BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Selasa, 16 Oktober 2012

MUDIK


Kamar ini terisi dengkur, suamiku tertidur nyenyak di sisiku. Sudah tiga jam lebih aku merebahkan tubuhku di atas kasur itu, tapi mataku tak kunjung dapat memejam. Hhh.... Puasa sudah hampir usai, dua hari lagi akan Lebaran. Dan sms di handphoneku masih saja mengabarkan bahwa Putri, anak perempuanku, tak bisa pulang Idul Fitri nanti. Dia memilih tidak mudik. Hhh..., sudah delapan kali Lebaran dia tak pulang. Meski dia sering menengokku saban libur akhir tahun. Tapi tak mudik ke rumah kami saat Lebaran ? Ahh..., sebenarnya aku tak begitu nyaman dengan ketak-hadirannya semasa semua anakku yang lain bisa datang untuk merayakannya bersama kami disini. Tapi Putri tetap memilih tak pulang dengan banyak alasan. Tak mau macet di jalan, tak suka rumahnya kotor karena ditinggal berlebaran, tak mau mengeluarkan banyak ongkos selama bepergian, apapun dia sebutkan sebagai alasan....

"Pulanglah, Putri.... Ibu ingin sekali-sekali kau datang dengan suami dan anak-anakmu. Banyak kerabat berdatangan ke rumah Ibu, dan mereka selalu menanyakanmu.... Jadi kapan kau akan pulang ?", ucapku padanya di perbicangan kami terakhir lewat telepon.

"Ibu..., Ibu sendiri bisa lihat di TV kalau jalur mudik itu sekarang macet sekali. Aku takut anakku kan sakit karena terlalu lama macet di jalan, Bu. Pasti rasanya capek sekali. Lagi pula Ibu tahu kan bagaimana kondisi anakku ? Salah makan saja dia bisa kena radang tenggorokan. Lalu bagaimana kalau nanti dia harus berlelah-lelah menempuh perjalanan yang tak masuk akal itu ? Lebih baik kami menengok Ibu kalau sedang libur akhir tahun seperti biasa. Perjalanannya nyaman, dan tak pakai macet, Bu...", jawabnya. Aku merenung, tak ada yang tak logis dengan alasan yang dia utarakan tadi. Tapi tradisi mudik itu sudah menjadi darah dan daging bagi semua pengembara yang hidup jauh dari rumah asalnya di negeri ini. Tidakkah anakku takut disebut tak biasa ?

Hhh..., kadang aku malu bila para tetangga bertanya tentang ketak-hadirannya. Lihatlah mereka.... Bahkan yang jauh-jauh dari luar Jawa pun bisa hadir saat Lebaran. Hanya untuk bisa berkumpul dengan keluarga, karena cuma saat itulah satu-satunya waktu yang tersedia untuk semua orang agar bisa berkumpul bersama-sama di saat yang sama. Dan Putri memilih tak melakukannya hanya karena alasan macet.

"Macetnya bisa berjam-jam lho, Jeng.... Kemarin anakku yang dari Bandung kena macet di beberapa tempat. Dari Bandung berangkat jam 8 malam, sampai disini jam 10 malam keesokan harinya. Banyak tabrakan di jalan, jadi macetnya luar biasa. Tapi anakku nekat kok, semua demi bisa pulang. Takut tahun depan tak bisa lagi merayakan Lebaran bersama saya, barangkali...", cerita Bu Anwar, janda seumurku, tetangga sebelah rumah yang sudah sangat akrab dengan keluarga kami. Anak lelakinya jadi dosen di Bandung, dan setiap Lebaran dia selalu datang dengan anak dan istrinya ke rumahku, sekedar bersilaturahmi.

Hmm..., Putri memang berbeda. Kakak-kakaknya juga ada yang tinggal di kota lain, tapi mereka tetap pulang setiap Lebaran. Sebenarnya, dulu Putri juga mudik setiap Lebaran. Dengan memakai pesawat, kereta api cepat, atau mobil sendiri. Tapi seiring waktu, perjalanan menuju mudik dilaluinya kian hari kian melambat saja. Ahh..., aku tak menyalahkan keengganannya mudik, lalu lintas saat ini memang gampang menimbulkan frustasi bagi semua orang. Lihat saja di jalan itu.... Jalan yang tiga puluh tahun yang lalu sepi dan hanya dilewati beberapa puluh kendaraan setiap menitnya, kini dilewati beratus-ratus mobil dan motor. Ramai sekali. Jangankan menyeberang, melintaspun terasa sulit di jalan yang penuh dengan suara mesin dan asap knalpot. Bis, minibus, truk, mobil bak terbuka, angkot, mobil pribadi, mobil dinas, motor pribadi, motor dinas, orang bersepeda, dan dokar, semua melimpah ruah di jalan. Sementara jalan yang ada tak memadai.

"Apa tidak bisa menginap di jalan sekedar melepas lelah, Putri ?", usulku padanya suatu kali.
"Lalu berapa rupiah harus kami keluarkan untuk bisa menginap sepanjang perjalanan, Bu ? Sampai kapan kami harus menginap ?", dia balik bertanya. Hmm..., sesungguhnya...aku tak tahu apa-apa untuk menjawabnya.
"Atau kau bisa mampir di rumah teman-temanmu di sepanjang jalur mudik, itu bisa mengirit ongkos...", usulku lagi.
"Tapi mereka semua juga mudik, Bu.... Bagaimana aku bisa mampir ?", tanyanya lagi. Buntu.
"Bawalah tikar dan bantal, kalian bisa menginap di mana pun di sepanjang perjalanan. Sekedar istirahat...", usulku lagi.
"Lalu bagaimana kalau kami terjebak macet tanpa ada tempat untuk minggir ke tepi jalan ? Sudahlah, Bu.... Kami pasti akan datang saat liburan akhir tahun. Aku janji...", katanya menghiburku.

Aku hanya menelan ludah mendengarnya. Pembicaraan lewat telepon itu kututup dengan perasaan kecewa. Jadi tahun ini Putri tak bisa datang juga ? Tak akan ada foto Lebaran yang lengkap lagi kali ini, karena dia tak datang di tengah kami. Lalu bagaimana kalau tahun depan aku tak bisa melihatnya lagi saat Lebaran ? Seperti kata Bu Anwar tempo hari ? Duh Gusti..., semoga Kau panjangkan umurku agar tetap bisa menyambutnya bila Putri mau datang Lebaran tahun depan nanti. Tak tahan..., aku utarakan juga ketakutanku padanya.

"Ibu takut tak sempat melihatmu Lebaran tahun depan nanti, Putri. Ibu dan Bapak ini sudah tua. Ibu sangat ingin kita bisa berkumpul disini bersama-sama dengan kakak-kakakmu. Apa itu berlebihan...", tanyaku sedih. Sesaat dia tak bersuara, tapi aku tahu dia tersentuh. Aku sempat memanggilnya berulang-ulang sebelum dia melanjutkan lagi bicaranya.
"Iya, Ibu.... Kami bicarakan dulu, ya ? Mas Darman akan aku ajak bicara nanti. Tapi aku tidak janji...", jawabnya dengan suara tercekat. Sepertinya dia baru saja menangis.

Ahh..., syukurlah.... Aku sungguh berharap dia bakal datang. Itu sebabnya semalaman ini aku tak bisa memejamkan mata barang sejenak. Aku menunggu sms darinya. Kabar kepastian kedatangannya. Dia bilang akan memberitahuku malam ini setelah berdiskusi dengan suaminya. Tapi jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, mengapa smsnya tak juga kunjung datang ? Sebegitu sulitkah untuk memutuskan kembali ke rumah Ibunya ini ? Lagi pula, Darman sudah terlalu sering bertemu kedua orangtuanya karena mereka tinggal di kota yang sama. Jadi salahkah bila aku ingin dia membawa anak perempuanku berlebaran bersama kami tahun ini ?

Lalu tiba-tiba terdengar bunyi 'BIP' dari handphoneku. Sebuah sms ! Aku buka dengan hati penuh harap. Dan aku membaca pesan yang sangat membahagiakan. Putri dan keluarganya akan pulang ! Terima kasih, Tuhan.... Akhirnya anakku akan bersama kami di hari Lebaran nanti. Aku senang sekali. Aku ciumi pipi keriput suamiku yang sedang tertidur dengan pulas itu. Aku menarik selimut, dan segera terlelap ke alam mimpi....

*

Hari yang dinanti-nantikan telah tiba. Kabarnya Putri dan keluarganya sebentar lagi akan datang, mereka baru sampai Semarang - 22 km lagi dari rumahku. Alhamdulillah. Aku siapkan kamar tidurnya dengan secermat-cermatnya. Anak-anak putri biasa tidur di kamar yang bersih dan rapi, jadi aku harus membuat mereka senyaman mungkin selama tinggal disini. Berdebar saat menunggu mereka datang. Aku tak boleh melewatkan memberi penghiburan setelah mereka 26 jam menempuh perjalanan. Pasti mereka lelah sekali.

Mobil SUV warna silver perlahan masuk ke halaman. Itu mereka ! Dengan senyum berbunga aku menyambutnya, suamiku pun berdiri dengan bangga. Akhirnya...setelah delapan tahun ! Mereka hadir juga di Lebaran kali ini. Mereka tampak begitu lelah, aku segera menyuruh mereka mandi dan beristirahat untuk menghilangkan penat. Anak-anak segera berbaur dengan cucu-cucuku lainnya. Mereka begitu ceria. Ahh..., lihatlah ini ! Rasanya kekhawatiran Putri akan kondisi anak-anaknya tak lagi bisa terbukti. Mereka baik-baik saja. Putri merangkulku dengan hangat di kursi sofa, kami berbincang dengan asyik bersama suami dan anak-anakku yang lain. Suasana yang sangat menyenangkan. Semua berjalan dengan sangat baik sampai kemudian sebuah panggilan handphone datang dari seorang tetangga Putri.

"Ha ?! Rumah saya kebakaran ?! Habis ?!", teriak Darman bingung. Putri berteriak histeris.
"Kenapa, Mas ?! Rumah kita kenapa, Mas ?!", katanya kalap. Darman linglung, handphone yang digenggamnya terjatuh ke lantai.
"Rumah kita terbakar.... Kulkas kita meledak, lalu membakar seluruh isinya...", jawabnya nanar. Putri meraung.... Dan aku hanya bisa mematung....

0 comments: