BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Selasa, 22 Desember 2009

UBLIK


Sigit beringsut mendekati emaknya tercinta. Sudah sesaat lamanya sang emak bersimpuh di lantai tanah rumah mereka. Diusapnya pelan-pelan air mata yang menetes di kedua pipi yang kurus itu. Dada Sigit sakit melihat emaknya tampak begitu ringkih. Sebuah lebam melingkar di mata kiri yang biasanya selalu memandangnya dengan penuh kasih. Sigit tak mengerti mengapa bapaknya bisa berbuat begini.
Kang…, jangan diambil, Kang….  Itu modalku jualan besok pagi….
Hasss…, banyak omong kamu.
Jangan, Kang…, aku sudah ndak punya uang lagi….
Diam !
Kang….
DUG !, sebuah jotosan telak mengenai mata istrinya, Gito bergegas pergi begitu melihat istrinya terjatuh di lantai. Di sudut ruangan, mata Sigit kecil membelalak tak percaya.
Maaak….
Perlahan Tarsih membuka matanya. Ah…, anak lelakinya yang malang, pasti dia sudah melihat kejadian itu barusan. Direngkuhnya anak itu dalam dekapan, air matanya mengalir makin deras. Duh, Gusti…, jadikan anak ini anak yang berguna bagi kebahagian kami, doanya dalam hati. Diciuminya kedua pipi anaknya berkali-kali. Dia bersumpah tak akan menjadikan anak lelakinya itu punya perangai seperti bapaknya.
Emak sakit, Mak ?
Tarsih menggeleng.
Tidak, cuma sedikit.  Sigit…, kalau kamu sudah besar tidak boleh suka memukul, ya ?
Sigit kecil mengangguk saja. Diusapnya helai rambut panjang yang menutup sebagian kening emaknya. Mata kiri emaknya tampak sedikit menyipit. Tiba-tiba dia bergerak mendekat ke wajah Tarsih, dan mencium mata kiri emaknya, hati-hati sekali. Biasanya, Tarsih selalu mencium setiap luka yang menempel di tubuh anak lelaki semata wayangnya itu. ‘Biar cepat sembuh…’, begitu dalihnya tiap kali ditanya kenapa. Dan sekarang anak lelakinya itu melakukan hal yang sama pada dirinya. Dan itu membuat Tarsih terharu.
Gito, lelaki yang dikawininya itu memang bukan pilihannya. Dia dijodohkan pada lelaki itu setelah Pak Warmo, bapak Tarsih, punya utang karena kalah main judi di warung Yu Katemi yang ada di tengah pasar. Tarsih tak sanggup menolak, dia tau bapaknya almarhum itu pasti telah tertipu akal licik Gito yang pandai main kartu. Dan kini mereka telah mendapat seorang anak lelaki yang tampan dan pintar. Sigit, anak itu, anak yang telah memberinya begitu banyak penghiburan atas segala derita yang diterimanya dari suaminya yang berangasan.
*
Kalau besar nanti aku mau jadi polisi….
Kenapa polisi ?
Biar yang suka jahat sama emak bisa aku masukkan penjara, kayak di filem yang di TVnya Mbah Dirjo itu, Mak….
Ah, kamu ini…. Ngomong kok nggak ada juntrungnya. Nggak usah punya mimpi macam-macam….
Biar, kalau tidak aku nanti mau jadi tentara saja.
Lho, kok sekarang jadi tentara ?
Biar aku bedhil semua yang mau jahat sama Emak.
Husss !, ngawur kamu…. Sudah, pergi main ke lapangan sana !
Sigit mengambil bola kaki yang ada di kolong tempat tidurnya. Langkahnya tegap menuju lapangan, tempat teman-temannya menunggu bermain bola.
Dari jauh, Tarsih memandangi punggung anak lelakinya yang sekarang sudah mulai tampak berbentuk, tegap seperti almarhum bapaknya yang pernah jadi tentara di masa sehabis merdeka. Otot yang liat itu tampak kencang membungkus tulang yang kekar. Tarsih bangga sekali, anak lelakinya telah tumbuh menjadi remaja yang gagah.
BRAKKK!!!
Tiba-tiba pintu terbuka seperti habis ditendang, suaranya yang keras mengagetkan Tarsih yang masih sibuk berbenah. Gito masuk melenggang dengan dagu terangkat. Matanya yang runcing melihat ke sekeliling.
Minum !, bentaknya bengis.
Tarsih cepat-cepat ke belakang untuk membuat segelas kopi panas untuk suaminya. Itu minuman kesukaan Gito bila hari sudah agak sore begini. Diambilnya kopi dan gula yang terletak di dalam lemari makanan. Sial…, gulanya tinggal sedikit.
Kang…, aku ke warung Lik Mun dulu, ya….  Mau beli gula….
Alasan ! Bikin seadanya !
Tarsih mengangguk. Diseduhnya kopi yang sudah disiapkannya dalam gelas dengan gula seadanya, lalu dibawanya segelas kopi itu ke hadapan suaminya yang tampak tak sabar menunggu.
Gito membiarkan istrinya meletakkan gelas kopi itu ke atas meja. Rasa hausnya harus tertahan karena panas yang masih menjalar bahkan sampai permukaan luar gelas. Asap tampak mengepul dari panasnya seduhan kopi di dalamnya. Tak sabar, diambilnya gelas itu, dan disruputnya. Tiba-tiba wajahnya menyeringai….
Phuahhh….
Bibir Gito menyemprotkan cairan kopi dari dalam mulutnya ke lantai.
Kopi apa ini ? Kamu mau kurang-ajar sama suamimu ? Minum itu !
Gito menyodorkan gelas kopi itu dengan kasar ke arah Tarsih, dan tangan Tarsih gemetar menerimanya. Dicicipnya kopi yang ada dalam gelas, pahit ! Diletakkannya kembali gelas itu di atas meja ketika Gito mulai melangkah masuk ke dalam kamar. Langkah Gito yang mendekat ke lemari baju membuat Tarsih gundah, dia takut Gito akan melakukan sesuatu yang tidak dia inginkan.
Dan betul saja, Gito mengacak-acak lemari baju itu lagi, lalu mengambil segulung uang sepuluh ribuan yang sengaja Tarsih sembunyikan di bawah tumpukan baju dalam di lemari.
Kang !, jangan diambil, Kang !  Itu uang buat beli buku Sigit !
Hasss, prek ! Aku lagi perlu !
Tapi itu uangnya Sigit….
Prek !!!
Dengan keras Gito mendorong tubuh istrinya hingga tubuh itu doyong dan menabrak meja kayu. Rasa nyeri di panggul menjalar sampai ke ulu hati. Dan dia hanya bisa merintih saat melihat suaminya beranjak keluar dari pintu rumah.
Tiba-tiba Tarsih merasa lelah. Sudah hampir tiga belas tahun sejak mereka kawin, Gito hanya bersenang-senang dengan menghamburkan uang rupiah demi rupiah di meja judi dan mabuk dengan teman-temannya sesama tukang ojek. Tarsih harus rela banting tulang berjualan bubur kacang ijo dan ketan hitam yang didorongnya sepanjang jalan keliling desa. Dari kampung ke kampung, dari gang ke gang.
Cerai saja kenapa to, Sih ?, kata Lik Mun suatu kali.  Tarsih menggeleng.
Itu wasiat Bapak, Lik….
Wasiat kok wasiat suruh kawin sama wong gendheng gitu. Kalau aku sudah  cerai dulu-dulu !
Tarsih menunduk dalam-dalam, dia menghela napas sesal.
Apa kamu kuatir nggak bisa ngasih makan anakmu lanang ?
Ndak, Lik….  Aku masih bisa cari uang sendiri.
Terus kamu nggak mau cerai dari Gito itu, yang kamu berati apanya ?
Tarsih tak menjawab. Lelaki berangasan yang sudah memberinya seorang anak lelaki itu adalah satu-satunya lelaki yang pernah ada dalam hidupnya selain almarhum bapaknya. Seringnya tidur seranjang dengan lelaki itu mau tak mau membuat benih-benih kasih tumbuh dalam hatinya.
Di saat tertentu, sesungguhnya Gito juga seorang lelaki yang bisa jadi pelindung. Itu terjadi saat Tarsih dirampok di kampung Mergangsan yang letaknya lumayan jauh dari tempat tinggal mereka. Kala itu, Gito dengan gagah berani merampas kembali tas tangan yang direbut rampok itu, dan mengembalikannya pada istrinya. Meski akhirnya dia juga mengambil beberapa lembar uang puluhan ribu dari dalamnya, tapi Tarsih rela.
Belanjanya sudah belum, Sih ?, tanya Lik Mun tiba-tiba, membuyarkan lamunan Tarsih di siang bolong di depan warung kecil itu. Geragapan, Tarsih mengangguk sambil tersenyum kecil.
*
Aku boleh sekolah di SMP Negeri 1 ‘kan, Mak ?, tanya Sigit sore itu. Tarsih mengangguk, senyum tulus menghiasi wajahnya.
Ahh, Sigit…, ublik yang sudah menerangi hidup Tarsih itu memang punya semangat luar-biasa. Tidak malu dengan keadaannya yang cuma jadi anak bakul bubur kacang-ijo seperti dirinya. Malah tiap kali Tarsih berjualan di depan sekolah anak lelakinya, si bocah dengan bangga ikut membantunya meladeni pembeli.
Bersyukur, Tarsih bersyukur sekali. Dan sebentar lagi Sigit akan ujian. Tarsih tidak takut anaknya akan tinggal kelas. Sedari kecil, Sigit selalu jadi anak terpandai. Hanya saja…, dia sedikit gelisah dengan masa depan anak lelaki semata wayangnya itu. Akankah dia mampu membiayai sampai Sigit jadi orang di kemudian hari?
Diliriknya lemari baju di sudut kamar, ada sertifikat tanah tempat tinggalnya, peninggalan almarhum bapaknya. Ya, Pak Warmo memang tidak memberinya warisan apa-apa kecuali rumah kecil di sepetak tanah pekarangan ini. Rumah Tarsih memang bukan Gito yang bikin, lelaki seperti Gito tak akan sudi memikirkan akan dimana mereka tinggal. Paling tidak, itu yang Tarsih rasakan.
Tarsih menoleh ke arah anak lelakinya yang kini telah terpulas di dipan tempat tidurnya. Dia suka sekali memandangi bulu mata lentik yang menghiasi kedua mata lelaki kecil itu. Diambilnya selimut yang terlipat rapi di ujung lain dipan, lalu diselimutkannya di atas tubuh Sigit. Hati-hati sekali, seperti dulu sewaktu Sigit masih bayi.
Hmm, betapa cepat waktu berlalu. Rasanya baru kemarin Tarsih menimang buah hatinya yang terlahir di rumah Bidan desa. Sebuah kelahiran yang hanya mendapat sambutan dingin sang suami yang bahkan tidak mau menjemputnya sepulang dari bersalin.
Tarsih ingat sekali waktu itu, dia harus berjalan sendiri, tertatih menuju rumah, dengan menggendong bayinya seorang diri. Sepanjang jalan, semua tetangga menyapanya. Sampai akhirnya dia berpapasan dengan Lik Mun yang kemudian membantunya menggendong bayi mungil itu.
Sudah tau istrinya melahirkan, malah ndak diurus…. Kamu kok ternyata tambah edan, To…?, omel Lik Mun sewaktu melihat Gito.  Gito mencibirkan bibirnya yang hitam, dia tak hirau teguran itu.
Hhh…, semua orang tau seperti apa suaminya, semua orang tau akan seperti apa lelaki itu memperlakukannya. Dan itulah satu-satunya sebab mengapa sampai Pak Warmo, bapak Tarsih, begitu kecewa dengan kebodohannya merelakan Tarsih menjadi istri Gito.
Maafkan, Bapak, Nduk…. Maafkan, Bapak…, bisiknya lirih di telinga Tarsih sebelum mata tua itu terpejam selama-lamanya, hanya selang enam bulan sejak dia jadi istri Gito.
Tapi itu dulu, sekarang Tarsih hanya ingin memikirkan anak lelakinya yang sudah harus didukung belajar demi masa depan. Tarsih tak mau hanya memikirkan bagaimana kelakuan suaminya yang cuma bisa jadi gentho. Masih banyak hal yang harus dia lakukan agar sekolah Sigit tetap lancar. Maka dia tak segan berkeliling ke kampung-kampung lebih jauh dari pada yang dulu biasa dia tempuh.
*
Ada orang baru di ojekan pasar, kisah Gito suatu pagi sehabis sarapan.
Orang baru ?, timpal Tarsih.
Ya, orang dari Bandung. Kemaki dia. Lagaknya kayak orang kaya. Orang kaya kok ngojek.
Tarsih terdiam mendengarkan, tak biasanya Gito tampak begitu gusar menceritakan orang-orang yang dikenalnya.
Dia traktir tukang-tukang ojek lain. Sekarang tidak ada yang tak suka sama orang Bandung itu. Semua memuji. Heh, cuma ngojek tingkahnya seperti bos ! Belum kenal siapa Gito !
Tarsih cuma melirik, hatinya sama sekali tak tertarik mendengar lebih jauh cerita suaminya. Rupanya Gito takut akan kehilangan pengaruh di hadapan teman-teman ojekannya. Selama ini, Gito memang disegani di kalangan mereka, lebih tepatnya ditakuti. Dan sepertinya kehadiran orang Bandung itu sudah merubah sikap banyak orang di pangkalan.
Ambilkan sertifikat !, tiba-tiba Gito berucap, membuat Tarsih tersentak. Dia melongo.  Ahh…, jangan-jangan dia salah dengar ?
Ambilkan sertifikat !, budheg kamu ?
Buat apa, Kang ?, jawab Tarsih bingung. Entah mengapa hatinya merasa ada yang sangat salah.
Cepat ambilkan sertifikat rumah ini !, aku lagi perlu !, bentak Gito lagi.
Tapi buat apa, Kang ?, Tarsih bersikukuh bertanya.
Gito berdiri dari duduknya, mau masuk kamar. Tarsih berusaha menghalangi. Gito tak sabar, dia mendorong Tarsih ke samping, merangsek masuk ke dalam kamar, lalu mengaduk isi lemari. Surat sertifikat itu ditemukannya di tumpukan baju paling atas. Mulutnya menyerengai senang, lalu sertifikat itu diselipkannya di dalam kemeja.
Kang…, mau dibawa kemana, Kang ? Jangan dibawa, Kang…. Kalau hilang kita tinggal dimana ?, Tarsih menangis dan memohon. Gito cuma melotot.
Jangan dibawa, Kang…. Itu punya Sigit….
Hass…! Minggir !
Jangan, Kang…. Aku mohon…. Kalau itu hilang, Sigit mau tinggal dimana ?, jeritnya pilu sembari memegangi tangan kanan Gito yang bersiap melangkah keluar rumah.  Sial…, Gito mengibaskannya kencang-kencang hingga Tarsih terjatuh.  Hatinya hancur sewaktu melihat lelaki itu semakin menjauh dengan sepeda motornya.
Sertifikat…, bagaimana kalau nanti Gito menjadikannya taruhan ?, bagaimana kalau nanti Gito kalah lagi ?, bagaimana mereka bisa tinggal kalau sertifikat itu berhasil diambil pihak lain ?  Bermacam ketakutan berkecamuk di kepala Tarsih yang kini terasa berputar, rasanya ini adalah hal terburuk yang menjadi batas ketabahannya menghadapi kelakuan Gito.
Matanya nyalang memerah, Tarsih memandang sekeliling.  Tiba-tiba dia bangkit, diusapnya air mata yang hampir mengering di kedua pipi. Dan dia bergegas pergi.
*
Buat apa, to ?, tanya Lik Mun sewaktu Tarsih mau beli dua bungkus Apotas.
Buat tikus, Lik, di rumah lagi banyak, jawabnya pendek. Lik Mun manggut-manggut.
Iya, ya…. Tadi Darmi sama Kang Sonto juga habis dari sini beli Apotas. Musim kemarau begini memang banyak tikus. Ndak di sawah, ndak di kebun, ndak di rumah. Sudah punyanya cuma beras jatah, pakai diganggu tikus. Ndak tau diri memang tikus itu…, kata Lik Mun menggerutu. Tarsih tersenyum canggung, tangannya cepat-cepat menerima bungkusan Apotas yang disodorkan Lik Mun.
Berapa, Lik ?
Delapan ribu….
Tarsih bergegas pergi setelah membayar harga barang yang dibeli. Rasa sakit di kakinya karena telah berjalan di atas jalanan berkerikil tanpa alas kaki tak lagi dapat dirasakannya. Bungkusan Apotas itu digenggamnya erat-erat.
Kali ini…, atau tidak sama sekali !
*
Kopi sudah disiapkan di atas meja makan bersama dengan serangkaian hidangan makan siang. Sebentar lagi pasti Gito datang. Tarsih bersiap mandi, dia ingin tampak cantik di hadapan Gito hari ini.
Dengan riang dia mengambil handuk di batang jemuran. Gito suka kalau melihatnya memakai baju batik warna hijau yang dibelinya dari toko Cik Lanny di seberang pasar. Tarsih tau, karena tiap kali dia memakai baju itu, Gito jadi berhasrat mencumbunya.
Kaki Tarsih melangkah ke dalam kamar mandi dengan enteng. Dia harus wangi dan bersih, agar Gito tertarik. Segayung demi segayung air mandi yang segar diguyurkan ke tubuhnya. Begitu asyik sampai-sampai dia tak tau anaknya telah pulang dari sekolah.
Sigit merasa sedikit capek, panas yang terasa di luar sana membuatnya sangat haus. Diliriknya meja makan siap dengan hidangan lengkap. Dia tau, emaknya menyiapkan makanan itu untuk bapaknya. Sigit meletakkan tas sekolah di atas ranjang tempat tidur, lalu bergegas ke dapur untuk mencari air minum. Dia mengambil gelas kosong dari lemari makan, lalu menuang isi kendi ke dalamnya.
Sial…, airnya cuma sedikit. Padahal rasa hausnya belum banyak berkurang. Celingukan, dia teringat segelas kopi di atas meja makan. Ahh…, mengapa tidak diminum dulu saja, biar nanti emaknya membuat lagi satu gelas kopi yang baru buat bapak, begitu pikirnya.
Tak sabar dia mendekat ke arah meja makan, mengambil gelas kopi itu, dan meminumnya sedikit. Rasa pahit yang membakar kerongkongan membuatnya urung menghabiskan minuman. Cuma separuh, tapi itu sudah cukup membuat lehernya terasa terbakar. Diletakkannya kembali gelas kopi itu ke atas meja. Tiba-tiba Sigit merasa aneh, kepalanya terasa berputar dan ada rasa mulas yang hebat di perutnya yang masih kosong karena belum makan siang. Sakit itu tak tertahankan, Sigit ambruk.
Maaak…, jeritnya parau. Badannya mengejang.
Tarsih baru saja selesai dari mandinya ketika dia mendengar jerit parau itu. Dia kaget, Sigit tampak tergeletak di lantai dengan memegangi perut. Tarsih melihat gelas kopi itu. Tinggal separuh ! Jangan-jangan…? Kalap, Tarsih berlari mendekat.
Sigit !, kamu kenapa, Le ?, jeritnya bingung.
Sigit tak menjawab, air matanya mengalir dari sudut mata, urat di dahinya menonjol seakan menahan rasa sakit yang sangat. Kejang tubuhnya makin menghebat, Tarsih panik. Dia tak mengira semua akan jadi begini. Sementara kejang tubuh anaknya semakin menguat. Mata itu melotot, dan mulut itu berbuih. Tarsih merasakan maut yang menghinggap. Lalu kejang itu mengendor, tubuh itu melemas, dan mata itu tak lagi bersinar.
Sigit !, Git !, Sigit !, bicaralah, Le ! Sigit !, panggil Tarsih berulang-ulang, diguncang-guncangkannya tubuh ublik muda yang selama ini sudah begitu terang menyinari hidupnya. Tapi ublik itu sudah terlanjur redup. Tangis sesal mengguyur bagai datangnya bah yang menyapu kerontangnya padang tandus.
Tarsih menggeliat, matanya nanar melihat gelas kopi yang tinggal berisi separuh. Diletakkannya pelan-pelan tubuh anak lelakinya di atas tanah. Lalu diraihnya sisa kopi dalam gelas itu. Ada senyum anak lelakinya di dalamnya. Mantap, diteguknya sisa kopi yang ada, lalu diletakkanya kembali gelas itu di atas meja.
Tarsih merasakan kerongkongannya terbakar, tapi ditahannya dengan sekuat tenaga. Perlahan, dia membaringkan dirinya di samping Sigit yang bibirnya sudah membiru. Direngkuhnya tubuh anak lelaki tersayangnya dalam pelukan, dan dia memejamkan mata….
*
Gito, lelaki kekar itu…, masuk ke dalam rumah yang terasa sepi. Baru saja dia melangkah masuk ketika dilihatnya sang istri tergeletak di lantai dengan tangan memeluk tubuh anak lelakinya. Bibir yang biru di wajah keduanya membuatnya mengerti.
Dia jatuh bersimpuh di dekat kedua tubuh tak bernyawa. Lidahnya kelu. Di sampingnya, ada sertifikat dan sebuntalan perhiasan terlepas jatuh dari tangan. Siang ini, dia membawa kemenangan gilang-gemilang….



S E L E S A I

0 comments: