Angin kencang berhembus menggoyangkan pepohonan di sepanjang
tepian jalan setapak di areal parkiran. Mataku menatap lurus ke depan.
Hhh..., hari ini bakal menjadi hari yang panjang.... Ada tiga pekerjaan
yang harus selesai siang ini, dan bakal ada banyak lagi barang yang
harus kupesan ke supplier atau Senin nanti pabrik tak akan bisa
operasi. Hari Jumat yang akan penuh dengan ngotot dan debat kusir saat
meeting antar departemen. Selalu ramai seperti pasar sampai meeting
selesai.
Aku lemparkan badanku ke kursi kerja, masih
sepagi ini dan rasanya aku sudah penat memikirkannya. Hff..., semoga
saja hari ini akan ada vitamin yang bisa menjernihkan mata. Gadis
karyawati baru yang sudah tiga minggu ini bekerja di departemenku. Muda,
cantik, cerdas, dan ...ini yang penting – roknya mini. Betul-betul
vitamin buat mata bila sedang suntuk memikirkan pekerjaan yang selalu
menumpuk di setiap harinya. Tapi aku bukan lelaki bangsat seperti
beberapa rekan kerjaku yang dengan sengaja selalu mencari cara agar bisa
menggoda gadis itu. Aku cukup sopan dan selalu menjaga jarak dengannya.
Cukuplah hanya melihat dari jauh, atau bicara sekedarnya saja soal
pekerjaan. Tak lebih.
Pikiranku sedang penuh dengan
Hermin. Sudah seminggu ini aku meninggalkannya sendiri di rumah kami
yang mungil. Dia perempuan yang aku kawini. Dia perempuan paling bawel
dan manja. Seperti kucing. Sebentar-sebentar mengeong minta perhatian,
sedikit-sedikit menggerutu seperti tawon berdengung di telingaku. Aku
mengawininya dengan sebongkah cinta dan seraup asa. Tapi itu ternyata
tidak cukup bisa memuaskannya. Dia tetap bawel dan manja. Semua yang
kukerjakan bermasalah baginya. Begini salah, begitu salah. Sumber
kekesalan yang membuatku sebal adalah mendengarkan ocehannya tentang ini
-itu yang tak berkesudahan. Bosan ? Tentu saja aku sangat bosan pada
keluhannya.
“Jangan kau letakkan sepatumu di bawah meja,
Sam.... Siram toilet setelah kencing, Sam.... Apa kau tak bisa
meletakkan piring kotormu ke rak cucian piring, Sam...?
Nye...nye...nye...nye...nye....”, mulutku mencibir menirukan suara
perempuanku. Peduli amat ! Sebal....
Aku tak menyangka
bakal sesulit itu hidup bersamanya. Sudah lima tahun kami menikah, dan
dia masih saja suka mengatur-atur apa yang harus aku lakukan. Harus
begini, harus begitu, jangan begini, jangan begitu.... Seperti polisi
pengatur dunia. Semua harus berjalan dengan aturannya.
Huh...!
Apa sih salahnya meletakkan sepatu di bawah meja ? Dia kan di rumah
seharian ? Dia kan bisa menyimpankan sepatuku pada tempat yang dia mau.
Dan aku memang sering kali terlalu capek sesampaiku di rumah. Hingga aku
tak lagi memedulikan harus diletakkan dimana sepatuku. Masih untung aku
bisa berjalan masuk ke kamar meski dengan kaki pegal begitu, kalau
tidak bisa-bisa aku memilih tidur saja di sofa ruang tamu. Apa bedanya ?
Toh yang kubutuhkan hanya tidur...tidur...dan tidur. Aku lelah,
Hermin.... Jadi jangan lagi kau tambah lelahku dengan ocehanmu yang
seperti burung beo itu.
“Kau selalu saja tak mau membalas pesanku. Apa kau benar-benar tak ada waktu ?”, tanyanya tiap kali.
Hhh,
perempuan itu..., sudah berapa kali aku katakan padanya supaya tak
menggangguku dengan kiriman sms. Aku sibuk. Tapi tiap kali dia tetap
saja mengirimiku sms, seolah tak cukup baginya hidup hanya dengan
mendapatkan ciuman di pipi dan lambaian tangan saat aku berangkat ke
kantor. Lihat istri-istri tetangga itu.... Tak ada seorang pun di antara
mereka yang mendapat ciuman istimewa dari suaminya saat akan ditinggal
ke kantor. Jadi kau harus bersyukur, Hermin.... Kau sudah mendapatkan
cintaku yang tak terkira besarnya padamu, meski hanya tergambar dari
sebuah ciuman di pipimu.
“Kenapa aku tak boleh telpon ke
kantor, Sam ? Lalu bagaimana kalau nanti ada urusan darurat yang harus
aku sampaikan padamu ? Kau ini...”, keluhnya suatu kali.
Ahh...,
perempuan itu tak juga mau mengerti. Aku tak bisa seenaknya menerima
telepon saat aku bekerja, atasan pasti akan menegurku. Aku heran
menghadapinya. Bagaimana mungkin dia tak juga mengerti ?, sementara aku
sudah sering kali memberitahunya hal-hal seperti ini.
Aku
pikir aku sudah cukup memberinya kasih-sayang dan cinta. Aku juga sudah
merasa cukup bersabar dengan kerewelannya. Aku pernah berpikir kalau
kebawelannya itu cermin dari kesepian yang dirasakannya setiap saat di
rumah kami. Bisa jadi belum hadirnya buah hati di antara kamilah yang
membuatnya jadi perempuan bawel seperti sekarang ini. Tapi aku pikir
seharusnya dia tak perlu bertingkah menyebalkan seperti itu. Dan kian
hari, rewelnya kian parah saja. Bikin pusing.
“Kak Sam,
ini file yang kemarin diminta.... Saya letakkan disini, ya ?”, Sonia,
gadis muda anak baru itu meletakkan file yang kemarin kuminta di atas
meja. Dia tersenyum manis, lalu berbalik ke mejanya sendiri. Gerakan
panggulnya saat berjalan membuatku harus menahan napas. Gadis itu memang
menarik sekali.
Aku ambil file itu dan memeriksanya.
Gadis itu ternyata tak cuma cantik, tapi juga sangat cekatan. Tak mudah
mencari file setipis ini di antara tumpukan arsip di lemari yang
berantakan, hasil kerja Jono karyawan lama yang dulu memegang itu. Dan
Sonia bisa mencarinya dengan sabar. Hmm...sabar.... Sebuah kata yang
sangat sulit kutemui pada diri Hermin.
Dulu, Hermin selalu
melayaniku dengan telaten. Dia adalah pacar yang bisa kuandalkan. Penuh
perhatian, pengertian, dan dia memberiku rasa nyaman. Itu juga alasanku
menyuntingnya. Meski tak mudah untuk bisa saling menyamakan persepsi
dalam banyak hal, tapi kami sangat saling mencintai. Hanya saja, yang
kulihat pada diri Hermin kini sungguh jauh berbeda dengan yang aku
rasakan dulu. Dia jadi terlalu sensitif dan posesif. Dan entah mengapa
akhir-akhir ini dia begitu menyebalkan, seperti anak kecil mencari
perhatian.
“Sudah enak apa belum opornya ?”, tanyanya suatu kali.
Aku
coba mencicipi. Aku pikir rasanya sudah enak, jadi aku mengangguk saja.
Tapi Hermin marah, katanya kuah opornya keasinan. Dia bilang seharusnya
aku bisa merasakan bedanya. Jadi....itu salahku ? Bagiku tak ada
bedanya opornya keasinan atau kurang garam, karena kesanggupannya
memasak untuk kami pun sebenarnya sudah cukup membuatku berselera makan.
Lalu apa yang dia ributkan ? Menyebalkan.... Dan kian hari kerewelannya
semakin bertambah saja. Tak cuma memasak yang selalu dia khawatirkan,
tapi juga dekorasi interior rumah kami, bentuk badannya yang menurutnya
tambah berisi (padahal menurutku tidak), model baju yang harus dia
kenakan saat akan pergi denganku, riasan wajahnya, dandanan rambutnya,
model sepatunya, la la la la la la....... Membosankan sekali.
Dulu
Hermin tak seperti itu. Dia kini sangat berubah. Di tengah kesibukanku
yang semakin menyita waktu, haruskah dia bertingkah begitu ? Salahkukah
semua ini ?
Aku tersadar dari lamunanku dan segera
menyibukkan diri dengan setumpuk berkas yang teronggok di depanku.
Perusahaan berniat untuk menambah jenis produk dan akan segera launching
bulan depan nanti. Semua harus kami persiapkan dengan seksama. Aku
menekuninya hingga tak ingat lagi pada apa yang kupikirkan tentang
Hermin. Hmm..., biarlah aku melupakannya barang sejenak, Tuhan. Aku kan
sudah berusaha menjauhinya agar kami masing-masing bisa saling mawas
diri. Moga-moga dia menyadari sikapnya, seharusnya begitu. Ah...,
tololnya..., mengapa aku memikirkannya lagi ? Hhh....
Hari
sudah menjelang pukul 9 malam saat aku keluar dari kantor. Kemacetan di
jalan membuatku enggan meninggalkan kantor cepat-cepat. Aku tak mau
sesorean terjebak kesemrawutan lalu lintas kota yang kian hari kian
memusingkan dan bikin stress juga boros ini. Mobil kubuka dengan kunci.
Sudah hampir sebulan ini alarm mobil ngadat, tak mau berfungsi. Namanya
juga mobil tua, aku maklumi saja bagaimana kondisinya. Saat ini
perusahaan sudah tak lagi mau meminjamkan operational car pada karyawan.
Semua pegawai hanya diberi uang pengganti transport bulanan. Biar irit,
katanya.... Aku jadi iri pada pegawai-pegawai negeri yang bisa
mondar-mandir bawa mobil kesana-kemari dengan kendaraan aset negara.
Enak juga kelihatannya bisa jalan-jalan bawa keluarga dengan naik mobil
plat merah, meski itu bukan di hari kerja. Tentunya tak perlu pusing
bakal kena razia STNK dari pak polisi. Kan...milik negara.
“Coba
kau dulu mendaftar jadi PNS, Sam.... Kita tak perlu lagi merasa was-was
bila musim rasionalisasi pegawai tiba di saat krisis moneter seperti
ini...”, celoteh Hermin suatu kali.
Aku dengarkan saja dia
bicara. Hmm..., aku tak pernah bisa terlalu lama duduk berpangku tangan
di depan meja kosong yang sepi aktifitas seperti di kantor instansi
pemerintah. Aku suka bekerja, aku suka tantangan, karena itu semua
membuatku hidup. Lalu apa jadinya kalau aku cuma jadi PNS yang lebih
sering keluyuran di saat jam kerja seperti pegawai-pegawai berseragam
sipil yang lalu-lalang keluar-masuk pasar di siang hari bolong itu ? Aku
tak mungkin bisa begitu....
Sebenarnya, kantor sudah
berencana melakukan restrukturisasi pegawai lagi. Beberapa pegawai
senior sudah digeser oleh tenaga yang lebih muda dan menguntungkan bagi
perusahaan karena gajinya tidak begitu tinggi. Aku baru bekerja empat
tahun disini, dan aku kira aku sudah cukup banyak memberikan
kontribusiku pada perusahaan dan pekerjaanku. Seharusnya aku tak perlu
khawatir karenanya. Tapi entah mengapa pikiranku tak tenang kali ini.
Tekanan pekerjaan ini membuatku sedikit tertekan.
Biasanya
Hermin menghiburku saat aku jenuh seperti ini. Aku biasa meletakkan
kepalaku di pangkuannya dan menikmati setiap elusan tangannya yang
hangat di rambutku. Saat-saat kami mesra bersama, saat-saat kami bisa
berbagi rasa. Hanya saja, cerewetnya itu yang tertahankan.
“Apa
sih maunya bosmu itu ? Mengapa sih dia berbuat begitu ? Untuk apa
menyalahkan orang yang tak ada sangkut-pautnya dengan kerugian
perusahaan ? Kamu kan bukan staf marketing ? Apa dia tidak bisa bersikap
obyektif ? Dia kan juga tak selalu benar.... Orang kok semau-maunya
sendiri memperlakukan karyawan...”, perempuanku menggerutu.
Aku
sudah mendengarkannya berkali-kali, dia mengoceh seperti beo sampai
pagi. Aku jadi tak bisa tidur, karena dia terus saja mengoceh. Sampai
pagi ! Hermin..., kali ini kau tak mampu menghiburku. Kau malah bikin
aku tambah pusing. Semua jadi tambah rumit ketika paginya aku mengantuk
karena semalam kurang tidur. Aku jadi telat ke kantor. Bos mengomel. Dan
aku jadi bulan-bulanannya sepanjang hari itu. Hermin ! Ini semua karena
ocehanmu !
Mobil memasuki halaman parkir sebuah rumah
kost yang luas. Aku menginap di rumah Roy selama beberapa hari ini. Dia
teman kuliahku dulu. Masih bujangan. Kakiku mendekat ke arah pintu
ketika sekilas kudengar suara desah perempuan dari dalam kamar kost
temanku. Sejenak aku terpaku, urung mengetuk pintu. Tanganku masih
menggantung di atas pegangan pintu saat desah demi desah kembali
kudengar. Lalu aku tersadar, aku tepuk jidatku sendiri.
Biiip....biiip...biiip....
Suara handphone tiba-tiba terdengar. Cepat-cepat aku membukanya.
Sam, kapan kau pulang ?
SMS dari Hermin ! Tiba-tiba aku jadi ingin cepat pulang....
Selasa, 16 Oktober 2012
SAM, KAPAN KAU PULANG ? (part 2)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar