BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Jumat, 18 Desember 2009

ISTANA IMPIAN

"Man, mau ke kali lagi ?", tanya Gendon pagi itu. Karman cuma mengangguk dan tersenyum, lalu melanjutkan langkahnya ke kali Bengawan Solo yang letaknya tak jauh dari desa tempat mereka tinggal. Sudah beberapa hari ini Karman libur ke sawah. Hanya istrinya yang pergi ke sana untuk mencabuti gulma yang tumbuh dan menjaga tanaman padi mereka yang sesaat lagi akan menguning. Karman sibuk mengumpulkan pasir sungai sebanyak-banyaknya. Pasir itu diangkutnya dengan sebuah pikulan. Kurang lebih ada 20 pikulan yang tiap hari dibawanya pulang mondar-mandir dari tepi sungai ke rumahnya yang berjarak kira-kira 700 meter. Dia ingin menyenangkan hati Siti yang sebulan lalu mengeluh padanya ingin dibuatkan rumah bata.

"Gedhek kita ‘kan sudah banyak yang bolong, Kang…. Kita bisa membuat rumah yang baru. Genting rumah ini masih bisa dimanfaatkan. Batu bata bisa kita bikin sendiri, dan pasir bisa Kang Karman ambil dari sungai. Kita kerjakan bersama-sama, masak kita tidak bisa…", kata Siti pada suatu malam. Karman termenung mendengar kata-kata istrinya. ‘Hm…, berarti aku hanya butuh beli gamping. Semen terlalu mahal. Aku bisa bikin semen merah dari batu bata yang dihancurkan sampai halus lalu mencampurnya dengan gamping untuk merekatkan batu bata menjadi tembok, seperti yang dulu pernah dilakukan oleh Mbah Sarmin itu’, bisik Karman dalam hati. Karman bersemangat sekali. Impian istana baru segera tergambar di benaknya.

*

"Ti, haus…. Ambilkan kendi itu ", kata Karman seusai menuang pasir yang kini telah menggunung di halaman depan rumahnya. Siti buru-buru memberikan kendi air pada suaminya, dan Karman meneguknya dengan lahap. Peluh Karman bercucuran di pelipis kanan dan kirinya. Tangannya segera menyeka peluh yang menetes setelah dia selesai melepaskan rasa dahaga. Kaosnya basah oleh keringat. Hari ini sudah pukul 4 sore, saat untuk beristirahat setelah seharian Karman mondar-mandir mengambil pasir dari kali. Pasir yang menggunung itu dirasa cukup untuk membuat rumah baru mereka. Besok Karman akan ke sawah, padi mereka sudah siap panen. Sebagian hasil panen akan disimpannya untuk persediaan makan sehari-hari selama beberapa bulan ke depan. Sebagian lagi akan dijual untuk persediaan dana membeli gamping dan peralatan menukang. Sawah yang telah dipanen akan dia cangkuli untuk diambil lempungnya sebagai bahan membuat batu bata. Sungguh rencana yang sangat matang. Kemarau kali ini sangat terik, pasti hanya dibutuhkan beberapa hari saja untuk menjemur batu bata mereka nanti sebelum dibakar dengan kayu, agar batu bata itu lebih mengeras lagi. Kayu bakar sangat mudah didapat di hutan dekat desa mereka, jadi hal itu bukanlah menjadi suatu masalah.

Hasil panen padi yang ditanam Karman dan istrinya sangat bagus. Sesuai keinginannya, Karman membagi dua hasilnya, dan menjual setengah bagian agar dia memiliki cukup uang untuk membeli gamping dan perkakas menukang. Siti hanya menumbuk gabah seperlunya. Sisanya, yang dia simpan dalam karung-karung plastik, masih dalam bentuk gabah. Begitulah cara para petani menyimpan padi di lumbung mereka. Dan Siti menyimpan padi gabah itu di atas wuwungan, atap rumahnya yang terbuat dari bambu tua nan kokoh. Hatinya lega melihat hasil panen yang melimpah. Itu berarti dia tidak perlu membeli beras untuk sepuluh bulan ke depan. Tak henti-hentinya dia bersyukur. Semakin besar keinginannya untuk terus membantu suaminya mewujudkan impian mereka, membuat rumah bata.

**

Tak terasa sudah hampir sebulan ini Karman dan Siti mencetak lempung menjadi bata mentah di sawah mereka. Bata-bata mentah itu disusun rapi dalam urutan, menyerupai empat buah bangunan berbentuk balok yang besarnya tak kurang dari 1 X 1 X 4 meter. Masing-masing susunan berisikan kurang-lebih 1000 bata mentah yang siap dibakar. Mulai besok, Karman dan istrinya akan mencari kayu bakar di hutan. Karman senang melihat istrinya yang tak pernah mengeluh selama membantunya. Beristrikan Siti memang membawa berkah, paling tidak begitulah yang telah dirasakannya.

Karman dan Siti sedang asyik mengumpulkan kayu bakar ketika mereka melihat Suratman berlari-lari masuk hutan.

"Banjir bandang, banjir bandang…! Kang Karman, Yu Siti, ayo cepat lari…! Selamatkan diri kalian…!", teriak Ratman sambil berlari terengah-engah. Karman kaget bukan main.

"Banjir bandang ? Dimana ?", tanya Karman setengah berteriak. Ratman tidak sempat menjawab, dia hanya menuding ke arah desa yang letaknya berada di bawah bukit di tepi hutan itu.

"Desa kita ?", tanya Karman setengah tak percaya.

"Ya, Kang. Air Bengawan Solo meluap tinggi sekali. Padahal di sini cuma ada mendung. Tapi entah mengapa air sungai jadi meluap begini…", jawab Ratman. Karman terdiam.

"Ayo, Kang, cepat lari ke atas bukit. Beberapa orang sudah terseret air. Aku tidak tahu lagi bagaimana nasib mereka. Mbah Diyem ikur terseret arus waktu mencari rumput di pinggir sungai. Cepat, Kang !", kata Ratman lagi.

Karman dan Siti membeku sesaat. Lalu mereka menyusul langkah kaki Ratman ke arah atas bukit. Tiba-tiba kegelisahan muncul menerpa keduanya. Siti menggandeng erat-erat lengan Karman, seakan tak mau terpisahkan. Kakinya yang kecil mencoba untuk terus melangkah cepat mengimbangi ayunan kaki Karman yang lebar.

Beberapa saat mereka bertiga tiba di atas bukit. Di sana telah ada beberapa orang yang telah lebih dulu mengungsi. Setengah linglung Siti mencari tempat untuk berteduh. Akhirnya dia mendudukkan dirinya di bawah pohon randu. Dia melepaskan pegangan tangannya pada lengan Karman. Mereka membisu.

"Di sini kita aman, Kang. Semoga banjir itu tidak sampai kemari", kata Ratman menyadarkan Karman dari lamunan.

"Lihat !", telunjuk Ratman menuding ke bawah bukit. Samar-samar Karman melihat air yang menggenangi desa mereka yang berada di bawah. Air itu menutup hampir seluruh tempat, rumah, kebun, sawah…. Dengan gelisah Karman mencari dimana kira-kira rumahnya berada. Hatinya makin tak menentu ketika dia melihat betapa air telah menenggelamkan hampir seluruh atap genteng rumahnya. Lalu matanya liar mencari sawah miliknya. Dan sawah itu…. Hanya terlihat ujung-ujung batang pohon turi di sana. Tak tampak sedikit pun ada susunan bata mentah yang telah dengan susah-payah dibuatnya bersama Siti. Kepala Karman tergetar. Tangannya tergetar. Dia menoleh ke arah Siti yang sedang melamun. Pasti saat itu Siti juga sedang memikirkan hal yang sama. Karman mendekati Siti, lalu dengan lembut diusapnya kepala Siti yang sedang termenung.

"Ti…. Rumah kita…. ", kata Karman dengan suara serak. Siti hanya memandang wajah suaminya dengan tatapan kosong. Bayangan rumah gedhek, gabah, dan susunan bata mentah miliknya terlintas silih-berganti.


S E L E S A I



0 comments: