BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Jumat, 18 Desember 2009

MENTARI DI UJUNG SENJA

Tangan keriput Sukarti erat memegang gagang sapu ijuk, pelan-pelan seinci- demi-seinci disapunya rangkaian keramik berwarna putih mengilat yang terhampar menutupi seluruh lantai. Sepasang mata di balik kaca mata plus-nya sedikit mengerut agar dapat melihat lebih jelas ke arah permukaan lantai.

Hhh, anak-anak sekarang memang malas bersih-bersih. Membersihkan rumah sendiri saja tidak mau, apalagi kalau membersihkan yang lain, batin Sukarti. Tangannya kembali menyapu dengan hati-hati.

"Belum selesai ?", tanya Darma. Sukarti menoleh dan tersenyum.

"Sebentar lagi, Pak. Tinggal kamar belakang saja yang belum...", jawabnya.

"Lain kali biarkan saja seperti ini, tidak perlu disapu. Nanti kamu capek, Bu...", mata Darma memandang sekeliling.

"Ah, aku cuma mau memberi contoh. Supaya anak-anak itu tahu bagaimana seharusnya merawat rumah. Kalau tidak diberi contoh, bagaimana mereka akan meniru ? Diana sibuk dengan pekerjaannya, tentu dia akan terlalu lelah bila harus melakukan hal-hal seperti ini tiap hari. Ana dan Dito harus diajari bersih-bersih sendiri, mereka 'kan sudah besar...", kata Sukarti lagi. Darma mengangguk, membenarkan.

Tiba-tiba terdengar suara mobil antar-jemput berhenti di muka rumah. Celoteh dua orang bocah segera memecah kesunyian, mereka memberi salam pada teman-temannya yang masih tersisa di dalam mobil.

"Dadah, Ema.... Dadah, Toni...", terdengar sapa Ana di halaman.

"Simon...! Besok main sepakbola lagi, ya ?", seru Dito. Anak-anak itu menjawab bersahutan. Tak lama kemudian, mobil antar-jemput itu berlalu dari muka rumah, meneruskan perjalanannya menuju rumah anak-anak yang lain. Ana dan Dito melangkah masuk dengan riang. Ana melemparkan tas sekolahnya di atas sofa, dan melepaskan kedua sepatunya begitu saja di bawah meja.

"Eee..., ayo yang rapi ! Sepatu dan tas sekolahnya diletakkan kemana ?", tegur Darma. Ana cemberut.

"Ah, Eyang ini. Aku 'kan masih capek !", tukasnya. Sukarti mendekat setelah selesai menyapu. Diambilnya sepatu dan tas sekolah cucu perempuannya itu, lalu dibawanya masuk ke kamar Ana.

"Yang !", panggil Ana. Sukarti menoleh.

"Ya ?", jawabnya.

"Haus nih..., bikinkan es teh, dong !", kata Ana sambil memegang lehernya. Darma geleng-geleng kepala.

"Ganti dulu bajumu, cuci kedua tangan dan kaki, juga basuh mukamu agar terasa segar. Setelah itu baru minum...", kata Darma. Ana melirik dengan sebal.

"Ah, Yangkung cerewet !", kata Ana lirih sambil bersungut-sungut. Darma mendengar kata-kata itu. Matanya melotot.

"Eee..., diberitahu Eyang kok malah bicara seperti itu...", kata Darma marah. Sukarti kembali mendekat.

"Sudahlah..., anak-anak kok diladeni ", katanya.

"Lihat cucumu itu..., berani sekali pada orangtua. Aku harus memberitahu Diana tentang ini. Bagaimana mungkin dia membiarkan anaknya bicara seperti itu pada kakeknya sendiri...", Darma berkata dengan sewot. Tangan Sukarti bergerak-gerak menenangkan.

"Ya, ya.... Nanti kita bicara dengan Diana. Sekarang Bapak baca buku saja di depan, biar aku yang mengurus anak-anak...", katanya lagi. Darma mendengus pendek lalu menuju teras depan.

Sukarti tidak melihat bayangan Dito sedari tadi. Dia melongok-longok seluruh ruangan dan tetap saja tak menemukan Dito dimanapun. Dia mendekat ke kamar Ana.

"Ana...", panggilnya perlahan. Ana menoleh dari atas tempat tidurnya.

"Apa, Yang ?", tanya Ana.

"Dito kemana ?", kata Sukarti sambil melongok ke dalam kamar Ana.

"Dia ke gudang samping, Yang. Pasti dia sedang asyik mainan mobil-mobilan yang disimpan Papa...", kata Ana. Sukarti manggut-manggut. Segera dia berbalik ke arah gudang samping, dan benar ...! Dito memang sedang di dalam. Dia tampak asyik bernimang dua buah mobil-mobilan yang tampaknya telah dia ambil dari dalam sebuah kardus besar di sudut ruangan.

"Dito...", panggil Sukarti.

"Ya...?", jawab Dito tanpa menoleh. Matanya masih saja memperhatikan mainan-mainan itu.

"Ganti baju dulu, yuk ! Lalu makan siang.... Eyang sudah masak ikan gurami sama sayur bayam kesukaan Dito ", ajak Sukarti membujuk.

"Asyiiik..., ada gurami !", seru Dito kegirangan. Dia segera keluar dari gudang dengan dua buah mobil-mobilan di kedua tangannya. Sukarti segera menutup pintu gudang dan berjalan mengikuti.

Dito makan dengan lahap. Sukarti begitu senang melihatnya. Begitu pula Darma. Cucu lelakinya yang satu ini bagaikan pelipur lara bagi keduanya.

"Ana..., letakkan piring kotormu di tempat cuci piring seusai makan. Kalau Ana mau belajar cuci piring juga Eyang ijinkan. Ana mau ?", tanya Sukarti lembut.

"Enggak, ah.... Dito aja nggak disuruh cuci piring. Kenapa aku harus cuci piring ?", jawab Ana ketus. Darma mengerutkan kedua ujung alisnya dengan sengit.

"Apa tidak bisa kamu lebih sopan sedikit pada Yangti ?", tegurnya. Ana mendengus sambil memalingkan wajahnya. Dia segera meninggalkan meja makan dan langsung mengunci diri di kamar. Darma bertambah kesal. Dia baru saja mau bangkit dari tempat duduknya untuk mengejar Ana ketika dia merasakan sebuah tangan menahannya. Darma menoleh ke arah istrinya yang memandangnya sambil menggeleng pelan.

"Anak seperti itu harus dinasehati, Bu...", kata Darma. Sukarti tersenyum.

"Biar ibunya yang menasehati. Kewajiban kita memberitahu ibunya. Anak seumur itu memang sedang senang-senangnya melawan...", kata Sukarti dengan sabar.

"Kak Ana bandel ya, Yang ?", tanya Dito dengan mata membulat. Sukarti menoleh ke arahnya.

"Tidak ada yang bandel.... Cucu Eyang semua baik dan pintar. Dito juga...", sahutnya seraya membelai lembut kepala Dito. Dito tersenyum senang. Dilahapnya sesendok nasi terakhir dari piringnya.

"Tuh..., 'kan. Dito pintar !, makannya sudah habis ", kata Sukarti. Dito mengunyah makanan dalam mulutnya dengan semangat. Lalu menghabiskan setengah gelas lagi sisa susu coklat yang ada di sebelah kiri piringnya.

"Eyang, aku mau main sama Hamdan !", pamitnya. Sukarti mengangguk.

"Ya..., hati-hati ! Jangan lupa pakai sandal !", sahutnya lagi. Secepat kilat Dito berlari keluar rumah dan menuju ke lapangan voli di tengah kompleks. Sukarti membereskan meja makan. Diliriknya pintu kamar Ana yang masih saja terkunci dari dalam. Sukarti menghela napas. Anak-anak ini butuh lebih banyak perhatian dari ibu mereka..., begitu pikirnya. Diambilnya tas sekolah dan sepatu Ana yang tergeletak di ruang tamu, lalu disimpannya. Dia menghela napas lagi. Hal yang sama tak akan pernah terjadi ketika anak-anakku masih kecil dulu. Betapa berbeda masa yang kami lalui sekarang..., keluhnya pada diri sendiri.

*

"Bapak sudah mengatakan yang Bapak lihat di rumahmu ini. Sekarang kamu yang harus mengambil keputusan. Baik-buruknya perilaku anak-anakmu sangat tergantung dari bagaimana kamu mendidik mereka. Kamu harus berubah, Diana...", kata Darma sambil memandang wajah Diana yang sedikit tertunduk.

Diana lama terdiam. Biasanya cuma para pembantu yang mengeluh tentang sikap Ana. Selama ini, dia tak begitu menghiraukannya. Nanti kalau lebih besar sedikit 'kan dia akan tahu sendiri..., begitu pendapatnya setiap kali mendengar keluhan-keluhan semacam itu dari para pembantu. Anaknya yang baru menginjak usia puber itu memang agak pemberontak. Bagi Diana, itu tak masalah. Toh, sejauh ini prestasi Ana di sekolah tetap bagus.

"Berilah lebih banyak waktu untuk bicara dengan anakmu itu...", kata Sukarti.

"Ya..., anak gadis memerlukan contoh nyata dari ibunya. Bagaimana mungkin dia akan tumbuh sepertimu kalau kau sendiri jarang ada di dekatnya ?", kata Darma.

"Tapi aku sibuk, Pak. Pekerjaanku di kantor begitu banyak. Aku tidak punya lebih banyak waktu...", kata Diana berkilah. Darma mengerutkan alisnya mendengar jawaban ini.

"Jadi pekerjaanmu lebih penting daripada anakmu ? Kamu lebih suka mendidik pegawai barumu daripada mendidik anakmu sendiri ?", tanya Darma dengan nada meninggi. Diana terdiam.

"Bapak bangga kamu bisa jadi orang terpandang di kantormu. Bapak bangga bisa mendidikmu menjadi manusia yang berguna di kantormu. Tapi jangan kamu ingkari kewajibanmu mendidik anakmu. Dia amanah bagimu...", Darma meneruskan kata-katanya.

"Bapak tidak pernah mendengar anak-anak Bapak mengatakan Bapak cerewet, seperti apa yang Bapak dengar dari mulut anakmu...", kata Darma penuh sesal. Diana semakin tertunduk.

"Maaf...", bisik Diana lirih. Sukarti hanya diam menyaksikan pembicaraan itu.

"Kami pulang besok pagi. Bapak merasa tidak berguna di sini...", kata Darma sambil beranjak dari sofa. Sukarti mengikuti di belakangnya. Diana terkejut, dia tahu Bapaknya betul-betul marah kali ini. Diana beranjak dari kursi dan berlari menyusul. Tapi terlambat, Darma sudah terlanjur mengunci pintu dari dalam. Diana berdiri terpaku di depan pintu. Kepalanya tertunduk.

Sukarti mendekat ke arah Darma yang telah merebahkan dirinya di atas tempat tidur. Lelaki tua itu tampak begitu kesal. Sukarti tahu, keadaan ini memang tidak sepatutnya terjadi. Dengan perlahan, dia turut merebahkan diri di samping suaminya. Mata Darma terpejam, mulutnya terkatup rapat. Sukarti menarik napas dengan lelah. Suaminya sudah memutuskan untuk kembali besok pagi. Dan seperti biasa, dia tak akan menolak apa pun keinginan suaminya.

Matanya memandang ke langit-langit kamar, mengenang masa-masa indah ketika anak-anaknya masih kecil dulu. Pungki, Soni, dan Diana - satu-satunya anak perempuan yang dia miliki. Seorang anak perempuan yang cantik dan lucu, yang selalu menjadi kesayangan semua orang yang mengenalnya. Anak itu kini telah dewasa, bahkan telah menjadi ibu bagi anak-anaknya sendiri. Hhh..., andai saja masa-masa itu tak pernah usai.... Keluh Sukarti dalam hatinya.

"Bu, mengapa Ibu tidak bekerja di kantor seperti Bapak ?", tanya Diana kecil dengan mata membulat waktu itu.

"Karena Ibu ingin mengasuh anak-anak Ibu sendiri...", jawab Sukarti lembut.

"Aku mau seperti Bapak bisa bekerja di kantor...", kata Diana pada ibunya. Sukarti tersenyum, dielusnya kepala Diana berkali-kali.

"Apa Diana nanti juga punya anak ?", tanya anaknya polos.

"Tentu saja.... Kalau sudah waktunya, pasti semua anak Bapak juga akan punya anak...", jawabnya. Diana kecil manggut-manggut.

"Diana mau anak perempuan lima, biar bisa main boneka sama-sama. Nggak seperti sekarang, Diana kalau main boneka nggak ada temennya. Mas Pungki sama Mas Soni maunya main mobil-mobilan terus. Diana 'kan jadi nggak ada temannya !", gerutu Diana dengan mulut mengerucut. Sukarti geli melihatnya. Anak semanis itu, siapa yang bisa tahan melihat kelucuannya.

"Apa yang lucu ?", tegur Darma melihat istrinya yang senyum-senyum sendiri. Sukarti terkejut, rupanya Darma tidak tidur sedari tadi. Darma melihatnya dengan pandangan bertanya-tanya.

"Aku ingat waktu Diana masih kecil, Pak.... Ternyata waktu memang benar-benar cepat berlalu. Sekarang dia sudah punya anak-anaknya sendiri ", kata Sukarti. Darma melengos.

"Dia baru akan disebut ibu bila tidak melempar tanggung-jawab mengasuh anak pada kita seperti ini. Sepenting-pentingnya pekerjaan, pasti akan lebih penting anak-anaknya. Apa yang dia pikirkan hingga dia dengan seenaknya sendiri membebani kita dengan cucu-cucu yang harus kita asuh ini ?", kata Darma sewot.

Sukarti mencerna kata-kata itu dalam pikirannya. Dalam lubuk hatinya, dia menyadari betul. Betapa perubahan gaya hidup telah begitu berbeda dengan masa lalu. Wanita sekarang bukan wanita yang sanggup berada dalam rumah nyaris seharian seperti jamannya muda dulu. Jauh-jauh Diana menempuh kuliah di kota lain, hanya agar dapat mencapai gelar master di bidang marketing. Bahkan sekarang jabatannya sebagai Marketing Manager di sebuah instansi perbankan di ibukota telah menjadikannya satu dari beberapa wanita yang terpandang di perusahaannya. Sukarti tidak melupakan betapa telah dengan susah - payah Diana menempuh profesinya di perbankan selama ini. Di usianya yang baru menginjak 34 tahun, Diana telah dengan sukses mencapai jenjang manager, sebuah jabatan yang didambakan banyak staf di kantornya. Diana yang supel itu memang sangat cocok ditempatkan sebagai tenaga marketing yang handal. Dan Sukarti sangat bangga atasnya.

"Pagi nanti kita berkemas, lalu kita pulang ke Jogja pakai kereta api saja", kata Darma mengatur. Sukarti hanya mengangguk pelan.

*

Pagi telah menjelang. Darma terbangun dari tidurnya yang terasa tak begitu nyenyak sepanjang malam tadi. Sedikit heran, dilihatnya istrinya yang masih tergolek di sisinya. Biasanya, Sukarti terbangun lebih dulu darinya. Darma beranjak dari tempat tidur, mengambil baju dari dalam koper dan segera menuju ke kamar mandi yang terletak di luar kamar. Di selasar, dia berpapasan dengan anaknya yang baru saja dia tegur semalam. Diana tampak menunduk, dia tak berani menyapa Bapaknya. Diana tahu, Bapaknya masih marah padanya. Semalam, sudah dipertimbangkannya masak-masak. Sampai dua hari ke depan, dia akan cuti sementara agar dapat menunggui anak-anaknya sampai pembantu yang baru datang dari yayasan penyalur tenaga kerja. Darma bergegas ke kamar mandi. Dia ingin cepat-cepat selesai agar bisa selekasnya sampai ke stasiun kereta api. Dikemasinya baju kotor yang dipakainya semalam. Langkahnya berderap cepat memasuki kamar, dia melihat ke kasur. Istrinya masih tergolek di sana.

"Bu..., ayo bangun. Sudah siang. Kita ke stasiun sebentar lagi. Ibu mandi dulu...", kata Darma membangunkan istrinya. Tapi istrinya tak bergeming. Darma jadi sedikit gelisah.

"Bu..., bangun Bu.... Mandi dulu, Bu...", kata Darma sembari menggoyangkan pundak istrinya. Tiba-tiba leher Sukarti terkulai ! Darma terhenyak, disentuhnya pergelangan tangan istrinya yang masih terasa hangat. Tak ada denyut nadi ! Dipegangnya seluruh wajah dan leher istrinya, tak ada reaksi. Darma mengerti, istrinya sudah pergi....

Tangis lirih terdengar dari mulut Darma yang tak sanggup berkata-kata. Didekapnya istri yang sudah menemaninya selama lima puluh tahun lebih perkawinan mereka. Tubuh yang masih terasa lemas itu mulai memucat. Dengan terisak, diusapnya beberapa helai rambut memutih yang menutupi mata istrinya. Diciumnya bibir memucat itu berkali-kali. Bibir yang telah menyelimutinya dengan cinta dan kesetiaan. Rasa sesak yang memenuhi dadanya meledak, deras tangis Darma pun tak terbendung lagi.

"Karti.... Karti....", jerit Darma pilu. Diana yang sedang menyiapkan sarapan di dapur dikejutkan oleh suara itu. Jerit tangis bapaknya dari dalam kamar membuatnya melemparkan panci dan serbet yang sedang dipegangnya begitu saja ke lantai. Dia berlari ke kamar, hatinya begitu takut. Dan ketakutan itu menjadi nyata ketika dia telah memasuki kamar Darma. Diana melangkah mendekat dengan tubuh lunglai, kakinya bergetar hebat. Dari dekat, dilihatnya bibir ibunya yang telah memucat. Darma mengangkat kepalanya, menampakkan lelehan air mata yang membasahi hampir seluruh permukaan wajahnya yang tampak semakin menua. Diana terduduk di samping bapaknya dengan bibir kelu.

"Ibumu... sudah... pergi.... Aku hanya mau mengajaknya pulang..., tapi rupanya Ibumu tak sabar menunggu...", kata Darma terbata-bata dalam tangisnya. Diana tak melihat ke arah lain, matanya terus tertuju ke arah ibunya yang telah membeku.

"Ibu...! Ibu...! Ibu.....!", sia-sia dia memanggil. Perempuan tua itu tetap membisu. Betapa dalam penyesalan yang menggumpal di hati Diana. Begitu besar hingga membuatnya sangat terpukul.

"Bapak...", bisik Diana putus asa dalam tangisnya, " aku belum sempat meminta maafnya....". Air matanya mengalir bersusulan.

Sejenak Darma terdiam. Sebersit sinar kuning mentari yang muncul di langit timur menyapu wajahnya, memaksanya untuk memejamkan mata barang sejenak. Samar, terbayang wajah istrinya dalam silau sinar mentari. Lalu menghilang....


S E L E S A I

0 comments: