Sudut mataku mengekor langkah lelaki itu dengan napsu. Ya,
Tuhan.... Mengapa tak kau biarkan saja aku jadi miliknya ? Sedangkan
hatiku tak terisi nama lelaki lain kecuali dirinya ? Aku menyumpahi
diriku sendiri, mengapa aku tak jua kunjung berani mendekat. Setidaknya
mengenalkan diriku terlebih dulu akan jauh lebih baik dari pada aku
hanya termangu di tempatku berdiri sekarang. Haruskah aku berjalan ke
arahnya ? Hff.... Andai saja Xena menularkan keberaniannya padaku untuk
bisa bicara dengan lelaki itu.... Sedangkan angin yang bertiup pun mampu
menumbangkan rasa inginku setiap kali aku berusaha mencoba. Ya,
Tuhan.... Jantungku tak henti berdetak kencang setiap kali dia melintas.
Membuat setiap helai rambut di kepalaku seolah berdiri menegang. Dan
bibirku jadi kaku...tak sanggup mengucap kata.
“Ganteng,
ya ?”, oceh Linda mengagetkanku. Sialan ! Mengapa makhluk ini tahu saja
rasa hatiku ? Aku raupkan kedua telapak tanganku ke muka, aku berharap
rasa jengahku mendengar ocehannya akan segera hilang bersama angin. Tapi
tidak.... Aku jamin wajahku masih tampak bersemu merah mendengarnya.
Aku tersenyum kikuk. Mencoba mencairkan perasaanku sendiri.
“Tak ada gunanya kalau dia tak tahu...”, desisku lirih. Linda menepuk pundakku.
“Jangan khawatir.... Aku juga tertarik padanya...”, ucapnya terus-terang.
Aduuuh....
Entah sedih, entah senang mendengarnya mengucapkan itu. Yang jelas
rasaku jadi tak karuan. Senyum lelaki itu terbawa dalam setiap mimpiku,
merampas keheninganku di kala malam, berkecamuk bagai air deras tak
menemukan sungai. Aku terbelenggu. Tertawan rasa ingin meraih awan yang
terbang di atas kepalaku. Seakan begitu dekat hingga bisa kuraih, tapi
nyatanya terlampau jauh....
“Apa yang menarik darinya ?”, tanya Linda padaku. Aku tatapi lelaki itu dari kejauhan, dengan rindu-dendam.
“Dia
bagai telaga...”, jawabku singkat, tak bisa lebih jauh menjabarkan
dalam kata. Ya.... Lelaki itu memang bagai telaga. Tampak tenang, sejuk,
tak beriak, dan dalam. Aku berkaca pada diriku sendiri yang jauh dari
kedamaian. Padanya aku melihat sesuatu yang lain. Sesuatu yang tak
pernah aku miliki.
“Tapi dia tak tahu yang kau mau...”, bisik
Linda lirih di telingaku. Dan itu menyadarkanku kembali pada masalahku.
Ya.... Bagaimana mungkin lelaki itu tahu apa yang kumau, bila aku tak
pernah mengatakannya ? Tapi sejuta rantai yang mengikat kokoh harga
diriku mencegahku berkata. Tidak ! Aku tak boleh begitu saja mendekat,
aku terlalu berharga untuk lebih dulu menunjukkan diri. Tapi...sampai
kapan aku akan bisa bertahan ?
Aku mengikuti setiap
langkahnya dengan sudut mataku dari hari ke hari. Hingga akhirnya tak
sanggup lagi menelannya sendiri. Rasa inginku yang berdebur bagai ombak
di Laut Selatan, menghantamkanku ke hadapannya.
“Inilah aku..., hai Lelaki ! Penuhi rasa inginku padamu...”.
Dan lelaki itu menoleh dengan senyum padaku. Ragu-ragu....
“Jangan takut...", bisikku.
"Aku
tak akan menebasmu.... Aku hanya ingin pasrah atas hatiku. Karena aku
tak tahu harus bagaimana mengalahkannya. Mendekatlah...”, kataku pasrah.
Lelaki itu menatapku dengan rasa ingin yang tak bisa disembunyikannya
dariku. Lalu dia mendekat, dengan gelisah.
“Dia takut.... Kau terlalu luar-biasa...”, tukas Linda kala itu. Aku benci kenyataan ini, tapi inilah yang terjadi.
“Bagaimana mungkin dia takut ? Aku bukan siapa-siapa...”, sanggahku tak ingin percaya. Linda hanya menggeleng.
Aku memandangi telagaku dengan mata harap, ingin telagaku beriak setiap kali aku ada, meski aku tak menyentuhnya.
“Tenanglah....
Aku tak akan merusakmu. Aku tak akan merusak apapun yang kusayangi...”,
dendangku untuknya. Lelaki itu tersenyum. Aku tahu hatinya tulus. Namun
dia tak bisa jelas memandangku, meski tak lelah mencari. Seakan sehelai
tabir menghalangi kami...dia dan aku.
“Kemarilah....
Jangan takut.... Melangkahlah di sisiku. Kau akan baik-baik saja...”,
ajakku bersemangat. Hanya saja mungkin suaraku terdengar terlalu lantang
di telinganya, hingga nyalinya menciut. Aku pandangi telaga itu
berhenti beriak setelah sesaat aku menyentuhkan tanganku di
permukaannya. Dan dia menjauh....
“Sudahlah.... Lupakan
dia.... Suatu saat akan kau temukan telaga lain bagi hatimu...”, ucap
Linda menenangkanku. Dan aku tergugu. Aku melihat awan yang tak henti
bergerak di atas kepalaku. Begitu dekat hingga seolah dapat kuraih. Aku
termangu dalam hening. Awan itu telah pergi. Dan telaga itu kembali
sunyi.
*Dan ketika awan itu datang kembali menghampiri, hatiku sudah terbang bersama topan yang membawaku berkelana dalam pusaran.
SELESAI
Untuk mengenang seseorang yang mengalami ini :)
Bintaro Jaya, 3A
13 Maret 2011.
Selasa, 16 Oktober 2012
MERAIH AWAN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar