BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Selasa, 22 Desember 2009

JEJAK MATAHARI

Debu mengepul di sepanjang jalan. Sinar terik mentari memaksa butiran-butiran keringat menetes di kedua pelipis Dirga. Kedua matanya menyipit, dari jauh tampak Gunung Merapi berdiri dengan gagah. Tanah berpasir hitam yang terinjak sejauh dia menapak, berhiaskan rumput liar dan semak belukar. Di kedua sisi jalan, terlihat deretan kebun salak pondoh sarat buah di antara duri yang melekat di semua batang daunnya. Dirga menarik napas panjang, sudah setengah jam ini dia berjalan, belum juga tampak tanda-tanda akan sampai di rumah eyangnya.

Setelah limabelas menit kemudian, barulah dia tiba disana. Dirga hafal betul rumah peninggalan Eyang Putrinya. Sebuah rumah tua terbuat dari kayu jati yang di apit dua pohon manggis, membuat halaman rumah itu tampak sangat teduh. Terdengar suara perempuan dari dapur yang dibangun di samping rumah. Tiba-tiba rasa bahagia menyergap, Dirga ingin cepat-cepat masuk ke sana, menjumpai perempuan dalam dapur rumah Eyangnya....

"Assalamu'alaikum....", Dirga mengucap salam.

"Wa'alaikum salaaam...", jawab perempuan dari dalam dapur. Sebentar kemudian pintu dapur terbuka. Si pemilik suara terkejut, lalu tertawa senang melihat kehadiran Dirga.

"Weee.... Dirga, to ? Datang sama siapa ?", sambut perempuan tua berkain kebaya itu.

"Eyang..., aku datang sendiri...", Dirga segera menyalami tangan perempuan tua itu dengan takdzim. Eyang Putrinya senang bukan main, kedatangan Dirga adalah sebuah kejutan yang sangat menyenangkan. Sudah dua tahun ini Dirga tidak ikut berkunjung ke desa Eyangnya saat lebaran. Dirga tersenyum dan menganggukkan kepala pada beberapa orang perempuan lain yang tampak bekerja di dapur itu.

"Naik apa, Le ?", tanya sang Eyang.

"Jalan kaki dari perempatan jalan besar, Eyang...", jawab Dirga dengan sopan.

"Lho ? Sekarang ini sudah banyak ojek. Kenapa tadi tidak naik ojek ?", tanya sang Eyang terheran.

"Ah..., tidak apa-apa...", jawab Dirga dengan tertawa, "...sengaja mau jalan kaki karena Dirga kangen sekali sama desa ini...". Sang Eyang tersenyum mendengarnya, Dirga memang anak yang romantis, sejak kecil dia suka berlama-lama menikmati pemandangan alam. Mandi di kali adalah salah satu kesenangannya yang lain saat dia masih SD.

"Ayo..., kita letakkan dulu tas bawaanmu ke senthong kiri, ya...", tangan Eyang mengamit lengannya dan mengajaknya ke kamar depan sebelah kiri. Dirga menurut dan mengikuti. Diambilnya tas ransel besar yang sempat diletakkannya di atas kursi kayu dalam dapur, lalu dibawanya ke dalam.

"Untung, Eyang sudah membersihkan kamar ini. Ndak taunya kamu mau datang.... Pantas rasanya Eyang kangen sekali sama kamu, Dirga. Sudah beberapa hari ini Eyang membicarakan kamu dengan orang-orang belakang. Apa kabar Bapak dan Ibumu ? Mereka sehat ?", tanya Eyang kemudian.

"Alhamdulillah... Mereka sehat, Eyang. Bapak dan Ibu juga titip sungkem untuk Eyang", jawab Dirga.

"Syukurlah.... Kesehatan adalah hal utama yang patut kita syukuri, itu pemberian Allah yang paling pantas kita hargai. Apa artinya punya semuanya, tapi badan tidak sehat ? Eyang ini juga sangat bersyukur karena telah diberi umur sepanjang ini, dan kesehatan yang memungkinkan Eyang bekerja, paling tidak untuk kebutuhan Eyang sendiri...", kata Eyang dengan tersenyum. Dirga maklum, Eyangnya memang memiliki usaha pembuatan dodol salak. Beliau bahkan tidak hanya menjualnya di pasar, tapi juga memasok ke beberapa toko makanan. Tidak mau berpangku tangan adalah sikap Eyang yang sangat dikaguminya. Dalam usia 75 tahun seperti sekarang, masih saja Eyangnya bekerja memimpin para ibu di sekitar rumah tinggalnya untuk bersama-sama membuat dodol salak.

"Sudah..., Dirga istirahat dulu, ya.... Sebentar lagi kita makan siang bersama...", kata si Eyang kala akan meninggalkan kamar itu. Dirga merebahkan diri di atas amben kayu jati beralaskan kasur kapuk. Tertidur pulas, hingga mendengkur....

*
Seorang pria tua tersenyum saat melihat Dirga geragapan terbangun. Pria berkumis yang mengenakan baju sorjan warna gelap itu duduk di kursi jati, bersebelahan dengan meja tempat Dirga meletakkan tas bawaannya. Bau rokok klembak yang menyengat mewarnai udara kamar. Dirga menyungirkan hidungnya, sudah lama sekali dia tak membaui rokok seperti ini. Pria itu tetap duduk di tempatnya, matanya yang teduh menatap gerak-gerik Dirga yang mulai salah tingkah.

"Maaf...", kata Dirga sambil meloncat turun dari dipan. Pria itu tersenyum lagi. Dirga tak mengenalnya, tapi entah mengapa timbul rasa segan di hati Dirga saat memandangnya. Pria itu sangat berwibawa.

"Kau lelah sekali tampaknya.... Sebaiknya lain kali jangan jalan kaki kalau mau sampai kemari...", kata pria tua itu. Dirga tersenyum, dia berusaha mengingat-ingat nama pria yang bicara di depannya itu. Ada sesuatu di wajah pria itu yang sangat dia kenal, tapi...dimana dia pernah melihatnya ? Ah..., semakin keras Dirga berusaha mengingat, semakin buram juga ingatannya. Tapi sekilas, Dirga melihat tarikan senyum yang sama dengan senyum Bapaknya. Tapi..., siapa dia ?

"Bapak ini...?", sapa Dirga sambil bertanya-tanya. Pria itu lagi-lagi menampakkan senyum ramahnya.

"Aku teman Eyang Putrimu.... Biasanya aku menemani Eyang Putrimu itu kalau sedang sibuk bekerja di belakang. Dia baru saja cerita kalau kau datang. Dia senang kamu mau mampir kemari. Sudah lama dia selalu mengeluh betapa anak-anaknya yang tinggal di Jakarta sudah melupakannya, tak mau lagi menjenguknya.Ternyata keluhannya selama ini terobati sudah dengan kedatanganmu kemari. Eyang Putrimu itu kesepian...", pria paruh baya itu menghela napas. Dirga tersenyum kecil, dia maklum bagaimana rasa Eyang Putrinya yang selama dua tahun ini merasa telah dilupakan.

"Bapak Ibu saya memang sedang sibuk akhir-akhir ini.... Mbak Santi sebentar lagi mau menikah. Sementara Mbak Dini baru saja melahirkan. Kalau nanti semua persiapan sudah beres, Bapak dan Ibu akan sowan juga kemari... Ibu mengatakan kalau Eyang Putri akan segera dijemput setelah masuk bulan Januari nanti, kalau sudah mendekati waktu pernikahan Mbak Santi...", kata Dirga menjelaskan. Pria itu manggut-manggut.

"Maaf..., tapi Bapak ini....siapa ya ?", tanya Dirga hati-hati. Di dusun kecil seperti ini, sopan-santun sangatlah penting untuk dijunjung tinggi. Pria itu tiba-tiba tertawa, memamerkan giginya yang kokoh tanpa cela.

"Kau boleh memanggilku Ki Lurah...", katanya sambil beranjak dari kursi, "...sudahlah, sebaiknya aku ke belakang. Masih banyak hal yang harus aku lakukan. Eyang Putrimu itu sangat sibuk. Sudah kewajibanku menemaninya bekerja. Biarpun kadang aku cuma ikut menonton apa yang dia lakukan".

Lalu pria itu melangkah keluar kamar, meninggalkan Dirga yang masih sedikit mengantuk - berdiri termangu di samping dipan.

*
"Eyang..., aku mau jalan-jalan melihat kebun salak. Ada yang sedang panen nggak ?", tanya Dirga keesokan harinya, di sela kesibukan Eyang Putrinya yang sedang asyik menakar gula pasir dengan timbangan.

"Ada !, selalu ada !. Tapi ini bukan musim panen raya. Jadi panenan Eyang cuma sedikit. Lumayan untuk dibuat dodol salak. Tapi kalau kamu mau, kamu juga bisa memetik sendiri sesukamu. Pilih yang sudah agak hitam warna kulitnya, lebih manis...", pesan Eyang padanya. Dirga segera mengambil arit kecil yang biasa digunakan untuk memanen salak. Tak lupa karung goni untuk membuntal buah salak agar durinya tidak melukai tangan saat dipanen. Sejak kecil, bapaknya sudah mengajarinya cara memanen salak. Sekarang dia mau mempraktekkan sendiri keahliannya itu.

"Berangkat dulu ya, Eyang...", begitu pamitnya. Eyang Putrinya mengangguk sambil berpesan agar dia berhati-hati. Dengan senang, Dirga melenggang ke arah kebun salak yang cuma berjarak 50 meter saja dari halaman belakang rumah Eyang Putrinya. Beberapa pohon sudah dipanen. Beberapa lagi sudah berbuah, tapi belum tua betul. Dirga terus mencari-cari dengan mata jeli. Tiba-tiba pundaknya disentuh tangan seseorang. Dirga menoleh. Ah..., Ki Lurah ! Orang yang menemuinya di kamar kemarin siang saat dia tak sengaja tertidur.

"Ki...", sapa Dirga sambil mengangguk sopan.

"Berdirilah agak kesini. Kau akan melihat sekumpulan buah salak yang telah tua dan siap dipanen...", kata Ki Lurah sambil menunjuk ke arah sebuah pohon. Dia benar ! Di pohon itu memang tampat segerombolan buah yang cukup banyak dan buahnya besar-besar. Kulitnya menghitam, tanda buah itu telah masak. Dengan hati-hati Dirga segera membebat buah itu dengan karung goni, lalu memotong batang buahnya dengan arit yang sedari tadi telah dibawanya. Cuma beberapa kali ayunan, lalu selesai sudah semuanya. Kini Dirga mendapatkan setandan buah salak manis yang dia inginkan.

"Ki Lurah mau juga ?, aku bisa petikkan buat Ki Lurah...", kata Dirga menawarkan diri. Tangan kisut Ki Lurah menolak dengan mantap.

"Aku sudah tak ingin lagi makan yang seperti itu. Untukmu saja...", katanya. Hari ini sungguh panas, Dirga merasakan hangatnya sengatan matahari, tapi Ki Lurah tampak baik-baik saja dalam busana sorjannya. Tak tampak sedikitpun tetesan keringat di dahi maupun di lehernya. Sementara Dirga sibuk melap keringatnya sendiri yang mulai berleleran. Ki Lurah tertawa kecil, kepalanya menggeleng-geleng....

"Anak kota. Baru sebentar saja memanen salak, kau sudah berkeringat seperti sudah seharian bekerja...", celetuknya. Membuat Dirga sedikit malu.

"Dulu..., aku mengerjakan semua hal di kebun ini. Mencangkul, menanami pohon, memupuk, memanen, mengairi, membawa hasil panennya ke pasar.... Semua aku kerjakan sendiri. Kakiku yang kurus ini mau saja aku paksa bekerja dari saat pagi belum tercium sinar matahari, hingga matahari beranjak mau tidur lagi. Itulah orang-orang jaman dulu. Tak ada keraguan kami untuk menggarap tanah ini, meski kami tau, yang bisa kami tanam di kebun berpasir ini paling-paling cuma salak yang banyak duri. Entah sudah berapa sering tangan dan kakiku terkena duri. Sampai puas rasanya...", kisah Ki Lurah. Matanya berpedar menatap sekeliling. Kebun yang luasnya hampir 4 hektar ini memang sangat luas. Dan hampir seluruh lahan ditanami salak. Hmm...,jadi Ki Lurah yang menanami seluruh kebun Eyangnya ini, pikir Dirga kemudian.

"Dulu aku sering diolok-olok semua orang. Mereka bilang tanaman salak tidak akan membuat semua orang bisa makan. Mereka lebih suka menanam padi dan palawija. Tapi lihat sekarang ! Semua orang menanam salak. Semua orang bisa mejadi kaya dengan salak. Aku senang, mereka mau belajar dari apa yang telah aku lakukan dengan kebun ini...", katanya lagi. Tapi tiba-tiba Dirga merasa aneh, sebuah pertanyaan terlintas....

"Kalau Ki Lurah yang mengerjakan semua pekerjaan di kebun ini, berarti dulu Ki Lurah bekerja untuk Eyang saya ya, Ki ?", tanyanya. Ki Lurah menoleh ke arahnya, mengangguk-angguk, lalu tersenyum.

"Aku bekerja untuk Eyangmu. Tentu saja...", katanya menimpali. Dirga takjub. Bila Ki Lurah itu sanggup mengerjakan semua hal di kebun ini, pastilah Eyangnya dulu orang yang lebih berpengaruh lagi. Ah ! Bahkan seorang Lurah pun mau bekerja untuk Eyangnya ! Dirga ingat nama Eyangnya, semua orang memanggilnya Eyang Dongkol. Dirga baru berumur 3 taun sewaktu Eyang Dongkol meninggal. Eyang Dongkol adalah orang yang mewariskan kebun salak ini untuk Eyang Putrinya. Dan sekarang Dirga bertemu dengan orang yang dulu membantu Eyangnya bertanam salak di kebun ini. Luar biasa !

*
"Kau lelah ?", tanya Ki Lurah setelah Dirga selesai memanen salak. Dirga menggeleng.

"Bagus. Kita berjalan-jalan sebentar...", ajak Ki Lurah. Dirga menurut saja.

"Kita mau kemana ?", tanya Dirga. Jari tangan Ki Lurah menunjuk ke arah hutan.

"Kesana ! Aku mau menunjukkan sesuatu padamu...", katanya lagi. Dirga mengikuti langkah kaki Ki Lurah yang masih tampak cekatan. Langkahnya sigap melompati bebatuan yang berserak di sepanjang jalan setapak. Suara gemercik air terdengar dari bawah sebuah pohon beringin tua yang berdiri gagah di antara ratusan pohon salak yang ada di kebun luas itu.

"Jernih sekali...", desis Dirga sambil mencelupkan ujung tangannya ke dalam sumber air itu. Ki Lurah tersenyum.

"Sumber air ini kutemukan setelah aku membongkar sebuah batu besar yang dulu ada di kaki pohon beringin ini. Batu sebesar badan kerbau. Aku memecahnya dengan godam. Hingga berkeping-keping. Dari tanah yang ada di bawah batu itu, muncullah mata air ini. Sumber air yang tak akan kunjung habis meski sampai puluhan tahun nanti. Karena sumber air ini, aku bisa mengairi seluruh pohon salak yang kutanam di kebun Eyangmu...",  kisah Ki Lurah. Wajahnya sangat bangga dengan apa yang telah dikerjakannya. Sumber air itu kini telah dibendung dengan semacam kolam, beberapa pipa pralon mengalirkan airnya ke arah rumah Eyang. Pantas saja di rumah Eyang tak ada sumur. Rupanya air itu dialirkan dari sendang ini.

"Ki Lurah memecah batu itu sendirian ?", tanya Dirga dengan mengernyitkan alisnya.

"Ya. Begitu melelahkan sampai-sampai aku jatuh sakit, tidak bangun-bangun...", jawabnya.

"Tak ada seorang pun yang membantu ?", tanya Dirga lagi.

"Tidak. Waktu itu aku bekerja sendiri. Sumber air ini berada jauh di dalam kebun Eyangmu. Maka orang-orang yang lewat di depan sana tak ada yang tau apa yang aku lakukan.... Untungnya, aku sudah mengkabarkan adanya sumber air ini pada Eyangmu ", kata Ki Lurah lagi. Dia menghela napas, tangannya erat mengepal.Seperti gemas sendiri.

"Lalu pipa-pipa pralon ini ?", tanya Dirga.

"Beberapa orang membantu Eyangmu memasangnya ke arah rumah. Aku sudah tidak bisa lagi membantunya saat itu. Seperti yang sudah aku katakan, waktu itu aku terlalu lelah. Aku tidak bangun-bangun...", ujar Ki Lurah. Tidak bangun-bangun ?, Dirga merasa aneh dengan ucapan itu. Tapi dia enggan menanyakan.

"Sudah hampir sore, sebaiknya kau kembali ke rumah Eyangmu...", kata Ki Lurah. Lagi-lagi, suaranya yang penuh wibawa membuat Dirga tak berdaya untuk menolak perintahnya. Dirga mengambil buntalan salak dalam karung goni itu, lalu mengangguk pamit pada Ki Lurah. Ki Lurah tersenyum membalas anggukannya. Dirga melangkah pulang. Sempat dilihatnya kembali keberadaan Ki Lurah di kebun belakang yang sudah ditinggalkannya, tapi bayangan Ki Lurah pun sudah tak dapat lagi dilihatnya. Rupanya Ki Lurah juga sudah pergi.

*
"Waaah..., kamu pintar sekali memilih salak. Ini sudah tua dan rasanya pasti sangat manis. Pasti kamu sudah memilih dengan teliti. Kebun di belakang itu luas sekali, Pak Min dan Pak Tu saja sering kesulitan memilih salak mana yang harus dipanen. Kamu pintar sekali...", puji Eyang Putri di dapur saat Dirga meletakkan buah-buah salak itu di atas meja dapur yang lebar.

"Saya tidak memilihnya sendiri, Eyang...", kata Dirga kemudian. Alis Eyang berkerut.

"Pak Min yang membantumu memilih ? Atau Pak Tu ?", tanya Eyang menebak-nebak. Dirga menggeleng.

"Ki Lurah.... Ki Lurah yang sudah membantuku memilih salak ini. Dia sangat paham semua salak yang ada di kebun itu, Eyang...", ujarnya, mengagetkan Eyang Putrinya.

"Ki Lurah yang mana, Dirga ?", tanya Eyang Putrinya sesaat setelah beliau bisa menenangkan diri.

"Ki Lurah. Katanya dia dulu yang menanami salak di kebun belakang. Orangnya pakai baju sorjan, berkumis tipis. Umurnya seusia dengan Eyang, tapi masih gagah.... Kenapa, Eyang ?", Dirga bertanya, mulai cemas karena melihat wajah Eyang Putrinya sedikit memucat. Tapi Eyang Putri tak melanjutkan bicaranya. Beliau berbalik kembali ke arah tungku, menambahkan bumbu ini dan itu untuk adonan dodol salak yang sedang diaduk oleh seorang perempuan yang biasa membantunya di dapur.

"Ini manis sekali, Eyang !", kata Dirga sambil terus menggigit daging buah salak hasil panenannya. Eyang Putrinya tersenyum sekilas, lalu berpaling kembali ke arah tungku.

*
"Sejak kapan kau bertemu Ki Lurah ?", tanya Eyang Putri sore itu.

"Dari hari pertama Dirga sampai di sini. Ki Lurah menjumpaiku di kamar depan...", jawab Dirga menjelaskan.

"Bagaimana wajahnya ? Kau masih ingat ?", tanya Eyang lagi.

"Berkumis, pakai baju sorjan, pakai blangkon, orangnya gagah dan berwibawa...", kata Dirga. Eyang Putrinya tersenyum.

"Gagah, katamu ?", tanya Eyangnya lagi.

"Ya, Eyang.... Gagah dan berwibawa...", jawab Dirga, sekarang mulai heran dengan cecaran pertanyaan Eyang Putrinya.

"Apakah dia bicara denganmu ?", tanya Eyang. Dirga mengangguk.

"Apakah dia tersenyum ?, dia tampak bahagia ?", tanya Eyang lagi. Dirga mengangguk.

"Apakah dia mengatakan hal yang lain ?", tanya Eyang lagi. Dirga kali ini terheran-heran.

"Ki Lurah cuma bercerita tentang salak di kebun ini, tentang bagaimana orang-orang dulu sering mengoloknya saat memulai bertanam salak. Hingga Ki Lurah berkata kalau dia merasa lega kalau sekarang orang-orang itu bisa menjadi kaya dengan tanaman salak mereka. Ki Lurah juga menunjukkan padaku tempat sumber air yang ada di kebun belakang itu. Airnya jernih dan banyak, Eyang. Pantas Eyang tidak memerlukan sumur, rupanya Eyang sudah dapat pasokan air melimpah dari sumber itu. Ki Lurah itu hebat ya, Yang ? Apakah Ki Lurah bertempat tinggal di sekitar rumah Eyang ini ?", Dirga balas bertanya. Eyang Putrinya menggeleng perlahan.

"Ki Lurah tidak tinggal di sekitar rumah ini...", nanar mata Eyang memandang keluar jendela.

"Ki Lurah...dulu memang dia tinggal disini...", jawab Eyang lirih.

"Maksud Eyang ?", tanya Dirga tak mengerti.

"Dia Eyang Kakungmu, Dirga...", jawab Eyang Putri dengan senyum haru. Matanya berkaca-kaca. Alis Dirga bertaut, selama ini memang tidak ada sepotong pun potret Eyang Dongkol yang tergantung di dinding. Itu sebabnya Dirga tak pernah tau seperti apa wajah Eyang Dongkol. Tapi yang dikatakan Eyang Putrinya itu sungguh mengejutkan.

"Eyang sering berkeluh-kesah padanya.... Eyang katakan kalau akhir-akhir ini Eyang begitu kesepian. Hati Eyang Putrimu ini memang cuma dapat bersandar pada Eyang Dongkol. Meskipun Eyang Dongkol sudah lama meninggalkan kita, hanya padanya Eyang Putrimu ini sering bicara. Eyang memang selalu menganggap kakekmu itu masih ada. Mungkin itu cuma rasa Eyang, tapi Eyang yakin kakekmu itu masih setia menemaniku di rumah ini...", mata Eyang Putri menerawang jauh, seakan menembus kekarnya Gunung Merapi yang tampak dari jendela rumahnya.

"Entah mengapa akhir-akhir ini Eyang Putri sering teringat pada Eyang Kakungmu itu.... Apakah aku akan segera dia jemput ?", tanya Eyang Putri dengan sendu. Dirga mendekap pundak Eyang Putrinya dengan penuh rasa sayang.

"Jadi...?", Dirga bicara, seakan pada dirinya sendiri.

"Dia yang menemuimu di kebun belakang tadi...", kata Eyang Putri sambil menatap cucu lelakinya itu. Dirga menelan ludah.

"Tapi nama Eyang Kakung kan Eyang Dongkol ?", sanggahnya.

"Eyang Dongkol..., Eyang Lurah Dongkol.... Dulu Eyang Kakungmu jadi lurah sampai waktu yang sangat lama. Saat sudah pensiun dari lurah, semua memanggilnya Ki Lurah Dongkol. Artinya Ki Lurah Lama. Kau baru saja bertemu dengannya, Le.... Pasti Eyang Kakungmu begitu rindu padamu, hingga dia menemuimu sendiri...", ucap Eyang Putri sekali lagi dengan mata berkaca-kaca.

Sejenak Dirga teringat tatapan mata yang teduh dan senyum berwibawa Ki Lurah saat di kebun tadi. Anehnya, tak ada sedikitpun rasa takut hinggap di hatinya.

S E L E S A I
Bintaro Jaya 3A, Januari 2010.

0 comments: