BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Jumat, 18 Desember 2009

PENGGARON


Pinus-pinus yang berderet rapat memenuhi hamparan tanah berundak, jauh sampai tepian sungai, lalu berderet lagi merambat naik dan turun bukit hingga menyentuh batas Cemara Sewu. Penggaron adalah hutan pinus terindah yang pernah aku lihat sepanjang hayatku, kedua setelah Cibodas yang tiada duanya karena keunggulan letak geografisnya. Di Penggaron ini aku sering menapakkan kakiku saat remaja. Berjalan sendirian menembus rindangnya pepohonan, aku sering melewatkan siang-hariku sepulang sekolah saat aku jenuh berenang. Hutan yang akrab, seramah orang-orang desa yang berpapasan denganku di sepanjang jalan setapak sampai ke Cemara Sewu. Konon disana ada desa maling, sejarah kelam masa lampau sebuah kelompok masyarakat yang terkenal sering berprofesi menjadi pencoleng, mendungsir rumah penduduk saat malam mendekap. Tapi aku tak pernah melihat geliat itu di siang hari, tidak saat aku melintasinya berkali-kali.

Apa yang kucari saat aku berjalan sendirian di Penggaron ?

Mungkin itu satu pertanyaan dari sekian komentar tentang kesenanganku berjalan kaki kesana. Hmm..., sesungguhnya aku sangat suka menikmati kesendirian, lepas dari betapa ramainya aku bila berkumpul dengan semua teman. Bagiku Penggaron menyediakan lautan kesempatan untuk merenung. Melangkahkan kaki sambil menekur jalan, memimpikan hal-hal yang mungkin bisa membuat hatiku senang. Tapi lebih dari segalanya, Penggaron telah memberiku kesejukan dan harumnya aroma hutan. Melenakan. Senang melihat gumpalan gandarukem kering yang menempel di tiap bekas deresan. Hutan ini sudah menghidupi berpuluh, bahkan mungkin beratus manusia yang tinggal di dalamnya. Biar pohon-pohon itu tak dirawat sebagaimana seharusnya pun, getahnya yang berharga masih saja menetes memenuhi mangkok mereka.


Penggaron memang tak seperti apa yang aku bayangkan dalam tiap lamunan. Aku memimpikan berjenis hewan liar berkeliaran. Tapi yang kujumpai pasangan muda yang asyik pacaran. Orang-orang muda itu, tak peduli ada mata melihat gerik mereka. Mungkin mereka pikir, di hutan ini orang tidak perlu memakai urat malu. Mungkin mereka pikir, mereka boleh berbuat apapun di alam liar. Entahlah. Aku sendiri tak pernah tau dengan siapa si lelaki berduaan. Dengan pacarnya sendiri ?, dengan selingkuhannya ?, dengan istrinya ?, atau dengan pelacur ? Entahlah. Aku tak pernah peduli. Yang aku nikmati ketentraman hutan ini. Keindahan pucuk-pucuk pinus yang menjulang tinggi. Semilirnya angin yang menerpa rambutku. Dan gemericik air sungai yang membelah di bawahnya. Alam yang hijau ini, mengapa aku sangat mencintainya....

*

Aku mendengar kabar buldozer meluluh-lantakkan Penggaron beberapa hari lalu. Sebuah jalan tol lambang kenyamanan berkendara akan dibangun di atasnya. Demi ketenangan mencapai jarak Semarang-Solo yang sudah lama dinanti orang. Penggaron kehilangan bukitnya, pinus-pinusnya yang hijau, jalan setapaknya, kesejukannya, ketentramannya, aroma hutannya, tempat berkemahnya, segala yang ada dalam kenanganku. Maka yang akan kulihat kelak cuma mulusnya aspal tol yang membelah Penggaron. Yang mungkin sisa pinusnya cuma akan bisa dilihat dalam sesaat, karena hanya tinggal sedikit. Dan pasti sulit bagiku bercerita pada anakku, bahwa aku dulu sering menapaki jalan pintas kecil disitu. Jalan yang telah memberiku kesenangan dengan lamunan dan angan-angan saat aku terbenam dalam nikmatnya kesendirian.


0 comments: