BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Jumat, 18 Desember 2009

JAWA DALAM DARAHKU


Suara Pak Haryoto mengalun menyanyikan tembang “Dandanggula” sambil mengetuk-ketukkan sebatang bilah bambu ke papan tulis. Lagu indah beliau ajarkan pada kami, murid kelas 6 kala itu. Tidak pernah tahu darimana datangnya rasa sukaku mendendangkannya, sementara teman-temanku yang lain hanya mengikuti tanpa punya ketertarikan yang sama.

Tembang adalah lagu yang bersyair indah, syahdu, bermakna. Banyak petuah dan kisah yang bisa kita temukan di dalamnya. Setiap lekukan iramanya membuat hatiku tentram. Tak ragu, pasti lagu itu akan jauh terdengar lebih indah bila dinyanyikan dengan iringan gamelan. Hhh…, sudah begitu lama sejak terakhir kali aku memainkan gamelan saat aku kuliah dulu, kira-kira sudah 20 tahun yang lalu. Bunyi-bunyian yang unik. Aku masih terkagum-kagum mendengar bagaimana sebuah harmoni dapat tercipta dari suara-suara perangkat gamelan yang beraneka-rupa itu, bahkan sampai detik ini. Bagaimana manusia beratus tahun lalu dapat mencipta gong, bonang, demung, kempul, saron, kethuk-kenong, gambang, siter, rebab, kendhang, peking, suling…. Hebat sekali.

Aku teringat saat Bapakku sampai terkatuk-katuk mengikuti kisah Baratayudha di radio kala aku masih kecil dulu. Lengkap dari jam 9 malam hingga jam 4 pagi. Konon, Bapak memang penyuka wayang kulit, sejak kecil sudah tergila-gila wayang kulit. Tidak kenal jerih walau tiap kali sampai di rumah selalu dihadang Alm. Mbahkakung yang marah mendapati Bapak pulang subuh. Kecintaan pada seni wayang yang tak luntur hingga sekarang. Kecintaan yang menyeretku ke dalam ketertarikan pada seni budaya Jawa yang sama.

Dulu, Bapak selalu bercerita banyak kepadaku, setiap kali beliau usai mendengarkan wayang kulit yang didalangi Alm. Ki Nartosabdo. Tentang bagaimana hebatnya Pandhawa, culasnya Kurawa, trengginasnya Srikandhi, lemah-lembutnya Sembadra, ajaibnya Kresno, liciknya Resi Dorna…, banyak sekali. Untaian kisah yang seakan melambangkan kehidupan setiap manusia di dunia. Liku perjalanan hidup seperti apapun ada disana. Mulai dari cinta, perseteruan, iri, perselingkuhan, kejujuran, kebohongan, pengorbanan…. (Bahkan bila kita merunut pada babon kitab Mahabaratha yang asli dari India, kita tak hanya akan menemukan perkara poligami, tapi juga poliandri) Menarik sekali.

Di SMP, kecintaanku pada tembang berlanjut. Ada Pak Hendro yang sangat piawai berbahasa Jawa sekaligus nembang dan memainkan gamelan. Aku sempat menampilkan beberapa tembang saat mendapat giliran maju ke depan kelas. Pak Hendro tampak sangat menikmati tembang Mijil yang aku nyanyikan.

“Kaya sinden !”, begitu komentarnya saat itu. Padahal yang aku lagukan tak lebih dan tak kurang adalah sama persis dengan cara beliau menyanyikan. Sayangnya, di jenjang SMA sudah tidak ada lagi pelajaran Bahasa Jawa dan keseniannya. Maka di SMA, aku hanya mempelajari lagu nasional dan daerah, itupun hanya bila akan bertanding paduan suara mewakili sekolah.

Tapi kesukaanku pada kisah wayang kulit di radio seperti Bapakku tidak pudar. Hingga saat kuliahpun, teman-teman serumah kost sangat hafal dengan suara klenengan dari radio di kamarku, yang selalu terdengar hingga pagi dini hari. Sampai-sampai mereka tidak bisa tidur. Hmm…, moga-moga mereka memaafkan kebiasaanku dulu.

Beberapa saat lalu, aku terusik pada ingatanku akan tembang “Pocung” yang pernah aku nyanyikan saat aku ujian praktek seni suara daerah di waktu SD. Lalu tiba-tiba terlintas juga ingatan tentang wacana di sebuah koran nasional, yang memberitakan betapa saat ini bahasa dan kesenian Jawa telah banyak ditinggalkan orang di tanah kelahirannya sendiri. Sementara orang-orang di Surimane sana jauh-jauh datang ke Solo dan Jogja untuk belajar Budaya Jawa, orang Jawa yang tinggal di pulau Jawa sendiri sudah tidak banyak lagi yang tertarik melestarikannya. Sebuah ironi….

Dan semua orang berlomba-lomba belajar bahasa asing, sementara mereka sudah tidak lagi memakai bahasa Jawa sebagai media komunikasi dengan anggota keluarganya sendiri. Anak-anak kita lebih banyak kita ajak bicara dengan Bahasa Indonesia sekarang, bukan bahasa ibu kita. Maka bahasa dan kesenian Jawa akan semakin terlupakan. Bahkan kalah oleh kecanggihan istilah dari negeri seberang.

“Suatu saat nanti, manusia Jawa akan belajar Bahasa dan Kesenian Jawa dari Suriname…”, petikan komentar di koran itu terlintas berulang-ulang di kepalaku. Ramalan yang tak terbantahkan, bila kita melihat fenomena yang terjadi di masyarakat Jawa kita saat ini. Mungkin juga, suatu saat nanti, Bahasa dan Kesenian Jawa itu akan musnah sama sekali.

0 comments: