Ini hari yang kami tunggu-tunggu. Kami berlima datang ke tempat
ini untuk menjemput kakak perempuanku. Kak Sa’diah keluar dikawal dua
orang sipir perempuan. Kepalanya terbalut kerudung pemberian almarhumah
ibu kami. Kerudung katun warna abu-abu. Wajahnya masih semanis dulu.
Hanya guratan usia yang berbekas di dahi dan sudut matanya. Ah…, Kak
Sa’diah…. Aku sambut kehadirannya dengan haru. Pahlawanku yang tercinta.
Hari ini adalah hari kebebasannya.
*
Kak
Sa’diah yang paling manis dari kami semua. Badannya sudah mekar sempurna
sebagai remaja, sementara aku masih bau kencur. Rambut Kak Sa’diah
panjang dan hitam. Dia selalu menyisir dan mengepangnya dengan
sederhana, tanpa pita dan hiasan apa-apa. Dia juga anak yang baik, tak
pernah bersungut-sungut setiap kali ibu kami meminta bantuannya.
Kakakku
Sa’diah baru berumur 19 tahun ketika peristiwa itu terjadi. Usia kami
memang selisih 3 tahun saja. Kisah yang akhirnya menyeretnya masuk ke
dalam dinginnya bui. Ibu kami pedagang baju keliling, dan kami empat
bersaudara, perempuan semua. Ayah kami seorang supir truk. Pekerjaannya
mengharuskannya berkeliling antar kota membawa dagangan milik Tuan Amir,
orang keturunan Arab yang berdagang kulit lembu. Sudah sejak muda, ayah
kami bekerja padanya.
Ayah kami suka berjudi. Entah
bagaimana mulanya ayah kami gemar berjudi. Yang jelas, ibu kami sering
kali harus merelakan uang simpanannya diambil ayah. Ayah kami selalu
berkata bila uang itu akan dijadikan modalnya untuk jadi kaya. Ayah kami
percaya kalau suatu waktu dia akan menang besar dalam berjudi. Hal yang
dia impikan adalah akan memberikan kami rumah yang lebih besar dari
pada yang dimilikinya sekarang. Rumah kami semi permanen, separuh
terbuat dari tembok, dan separuhnya lagi terbuat dari kayu. Ayah ingin
bisa membuatkan kami rumah yang pantas, agar kami berempat tak perlu
berdesakan tidur dalam satu dipan besar.
“Percayalah….
Uangmu ini akan kujadikan berlipat-lipat…. Kita akan kaya, Mar…”, bujuk
ayah tiap kali meminta ibu kami menyerahkan uang simpanannya untuk
berjudi. Ibu kami orang yang tegas, tapi dia begitu sayang pada ayah.
Hal yang seringkali tak aku mengerti, meski ibu bisa bersikap galak pada
kami, di hadapan ayah, ibuku tak berdaya. Hanya sungut-sungutnya yang
terdengar setelah ayah pergi. Kasihan, ibuku…. Bersusah-payah dia
mengumpulkan rupiah demi rupiah, tapi selalu saja habis di meja judi.
“Jangan
sekali-kali kalian kawin dengan lelaki yang suka berjudi.... Membuat
pusing kepala saja…”, ucapnya pada kami, anak-anak perempuannya. Kak
Sa’diah adalah anak yang paling dekat dengan ibu kami. Dia memahami hati
ibuku, lebih dari kami semua.
“Kalau ibu tak mau kami
kawin dengan lelaki yang suka berjudi, mengapa ibu juga kawin dengan
penjudi ?”, tanya Kak Sa’diah suatu kali. Ibu kami sampai termangu
mendengarnya. Dengan lirih dijawabnya….
“Ibu tak tahu, Nak…. Ibu tak tahu mengapa…”.
Ibu
kami sering termenung sendirian di kursi depan, biasanya Kak Sa’diah
yang akan menemaninya duduk disana. Kak Sa’diah akan dengan senang hati
memijiti kaki dan pundak ibu kami. Berjualan baju keliling dari kampung
ke kampung setiap hari bukanlah hal yang mudah bagi ibu. Apalagi ayah
kami sama sekali tak peduli dengan usahanya.
“Berjualan
sajalah kau kemanapun kau mau. Aku tak akan mencegahmu. Tapi aku tak
bisa membantumu. Jadi kau pikirkanlah sendiri bagaimana cara berbelanja
dan berdagang itu. Aku banyak urusan di kerjaanku sendiri…”, dalih ayah.
Tidak adil, rasanya memang tidak adil. Sedari pagi buta ibuku
menyiapkan sendiri dagangannya, mencatat angka demi angka dalam notes
kecilnya. Ibu sangat rapi, dia tak pernah lalai memberi tanda untuk
barang yang sudah terbeli. Hanya sedikit selisih yang didapatnya dari
berjualan baju. Semua dikumpulkan dengan hati-hati untuk biaya sekolah
kami. Ayah hanya memberi kami nafkah untuk membeli makanan dan pakaian.
Kata ayah, uangnya hanya cukup untuk membeli semua itu. Ayah memang tak
begitu tertarik pada pendidikan. Dia sendiri cuma sekolah sampai kelas 4
SD. Lalu putus sekolah…. Sebelum akhirnya bekerja pada Tuan Amir.
Kak
Sa’diah selalu riang bila ayah sedang tak ada di rumah. Entah mengapa.
Kami hanya merasa begitu. Dia jarang sekali berbicara pada ayah, tak
seperti kami yang seringkali bergurau dengan ayah tiap kali ayah kami
pulang ke rumah. Bila ayah pergi, Kak Sa’diah akan segera berubah
menjadi gadis yang banyak senyum, dan suka bergurau. Mula-mula, aku tak
menyadarinya. Tapi setelah usia kakakku 16 tahun, aku mulai merasa
keanehan itu.
“Kakak selalu diam tiap kali ayah di rumah…”, usikku suatu kali saat kami berdua ada di dapur.
“Ah…. Kau ini bicara apa ?”, tanya Kak Sa’diah tanpa berpaling padaku.
“
Kami sering bercengkrama dengan ayah. Tapi Kak Sa’diah tak pernah lagi
bersenda-gurau bersama kami dan ayah. Mengapa, Kak ?”, tanyaku.
“Tidak
apa-apa. Kakak merasa sudah terlalu besar untuk bergurau seperti
kalian. Kakak ingin membantu ibu agar ibu tak lagi terlalu capai…”,
jawabnya. Masuk akal. Cuma saja masih ada sesuatu yang menggelitik untuk
ditanyakan. Kak Sa’diah jarang sekali bertegur sapa dengan ayah kami.
Tapi mungkin saja Kak Sa’diah memang sibuk. Aku juga sering membantu ibu
kami di dapur. Bahkan sejak umurku sembilan tahun, aku sudah terbiasa
mencuci bajuku sendiri. Sama seperti kakak dan adik-adikku.
Keengganan
Kak Sa’diah bicara dengan ayah makin nyata ketika aku melihat mereka
berselisih jalan siang itu. Tangan ayah menyentuh pundak Kak Sa’diah.
Tiba-tiba tangan Kak Sa’diah menepisnya, membuat sentuhan tangan ayah
urung sampai di pundaknya. Ayah tampak tak marah. Tapi wajah Kak Sa’diah
terlihat masam seperti tak suka. Ada apa sebenarnya ? Aku berlari di
belakang Kak Sa’diah yang bergegas menuju dapur. Langit mendung
terpampang di wajah yang seharusnya manis itu. Mengapa dia begitu gusar ?
“Mengapa,
Kak ? Kakak tak boleh begitu pada ayah…”, kataku mengingatkan. Aku tak
terima Kak Sa’diah memperlakukan ayahku sebegitu sengitnya. Apa salahnya
?
“Diamlah, Salmah. Tak ada apa-apa…”, ucapnya, berusaha
menenangkanku. Aku tak mengerti. Aku jelas betul melihatnya menepis
tangan ayah di selasar tadi. Tidakkah ada sesuatu yang bisa menjelaskan
ini ?
*
Ibu kami sedang berkeliling untuk
berdagang baju dari kampung ke kampung. Rumah sepi. Kak Sa’diah sendiri
tinggal di dalamnya. Aku dan adik-adikku sedang bersekolah. Kak Sa’diah
sudah lulus SMP. Tapi dia menolak meneruskan sekolah di SMA. Kak Sa’diah
tak sampai hati membiarkan ibu berpayah-payah sendiri mengurus rumah
kami.
“Biarlah aku di rumah, Bu.... Salmah, Halimah, dan
Zakiah masih perlu dijaga. Sa’diah sudah cukup senang bisa sekolah
sampai lulus SMP. Sekarang saatnya Sa’diah membalas jasa ibu dengan
membantu merawat adik-adik...”, pintanya kala itu. Ibu berlinangan air
mata. Ingin rasanya beliau menghantar Kak Sa’diah sekolah
setinggi-tingginya, tapi kami memang tak mampu. Ibu kami hanya bisa
menatap haru sambil mengusap rambut kakakku. Seolah ingin memohon maaf
padanya....
Begitulah..., Kak Sa’diah akhirnya menjadi
perawat kami selama ibu pergi berdagang seharian. Kak Sa’diah merawat
kami dengan kasih-sayang. Dia itu guru kami kala belajar, dokter kami
kala kami sakit, pelipur hati kami kala bersedih. Kak Sa’diah adalah
segala-galanya.
Siang itu Kak Sa’diah sedang di dapur,
menyiapkan makan siang untuk kami bertiga. Pintu rumah tak dikuncinya,
karena kami tinggal di perkampungan yang aman. Tak pernah ada pencuri
berkeliaran di kampung ini. Barangkali karena pada umumnya penduduk di
kampung ini miskin. Jadi kampung kami terhindar dari incaran maling.
Keasyikan
Kak Sa’diah memasak membuatnya tak menyadari saat ayah kami tiba di
rumah. Ayah baru saja sampai setelah semalaman dia berjudi di tempat
berkumpulnya para supir truk di pangkalan, kira-kira lima kilometer dari
rumah kami. Mata ayah memerah. Sudah lama ayah menyimpan rindu pada ibu
kami. Dan racun arak yang diteguknya semalam tadi belum juga hilang
dari kepalanya yang tiba-tiba terkenang pada ibu. Dengan langkah limbung
didekapnya Kak Sa’diah yang sedang berdiri di dapur. Kak Sa’diah kaget
bukan kepalang, dekapan itu begitu kuat membelenggunya dari belakang.
Sekilas dia melihat ayah kami mendekapnya dengan mulut masih berbau
arak. Kak Sa’diah takut. Dia berusaha meronta.
“Ayah !, ayah !, apa yang ayah lakukan !?”, sergah Kak Sa’diah.
“Aku
rindu padamu, Marliah...”, bisik ayah dengan mata memerah. Tiba-tiba
ayah menyeret kakakku ke kamar ibu kami. Dengan mata terbelalak karena
jerih, kakakku tergagap-gagap bicara....
“Ayah...a..yah...jangan...a..yah....
Ayaaah !”, kali ini Kak Sa’diah menangis. Ayah kami jadi tersadar. Dia
termangu memandangi kakakku yang masih didekapnya itu. Wajahnya yang
berkeringat mendekat ke arah Kak Sa’diah, lalu ayah mendengus....
“Heeh....
Kau Sa’diah rupanya.... Aah.... Mana ibumu...?”, ucap ayah sambil
menghentakkan kedua tangannya, melepaskan dekapannya pada kakakku. Kak
Sa’diah menangis dan mundur beberapa langkah. Ayah berbalik arah dan
memunggunginya.
“Maaf...”, katanya pendek. Lalu ayah masuk
ke kamar ibu dan menutup pintunya. Tak ada yang lebih menyedihkan hati
Kak Sa’diah melebihi hal itu. Ketika ayah hampir saja memaksanya....
Mulut
Kak Sa’diah terdiam saat ibu kami pulang. Dia tak mengatakan apa-apa.
Matanya yang sembab pun luput dari perhatian ibu yang sudah terlalu
lelah. Ayah kami tak bangun-bangun hingga hari sudah hampir malam. Ibu
kami meladeninya seperti biasa. Karena alasan lelah, Kak Sa’diah
berpamitan untuk tidur terlebih dulu. Sementara ayah juga bungkam malam
itu.
*
“Aku perlu yang kau simpan itu....
Berikan padaku...”, paksa ayah keesokan harinya. Ayah akan bekerja lagi
hari ini. Tangan ibu tergetar menyerahkan isi dompetnya. Uang itu
seharusnya simpanan untuk membayar sekolahku dan adik-adikku bulan depan
nanti. Tapi ibu kami berusaha ikhlas. ‘Allah Maha Mengatur
segalanya.... Allah pasti tak akan melupakan apa yang aku perlukan...’,
bisiknya dalam hati sambil matanya tak lepas memandangi uang yang
sekarang telah berpindah ke saku celana ayahku.
Pintu
kamar ibuku terkuak sedikit. Dan mereka tak tahu bila mata Kak Sa’diah
melihat semua yang terjadi di sana. Mata yang sedih itu terhanyut dalam
keharuan kala melihat getaran tangan ibu. Bibirnya tetap saja mengatup.
Semua disimpannya dalam hati.
“Biar aku yang mencuci, Bu.
Ibu siap-siap saja berangkat bekerja. Sa’diah sudah siapkan sarapan
untuk ibu...”, kata kakakku saat ayah kami sudah pergi. Ibu mengangguk
kaku. Air matanya seakan mau tumpah. Tapi ditahannya. Kedua perempuan
ibu-beranak itu kemudian saling terdiam. Tak berkata apa-apa....
“Ibu
berangkat sekarang. Kalau ayahmu pulang, siapkan makan untuknya. Ibu
sudah tinggalkan uang secukupnya untuk belanja. Jaga adik-adikmu, ya ?”,
pamit ibu kami padanya. Kak Sa’diah mengangguk dan tersenyum.
Dihantarnya ibu kami hingga di halaman depan. Dipandanginya punggung
ibuku hingga tak tampak lagi di tikungan.
Kak Sa’diah tak
ingin kejadian lalu itu terulang. Sejak itu dia selalu mengunci pintu
rumah saat sedang sibuk di bekerja di belakang. Mata merah, bau arak
mulut ayah kami, dan dekapannya yang menyesakkan napas itu meninggalkan
kenangan teramat mengerikan untuknya. Kakak sadar apa yang pernah
terjadi. Kala itu ayah kami tengah hilang kesadaran karena racun arak
yang memabukkan. Walau dia masih bersyukur karena ayah cepat tersadarkan
siapa dirinya, tak urung hal itu membuatnya jerih.
Setelah
kejadian itu, ayah pun jadi agak terdiam tiap kali bertemu dengan
kakakku. Hanya saja tak ada yang tahu. Entah bagaimana tiba-tiba timbul
rasa penasaran di hati ayahku. Penasaran melihat mekarnya tubuh kakakku
yang ranum itu. Mengingatkannya pada ibuku saat muda. Tubuh yang segar
dan kencang. Tak ada yang menyangka bila ayahku selalu bersusah-payah
menelan ludahnya sendiri setiap kali langkah Kak Sa’diah melintas di
depannya. Tatapan mata yang nanar memandang dari jauh. Tatapan yang
hanya disadari kakakku tanpa bisa dikeluhkannya pada orang lain....
Kecanggungan
itu berlangsung bertahun-tahun, hingga aku beranjak remaja. Aku yang
juga tumbuh mekar semanis kakakku, telah lulus SMP. Dan aku masih
menjadi anak manja ayah kami.
*
“Salmah....
Pijati ayah, nak.... Badan ayah pegal sekali...”, pinta ayah siang itu.
Hari ini hari Minggu, aku dan adik-adikku libur sekolah. Ibu mengantar
pesanan seorang pelanggan bersama adik-adikku. Aku sendirian, dan Kak
Sa’diah sedang ke warung untuk berbelanja sayuran. Ayah kami baru tiba
semalam. Ayah baru saja menyelesaikan pengiriman barang dagangan Tuan
Amir ke Surabaya. Harus menempuh perjalanan sehari-semalam untuk sampai
kesana.
Aku masuk mengikuti ayah ke dalam bilik ibu kami.
Ayah merebahkan badannya yang sedikit tambun sekarang. Ayah membuka kaus
dalamnya, menyodorkan minyak urut kepadaku, dan menyuruhku segera
memijat. Aku bubuhkan sedikit minyak di punggung ayah kami, lalu mulai
mengurut. Ibuku sangat suka pijitanku. Katanya tanganku lembut tapi
kuat, mampu mengendorkan otot yang kencang. Ayah terlena menikmati
pijatanku. Dan aku sungguh-sungguh ingin membuatnya lepas dari rasa
penat.
Aku harus mengangkat rokku agar bisa berpindah ke
sisi lain tempat tidur. Tak sengaja rok itu tersingkap. Aku
tersipu-sipu, sementara ayahku terpana melihatku.
“Maaf,
ayah...”, ucapku dengan sopan. Aku tak menyadari kecamuk di dadanya yang
baru saja tersulut. Ayahku berusaha memejamkan matanya erat-erat,
sementara pijatanku mulai meremas punggungnya dengan lembut. Bayangan
wajah ibuku tiba-tiba berkelebat dalam benak ayahku. Dahinya berkeringat
dan wajahnya tiba-tiba saja memerah.
“Marliah...”, sayup-sayup panggilnya dengan suara parau.
“Ayah
memanggilku ?”, sahutku. Aku mendekatkan wajahku padanya. Tiba-tiba aku
terkejut saat tangan ayahku menarikku hingga aku jatuh terbaring di
sisinya. Ayah mendekapku, napasnya tersengal-sengal penuh napsu....
Matanya terpejam, tapi cengkeraman tangannya begitu kencang. Aku takut.
Aku meronta agar bisa lepas dari tangannya. Bibir ayah terkatup kencang,
sedangkan sebelah kakinya mulai menindihku.... Aku menjerit, berusaha
menyadarkan ayah yang selama ini memanjakanku. Dalam bingung aku
memukulkan kepalan tanganku ke punggungnya. Dan ayahku seolah tak
merasakan apa-apa.
Jeritanku terdengar telinga Kak
Sa’diah. Dia baru saja sampai di depan pintu ketika jeritanku
mengusiknya. Tas berisi sayuran yang digenggamnya dilemparkannya begitu
saja ke lantai. Kak Sa’diah langsung berlari mencariku. Dan dia terkejut
ketika melihatku sedang bersusah-payah melepaskan diri dari dekapan
ayah kami. Aku pandangi mata kakakku dengan tatapan ngeri. Kak Sa’diah
tiba-tiba mengambil sesuatu dari dapur dan menghambur ke arah ayahku.
Diayunkannya benda itu berkali-kali ke punggung ayah. Ayah menjerit
kesakitan, berulang-ulang.... Dekapan ayah terlepas sudah dariku. Aku
melompat berdiri dari ranjang ibuku. Menghambur ke arah kakakku yang
termangu dengan tangan berlumuran darah yang mengalir dari benda itu.
Pisau dapur kesayangan ibu....
*
Kakakku
diseret ke dalam penjara oleh polisi. Ibu kami terpukul dua kali.
Pertama karena kematian suaminya yang ternyata dibunuh anak perempuan
kesayangannya sendiri. Dan kedua karena harus mengikuti proses peradilan
Kak Sa’diah yang tak kunjung usai. Kami yang miskin tak cukup mampu
menyewa pengacara mahal seperti orang-orang kaya itu. Dan meski
kesaksianku banyak meringankan hukuman kakakku, kami harus terima pada
putusan hakim yang menvonis Kak Sa’diah dengan penjara selama 10 tahun.
Ibuku pingsan mendengarnya. Aku hanya bisa menangis. Kak Sa’diah tak
menyatakan banding pada vonis itu. Ia sangat merasa bersalah karena
telah membuat ayah kami tiada. Andai kata saja waktu bisa diputar ulang,
barangkali dia akan memakai cara lain yang tak terlalu berbahaya untuk
menyadarkan ayah kami dari tindakannya yang di luar kendali. Tapi nasi
telah menjadi bubur. Ayah kami telah dikubur. Dan kakakku dengan pasrah
menerima apapun hukuman yang harus dilaluinya.
Hanya
selang dua tahun setelah ayah tiada, ibu kami jatuh sakit. Akulah yang
akhirnya meneruskan usaha ibu kami berjualan baju keliling. Aku putus
sekolah. Sedangkan adik-adikku aku haruskan meneruskan sekolah mereka.
Setidaknya aku ingin mereka lulus SMA, agar bisa bekerja di
pabrik-pabrik yang kini mulai menjamur tumbuh di daerah kami. Ibu sering
melamun dalam kesendiriannya. Dalam tidurnya, ibu sering kali
mengigaukan nama ayah. Mula-mula ibu masih mau makan barang sedikit,
tapi akhir-akhir ini minuman pun sudah sangat sulit ditelannya. Ibu kami
kurus kering, beliau hanya bisa berbaring lemah di kamarnya yang sunyi
tanpa kehadiran ayah. Kadang aku menangis diam-diam saat memandangi
ibuku yang tertidur dalam sakitnya.
‘Ayah..., mengapa
jadi begini ?’, bisikku dalam dada. Ayah yang memanjakanku ketika kecil
itu sudah tak bisa lagi mengusap kepalaku. Ayahku jahat ?, tanyaku pada
diriku sendiri berkali-kali. Aku menggelengkan kepalaku sendiri,
berusaha menyangkalnya. Pasti waktu itu ayah sedang lupa..., pasti
karena ayah terlalu rindu pada ibu kami..., pasti karena ayah sedang
ingin bergurau.... Bergurau ? Ahh..., pertanyaan terakhir itu membawaku
kembali pada kenangan akan kencangnya dekapan ayahku yang nyaris
membuatku tak bisa bernapas. Aku tak mengerti..., aku tak bisa
memahami.... Salahkan Kak Sa’diah ? Dia sudah membunuh ayah kami....
Tapi kakakku berusaha membelaku dari tindakan ayah yang tak terduga itu.
Haruskah orang yang telah menyelamatkan diri kita dipersalahkan ?
Ampuni aku, ya Tuhan.... Semua ini terlalu membingungkan....
“Salmah...,
jangan menghalangi jalan, nak.... Beri ayahmu tempat agar bisa
menghampiri ibumu ini...”, tiba-tiba terucap bisik ibuku. Aku bingung,
tak ada siapa-siapa selain kami berdua di kamar ini.
“Minggirlah
sedikit, nak.... Berikan jalan...”, ucapnya lagi. Aku beringsut, dan
ibuku tersenyum melihatnya. Kedua tangannya tiba-tiba terangkat ke atas
dadanya, seolah ingin merangkul seseorang. Hanya sejenak kedua tangan
itu tergantung disana, lalu tiba-tiba keduanya terkulai lemah. Ibuku tak
lagi bernapas. Aku tersentak menatapi wajahnya yang masih segar tapi
tak bernapas itu. Dengan perlahan aku dekati ibuku, rasa takutku makin
menjadi ketika aku menyadari kalau bibir ibuku perlahan-lahan membiru.
Ibuku telah pergi....
“Ibu.... Ibu...”, panggilku pilu. Ibuku diam tak bergerak....
*
Kak
Sa’diah telah menunaikan hukumannya dengan potongan masa tahanan.
Kakakku menjadi contoh tauladan bagi narapidana lain karena
kepandaiannya mengasah keterampilan menjahit. Hasil karya Kak Sa’diah
bahkan sudah berhasil dipasarkan ke koperasi lembaga pemasyarakatan.
Jahitan yang halus dan sulaman yang indah membuat kebaya buatan kakakku
digemari kaum ibu. Dari jasanya, Kak Sa’diah bisa membantuku memenuhi
kebutuhan hidup adik-adik kami. Dan kini dia telah bebas menghirup udara
di luar penjara wanita. Tak terhingga senangnya hatiku dan adik-adikku.
Kami langsung menuju ke pemakaman untuk berziarah ke makam kedua
orangtua kami.
Kak Sa’diah menangis dengan pundak
terguncang-guncang saat tiba di depan makam ayah dan ibu kami. Lama
sekali kami membiarkannya menangis disana. Sore menjelang maghrib
barulah kami tiba di rumah. Kak Sa’diah terpukau dengan pemandangan di
sepanjang jalan kami menuju pulang. Banyak ruko-ruko baru dibangun di
kiri-kanan jalan. Pasar-pasar yang dulu kumuh kini berubah menjadi
moderen dan penuh kendaraan roda empat terparkir di halaman. Kasihan
kakakku, dia baru tahu bila saat ini rumah kami telah dipunggungi sebuah
bangunan bertingkat empat, kantor cabang sebuah bank ternama. Membuat
rumah kami tampak kerdil. Aku senang Kak Sa’diah pulang, beberapa minggu
lagi aku akan mengajaknya bertemu dengan keluarga calon suamiku,
seorang salesman perusahaan obat-obatan. Aku sendiri sudah mantap dengan
usahaku berjualan baju, sekarang aku menyewa kios sendiri di pasar, tak
lagi berjualan keliling seperti almarhumah ibuku. Halimah dan Zakiah,
kedua adik kami, kini sudah kuliah. Aku bangga mereka punya cita-cita
tinggi.
Bang Najib, calon suamiku itu, anak seorang
pengusaha pembuat baju jadi. Sebenarnyalah aku berkenalan dengannya
karena hubungan baikku dengan ibunya. Ibu Hasnah itulah yang menjodohkan
kami berdua. Tak disangka, Bang Najib pun terpikat padaku. Jadilah kami
saling berjanji untuk membina hidup bersama suatu hari nanti. Kami
sudah berkenalan selama hampir dua tahun, sebelum akhirnya Ibu Hasnah
melamarku untuk anak lelakinya itu. Aku bangga dan bahagia, tentunya.
Aku persilakan keluarga Bang Najib mempersiapkan semuanya. Sementara aku
sendiri akan meminta bantuan adik ayah untuk menjadi wali nikahku
nanti. Berita akan rencana pernikahanku itu sudah aku sampaikan pada Kak
Sa’diah. Dia begitu terharu hingga berlinangan air mata tanpa bisa
mengucap apa-apa. Kakakku memang jadi lebih pendiam kini. Dia hanya
terlihat ‘ramai’ bila sedang menjahit baju pesanan pelanggan yang
diterimanya di rumah. Maka tak ada yang melebihi kebahagiaanku kecuali
bisa membuat kakakku tersenyum bahagia atas perkawinanku. Kami
menyelenggarakan pesta kecil-kecilan dengan hanya menggundang
sanak-saudara dan para tetangga.
*
Hidup
kami berlima sangat bahagia. Aku dan Bang Najib harus berbagi hidup
dengan ketiga saudari-saudariku. Kak Sa’diah makin hari makin dikenal
orang karena jahitannya. Dan saat ini kuliah Halimah hampir selesai.
Tinggal ujian skripsi. Aku meneruskan kesibukanku berdagang baju jadi di
kios pasar. Pelangganku banyak. Biasanya mereka pelanggan lama yang
dulu sering aku setori baju jadi di kampung-kampung. Di tempat asalnya
mereka juga berdagang baju jadi, dipasarkan ke tetangga kiri-kanan dan
para kenalan. Kalau ada baju yang tak cocok dengan selera, aku
persilakan mereka mengembalikan padaku. Begitulah hidup, semua harus mau
berbagi. Hubungan yang saling menjaga kepercayaan itu juga membuat
pelangganku senang. Bahkan ada beberapa di antara mereka yang sudah
berlangganan denganku selama lebih dari lima tahun.
Bang
Najib kadang-kadang keluar kota berama teman sekantornya, naik kendaraan
milik kantor. Kadang-kadang dia tak pulang hingga berhari-hari untuk
tugasnya itu. Tapi tak apa. Aku percaya padanya. Aku sendiri sudah hamil
tiga bulan. Duhai..., andai ibu kami tahu bila beliau akan punya cucu,
alangkah senangnya.... Aku usap perutku yang masih belum begitu
membuncit. Aku tahu janin dalam perutku tahu bila aku memikirkannya. Aku
yakin dia juga sedang tersenyum bersamaku saat ini.
Aku
sedang sibuk meladeni pelanggan siang itu, ketika handphoneku berdering
nyaring di sakuku. Dari Halimah. Ada apa dia menelponku siang-siang
begini ? Bukankah dia ada konsultasi dengan dosen pembimbing sampai
malam nanti ? Alisku berkerut, tapi tak urung aku jawab panggilan
itu....
“Halo...? Ada apa Halimah ?”, sapaku padanya. Terdengar isakan tangis dari seberang telepon.
“Kakak.... Cepat pulang, Kak.... “, kata Halimah dengan sesenggukan.
“Ada apa ?”, tanyaku heran. Perutku tiba-tiba terasa mulas.
“Ceritanya nanti saja.... Kakak cepat pulang...”, ucapnya lagi. Bulu kudukku meremang. Aku segera menutup kios dan pulang.
Bermacam
pertanyaan hilang dan timbul dari benakku. Kejadian apa lagi yang kini
menimpa kami, ya Tuhan ? Kakiku menapak masuk ke gang depan rumah dengan
gemetaran. Sepasukan polisi lalu lalang di depan rumah kami. Tanda
police line terpasang di sepanjang pagar. Aku mencoba menguak tanda
batas itu, dan seorang petugas polisi berusaha mencegahku masuk. Aku
menjelaskan tentang siapa diriku dengan penuh kecemasan. Di ruang tamu
telah menanti Halimah dan Zakiah yang terduduk menangis saling
berpegangan tangan. Aku hampiri mereka. Dan keduanya langsung menghambur
ke arahku....
“Kak Salmah.... Kak Salmah.... Mengapa
keluarga kita jadi begini, kak...?”, jerit Halimah saat memelukku. Aku
dudukkan dia di kursi, dengan bingung aku memandangi Zakiah yang juga
ikut menangis sedih bersamanya. Kemana Kak Sa’diah ?
“Ada apa, Zakiah ? Ada apa sebenarnya ?”, tanyaku gusar. Zakiah menangis lagi.
“Kak
Salmah.... Kak Najib.... Di dapur...”, ucapnya terbata-bata. Aku
terperanjat. Aku segera berlari ke dapur. Begitu banyak petugas polisi
disana. Tiga orang di antaranya sedang berjongkok di sebelah tubuh
seseorang. Celana warna coklat itu mengingatkanku pada seragam Bang
Najib yang biasa dipakainya saat kerja. Hatiku tersentak ! Aku
menghambur ke arah tubuh yang terbaring disana....
“BANG
NAJIIIB.....!!!!! ABAAANG....!!!!”, jeritku pilu. Lelaki terkasihku
terlentang dengan tubuh tertancap sebuah gunting jahit di dadanya....
*
Lelaki
kecil itu menggenggam jemariku. Rambutnya yang ikal dan senyumnya yang
manis benar-benar penjelmaan Bang Najib yang kembali hadir ke dunia.
Kini lelaki kecilku sudah berumur setahun, sedang senang-senangnya
berjalan tertatih-tatih kemana pun dia ingin. Halimah sudah lulus
sarjana, dan sedang menjadi trainee di sebuah bank BUMN. Zakiah sebentar
lagi akan menulis skripsi. Dan aku sendiri masih berjuang dengan kios
baju jadiku.
Kaki Halimah terpeleset di depan kamar mandi
yang terletak berdekatan dengan dapur kala itu. Karena limbung, dia
nyaris terjatuh kalau saja Bang Najib tidak menangkap tubuhnya.
Sayangnya, kejadian itu dikira Kak Sa’diah sebagai sesuatu yang
disengaja oleh Bang Najib untuk mengganggu Halimah. Kak Sa’diah yang
pendiam itu langsung menancapkan gunting jahit yang sedang dipegangnya
ke dada suamiku. Dia salah paham. Halimah yang meraung melihat Bang
Najib meregang nyawa, berusaha mengatakan kalau Bang Najib sedang
berusaha menolongnya agar tak terjatuh. Sanggahan itu membuat batin Kak
Sa’diah terguncang hebat. Kak Sa’diah histeris, dia kehilangan akal
sehatnya. Dokter jiwa yang memeriksanya mengatakan kalau saat ini Kak
Sa’diah terkena skizofrenia. Di kamar rumah sakit jiwa, perempuan
pendiam itu berdiam, sering duduk diam-diam dalam heningnya dunia yang
hiruk-pikuk di sekitarnya....
SELESAI
Siang hari, akhir Nopember 2010.
Bintaro Jaya 3A
Selasa, 16 Oktober 2012
PEREMPUAN YANG TERDIAM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar