ini setelah
berdiskusi dengan suaminya. Tapi jam sudah menunjukkan pukul 11 malam,
mengapa smsnya tak juga kunjung datang ? Sebegitu sulitkah untuk
memutuskan kembali ke rumah Ibunya ini ? Lagi pula, Darman sudah terlalu
sering bertemu kedua orangtuanya karena mereka tinggal di kota yang
sama. Jadi salahkah bila aku ingin dia membawa anak perempuanku
berlebaran bersama kami tahun ini ?
Lalu tiba-tiba
terdengar bunyi 'BIP' dari handphoneku. Sebuah sms ! Aku buka dengan
hati penuh harap. Dan aku membaca pesan yang sangat membahagiakan. Putri
dan keluarganya akan pulang ! Terima kasih, Tuhan.... Akhirnya anakku
akan bersama kami di hari Lebaran nanti. Aku senang sekali. Aku ciumi
pipi keriput suamiku yang sedang tertidur dengan pulas itu. Aku menarik
selimut, dan segera terlelap ke alam mimpi....
*
Hari
yang dinanti-nantikan telah tiba. Kabarnya Putri dan keluarganya
sebentar lagi akan datang, mereka baru sampai Semarang - 22 km lagi dari
rumahku. Alhamdulillah. Aku siapkan kamar tidurnya dengan
secermat-cermatnya. Anak-anak putri biasa tidur di kamar yang bersih dan
rapi, jadi aku harus membuat mereka senyaman mungkin selama tinggal
disini. Berdebar saat menunggu mereka datang. Aku tak boleh melewatkan
memberi penghiburan setelah mereka 26 jam menempuh perjalanan. Pasti
mereka lelah sekali.
Mobil SUV warna silver perlahan masuk
ke halaman. Itu mereka ! Dengan senyum berbunga aku menyambutnya,
suamiku pun berdiri dengan bangga. Akhirnya...setelah delapan tahun !
Mereka hadir juga di Lebaran kali ini. Mereka tampak begitu lelah, aku
segera menyuruh mereka mandi dan beristirahat untuk menghilangkan penat.
Anak-anak segera berbaur dengan cucu-cucuku lainnya. Mereka begitu
ceria. Ahh..., lihatlah ini ! Rasanya kekhawatiran Putri akan kondisi
anak-anaknya tak lagi bisa terbukti. Mereka baik-baik saja. Putri
merangkulku dengan hangat di kursi sofa, kami berbincang dengan asyik
bersama suami dan anak-anakku yang lain. Suasana yang sangat
menyenangkan. Semua berjalan dengan sangat baik sampai kemudian sebuah
panggilan handphone datang dari seorang tetangga Putri.
"Ha ?! Rumah saya kebakaran ?! Habis ?!", teriak Darman bingung. Putri berteriak histeris.
"Kenapa, Mas ?! Rumah kita kenapa, Mas ?!", katanya kalap. Darman linglung, handphone yang digenggamnya terjatuh ke lantai.
"Rumah
kita terbakar.... Kulkas kita meledak, lalu membakar seluruh
isinya...", jawabnya nanar. Putri meraung.... Dan aku hanya bisa
mematung....
Selasa, 16 Oktober 2012
MUDIK
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar