BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Jumat, 18 Desember 2009

ARISAN

Irwan mengatupkan bibirnya, rasa kesal menyergap memenuhi rongga dada.

"Huh !", serunya pada diri sendiri. Sampai kapan dia akan terus-terusan menghadapi kekerasan hati istrinya yang semakin lama semakin tak mau mendengar apa yang dikatakannya. Kepalanya yang terasa tak teraliri darah karena amarah yang meluap, membuat wajahnya merah padam. Gusar, diambilnya kunci mobil dari atas meja telpon. Lalu tak lama kemudian, derum mobil pun terdengar bising meninggalkan garasi.

"Huh !", serunya kesal sekali lagi. Kutukan apa yang melekat padanya saat ini ?, bagaimana mungkin Tuhan menciptakan perempuan seperti Sari ? Wanita yang sudah dikawininya selama sepuluh tahun lebih itu, yang sudah melahirkan kedua anak mereka. Irwan tak pernah menyangka akan menemukan diri Sari yang sebenarnya setelah setahun mereka menikah. Jauh sekali dari kesan sabar dan penuh perhatian seperti ketika dulu mereka masih pacaran.

Terbayang-bayang wajah manis berhias senyum yang dulu selalu mengisi hari-harinya di kampus. Mata indah berbulu lentik, mata yang dulu selalu menyirami jiwanya dengan cinta dan kelembutan. Dulu…, dulu sekali….

*

"Mantap, Wan ?", tanya Soni suatu kali sewaktu dia mengatakan akan kawin dengan Sari.

"Ya !, dia memang wanita yang aku pilih", jawabnya sambil mengangguk.

"Sudah dipikir masak-masak ?".

"Tentu !".

"OK, itu bagus ! Aku senang kau bilang begitu".

"Apa pendapatmu tentang dia ?".

"Mmm, Sari itu wanita yang keras hati. Itu saja, menurutku…. Jangan tersinggung, ya ? Mungkin memang dia bukan tipeku. Tapi kulihat kamu begitu cocok dengannya. Sama-sama punya semangat tinggi. Kalian juga sama-sama mudah bergaul".

"Hmm, keras hati, ya ? Sejauh ini sih, dia selalu mendengar apa yang kukatakan dan penuh perhatian. Dan yang penting, aku cinta".

Soni tersenyum, sedikit aneh. Irwan melihat sahabatnya dengan kernyitan di dahi. Irwan memang tak pernah mengerti, mengapa Soni selalu tidak bersemangat membahas hubungannya dengan Sari. Irwan cuma menduga, barangkali Soni cuma iri pada kemesraannya dengan gadis pujaan hatinya itu. Maklum, sebelum pacaran dengan Sari, Soni adalah sahabat terdekat yang paling akrab. Lalu hubungan itu mulai merenggang sejak Irwan kenal Sari. Ah, entahlah….

"Mengapa kau senyum-senyum begitu ? Apanya yang lucu ?"

"Yah, itulah yang aku sebut cocok. Kamu pasti punya cukup banyak cinta untuk memutuskan akan kawin dengannya. Kalian memang ditakdirkan berjodoh, mungkin seperti itu…".

Hhh..., sudah lebih sepuluh tahun hal itu terjadi, dan kini apa yang diucapkan sahabat dekatnya itu jadi kenyataan. Mengapa dia tak menyadari kerasnya hati Sari sedari mula ? Ngototnya sikap Sari yang dibalut kata lemah-lembutnya itu....

Ah..., mungkin saja waktu itu dia masih gelap mata oleh cinta yang bergelora, hingga dia tak menyadari siapa wanita yang dihadapinya. Nasi sudah menjadi bubur, toh dia sendiri sudah terlanjur sayang bukan kepalang pada perempuan itu. Apalagi sekarang mereka sudah punya dua orang anak.

*

"Untuk apa kamu ikut-ikutan arisan ? Aku tak melihat manfaat lain selain membuang uang...".

"Arisan itu seperti menabung, Pa".

"Mana ada menabung tapi malah harus keluar biaya konsumsi ? Bukannya lebih baik disimpan di bank ? Terjamin, aman, dapat untung...".

"Tapi ini 'kan bersosialisasi dengan tetangga dan teman-teman. Papa boleh saja bilang arisan itu tidak ada gunanya, karena Papa sudah cukup dengan berkumpul teman-teman Papa di kantor. Aku ini perlu teman, Pa. Dan teman yang aku dapat yang paling banyak ya yang ada di sekitar rumah kita...".

"Lalu kamu lebih memilih meninggalkan anak-anak sendiri di rumah dengan Inem, sementara kamu pergi bersenang-senang dengan teman-temanmu di arisan ? Begitu ?".

"Tapi apa kata tetangga kalau aku tidak ikut arisan ? Papa harusnya berpikir kalau aku akan dikucilkan oleh mereka kalau aku tidak mau berkumpul dengan mereka di arisan. Ini juga untuk silaturahmi, Pa...".

Hhh..., semakin jauh Irwan bicara, semakin banyak jawaban yang Sari berikan. Irwan cuma tak habis pikir, kalau ternyata arisan punya arti begitu penting untuk istrinya. Sampai-sampai istrinya tega meninggalkan kedua anak mereka selama berjam-jam di rumah hanya ditemani Inem sejak jam empat sore sampai pukul sembilan malam.

Arisan !, Irwan alergi kata-kata itu. Ini adalah kali ke sekian dia mencoba menyadarkan Sari tentang betapa bodohnya ide ikut-ikutan arisan. Kegiatan setengah berjudi yang cuma bikin suami seperti dirinya nombok biaya konsumsi tiap kali istrinya mendapat giliran menjadi nyonya rumahnya. Tawa cekikikan dan riuhnya omongan, ibu-ibu yang berkumpul dengan istrinya itu pasti lebih suka bicara menggosipkan aib orang. Huh !, Irwan sebal sekali.

*

"Papa jangan gitu, dong…. Kita ini mesti jadi orang gaul, Pa…".

"Gaul, katamu ? Gaul macam apa yang kamu bilang lebih baik dari merawat anak-anak kamu sendiri ? Aku tidak suka cara kamu menyerahkan segala urusan anak-anak pada Inem. Urusan Dea di sekolah itu juga harus kamu pikirkan, Sari !".

"Aku juga sudah ngecek ke sekolah, Pa. Aku gak lepas kontrol begitu aja…".

"Lalu kenapa kamu sampai tidak tau kalau Dea dapat masalah di pelajaran Matematika dan IPAnya ? Itu semua ‘kan pelajaran yang harus lulus di UAN ?".

"Aku sudah mengatur semua, Dea akan kumasukkan ke Lembaga Bimbingan Belajar. Dia sendiri juga sudah minta begitu, malah katanya banyak teman sekelasnya yang sudah lama ikut, Pa. Semua sudah aku carikan solusi…".

"Aku tidak mau tau, pokoknya aku tidak suka kamu ikut-ikut arisan begitu !".

"Jangan cuma dilihat jeleknya, dong, Pa. ‘Kan dari uang arisan Mama juga makanya kita bisa bayar biaya buat renovasi kamar atas…. Papa jangan memandang sebelah mata, dong ! Arisan ini lebih bagus daripada uang kita dipotong tiap bulan buat biaya administrasi di bank, Pa ! Biar tidak ada bunganya, tapi arisan ini bisa memberi dana segar buat keperluan kita…".

Ah, Irwan kehilangan kata-kata. Dia tau ada yang tidak benar selama ini, tapi dia tak cukup punya alasan kuat untuk bisa melarang istrinya pergi ke arisan. Heran !, mengapa dia tak pernah mendengar keberatan dari para suami lain. Apa iya, dia yang salah ?

"Sudahlah, Pa…. Aku ikut arisan juga buat nambah-nambah tabungan kita…", Sari mengelus lengannya dengan tersenyum. Senyum yang sama menghanyutkannya dengan yang dulu pernah membuat dirinya mabuk saat masih kuliah.

*

"Berapa ?", tanya Irwan suatu kali, takut kalau-kalau dia salah dengar.

"Cuma satu juta per bulan, kok".

"Hah ?, sebanyak itu ? Kamu ikut berapa nomor ?".

"Aku cuma ikut satu nomor..., gak lebih kok, Pa...", jawab Sari dengan memalingkan pandangan matanya. Sebuah tanda, Irwan yakin pasti istrinya mengambil nomor lebih dari satu di arisan itu. Gila !

"Jadi kamu memakai uang gajiku untuk dihamburkan di tempat arisan seperti itu ?".

"Itu cuma sedikit, Pa.... Aku 'kan sudah menabung tiap bulan dengan menyisihkan uang belanja harian, jadi aku tidak meminta lagi dari Papa...".

Aha !, ngaku juga dia ! Jadi Sari juga mengurangi uang belanja harian agar bisa ikut arisan lebih banyak !

"Jangan sentimen, dong, Pa. Lagi pula, barang-barang yang dipakai untuk arisannya juga bagus-bagus, kok...", jawab Sari kalem. Sikap yang bikin Irwan jadi tambah gusar, sampai-sampai harus menggaruk-garuk rambutnya meski tak terasa gatal.

Ya !, akhir-akhir ini Sari bukan cuma ikut arisan uang tunai, dia juga sudah ikut-ikutan arisan perhiasan. Diajak Bude Bowo..., begitu tiap kali ditanya.

"Bagaimana kalau nanti uangmu dibawa lari ? Bagaimana kalau nanti uangmu tak kembali ?", cecar Irwan gusar.

"Papa ini ada-ada saja, yang pegang 'kan Bude Bowo, tetangga sendiri. Memangnya Bude Bowo mau pergi kemana ?", kilah istrinya sambil tersenyum geli. Duuuh, Irwan sakit hati melihat senyum itu. Jerih payahnya selama ini ternyata tak cukup membuat istrinya punya belas-kasihan sampai-sampai dia tega memakai uang hasil keringatnya itu cuma buat kesenangan bertemu teman arisan !

"Sudahlah, Pa.... Tahun ini saja.... Tahun depan enggak lagi, deh..., begitu kata istrinya tiap kali. Tahun depan.... Itu masih empat bulan dari sekarang !", rayu Sari.

*

"Satu juta ?", kata Irwan sambil menyodorkan beberapa lembar uang kertas.

"Terima kasih…, untuk yang lain aku sudah punya kok, Pa…".

"Sudah punya bagaimana ?".

" ‘Kan perhiasan yang aku dapat waktu ikut arisan yang dulu-dulu itu sudah aku jual lagi ke toko…".

"Apa ? Kamu sudah menjualnya ?", Irwan kaget.

"Iya, Pa ! Ternyata sekarang harganya jadi tinggi ! Aduh, aku senang bisa untung banyak !", Sari tersenyum senang.

Hmm…, Irwan melihat betul kegembiraan itu dalam ucapan Sari. Ah…, mungkin memang dia sudah salah menilai arisan yang selalu dibencinya selama ini. Tapi Irwan sedih, entah mengapa..., di sudut hatinya masih tersisa rasa curiga....

*

"Kas bon !", kata Irwan siang itu.

"Lagi ? Buat apa sih, Mas ?", Jian Lie bertanya bingung.

"Udahlah..., lagi bokek nih !".

Jian Lie, kasir kantor yang sudah hapal dengan kelakuan Irwan tiap kali mendekati akhir bulan segera mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan dari dalam cashbox. Dia juga menyodorkan selembar kertas bon untuk ditanda-tangan.

Irwan cepat-cepat mengambil uang itu, lalu membubuhkan tanda-tangannya di atas bon. Beres.

Heran !, semakin lama permintaan Sari untuk belanja harian makin banyak saja. Irwan tak pernah tau berapa saja yang dibelanjakannya untuk makan sehari-hari. Padahal kalau dilihat, di rumah sepertinya lauknya tidak mahal-mahal amat. Jangan-jangan ?

"Bude Bowo mengenalkan aku pada relasinya yang ada di Salemba, Pa…. Hebat, deh. Mereka itu istri-istri pengusaha, semua kaya !", begitu cerita Sari suatu kali. Irwan cuma melirik, lalu meneruskan baca koran.

Nah !, betul ‘kan ? Sekarang istrinya sudah tambah kenalan. Pasti lagi-lagi urusan arisan !

"Aku diajak ikut arisan sama mereka, Pa ! Tentu saja aku mau…", sambung istrinya dengan senang.

Bingo !!! Betul juga !

*

"Mama sekalang kalau pulang kok malam, Pa ?", tanya Dito, anak Irwan yang baru berumur tiga tahun.

"Mama ada keperluan di luar, Dito", katanya menghibur sebelum anaknya berangkat tidur.

"Mama kadang pelginya pagi kalau Papa sudah belangkat kelja, pulangnya siang waktu Dito bobok. Kadang belangkatnya sore, telus pulangnya waktu Papa mau nyampe lumah...", kata Dito lucu dalam bicara cedalnya.

"Gitu, ya ?", timpal Irwan sambil mengusap rambut kepala anak lelakinya yang ikal kecil-kecil.

"Iya ! Kemalin Mama pelgi, telus sekalang pelgi, telus katanya besok juga mau pelgi. Dito 'kan jadi gak ada yang nemenin main ulal tangga, Pa !", protes Dito.

" 'Kan ada Mbak Dea ?".

"Mbak Dea nggak asyik, dia maunya mainan balbi, Dito nggak suka !", bibir Dito manyun tanda tak senang. Ya, Tuhan..., anak selucu ini. Bagaimana mungkin Sari tak merasa kehilangan bila meninggalkannya di rumah ?, Irwan tak habis bertanya-tanya dalam hati.

Rasa iba dan bersalah menghinggapi dirinya. Dipeluknya bocah mungil yang terlahir dengan penuh perjuangan karena prematur. Dito, bocah kecil itu, kata-katanya makin membukakan mata hati Irwan, tentang betapa salahnya keadaan ini.

*

"Pak Irwan..., Dik Dito panas tinggi, Pak...", terdengar suara panik dari seberang telepon. Irwan baru saja selesai makan siang di kantin kantor sewaktu mendapat laporan Inem.

"Ibu kemana ?", tanyanya gusar.

"Ibu pergi dari tadi jam sembilan pagi.... Saya sudah mencoba telepon sama Ibu, tapi nggak nyambung terus, Pak...", jawab Inem.

"Dea sudah pulang ?".

"Belum, Pak…. Non Dea juga belum pulang. Tadi pagi sih katanya mau jalan-jalan cari kado buat temannya yang mau ulang tahun…".

"Tadi pagi Ibu bilang mau kemana ?".

"Cuma bilang mau arisan sama Bu Bowo…".

"Tunggu sebentar, aku mau pulang. Sementara diberi obat turun panas dulu, takarannya seperti biasa...", kata Irwan memberi petunjuk.

Iya, Pak..., jawab Inem lagi sebelum menutup telepon.

Irwan tak bisa menunggu lama, cepat-cepat dia pamit pulang pada bosnya. Mobil digas secepat kilat menuju rumah. Halaman rumah tampak sepi saat mobil Irwan masuk garasi. Irwan bergegas masuk rumah. Inem tampak duduk di tepi tempat tidur Dito yang wajahnya memerah. Panasnya tinggi sekali !

Irwan mengambil thermometer dari lemari obat. Panas Dito 39℃ ! Beruntung Dito tidak kejang !

Irwan segera mengambil air hangat dan sebuah handuk kecil untuk kompres. Mata Dito mengatup, dia hanya bisa menjawab lemah kala dipanggil. Irwan lalu mengangkat tubuh kecil itu dalam gendongan. Dito dibawanya menuju mobil yang terparkir di sebelah rumah. Perlahan direbahkannya badan Dito di kursi depan sebelah kiri. Dipasangnya sabuk pengaman yang ada di kursi. Lalu dia segera menghidupkan mesin, melaju menuju rumah sakit.

*

Sebuah dering telepon membuyarkan lamunan Irwan. Beberapa saat lalu dia mencoba menghubungi Sari lagi, tapi hasilnya nihil. Irwan ingin istrinya tahu kalau Dito baru saja dapat vonis terkena demam berdarah dengue dari dokter. Bintik-bintik merah kecil memang sudah mulai tampak di beberapa tempat di tubuh anak mungilnya. Dan Dito harus menjalani rawat inap mulai sekarang.

Huh, kemana lagi dia ? Dari tadi dihubungi tidak bisa. Apa maksudnya tidak mau mengangkat telpon yang masuk ? Ada apa dengan arisannya ?, apa itu betul-betul lebih penting dari urusan anaknya yang sedang sakit ? Apa aku harus mengancamnya bercerai supaya dia menurut ? Aku tak habis pikir.... Ya, Tuhan..., setan seperti apa yang telah membisik telinga istriku itu hingga dia acuh pada anak lelaki kami ?, keluhnya pada diri sendiri.

Gigi Irwan berkeriut, rasanya ingin dia melampiaskan marahnya dengan meninju sesuatu, tapi itu pun agaknya tak akan cukup.Dilihatnya wajah anak lelakinya yang masih tampak memerah karena demam. Mata yang mengatup itu membuatnya makin gelisah. Diusapnya kening si kecil yang masih tergolek lemah di atas ranjang rumah sakit. Infus menancap di tangan mungil si lelaki kecil. Irwan trenyuh, hatinya sakit dan lelah mendapati semua ini.

Cerai !, Irwan sangat ingin bercerai sekarang !

Kesal itu menjadi-jadi, menggelegak sampai tenggorok, membuatnya sedikit susah bernapas. Tak pernah dia merasa sesakit ini sebelumnya. Dan Irwan juga tak menyangka istrinya akan berani berbuat begini, mengacuhkan telponnya - suaminya sendiri.

*

KRIIIIINGGG......

Malas, Irwan mengangkat telepon genggam yang sedari tadi berdering mengganggu lamunannya. Nomor yang belum dia kenal.

"Halo ?".

"Halo ! Selamat siang ! Disini Kombes Tono Marwoto. Apakah saya bicara dengan Bapak Irwan Gunawan, suami dari Ibu Sari Indrawati ?", sebuah suara terdengar dari seberang.

Alis Irwan bertaut. Polisi !, ada apa polisi menelponnya ? Tiba-tiba Irwan merasa gugup. Jangan-jangan ..., Sari..... ????

"Ya…, saya sendiri. Maaf, ada masalah apa, Pak ?".

"Begini, Pak. Kami meminta Bapak untuk segera datang ke kantor kami di , Jatinegara, Jakarta Timur, untuk memberikan keterangan tentang Ibu Sari Indrawati yang telah tertangkap tangan sedang ikut dalam kegiatan Pesta Gigolo berkedok arisan di Hotel Wijaya di kawasan Salemba !".

DHUARRR !

Petir menyambar, menggelegar, membakar jantung Irwan yang seakan berhenti berdetak. Tiba-tiba telingannya terasa tuli. Bermacam kata berputar di kepala.

Arisan…? Pesta gigolo…? Sari…?

Suara dalam telpon memanggil-manggil namanya, tapi Irwan sudah tak peduli. Lidahnya terlalu pahit untuk bicara....



T A M A T

0 comments: