Aku duduk di kursi teras ini sendirian. Bulan yang
temaram tampak bersembunyi di balik tebalnya mega yang berarak di
langit. Malam yang kelabu, setidaknya itu yang aku rasakan saat ini. Aku
yang sudah tak bisa lagi disebut remaja, aku yang sudah mapan dengan
pekerjaan dan penghasilan, aku yang kata orang cukup tampan, ahh...itu
semua omong kosong. Bagi ibuku aku tetaplah anak bungsunya yang tak
boleh menentukan pilihanku sendiri.
"Jadi
lelaki itu harus bisa membawa diri..., jangan hanya bisa sembarangan
berkata-kata dan bertingkah-laku. Ingat, Candra, kamu itu seorang
ningrat. Seorang ningrat tidak patut melakukan sesuatu yang tidak
bermartabat. Jaga kehormatan keluargamu, nama besar almarhum eyangmu,
nama besar almarhum ayahmu.... Ingat-ingat itu !", kata ibuku setiap
kali aku melakukan sesuatu yang tidak berkenan di hatinya.
"Inggih,
Ibu.... Saya akan mengingatnya...", jawabku waktu itu. Kata-kata yang
sejak aku kecil kupelajari dari keluarga kami dan orang-orang yang
melayaniku di rumah besar kami, para abdi dalem yang sejak kecil
menemaniku di saat kedua orang tuaku sibuk dengan kegiatan mereka.
Ya,
ibuku memang mengatakan yang sebenarnya, aku memang berasal dari
keluarga bangsawan Jawa, penuh tatakrama dan aturan. Ibu mendidik semua
anak-anaknya untuk mengenal semua tatacara dalam tradisi keluarga besar
kami. Menurut silsilah, kami memang masih berkerabat dekat dengan
keluarga Keraton Solo. Bahkan almarhum Eyang Kakung kami bergelar
Kanjeng Raden Tumenggung. Eyang sendiri adalah seorang pujangga keraton.
Jadi itulah yang harus kami jaga, nama besar kebangsawanan kami.
"Seperti
tata surya, kita ini ibarat matahari bagi masyarakat yang ada di
sekeliling kita. Kita memberi mereka cahaya agar mereka dapat melihat,
dan mengganti kegelapan yang menyelimuti hidup mereka dengan penerangan.
Kita adalah sumber pengetahuan...", kata ibuku meneruskan. Aku
mengangguk saja, tak ada gunanya aku berdebat dengannya. Lagi pula, hal
itu ora ilok. Tidak baik bagi seorang anak untuk mendebat ibunya sendiri.
"Segala
yang sudah almarhum Bapak pelajari tentang tata cara tradisi keluarga
kita itu harus kamu pelajari juga. Pada akhirnya nanti, kamu yang akan
memegang kendali Puro Suryaningrat ini. Jangan sampai tradisi itu
terhenti sampai disini. Kamu harus bisa menjadi penerus nama baik Bapak,
menjadi kepala keluarga Suryaningratan...", kata ibuku dengan pandangan
tajam menatapku. Aku hanya mampu menundukkan kepalaku dan mengangguk
setuju. Ada banyak buku yang disimpan almarhum Bapak di ruang pustaka
Dalem Suryaningratan. Aku sendiri pernah membaca beberapa buku di
antaranya. Isi dari buku-buku itu sebenarnya menarik, tapi sebagian dari
buku-buku itu ditulis dengan aksara Jawa kuno. Dan meski aku sudah
dididik untuk mempelajari buku-buku itu sejak aku masih kanak-kanak,
bagiku pribadi buku-buku itu ketinggalan jaman.
Telah
berabad rumah kami berdiri. Tanah yang kami miliki memungkinkan
keluarga besar kami untuk mempunyai banyak abdi dalem. Masing-masing
abdi dalem mempunyai tugas yang berbeda. Maka tak heran bila
masing-masing paviliun juga memiliki pengurus yang berbeda pula. Jaman
memberikan banyak pengaruh bagi kondisi rumah besar kami. Hadirnya
internet dan peralatan moderen membawa masuknya teknologi canggih yang
telah mengubah wajah dunia di manapun kita semua berada. Perubahan jaman
juga memberikan pengaruh yang nyata pada transportasi yang kami
gunakan. Supir-supir yang mengabdi sebagai abdi dalem kami haruslah
mereka-mereka yang paham tak hanya mobil-mobil yang manual, tapi juga
yang bertransmisi otomatik. Kalau saja Eyang kami masih ada sekarang,
barangkali beliau akan terheran-heran melihat betapa berkembangnya
kemajuan dunia otomotif jaman sekarang. Apalagi kalau beliau sempat
melihat mobil yang digerakkan dengan remote seperti yang sering kita
tonton lewat film James Bond 007.
Ya,
Eyang kami yang juga seorang Kanjeng Raden Tumenggung itu pasti bakal
terkesima melihat itu semua. Tapi seperti apapun, aku tak yakin beliau
akan memperlihatkan ekspresi yang nyata saat sedang berada di
tengah-tengah orang banyak. Ojo gumunan..., mungkin falsafah
itu yang bakal beliau ingat. Maka menunjukkan raut muka yang datar tanpa
ekspresi adalah cara paling ningrat yang bisa beliau tunjukkan demi
nama besarnya.
Hhh..., agak absurd
sebenarnya. Aku pribadi merasa nama besar itu tak lagi berguna, hanya
sebuah simbol saja, bahwa kami terlahir dari keluarga yang pada jaman
dahulu kala pernah menjadi yang terpandang di kalangan manusia Jawa.
Dahulu kala. Bukan kala kini. Aku yang hidup di masa ini tidak lagi bisa
mengatakan dengan gagah pada orang-orang yang bertemu denganku di
jalan, dan menyombongkan diri sebagai seorang Raden, misalnya. Aku sama
nervousnya dengan orang-orang lain yang melamar pekerjaan bersamaku
untuk sebuah posisi sebagai staf personalia perusahaan di kantor
tempatku bekerja saat ini. Aku juga sama bodohnya dengan orang-orang
lain yang tidak lulus seleksi CPNS. Lalu apa arti sebuah gelar bangsawan
? Aku selalu mempertanyakannya. Bagi orang-orang di luar sana,
keberadaanku tak beda dengan orang-orang yang terlahir dari kalangan
jelata. Sama-sama makan nasi, sama-sama menghirup udara, dan sama-sama
butuh kebebasan. Tapi bebaskah aku saat ini ? Entahlah....
"Meski
jaman sudah berubah, kamu tidak boleh melupakan jati diri kamu sebagai
seorang ningrat yang harus menjadi contoh tauladan bagi masyarakat
banyak. Maka kamu harus bisa membawa diri, berhati-hati dalam memilih
teman, berhati-hati dalam memilih calon istri. Umurmu 'kan sudah 25
tahun, sebentar lagi pasti kamu akan membawa seorang perempuan ke rumah
ibumu ini sebagai menantu. Hanya sekali seumur hidup, Candra.... Maka
jangan sampai kamu berbuat keliru...", kata ibuku.
"Inggih,
Ibu...", sahutku. Duuh...berat sekali pesan yang aku terima itu. Aku
tak cuma harus menjadi patron, tapi juga harus menjadi mercusuar.
Sementara aku merasa tak mampu berbuat banyak dengan keterbatasanku.
Tapi
pesan hanya bisa aku iyakan. Karena begitulah cara keluarga kami
bicara, satu arah. Kata-kata ibuku memang banyak benarnya. Tapi
sesungguhnya aku bosan mendengarnya. Aku sudah mendengar nasehat serupa
sejak aku kecil, hingga aku remaja, hingga kini aku sudah bekerja pun
ibuku masih menasehatiku dengan pesan yang kurang-lebih sama. Betapa
bosannya. Barangkali di hati ibuku, aku tak pernah bisa berpikir
sendiri, hingga ibu harus sering-sering berpesan hal-hal semacam itu
padaku.
Aku lalu teringat pada Wahyuni,
teman SMAku yang pernah aku bawa ke rumah waktu itu. Wahyuni gadis yang
manis, dia pintar dan sopan. Aku menyukainya. Aku sempat berpacaran
selama setahun dengannya sebelum kemudian aku mengajaknya main ke rumah.
Saat itu aku yakin ibuku akan senang dengannya. Tapi ternyata aku
salah. Ibuku memang menyambutnya dengan senyuman. Tapi di belakang hari,
ibuku lalu melarangku membawanya lagi ke rumah kami.
"Wahyuni itu anaknya manis sekali...", puji ibuku kala memulai pembicaraan kami. Aku mengangguk senang.
"Dia
yang termanis di kelas, Ibu.... Bagaimana pendapat Ibu tentang Wahyuni
?", aku bertanya, ingin tahu reaksinya. Ibu diam sejenak, lalu menjawab
keingin-tahuanku.
"Ibu tahu kamu suka
pada Wahyuni. Ibu tahu kamu sudah beranjak remaja. Tapi Wahyuni bukan
gadis yang pantas menjadi pacarmu. Dia hanya anak seorang pegawai di
toko batik, Candra.... Lain kali jangan ajak lagi gadis itu ke rumah
ini. Kamu mengerti 'kan maksud ibumu ?", kata ibu kala itu.
Ucapan
yang sejenak membuat jantungku berhenti berdetak. Wahyuni adalah cinta
pertamaku, lalu bagaimana aku bisa melupakannya hanya karena dia anak
pegawai sebuah toko batik ? Aku pun kembali mengutuki diriku sendiri.
Pada akhirnya yang kulakukan pada gadis itu sungguh pengecut. Aku tak
tega mengatakan alasan mengapa kami harus berpisah. Aku lalu hanya mampu
mengatakan padanya kalau aku tidak lagi bisa menemuinya, karena aku
akan sekolah di luar kota. Aku tak mau dia menungguku, maka aku memilih
memutuskan hubungan kami. Begitulah yang terjadi, aku sudah berbohong
padanya. Pada gadis yang kepadanya cinta pertamaku aku berikan. Aku
heran mengapa ibuku masih saja mempertimbangkan latar belakang keluarga
Wahyuni. Bukankah dia anak yang baik, pintar, dan wajahnya cantik.
Tidakkah itu cukup baginya untuk diterima sebagai pacarku ?
Itu...adalah kekecewaan pertamaku pada aturan ibu, dan pada omong kosong nama besar keluarga ini.
*
Aku
masuk ke sebuah universitas terkenal di luar kota, aku masuk Fakultas
Hukum, dan disana aku bertemu dengan Nona yang sungguh mati cantiknya
luar biasa. Nona adalah orang yang ceria. Dia tidak suka basa-basi, dan
dia suka berorganisasi. Aku mengaguminya. Aku memandangnya sebagai
seorang perempuan yang berpikiran moderen, maju, banyak wawasan, dan
bisa diajak berbagi. Aku bersemangat sekali menjalin hubungan dengannya.
Tapi aku tak mau salah langkah kali itu, sebelum aku menyatakan cintaku
padanya aku harus mengenalkannya dulu pada ibuku, aku sengaja
mengajaknya bersama dengan teman-teman kuliah kami ke rumah ibu. Supaya
aku tahu pandangan ibuku padanya.
"Besok akan ada beberapa teman yang datang ke rumah, Ibu. Mohon ijin supaya mereka bisa diterima disini...", pintaku pada Ibu.
"Bawa
saja temanmu. Mungkin pustaka yang ditinggalkan Bapak bisa membuat
mereka tertarik untuk ikut mempelajari. Buku-buku yang ada di ruang
pustaka juga ada yang berisi tentang hukum adat Keraton. Itu pasti cukup
menarik...", jawab Ibu saat itu dengan senyum terkembang. Aku senang
beliau mengijinkan aku membawa teman-temanku ke rumah. Mungkin karena
aku sudah cukup dewasa.
Aku kemudian
mengajak Nona dan teman-temanku lainnya. Dan aku kira aku sudah memilih
perempuan yang paling hebat. Karena selain cantik dan ramah, Nona adalah
seorang perempuan yang supel dan mudah bergaul. Dengan tak meninggalkan
adat ketimuran, dia bisa berbincang akrab dengan ibuku, sesuatu yang
membuat aku menjadi lega saat melihatnya. Tapi ketika semua usai,
tiba-tiba ibuku mendekat dan kembali mengeluarkan nasehat itu.
"Nona itu cantik sekali, ya ?", kata Ibu. Hatiku berdebar-debar. Apa pendapatnya sekarang ?
"Inggih,
Ibu. Dia aktif di Senat Mahasiswa Fakultas. Saya mengaguminya...",
kataku terus-terang. Aku mau ibuku tahu bagaimana besarnya rasa sukaku
pada Nona.
"Ibu tahu kamu suka pada Nona.
Ibu juga tahu kalau kamu sudah dewasa. Tapi sebaiknya kamu pikirkan
masak-masak pilihanmu, Candra. Nona itu bukan orang Jawa, dia orang
Manado, adat-istiadat keluarganya pasti berbeda jauh dengan kita. Kamu
tidak mau 'kan keluarga besar almarhum Eyang antipati pada calon istrimu
? Carilah yang seakar dengan budaya kita, orang yang punya pandangan
dan adab yang sama dengan keluarga kita. Nona memang cantik, ibu akui
itu. Tapi ibu khawatir dia tak bisa menyesuaikan diri dengan tradisi
keluarga kita. Jadi kalau kamu ingin menjadikannya calon istrimu,
pikirkanlah lagi masak-masak, karena ibumu ini tidak akan
mendukungmu...", kata ibuku saat itu.
"Nona
itu gadis yang sangat baik, Ibu.... Dia orang yang istimewa...", kataku
pelan, aku ingin menyanggahnya dengan penjelasan ini. Tapi sia-sia. Dan
aku kecewa.
"Ya, Ibu juga tahu kalau dia
anak yang baik. Tapi dia bukan orang yang bisa mendukung tradisi
keluarga kita. Ingat, tugasmu adalah meneruskan tanggung-jawab Eyangmu
sebagai pengangeng pura Suryaningratan. Jadi urungkan niatmu untuk menjadikan Nona sebagai calon istrimu...", kata Ibu tegas.
Aku
tak tahan, sebenarnya.... Aku amat sangat ingin mengatakan keberatanku
pada alasan ibu. Aku sudah dewasa. Dan aku pikir aku layak mendapatkan
kebebasan memilih siapapun yang bisa jadi pacar atau calon istriku.
"Jangan
pernah kamu berpikir ibu tidak sayang padamu.... Ibu hanya ingin kamu
selamat dunia-akhirat.... Jangan hanya mempertimbangkan hawa nafsu.
Ikuti saja apa yang ibumu ini nasehatkan, Candra. Semua untuk kebaikanmu
sendiri.... Ingat..., kamu adalah satu-satunya anak laki-laki almarhum
bapakmu. kamulah tumpuan harapan seluruh keluarga bapakmu ini.
Kakak-kakak perempuanmu tidak bisa meneruskan tradisi menjaga harta
pusaka almarhum Eyang. Hanya kamu yang kelak bisa menjaganya, karena
kamu adalah anak laki-laki bapakmu satu-satunya...", kata ibuku lagi.
Aku
menghela nafas, urung mengungkapkan rasa gusarku saat itu. Tapi
bagaimanapun aku sudah merasa kecewa. Kekecewaan keduaku pada ibuku yang
lagi-lagi membuatku tak berdaya. Harta pusaka..., betapa berat beban
yang harus aku sandang selama hidupku. Aku menoleh ke arah lemari jati
kuno yang terletak di dalam kamar tidur ibuku. Pusaka-pusaka peninggalan
Bapak memang masih tersimpan disana. Tak ada seorang pun adik Bapak
yang mau mengurusnya, karena pusaka-pusaka itu secara tradisi hanya
boleh disimpan oleh anak laki-laki pertama dari keturunan sebelumnya.
Jadi akulah yang dimaksud ibuku itu, akulah yang bakal diminta untuk
menerima dan menjaga pusaka peninggalan leluhur kami. Aku.... Mengapa
harus aku ? Bukan yang lain.
Dan aku pun
melalui hari-hariku di kampus dengan tidak memacari siapa-siapa. Aku
sedikit banyak takut kalau-kalau ibuku bakal menolak lagi calon pacarku.
Aku lalu hanya berkonsentrasi pada kuliahku, agar aku cepat-cepat bisa
menyelesaikan studiku, lalu cepat-cepat bekerja. Ya..., bekerja agar aku
bisa secepatnya mandiri seperti saat ini. Bisa menghidupi diri-sendiri,
membeli kebutuhanku sendiri, menabung untuk keperluanku sendiri.
Bukankah itu tujuan setiap orang bekerja ? Alangkah gagahnya orang yang
mandiri. Aku tidak begitu bangga dengan harta melimpah warisan Eyang dan
Bapak. Aku ingin bisa dipandang sebagai diriku sendiri. Bukan sebagai
cucu Eyang ataupun anak Bapak.
*
Aku
sudak selesai kuliah, dan sudah pula bekerja. Bukan langkah yang mudah
ketika memulai semuanya. Aku harus membiasakan diriku untuk hidup
sendiri dulu, sebelum akhirnya nanti aku punya pendamping hidup. Dan
kupikir sudah cukup sekarang aku menunggu waktu bagi diriku sendiri.
Kurasa aku sudah sangat matang untuk mempertimbangkan perempuan seperti
apa yang bisa menjadi pendampingku. Rumahku yang terpisah jauh dari
kediaman ibuku memudahkan aku untuk pacaran lagi. Kali ini dengan
Seruni, gadis Melayu yang bekerja di seberang kantorku. Gadis yang
bertubuh tinggi dan langsing, nyaris seperti peragawati. Aku mengenalnya
karena kami sering bertemu di kantin yang sama. Dia adalah anak seorang
perwira tinggi AD, seorang brigjen yang sering kali terlihat di layar
televisi.
Seruni adalah perempuan yang
lembut tapi tegas, aku menyukai keterbukaannya dan sekaligus menghormati
sikap femininnya. Dia bekerja sebagai seorang tenaga medis. Ya, Seruni
adalah dokter muda yang bekerja di kantor itu, tugasnya adalah
memberikan perawatan dan pengobatan pertama untuk setiap pegawai yang
datang ke kliniknya. Bila sakit si pegawai termasuk gawat, dia bakal
memberikan rekomendasi bagi si pegawai untuk merujuk ke rumah sakit. Aku
merasa sangat beruntung bertemu dengannya, karena dia begitu
memahamiku. Diam-diam aku berpacaran dengannya selama 3 tahun. Aku belum
berani mengenalkannya pada ibuku, karena aku takut ibuku tak bisa
menerimanya. Sampai akhirnya Seruni memintaku untuk mengenalkan dirinya
pada ibuku. Aku tak bisa lagi menyembunyikannya dari ibuku. Maka tak ada
pilihan lain bagiku kecuali membawanya pulang ke rumah ibu.
Dan
ibuku menerimanya dengan keramahan dan senyuman, seperti ketika dulu
aku mengajak Nona ke rumah ini. Aku berdoa semoga kali ini ibuku tak
akan keberatan dengan pilihanku. Bukankah Seruni berasal dari keluarga
yang terpandang ? Dia seorang dokter, dan dia juga sudah mengenalku
selama 3 tahun belakangan. Jadi aku yakin ibuku bakal menerimanya. Tak
mungkin aku salah kali ini.
Tapi
lagi-lagi aku harus patah hati. Aku harus merelakan Seruni pergi dari
sisiku. Meski dia berasal dari keluarga terpandang, tapi keluarga
besarku menolaknya. Alasannya adalah karena ibuku sudah menjodohkan aku
dengan seorang gadis anak seorang kerabat jauh almarhum Bapak. Seorang
anak bangsawan lainnya.
"Alasan mengapa
Ibu selalu menolak gadis-gadis yang dulu pernah kamu kenalkan pada Ibu
adalah karena adanya perjodohan ini, Candra. Bapak sudah wanti-wanti pada
Ibu agar wasiat ini jangan sampai tak terwujud. Dan Ibu sudah berjanji
padanya untuk hal itu. Bukan karena gadis-gadis temanmu itu tidak baik
untukmu, tapi karena Ibu sudah berjanji akan menjalankan ikrar Bapak
untuk mengawinkanmu dengan anak Oom Wijanarko. Perjodohanmu sudah
ditentukan sejak kalian masih kecil. Kamu dan Anggun sudah dijodohkan
oleh almarhum Bapak dan Oom Wijanarko sejak kalian masih sama-sama
balita. Maaf kalau ibu baru memberitahukan ini sekarang. Tapi sepertinya
kini sudah saatnya kamu bertemu dengan jodohmu. Ini adalah janji yang
telah diikrarkan Bapak, Candra. Kamu harus berbesar hati
menerimanya...", kata ibuku. Aku sampai termangu mendengarnya.
Perjodohan ? Sejak aku masih balita ? Bagaimana mungkin di jaman sudah
semaju ini, Ibu masih saja menggunakan cara itu untuk mencarikan istri
buatku ? Lagi pula si Anggun itu..., aku sama sekali tak mengenalnya.
"Saya tidak mengenalnya, Ibu...", kataku, berusaha menyanggah keinginannya.
"Kamu
akan segera mengenalnya. Sebentar lagi kamu pasti bisa bertemu
dengannya. Kamu bisa melihat fotonya sekarang, Ibu menyimpannya untukmu.
Oom Wijanarko yang sudah mengirimkan foto-foto gadis itu kemarin lusa
lewat pos. Anaknya cantik dan berpendidikan. Dia baru saja lulus Master
dari Australia...", kata ibuku. Beliau lalu mengambil sebuah bungkusan
amplop besar yang berisi beberapa foto diri seorang gadis yang belum
pernah kukenal.
Foto-foto Anggun aku
lihat dengan rasa enggan. Gadis dalam foto itu memang terlihat cantik,
bulu matanya lentik dan hidungnya bangir. Tapi lebih dari semua itu, aku
belum mengenalnya. Jadi bagaimana bisa aku kawin dengannya ? Aku 'kan
bukan seekor kuda....
Tapi aku
benar-benar tak berdaya. Aku tak mungkin melawan janji orang yang sudah
mati, terlebih itu janji bapakku sendiri. Ini sebuah wasiat yang belum
pernah dicabutnya, janji perjodohan itu masih berlaku bahkan sampai
Bapak sudah meninggal. Kali ini, bahkan aku tak hanya kecewa pada ibuku,
tapi juga kecewa pada janji bapakku. Seruni menangis saat aku
mengatakan semua itu padanya. Dia merasa aku telah berbuat tak adil. Aku
sudah bersumpah kalau selama ini aku tak tahu apa-apa, tapi gadis itu
terlanjur kecewa. Aku sudah menghancurkan hatinya.
Dan
kini muncullah gadis itu, orang yang selama ini telah dijodohkan
denganku. Sesuai dengan namanya, Anggun adalah seorang perempuan yang
cantik dan elegan. Kecantikannya Jawa sekali, dengan wajah bulat telur
dan bentuk tubuh yang singset. Aku yakin dia dibesarkan dengan cara-cara
perawatan tradisional sebagaimana putri-putri keraton jaman dulu. Tapi
entah mengapa aku tak berselera. Di balik keanggunannya, dia adalah
seorang perempuan yang membosankan, terlalu serius dan agak kaku,
kurasa.
"Ajak Anggun jalan-jalan, Nak
Candra.... Dia ini agak kuper...", kata Oom Wijanarko saat aku dan
keluarga besar kami berkunjung ke rumahnya. Rumah Oom Wijanarko satu
kota dengan rumah pribadiku, kira-kira hanya berjarak 6 km. Anggun
tampak tersipu-sipu malu mendengar ucapan papinya. Ini adalah langkah
perkenalan sebelum lamaran kami dilaksanakan.
Dan
gadis itu ternyata pemalu sekali. Aku tak menyangka gadis yang sudah
berhasil menyelesaikan kuliah di luar negeri seperti dia bisa tampil
sepemalu itu. Gadis itu bahkan selalu tampak kaku bila sedang bicara
denganku.
"Mau makan malam dimana ?", tanyaku basa-basi. Anggun terlihat kikuk untuk menjawab.
"Dimana
saja boleh.... Saya belum tahu restoran mana yang biasa Mas Candra
kunjungi. Saya juga belum tahu makanan kesukaan Mas Candra...", jawabnya
dengan senyum canggung saat aku mengajaknya keluar makan malam
bersamaku.
Ugh..., membosankan sekali
berjalan dengannya. Sikapnya yang selalu kaku itu makin membuat aku
muak. Aku tahu gadis itu pura-pura ramah denganku. Mungkin saja dia juga
merasa asing.
"Baru kali ini berjalan dengan pria sepertiku ?", tanyaku dengan tampang cuek. Anggun tersenyum saja.
"Aku
biasa berjalan dengan teman-teman wanitaku. Dengan teman-teman pria
juga pernah, tapi tidak sering...", katanya malu-malu. Pipinya agar
memerah ketika aku memandangi wajahnya. Kelihatannya dia agak jengah.
"Kamu belum pernah pacaran ?", tanyaku tiba-tiba, dan membuat pipinya makin merah saja.
"Belum...", jawabnya dengan wajah tertunduk.
"Kenapa ?", aku penasaran sekarang.
"Sejak
SMP, Papi sudah mengatakan pada saya kalau saya sudah dijodohkan dengan
Mas Candra...", jawabnya tersipu-sipu. Mukanya makin dalam tertekuk ke
arah leher.
Aku tersenyum geli
melihatnya. Gadis bodoh itu rupanya benar-benar sudah melupakan masa
mudanya hanya karena mengetahui telah dijodohkan denganku. Bodoh sekali.
"Kamu
bisa saja berpacaran dengan yang lain sebelum menjadi istriku...",
kataku padanya. Gadis itu tak menjawab, sepertinya dia enggan
berkata-kata.
Kami habiskan malam itu
dengan makan malam di sebuah restoran steak langgananku. Heran, untuk
seorang gadis yang telah biasa hidup di Australia, selera makan Anggun
sangat Indonesia. Alih-alih memilih beef steak yang jadi menu andalan
resto ini, Anggun malah meminta seporsi nasi plus sambal dan ayam bakar
dengan bumbu kecap saja untuk makan malamnya. Dia bahkan makan dengan
tangannya, tidak memakai sendok dan garpu. Aku memandangi cara gadis itu
makan di piringnya, dan aku tiba-tiba menyadari bila ternyata di
samping pemalu, Anggun adalah seorang gadis yang sederhana.
Ibu
senang sekali mendengar kabar kami sudah sering pergi bersama. Ibu lalu
mulai mencari-cari tanggal yang baik untuk melamar Anggun. Ibu
berdiskusi dengan para kerabat kami, dan akhirnya menentukan hari
lamaran yang bakal jatuh dua bulan dari hari pertemuan pertama kami. Aku
sudah tak mau lagi memikirkan apakah aku keberatan dengan keputusan
itu. Bukankah aku tak pernah punya pilihan selama ini ? Lalu untuk apa
aku pusing karenanya ?
Lalu terjadilah
peristiwa lamaran itu. Beberapa wakil keluarga besar kami melamar Anggun
agar mau aku pinang sebagai istri. Acara lamaran ini tak jauh jarak
waktunya dengan acara pertunangan yang terselenggara hanya seminggu
sesudahnya. Semua prosesnya sangat cepat, bahkan aku sendiri sempat
terheran-heran.
Keluarga besar kami pun
kembali mengunjungi keluarga besar Oom Wijanarko seminggu kemudian untuk
mengikrarkan pertunanganku dengan Anggun. Iringan hantaran mengular
sampai ke jalan raya, semua dipersiapkan ibuku dengan matang.
Serangkaian acara berlangsung silih-berganti, dan aku mengikutinya
dengan perasaan datar, tidak bersedih, tapi juga tidak gembira. Biasa
saja. Ini kewajibanku, untuk menunaikan janji Bapak. Itu saja.
Tapi
seperti apapun aku mencoba menyukainya, aku tetap belum bisa jatuh
cinta padanya. Anggun bukan perempuan yang asyik diajak berdiskusi. Dia
jenis perempuan yang patuh dan tak banyak mengeluh. Kurang menantang
bagiku.
"Anggun itu sudah dipersiapkan
untuk menjadi istri yang taat pada suami. Kamu beruntung mendapatkan
calon istri seperti dia. Dia itu bidadari, Candra.... Mungkin kamu tidak
percaya ucapan Ibu saat ini, tapi suatu saat nanti kamu pasti akan
menyadarinya...", kata Ibu ketika aku mencoba mengutarakan keherananku
pada kepatuhan Anggun.
Aku lalu teringat
pada Nona yang enerjik dan penuh inisiatif, aku juga teringat dengan
Seruni yang selalu bisa dijadikan teman diskusi yang asyik. Istri yang
taat, apa menariknya perempuan seperti itu ? Aku perlu perempuan yang
bisa membuat aku bersemangat menghadapi hidup, bukan seorang perempuan
yang hanya bisa pasrah. Semakin aku memikirkannya, semakin aku merasa
apatis. Aku bisa bayangkan hidup seperti apa yang bakal aku jalani
dengan perempuan itu. Kehidupan yang datar, tanpa gejolak dan tanpa
warna-warni. Aku melihat hidup yang abu-abu di depanku. Betapa bosannya.
"Kau
hanya menelponku untuk mengatakan ini ?", kata-kata Seruni terdengar
sinis di telpon. Dia sepertinya sangat gusar dengan kabar tentang
rencana perjodohanku yang sudah ditetapkan ibuku. Ahh..., aku maklumi
kemarahannya, aku pun merasakan kemarahan yang sama.
"Maafkan aku, Runi. Tapi aku tak berdaya...", sahutku lemah.
"Aaaahh.....!", terdengar kekesalan Seruni dari seberang telepon. Seruni marah sekali. Aku terdiam.
"Kau
! Kau selalu mengatakan hal yang sama. Tak berdaya..., bukan maumu...,
sudah dijodohkan orang tua..., apa lagi yang akan kamu katakan nanti ?
Aku betul-betul muak padamu, Candra. Aku sekarang betul-betul muak
dengan pendirianmu yang lemah itu. Apa kamu laki-laki tulen ? Tingkahmu
seperti banci !", ketus Runi membalas keluhanku.
Tak
pernah dia memaki sekeras itu padaku sebelumnya. Apa yang dia ucapkan
menyakiti hatiku, dia sudah mengusik harga diriku sebagai lelaki. Aku
dibilang banci ? Kurang ajar sekali.
Tapi
aku juga menyadari bila apa yang dikatakannya itu masuk akal.
Ketakberdayaanku memang mirip kelakuan banci. Aku banci kaleng ! Tak
mampu menentukan pilihanku sendiri. Seperti kerbau yang dicucuk
hidungnya, aku bahkan tak berani memberontak pada ibuku. Hhh..., aku
tekan rasa sakit di dada karena ucapan Runi itu.
"Runi..., dengarkan aku...", kataku, mencoba untuk bersabar.
"Tidak
! Aku tidak mau dengar apa-apa. Jangan lagi kamu menelponku. Kita sudah
tamat !", kata Runi ketus, lalu menutup telponnya.
Aku termangu di meja kerjaku. Pak Andre yang duduk di seberang meja kerjaku rupanya sempat mengamatiku.
"Benar-benar putus ?", tanyanya. Dia tahu aku sudah putus dari Seruni. Aku hanya mengangguk lemas.
"Harimu
masih panjang, boi.... Jangan patah semangat. Masih ada banyak
perempuan di luar sana. Pilih satu dan jadikan dia istrimu...", kata Pak
Andre.
Aku hanya tersenyum kecut mendengarnya mengatakan itu. Hhh..., kalau saja dia tahu....
*
Hari
pernikahanku dengan Anggun pun ditetapkan sudah. Anggun juga sudah
mendapat pekerjaan sebagai seorang tenaga akunting di sebuah bank
ternama. Tapi lebih dari segalanya, dia tetap seorang perempuan yang
sederhana. Aku menikahinya di rumah keluarganya yang berhalaman luas dan
berbangunan asri. Pernikahan itu sendiri disaksikan oleh banyak
kalangan. Bahkan beberapa teman masa kecilku pun ikut serta berdatangan.
Anggun didandani dengan sangat cantik. Kecantikannya memancar membuat
semua tetamu yang datang terkesima memandangnya. Aku sendiri tak heran
dia bakal tampil secantik itu. Orang yang tidak terbiasa berdandan,
pasti akan tampil sangat menarik saat sudah didandani seperti itu.
Bagaimana tidak ?, Anggun memang tak suka bermake-up lengkap seperti
perempuan lainnya. Baginya kesederhanaan adalah penampilan yang
sempurna.
Prosesi pernikahan kami sungguh melelahkan. Setelah pernikahan itu, kami harus juga melewati prosesi ngundhuh mantu,
sebuah prosesi yang menggambarkan telah diboyongnya sang mempelai
wanita ke dalam keluarga mempelai laki-laki. Prosesi ini diadakan di
Dalem Pura Suryaningratan, rumah keluarga besar kami. Selepas prosesi
ini, aku akan dianugerahi gelar baru, sebagai penerus almarhum Bapak.
Dan aku juga yang bakal didapuk menjadi pemimpin pura keluarga besar
kami. Bukan hal yang luar biasa untukku, bukankah sejak dulu aku sudah
tahu bakal mendapatkan anugerah ini ? Anugerah..., mengapa kata itu
terdengar seperti ironi ? Aku tak merasa teranugerahi. Yang bakal
kuterima ini hanyalah beban yang mengikat kakiku.
Menikahi
wanita yang tak kucintai, mengerjakan tugas yang tak kusenangi,
mengiyakan permintaan yang tak kuingini.... Aku benar-benar sudah jadi
orang paling munafik di dunia. Aku seharusnya terlaknat karena semua
sakit hati yang sudah aku torehkan di hati gadis-gadis yang dulu pernah
aku cintai. Ketika semua orang bisa dengan nikmat melalui hari-hari
mereka bersama dengan istri yang mereka pilih sendiri, aku harus
menjalani hari-hariku yang membosankan bersama Anggun, istri pilihan
ibuku itu.
Aku dan Anggun lalu pindah ke
rumah besar kami di Pura Suryaningratan. Aku terpaksa meninggalkan
pekerjaanku di kantor, dan hanya berkonsentrasi mengurus Dalem Pura
serta mengelola semua aset usaha keluarga yang ditinggalkan Bapak
untukku. Ada tiga usaha keluarga yang bergerak di bidang perhotelan,
travel agency, dan pembuatan batik. Semuanya adalah bidang-bidang yang
kami kuasai selama ini. Keluarga kami memang memiliki banyak
ketertarikan pada bidang pariwisata dan busana. Anggun membantuku dengan
juga ikut mengelola bagian finance. Itu keahliannya. Aku memercayakan
jabatan sebagai Direktur Finace kepadanya. Sedangkan aku sendiri menjadi
Direktur Utama.
Aku tak mau selamanya
tenggelam dalam kesedihanku karena berpisah dari Seruni. Aku sengaja
membuat diriku sendiri sibuk dengan jadual dan pekerjaanku. Aku dan
Anggun sama-sama terlarut dengan kegiatan kami masing-masing. Dengan
bekerja, aku benar-benar bisa melupakan Seruni. Tapi meskipun sudah
menikah, aku tidur terpisah dari Anggun. Dan sejujurnya, aku belum
pernah menyentuhnya sejak kami resmi menjadi suami-istri.
Sebenarnya
aku kasihan pada Anggun, tapi perempuan itu tak pernah menunjukkan rasa
keberatannya padaku. Dia begitu sabar menanti hatiku terbuka untuknya.
Frekuensi perjumpaan kami memang akhirnya mencairkan rasa keterasingan
kami satu sama lain, aku sekarang bisa bicara dengan enak dengannya.
Meski pembicaraan kami jauh dari kata asyik dan hangat seperti ketika
dulu aku berbicara dengan Seruni. Duuh...Seruni.... Nama itu terlintas
lagi di benakku. Apa kabarnya kini ? Aku sengaja mencari kabar
tentangnya di kantor Seruni. Tapi karyawan disana bilang, Seruni sudah
pindah ke luar kota. Dimana dia ? Aku merinduinya.
Anggun
mengajakku makan malam di luar kali ini. Dia mengajakku mampir ke
sebuah restoran Jepang yang terletak di sudut jalan. Restoran itu ditata
dengan apik, ada beberapa ruangan yang disekat-sekat dengan dinding
kayu yang mengharuskan pengunjungnya melepas sepatu, karena harus duduk
bersila di dalamnya. Dan ada juga meja-meja moderen yang disusun
layaknya restoran lain dengan sebuah kompor di tengah-tengah
masing-masing mejanya. Itu untuk memasak makanan seperti Shabu-shabu dan
berbagai jenis hotpot lainnya.
Aku sudah
duduk di meja yang Anggun pesan. Anggun lalu berpamitan ke toilet, itu
kebiasaannya sebelum memesan makanan. Tiba-tiba mataku menangkap sesosok
perempuan berparas cantik. Perempuan itu tersenyum manis dari mejanya
yang terletak di sudut restoran. Giginya rapi dan bibirnya merah
menggoda. Sejenak disibaknya rambut yang tergerai menutupi telinga. Aku
tahu dia masih single, tak ada cincin kawin menghiasi jemarinya. Aku
masih terpesona ketika Anggun tiba-tiba datang kembali ke meja kami dari
toilet.
"Mau makan apa, Mas ?", dia bertanya, membuat aku tersadar dari keterpesonaanku.
"Apa
saja.... Kau saja yang pilih...", jawabku sekenanya. Anggun mengangguk,
lalu mulai membuka-buka buku menu yang disediakan pelayan restoran,
sementara aku mulai mencari-cari lagi keberadaan perempuan itu. Tapi
makhluk cantik itu sudah tak ada, meja di sudut itu sudah kosong....
"Ada
apa, Mas ?", tanya Anggun tiba-tiba. Dia ikut melihat-lihat sekeliling,
sementara aku jadi tersadar dengan ulahku yang sudah jelalatan
mencari-cari bayangan perempuan itu. Aku lalu menggeleng.
"Tidak ada apa-apa. Aku cuma mau ke toilet. Ke arah mana tadi ?", tanyaku, mengalihkan pembicaraan.
"Disana,
Mas. Masuk dari samping dapur itu lalu belok ke kiri...", kata Anggun
menunjukkan arah. Aku segera bangkit dan menuju ke toilet. Berharap aku
akan bertemu makhluk cantik itu disana.
Tapi
aku tak menemukannya. Makhluk cantik itu seperti lenyap bersama angin.
Entah mengapa aku terpikat padanya. Mungkinkah karena senyumnya ?
Kubasahi wajahku dengan air dari keran di wastafel. Aku segera menyobek
beberapa lembar tissue dari samping wastafel, lalu menyeka wajahku
dengannya. Seorang anak lelaki kecil mendongak memandangiku, lalu
tiba-tiba seorang lelaki menarik tangannya menuju ke toilet.
"Orang itu pakai tissue toilet buat mukanya, Pah...", kata si anak kecil. Aku tertegun mendengarnya.
"Sstt...!",
desis si ayah sambil menempelkan telunjuknya ke mulut, meminta si anak
untuk diam. Keduanya lalu masuk ke sebuah toilet yang kosong.
Aku
pandangi wajahku di kaca. Ada serpihan tissue berwarna putih yang
menempel di dahi dan juga pelipisku. Aku ambil serpihan itu dan
membuangnya. Aku enggan untuk cepat-cepat keluar sana. Kalau boleh, aku
mau secepatnya pulang. Sepertinya aku sedang tidak enak badan. Semua
sendiku pegal sekali.
Tiba-tiba handphoneku berbunyi, itu nomor handphone Seruni !
"Halo ?!", sapaku. Suara perempuan yang kurindui itu terdengar dari seberang sana.
"Candra !, cepat kemari ! Aku takut !", kata Runi, nafasnya agak tersengal. Sepertinya dia baru saja berlari.
"Runi ?! Ada apa ?", tanyaku cemas. Tak biasanya Runi menelpon dengan berita seperti ini. Apa yang terjadi dengannya ?
"Cepat
kemari, Candra ! Ada orang yang mau masuk ke dalam rumakku lewat pintu
belakang.... Aku harus bagaimana ?", katanya bingung.
"Kamu dimana ? Bukankah kamu sudah pindah ke kota lain ?", tanyaku bingung.
"Iya,
Candra.... Aku ada disini, di Solo.... Aku tinggal di Cluster Solo
Permai sekarang.... Sudahlah..., aku sedang ketakutan. Cepatlah
kemari.... Aku takut...", jelasnya dengan suara berbisik.
Cluster
Solo Permai, itu kira-kira hanya 2 km dari tempatku berada saat ini.
Jadi dia tinggal disana selama ini. Ahh...rinduku..., aku sekarang tahu
mengapa aku begitu ingin bertemu dengannya. Ternyata dia ada di
dekatku....
"Hubungi satpam, Runi.... Aku akan segera kesana...", kataku cepat, segera setelah dia beri alamat rumahnya.
"Ya....
Ya.... Aku akan panggil satpam...", kata Runi sambil menutup telponnya.
Aku bergegas keluar toilet dan berlari keluar restoran. Begitu cepatnya
aku berlari hingga aku terlupa akan keberadaan Anggun disana. Aku
segera menuju ke tempat parkir, dan segera menghidupkan mesin mobilku.
Anggun tampak berlari-lari menuju ke arahku, dia terlihat bingung. Tapi
aku tak menggubrisnya, aku terus saja melaju menuju rumah Seruni.
Setiba
di gerbang cluster, aku segera menghubungi markas satpam. Seorang
satpam kompleks lalu melaporkan kalau empat orang temannya sudah menuju
rumah Seruni berdasarkan laporan Seruni sebelumnya. Aku lalu lekas-lekas
menuju kesana, dan tiba di saat sudah banyak orang berkumpul di depan
rumah Seruni. Aku memarkir mobilku sekenanya. Lalu cepat-cepat keluar.
Begitu
pintu mobil kubuka, seorang perempuan segera menghambur ke arahku.
Ahh...Seruni.... Perempuan itu memelukku erat dan menempelkan kepalanya
ke dadaku, dan dia mulai menangis.
"Sshh...jangan
menangis, sayang.... Apa yang terjadi ?", tanyaku berusaha
menentramkannya. Gadis itu masih sesenggukan ketika aku mulai
mengendurkan pelukannya.
"Dua orang....
Mereka mau mencuri dan mencongkel pintu rumahku.... Satu di antara
keduanya membawa belati dan tadi akan menyerangku.... Kalau saja satpam
tidak datang, barangkali mereka sudah menusukku sekarang. Aku takut,
Candra...", katanya kemudian di sela-sela tangis.
Aku
membiarkannya menuntaskan rasa gundahnya. Hidup sendirian di rumah
cluster seperti ini memang penuh resiko. Tapi bukan Seruni bila tidak
suka hidup mandiri. Dia memang lebih memilih punya rumah sendiri
dibandingkan hidup bersama kedua orangtuanya yang sangat berkecukupan.
Hal yang juga membuatku kagum padanya.
Seruni
sudah tenang kini, sebuah mobil polisi datang ke tempat perkara, dua
pencuri yang tertangkap satuan satpam pun digelandang ke kantor polisi
terdekat. Seruni diminta untuk memberikan keterangan kepada polisi di
kantor mereka, dan aku menemani Seruni sampai semua urusannya selesai
disana.
Di kantor polisi, aku sempat
mengamati Seruni. Aku ingin dia baik-baik saja setelah berpisah
denganku. Jadi, baik-baik sajakah dia ? Seruni tidak tampak lebih kurus,
dan penampilannya tetap terawat. Tapi hati orang siapa yang tahu ?
Perempuan cantik itu begitu cerdas hingga semua yang dilakukannya selalu
dengan logika. Kalau saja tadi dia tidak panik karena takut, barangkali
dia tak akan menelponku. Atau jangan-jangan...dia hanya terpikir untuk
menelponku karena dia selama ini memang rindu padaku ? Duuh...,
perempuanku.... Aku juga rindu padamu....
"Candra...", perempuan itu memanggilku. Aku tersadar dari lamunan.
"Terima
kasih sudah mengantarku sampai kesini. Aku sudah merepotkanmu. Maaf,
ya...", katanya bersungguh-sungguh. Aku tersenyum. Perempuan itu lalu
mengambil tas tangan yang diletakkannya di atas kursi, lalu mengajakku
keluar kantor polisi.
"Kau tak perlu mengantarku pulang, aku bisa naik taxi...", cegahnya ketika aku menggandengnya mendekati mobilku.
"Tidak....
Aku akan mengantarmu pulang. Masuklah...", paksaku. Seruni menurut,
malam memang sudah sangat larut, jadi dia tak mau bertele-tele.
"Kenapa tidak memberitahuku kalau kau pindah kesini ?", tanyaku, agak kesal sebenarnya.
"Untuk
apa ? Aku pindah kesini karena tugas. Itu saja...", jawab Seruni. Aku
merasakan kebekuan dalam pembicaraan kami. Aku terdiam sesaat.
"Aku rindu padamu, Seruni...", kataku mengejutkannya. Dia memandangku sesaat.
"Kau sudah beristri. Kau tak pantas berkata seperti itu...", katanya.
"Tapi aku tak mencintainya. Aku mencintaimu...", kataku tanpa menoleh.
"Kau munafik...", ujarnya ketus. Aku menghela nafas.
"Kau memerlukanku seperti aku memerlukanmu. Jangan ingkari itu...", kataku. Seruni menoleh dengan marah.
"Turunkan aku disini !", kata Seruni tiba-tiba. Perempuan itu lalu membuka pintu. Aku terkejut bukan main.
"Runi...", aku mengerem mobil. Lalu meraih tangannya agar dia tak meloncat turun dari mobilku.
"Biarkan
aku pulang sendiri.... Aku sudah salah menelponmu tadi. Aku hanya
panik. Kebetulan nomormu yang kupencet. Itu bukan sengaja...", katanya
dengan menahan tangis. Lihatlah dia..., perempuan itu lagi-lagi
menyangkal kerinduannya padaku. Aku masih tak mau melepaskan tangannya,
sementara dia terus meronta agar aku membiarkannya turun dari mobil.
"Jangan
turun disini.... Aku akan mengantarmu.... Baiklah, aku tak akan bicara
apa-apa lagi denganmu. Ayolah..., jangan turun disini. Biarkan aku
mengantarmu sampai di rumah. Ok ?", bujukku. Seruni memandangku dengan
tatapan tak berdaya. Ditutupnya lagi pintu mobil yang tadi sempat
terbuka. Aku lega luar-biasa. mobil segera kupacu sampai ke rumahnya.
Aku
turunkan perempuan itu tepat di depan rumahnya yang asri. Seruni segera
meloncat turun dan mengucapkan terima-kasih. Aku turun dari mobil dan
bergegas belari mengejarnya, meraih tangannya, dan menariknya ke arahku.
Aku peluk dia, aku ciumi rambutnya. Seruni meronta, tapi dekapanku tak
bisa dilepaskannya. Sampai akhirnya dia menyerah, membiarkanku
mendekapnya di dadaku. Aku mendekapnya hingga rinduku tak lagi membara.
Dan melepasnya pelan-pelan setelah semua rindu ini reda.
PLAKK !
Seruni menamparku. Pipi kiriku sampai kebas rasanya. Aku yakin ada tanda merah disana.
"Runi...",
bibirku lirih memanggilnya. Perempuan itu lalu berbalik menuju
rumahnya, meninggalkanku berdiri sendirian di dekat mobilku.
Tak
ada yang bisa kulakukan kecuali masuk ke dalam mobil dan menghidupkan
mesinnya. Sudahlah..., bisa bertemu Seruni malam ini saja sudah lumayan
mengobati kerinduanku padanya. Salahkah yang aku lakukan ini ? Tak
bolehkah aku bertemu dengan perempuan yang kucintai ? Mobil sudah kupacu
sampai di jalan raya ketika aku tersadar kalau aku sudah meninggalkan
Anggun sendirian di restoran tadi. Ahh..., bodohnya.... Begitu paniknya
aku mendapat telpon dari Seruni sampai-sampai Anggun aku lupakan begitu
saja. Sudah pulangkah dia ? Ahh..., tentu saja dia sudah pulang
sekarang. Ini sudah pukul 01.15 dini hari. Restoran itu pasti sudah
tutup sejak jam 10.00 malam tadi.
Sampai di
rumah, Anggun sudah tidur di kamarnya sendiri. Aku harap dia tidak marah
kali ini. Aku benar-benar lupa kalau tadi aku pergi bersamanya. Tapi
badanku sudah sangat penat, aku segera tertidur setelah tubuhku
menyentuh pembaringan.
*
Aku
bangun kesiangan. Anggun sudah mendahuluiku ke kantor dengan diantar
sopir. Tumben. Biasanya dia menyetir sendiri ke kantor. Aku sarapan
sendirian di ruang makan yang besar dan luas ini, di meja marmer oval
yang bertemankan duabelas kursi. Biasanya Anggun duduk di seberang meja,
nun di ujung sana. Dan aku duduk disini, di ujung lainnya. Inilah
tradisi, meja ini memang dipersiapkan untuk acara makan bersama banyak
orang. Rasa dingin selalu menyelimuti kebersamaan kami di meja ini. Aku
dan Anggun, kami terpisah sedemikian rupa oleh keangkuhan meja marmer
peninggalan keluarga.
Aku menatap
handphone di tanganku, aku jadi teringat sesuatu. Seruni ?, apa yang
akan dilakukannya hari ini ? Aku pencet nomor telepon perempuan itu,
berharap dia masih mau bicara denganku setelah peristiwa semalam.
"Halo...", terdengar suara yang sangat kukenal dari seberang.
"Seruni..., kau baik-baik saja ?", tanyaku penuh perhatian. Ayolah..., aku memang masih menaruh perhatian padanya.
"Ya,
everything's fine. Maaf soal semalam...", katanya datar. Sesaat aku
menangkap aura dingin yang terpancar dari nada suaranya.
"Tidak
apa-apa, kau berhak berbuat begitu. Aku yang seharusnya minta maaf
padamu...", jawabku. Keheningan menyergap kami untuk sesaat, aku bingung
mau bicara apa dengannya.
"Kalau boleh...", kataku.
"Kalau bisa...", kata Seruni, bersamaan. Kami jadi sama-sama terdiam.
"Kau saja dulu...", katanya.
"Kalau
boleh, aku akan mengajakmu makan siang.... Kau ada waktu nanti ?",
tanyaku. Seruni menghela nafas, aku tak tahu bagaimana raut mukanya saat
ini, tapi aku yakin dia masygul.
"Candra...", kata perempuan itu di telepon.
"Ya...", sahutku.
"Kalau bisa...jangan temui aku lagi !", kata Seruni, membuat aku terdiam.
"Aku
sudah melakukan sebuah kesalahan semalam. Aku seharusnya tak minta
tolong padamu. Aku sendiri tak tahu mengapa aku memanggilmu di telepon.
Barangkali aku memang terlalu panik...", jelasnya.
"Tapi aku senang melakukannya untukmu. Aku senang masih bisa membantumu. Semua ini bukan salahmu, Runi...", kataku.
"Ya...,
semua terjadi begitu saja, aku sungguh-sungguh tak sengaja. Tapi,
Candra, jangan temui aku lagi, ya ?", pintanya. Aku menelan ludah yang
terasa pahit di tenggorokanku.
"Tapi aku merindukanmu, Runi...", kataku memohon.
"Kau sudah menikah. Jangan sakiti hati istrimu...", jawabnya dengan suara tercekat. Pasti sulit baginya untuk mengungkapkan itu.
"Aku
tidak pernah mencintainya. Aku bahkan tak pernah menyentuhnya...",
sahutku dengan suara kering. Terdengar helaan nafas dari seberang
telepon. Kami lalu terdiam sesaat.
"Ijinkan aku bertemu lagi denganmu, Runi...", pintaku lagi. Seruni masih terdiam.
"Aku mohon, ijinkan aku...", kataku dengan suara serak.
"Baiklah...,
mari kita bertemu. Nanti siang kita makan bersama di restoran depan
kantor baruku. Kau tahu 'kan tempatnya ?", sahutnya. Aku senang bukan
main.
Baiklah..., akhirnya aku punya
kesempatan untuk sekali lagi bertemu dengannya. Aku tak mau
menyia-nyiakan kesempatan ini. Terima kasih, Tuhan. Ahh...akankah Tuhan
marah bila aku bertemu Seruni ? Sedang berselingkuhkah aku ? Aku
menggeleng sendiri. Aku tak mencintai Anggun. Aku juga belum
menyentuhnya. Jadi apa salahnya aku berjuang untuk cintaku sendiri. Kali
ini aku akan meraih apa yang seharusnya sejak dulu aku dapatkan. Aku
sudah mapan, dan aku tak mau lagi bertindak hanya karena pertimbangan
Ibu. Aku layak berjuang untuk kebahagiaanku.
Aku
bertemu dengan Anggun di kantor pagi ini. Aneh, dia tidak marah setelah
apa yang aku lakukan padanya semalam. Sikapnya tidak berubah, dan
kata-katanya juga masih terarah. Tak tampak sama sekali emosi di
wajahnya yang ayu. Apakah dia berpura-pura ? Entahlah..., aku tak
menghiraukannya. Pendeknya, aku tak peduli. Semua pekerjaan berjalan
dengan normal, tak ada peselisihan dan pertengkaran. Dan itu bagus.
*
Aku
ada disini sekarang, duduk berseberangan dengan Seruni di restoran
depan kantor barunya. Seruni tampak sangat cantik dengan balutan baju
berwarna merah, warna favoritnya. Warna itu cocok sekali dengan kulitnya
yang putih bersih, menambah kecantikan alaminya yang memancar seperti
rembulan di langit di saat malam. Rembulan..., sebutan yang tak pernah
disukainya. Dia selalu protes bila aku perumpamakan begitu. Katanya
rembulan itu bulat, dan dia lonjong. Jadi keduanya tidak sama. Begitu
protesnya. Ahh..., perempuanku. Bahkan saat marah pun terlihat cantik.
Seorang perempuan datang mendekat ke meja kami saat kami sudah selesai memesan menu.
"Dokter Seruni...", sapa perempuan itu.
Kami
menoleh ke arahnya. DEGG ! Jantungku serasa berhenti berdetak. Itu
perempuan yang aku lihat di restoran Jepang tempo hari ! Perempuan
cantik yang aku lihat saat aku akan makan malam dengan Anggun malam itu.
"Ohh..., Mariska.... Mau makan siang juga ?", tanya Seruni. Perempuan itu tersenyum, cantik sekali.
"Iya, Dok.... Ini siapa ?", tanya Mariska sambil menunjuk ke arahku.
"Ohh...,
kenalkan. Ini...teman lamaku.... Candra, kenalkan ini Mariska,
sekretaris direksi. Mariska, kenalkan ini Candra, direktur utama PT
Anugerah Surya Abadi...", kata Seruni memperkenalkan kami berdua. Kami
lalu bersalaman. Dan entah mengapa senyum perempuan itu menarik sekali
dilihat. Aku jadi terpana.
"Mariska...", katanya memperkenalkan diri.
"Candra...", kataku. Tanganku tiba-tiba saja berkeringat dingin. Ada apa ini sebenarnya ? Aku sendiri bingung merasakannya.
"Kalau ada lowongan, saya mau bekerja di tempat Pak Candra.... Gajinya bagus nggak ?", tanya Mariska dengan senyum basa-basi.
"Ahh...,
perusahaan saya belum apa-apa dibandingkan perusahaan kalian. Hanya
perusahaan kecil...", jawabku merendah. Aku melihat deretan gigi yang
putih bersih menghiasi senyumnya.
"Pak
Candra bisa saja.... PT ASA 'kan perusahaan yang cukup terkenal di kota
ini. Yang memimpin pasti orang hebat ! ", pujinya. Aku jadi tersipu.
"Mau bergabung dengan kita untuk makan siang ?", tanya Seruni tiba-tiba.
"Ohh...,
tidak usah, Dok. Saya sudah janjian sama teman-teman lainnya. Itu...,
mereka ada di meja belakang sana", kata Mariska sambil menunjuk ke meja
yang ada di deretan belakang.
Perempuan
itu lalu berpamitan dengan sopan. Seorang pelayan lalu datang ke meja
kami untuk menghantarkan hidangan. Seruni berdeham sesaat sebelum kami
mulai menyantap menu yang telah kami pesan.
"Kau masih saja seperti dulu...", katanya. Aku mengernyitkan alis.
"Apanya yang seperti dulu ?", tanyaku heran.
"Kau masih saja mata keranjang...", jawabnya. Aku mendengus.
"Aku tidak melakukan apa-apa...", protesku.
"Kau
mata keranjang, Candra. Akuilah itu. Itulah dirimu...", kata perempuan
itu. Aku terdiam, meneruskan makan siangku dengan pikiran melayang
membayangkan perempuan cantik bernama Mariska. Lalu tiba-tiba aku
kembali teringat pada perempuan yang kini ada di hadapanku.
"Aku mencintaimu, Seruni...", kataku dengan tatapan bersungguh-sungguh padanya. Seruni tersenyum mendengarnya.
"Kau
mencintaiku, tapi kau menikahi orang lain. Kau mencintaiku, tapi matamu
lapar memandang sekretaris cantik bernama Mariska itu. Cintamu aneh
sekali...", ujarnya. Aku jadi mati kutu.
"Apa aku tak cukup pantas untukmu ?', tanyaku kelu.
"Kau
sangat pantas bersanding dengan siapapun. Siapa yang tak setuju
mengatakan kalau kau ganteng, kaya, dan muda. Kau memenuhi segala
kriteria calon suami idaman, Candra...", jawabnya diplomatis.
"Kau tak menjawab pertanyaanku...", timpalku. Seruni lagi-lagi tersenyum.
"Aku sudah memberikan jawaban yang jelas padamu...", sahutnya. Aku memandanginya, tak mengerti.
"Aku
tak bisa lagi menerima cintamu, Candra. Aku bukan lagi Seruni yang
dulu. Aku ingin berkeluarga, tapi tidak denganmu...", jawabnya tegas,
membuat aku lemas.
"Lalu bagaimana denganku ?", tanyaku kelu. Seruni meraih tanganku.
"Kau
akan baik-baik saja. Mulailah menerima istrimu, meski kau tak
mencintainya. Percayalah bahwa cinta akan tumbuh di hati kalian berdua.
Yakinlah, Candra...", kata Seruni, meruntuhkan angan-anganku. Aku tarik
tanganku darinya, rasa kecewa yang mengalir bagai air bah menenggelamkan
semua asa.
"Jadi kau sudah tak lagi mencintaiku...", kataku sedih, seluka hatiku yang pedih ditinggalkan rembulan.
"Waktu
telah mengubahku. Aku senang dengan keadaanku kini. Aku masih ingin
menikmati kesendirianku. Aku bahagia, Candra...", katanya lagi.
Perempuan ini, aku tak mengenalinya lagi. Dia terlihat begitu percaya
diri dengan ucapannya tadi. Ahh..., dia sudah melupakanku.
"Aku sudah selesai dengan makan siangku. Apakah kau keberatan kalau aku pamit duluan ?", tanyanya. Aku menggeleng.
"Tidak.
Silakan saja...", kataku pendek. Seruni lalu memanggil pelayan, dia tak
mengijinkanku membayar semua tagihan makan siang kami. Perempuan
perkasa itu lalu meninggalkanku sendiri di meja ini, tenggelam dalam
lamunan panjangku.
*
Matahari
tengah bersinar begitu teriknya di atas jalan raya yang melintas di
antara restoran dan kantor baru Seruni. Aku masih termangu saat tanpa
kutahu, Seruni menyeberang jalan dengan air mata berlinang membasahi
kedua pipinya yang lembut.
SELESAI
Selasa, 16 Oktober 2012
REMBULAN DI ATAS SERUNI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar