BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Jumat, 18 Desember 2009

SUMUR BATU

"Berapa lama?", tanyaku waktu Mang Ipin bilang siap mau ngebor sumur di kebunku. Sumur kebun memang cukup berlimpah air, tapi keruh, cuma aliran rembesan kolam di sekitar.

Keputusan untuk mendalamkan dasar sumur dengan bor adalah final, demi tercukupinya air bersih yang aman dikonsumsi agar pembelian aqua galon yang makin susah dicari tiap lebaran itu dapat ditekan seminimal mungkin.

"Seminggu buat ngebor, seminggu buat nguras...", kata Mang Ipin menjelaskan. Dia satu-satunya tukang bikin sumur yang mau kerja dengan harga yang lumayan miring dibanding tukang-tukang bikin sumur lainnya.

"Mau buat lebaran, Bu, buat keluarga di kampung...", katanya waktu itu. Pria usia 50 taunan yang berbadan kurus tapi liat itu merantau ke Jakarta sejak 17 taun yang lalu. Anak dan istrinya tinggal di Pameumpek. Setaun dua kali dia pulang.

Pekerjaan bikin sumur memang gak selaris jualan kacang goreng. Maka proyek bikin sumur di kebunku sungguh peluang rejeki yang sangat dinantinya.

"Untung dikit gak papa, yang penting bisa buat lebaran...", katanya sambil tersenyum lebar. Ucapan yang membuat aku malu. Aku yang bahkan pasti akan merasa gelisah, selalu menelpon suamiku yang baru sehari saja jauh dari rumah. Dan Mang Ipin butuh waktu minimal 6 bulan untuk bisa bertemu anak istrinya. Sungguh waktu yang lumayan panjang.

*

"Wah..., Bu. Sumurnya banyak batunya, gede-gede lagi", katanya sambil menunjukkan sepotong batu silinder besar warna kehitaman dengan diameter 10 cm-an dan panjang 27 cm.

"Wah, batunya berat ya, Mang?, kayak batu gunung berapi, gak kayak batu kali biasa", celetukku sambil menimang batu silinder itu. Rupanya sumur di kebunku itu lebih mirip sumur batu, batunya banyak dan besar-besar.

Sudah kira-kira 24 meter, tapi belum juga kami temukan pasir sebagai penanda adanya aliran sungai bawah tanah.

"Sabar ya, Bu, kayaknya sih pasirnya udah mau kena...", kata Mang Ipin. Aku memang mengharap sumur itu akan tak lebih dari sedalam 25 meter saja. Takut yang keluar malah lumpur panas seperti yang terjadi di desa tetangga, nun..., beberapa kilometer dari desa kami. Mang Ipin yang sudah makan asam garam, perkiraannya tentang akan adanya pasir yang terangkat bersama kucuran air tanah pun tepat.

Dua hari lalu, aku mendapat kabar gembira dari Mang Ipin. Sumur di kebun kami sudah mengucurkan air sebening aqua. Senangnya..... Tapi Mang Ipin juga memberi kami kabar duka, rumah yang baru dibangunnya di Pameumpek baru saja rata dengan tanah. Semua hancur karena gempa. Cuma bersisa secuil bangunan lama yang terbuat dari kayu dan anyaman bambu, itulah sebagian bangunan dapur yang dibiarkannya ada sebagai kenangan akan rumah tinggalnya yang lama. Dan ternyata..., cuma dapur itu satu-satunya, yang saat ini masih setia menaungi keluarganya.

0 comments: