BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Jumat, 18 Desember 2009

NARTO TERPENJARA


Sudah tujuh tahun Narto kerja jadi supir angkot. Sejak tujuh tahun yang lalu, bapak Narto tidak lagi bisa narik. Kakinya lumpuh. Terpaksa Narto tidak meneruskan sekolahnya yang baru kelas 3 STM. Narto tak sampai hati membiarkan emaknya banting-tulang jadi buruh cuci-setrika di sana-sini demi menyekolahkan dia dan tiga orang adiknya. Akhirnya dia memutuskan untuk membantu mencari nafkah. Untungnya, teman-teman bapaknya mau membantu tiap kali dia menemukan masalah. Bahkan teman-teman bapaknyalah yang selalu memberinya semangat untuk tetap rajin mencari uang. Rupanya Narto yang kalem itu cukup membuat teman-teman bapaknya menyukainya. Walaupun dalam bekerja, Narto tetap tak kalah gesitnya dengan supir-supir angkot yang lain.

"Eh...!, melamun saja. Lihat apa, Nar ?", tanya Ngadimun siang itu seusai menyantap nasi bungkus. Narto tersadar dari lamunannya. Dia tersenyum malu. Tiba-tiba mata Ngadimun memandang ke arah seorang gadis yang ada di dalam warung tegal di seberang pangkalan angkot. Matanya berkilat. Tiba-tiba dia tertawa.

"Ha ha ha ..., kamu naksir anaknya Kang Jiman, ya ?", tanya Ngadimun. Narto salah tingkah. Dia nyengir sambil menggaruk-garuk rambutnya yang tidak terasa gatal seperti monyet terkena jepretan karet. Di seberang jalan, nampak Karti yang sedang membantu bapaknya berjualan nasi bungkus. Anak gadis berusia 18 tahun yang sedang mekar. Rambutnya hitam panjang diikat dengan karet ke belakang. Lehernya putih jenjang. Tubuhnya yang berisi cukup membuat Narto tak mampu berkedip tiap kali dia memandang. Sudah sejak hampir dua bulan ini Narto memperhatikan gadis itu. Setahun yang lalu, gadis itu belum tampak secantik sekarang. Rupanya bertambahnya umur membuat pancaran kecantikan gadis itu semakin tampak dari hari ke hari.

"Payah kamu. Kenapa cuma kamu lihat saja dari sini ? Langsung saja minta sama bapaknya, dilamar.... Daripada nanti keburu diambil orang lain.... Gadis cantik seperti itu jarang ketemu, Nar...", kata Ngadimun.

"Ah, Lik Dimun.... Aku ini 'kan bukan orang kaya. Mana mau orang secantik dia jadi istriku ?", kata Narto. Matanya tetap menatap gadis itu dari jauh. Tiba-tiba seperti merasa sedang dilihat, gadis itu menoleh dan tersenyum ke arah Narto. Sontak Narto tersentak seperti kesetrum. Dia membalas senyum gadis itu dengan kikuk. Tapi rupanya senyum Gadis itu juga dilihat Ngadimun. Kontan Ngadimun berkoar.

"Tuh !, dia juga suka sama kamu, Nar ! Jarang-jarang ada supir yang dia ajak senyum seperti kamu.... Sudah !, dekati sana ! Jadi laki-laki gitu, lho !", kata Ngadimun sambil mendorong Narto ke samping. Narto terhuyung. Dia masih ragu. Tiba-tiba gadis itu menoleh lagi ke arahnya dan terseyum sekali lagi. Narto membalas senyum. Kali ini tanpa ragu-ragu. Narto bangkit dari duduknya. Cepat-cepat dia menyeberang ke arah warung tegal, meninggalkan Ngadimun yang sedang asyik dengan rokok kretek kesukaannya.

Gadis itu sedang sibuk melayani seorang pembeli yang memesan sepiring nasi rames dan segelas teh tawar, ketika Narto sampai di warung. Dia melihat ke arah Narto sejenak, lalu kembali melempar senyum. Hati Narto jadi dag-dig-dug dibuatnya. Narto segera mengambil tempat duduk di bangku kayu panjang yang terdapat di depan meja sebelah kiri.

"Mau pesan apa, Mas ?", tanya gadis itu tiba-tiba. Narto gugup.

"Eh, anu.... Eh.... Pesan teh manis saja...", jawab Narto. Karti langsung membuat segelas teh manis panas untuk Narto. Teh yang sudah jadi itu lalu diletakkannya di meja Narto. Tak sengaja, tangannya bersinggungan dengan tangan Narto yang sedang bergerak mengambil sepotong bakwan goreng dari sebuah piring. Serrr..., jantung Narto serasa dibetot dari dadanya. Tangan halus Karti seperti setrum, membuat darahnya terpacu dengan cepat sampai ke ubun-ubun. Narto menelan ludah dengan susah-payah.

"Kalau kurang manis bilang, ya Mas ?", kata Karti membuyarkan lamunannya. Narto gugup.

"Oh..., eh..., ya.... Ini sudah manis", jawab Narto kikuk.

"Sudah punya istri, Mas ?", tanya Karti tiba-tiba. Narto tersentak.

"Apa ?", tanya Narto seperti tak percaya.

"Saya tanya, Mas ini sudah punya istri apa belum ?", tanya Karti lagi dengan senyum di bibirnya. Tangan Narto tiba-tiba terasa dingin. Matanya berkerjap-kerjap.

"Beb..., beb..., belum....", jawab Narto gugup.

"Aku suka, lho, sama Mas ini. Ganteng, kerjanya rajin, masih muda lagi...", kata Karti sambil melempar senyum. Lirikan matanya yang menggoda membuat Narto kehilangan akal. Teh panas yang ada di depannya cepat-cepat dia minum, sampai dia terbatuk-batuk dengan lidah terasa terbakar.

"Eh, aduh ! Kepanasan, ya Mas ?", tanya Karti demi melihat Narto yang sibuk membuka mulutnya supaya lidahnya tidak terbakar. Karti cepat-cepat mengambilkan segelas air putih dari dalam ceret, lalu memberikannya kepada Narto. Narto buru-buru meminumnya. Legaaa, air putih itu cukup membuat lidahnya adem.

"Eh, saya habis berapa, ya ?", tanya Narto kemudian. Karti lalu menghitung.

"Dua ribu lima ratus semuanya", jawab Karti. Narto lalu mengambil sejumlah uang dari saku celananya dan mengulurkannya pada Karti. Karti menerimanya lalu memasukkan uang itu dalam sebuah kotak kayu.

"Besok ke sini lagi, ya Mas ?", kata Karti sambil tersenyum manis. Narto mengangguk kaku. Kakinya melangkah ke seberang menuju mobil angkot bapaknya yang sedang terparkir di sana. Tak terasa, segaris senyum tersungging di bibirnya.

"Heh, habis dari warung kok senyum-senyum sendiri. Dapat apa, Nar ?", tanya Ngadimun di belakang setir angkotnya. Narto menoleh.

"Lik, Karti bilang dia suka sama aku ! Dia malah nanya apa aku sudah punya istri. Dia beneran apa enggak, ya Lik ?", kata Narto lagi.

"Weeeh, beruntung kamu ! Karti itu sudah didekati siapa-siapa, tapi tidak ada yang dia tanggapi seperti itu. Jangan-jangan dia memang diam-diam sudah suka sama kamu dari dulu, Nar ? Wah, kamu harus bilang sama Kang Jiman ! Kamu lamar saja anak bungsunya itu !", kata Ngadimun lagi.

"Apa tidak sebaiknya aku pacaran dulu, Lik ? ", tanya Narto.

"Jangan gila kamu !, kalau nanti dia berubah pikiran bagaimana ? Mumpung dia mau, lamar saja !", kata Ngadimun lagi. Narto termangu. Matanya menatap ke arah warung di seberang jalan. Karti tampak sedang melihat ke arahnya. Lagi-lagi Karti tersenyum manis. Membuat jantung Narto kembali rontok.

"Tu...! Perempuan sudah ngebet sama kamu kok malah kamu nggak mau. Lamar ! Kapan lagi kamu bisa dapat istri semanis Karti ? Lamar, Nar !", kata Ngadimun. Narto mengangguk.

"Ya, aku mau nglamar. Aku bilang sama bapak dulu...", jawab Narto yakin. Ngadimun tertawa senang sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Tangannya menepuk-nepuk pundak Narto.

*

Betul juga !, akhirnya Narto melamar Karti. Rupanya bapak Narto begitu senang mendengar permintaan Narto agar dia melamar Karti untuk anak sulungnya itu. Bapak Narto, Pak Dachwan, sudah kenal betul dengan Pak Jiman, bapak Karti. Karena ketika dia masih sering narik angkot dulu, dia juga sering makan di warung Pak Jiman. Lebih-lebih, bapak Narto tahu kalau Karti itu gadis yang cukup cantik dan suka membantu bapaknya bekerja. Artinya, pasti nanti Karti akan banyak membantunya bila sudah jadi menantu.

Kedatangan bapak Narto dan rombongannya diterima dengan sangat baik oleh keluarga Pak Jiman. Kali ini, Karti mengangguk setuju ketika ditanya tentang lamaran itu. Bapak Narto tertawa lebar melihat hal itu. Dia lega, meski harus digendong untuk bisa datang ke rumah Pak Jiman, tapi usahanya untuk melamar Karti demi anaknya tidaklah sia-sia. Akhirnya tanggal pernikahan pun ditentukan. Kedua anak muda itu akan dinikahkan sebulan lagi.

"Nar !, waduh yang mau kawin bulan depan.... Sudah dapat duit berapa hari ini ? Jangan terlalu dipaksa tenaganya, kalau capek ya istirahat. Jangan mentang-mentang mau kawin terus cari duit melulu nggak ada istirahatnya. Mampir ke warung Kang Jiman sana !, minta dibikinkan STMJ dulu sama Karti. Biar badannya seger !", kata Ngadimun siang itu. Narto meringis, dia memang sedang mencari duit banyak-banyak agar bisa ditabung untuk biaya kawinnya dengan Karti nanti. Rencananya, uang itu akan diberikannya pada Pak Jiman untuk tambah-tambah biaya pesta. Maklum, harga semua barang saat ini sangat mahal.

"Saya sudah makan kok, Lik. Tadi pagi dibawakan nasi sama Emak dari rumah. Minum juga ada. Kalau cuma mau ketemu sama Karti 'kan nanti sore habis narik juga bisa", kata Narto. Ngadimun manggut-manggut.

"Yah, yang penting kamu jangan lupa istirahat. Terlalu capek juga akan membuat kamu sakit...", kata Ngadimun lagi. Narto mengangguk, Ngadimun memang sangat memperhatikannya selama ini.

"Aku narik dulu, Lik. Sebentar lagi sekolahan pada bubar. Lumayan buat tambah-tambah...", pamit Narto.

"Ya, ya, aku mau ngopi-ngopi dulu di warung...", jawab Ngadimun. Narto pun menstarter mobil angkotnya, lalu perlahan pergi meninggalkan pangkalan.

*

Siang itu, pesta berlangsung meriah di rumah Karti yang berdekatan dengan Pasar Wage. Ratusan orang tumpah-ruah memenuhi halaman. Maklum, bapak Karti tidak cukup mampu menyewa gedung yang saat itu harga sewanya selangit. Jangankan gedung ber-AC, yang biasa-biasa saja dia tidak sanggup menyewanya. Acara juga sengaja diadakan siang hari dengan alasan menghemat ongkos listrik. Tapi toh, semua prosesi berjalan dengan lancar. Tidak ada satu tamu undangan pun yang tak hadir. Kontan hal itu membuat Pak Jiman merasa bangga. Dia merasa senang bahwa keramahannya pada semua orang selama ini begitu dihargai semua kenalannya.

Karti tampak semakin manis dalam balutan baju pengantin beludru berwarna hijau dengan hiasan payet keemasan. Senyumnya tak habis-habis tersungging di bibirnya. Narto juga kelihatan gagah dengan ikat blangkon yang menutup sebagian kepalanya. Bapaknya yang lumpuh hanya sanggup menerima ucapan selamat dari para tamu sambil duduk di atas kursi rodanya.

"Kang, seneng ya, Kang.... Sebentar lagi kita punya cucu...", begitu kata Ngadimun pada bapak Narto. Bapak Narto mengangguk senang sambil menyalami tangan sahabatnya dengan hangat.

"Mun, terima kasih sudah datang. Aku juga berterima-kasih karena kamu sudah banyak-banyak memberi nasehat pada Narto selama ini...", ujar Pak Dachwan. Matanya tampak berkaca-kaca karena haru. Ngadimun menepuk-nepuk pundak bapak Narto dengan lembut. Dia tahu bagaimana perasaan Pak Dachwan saat itu.

Pesta telah usai. Karti dan Narto menempati ruangan paling depan di rumah Pak Jiman. Keluarga Narto sudah kembali ke rumah. Narto lega, tak ada sesuatu pun yang mengganggu acara. Dilihatnya Karti yang sedang duduk menunduk di atas tempat tidur. Hati Narto berdebar-debar. Dengan canggung, dia mendekat ke arah Karti. Karti semakin menunduk. Sekilas, Narto melihat seiris senyum malu menghias wajah Karti. Narto jadi gemas. Sepasang pengantin muda itu pun segera tenggelam dalam kemesraan....

*

"Heh !, pengantin baru jangan banyak melamun ! Siang-siang begini kok melamun. Sudah waktunya sekolah bubaran, cepat narik sana !", kata Ngadimun mengagetkan. Narto tersentak dari lamunan.

"Ah, Lik Mun, mengagetkanku saja. Aku kurang tidur, Lik...", jawab Narto. Ngadimun tertawa.

"Lha, iya ! Pengantin baru itu pasti kurang tidur. Namanya juga baru direyen, je...", goda Ngadimun. Narto tersipu.

"Bukan karena itu, Lik. Aku tidak bisa tidur karena Karti...", jawab Narto lagi.

"Ya, jelas karena istrimu. Masak karena orang lain. Hayo !, jangan bilang kalau kamu kepincut sama perempuan lain, ya ?", kata Ngadimun. Narto menggeleng.

"Enggak lah, Lik. Bukan itu. Karti itu punya kebiasaan yang harus dia lakukan sebelum dia tidur...", kata Narto setengah berbisik. Alis Ngadimun berkerut.

"Apa itu ?", tanyanya penasaran.

"Dia suka menjewer bibir orang lain yang tidur di sebelahnya...", jawab Narto lagi dengan perlahan, takut didengar orang lain. Ngadimun semakin heran.

"Menjewer bagaimana ?", tanyanya lagi.

"Begini, lho, Lik...", kata Narto sambil memeragakan gerakan tangannya yang menjewer bibir bawahnya berulang-ulang sambil setengah meremas. Ngadimun mula-mula tak mengerti, tapi akhirnya dia paham. Tawanya terpecah tak lama kemudian. Narto mengisyaratkan Ngadimun agar tidak ribut. Ngadimun jadi sibuk menutup mulutnya.

"Yang benar saja ?", tanya Ngadimun pelan, seakan tak percaya. Narto menghela napas.

"Masak aku bohong sama Lik Mun. Istriku itu memang punya kebiasaan begitu...", gerutu Narto. Ngadimun geleng-geleng kepala.

"Lalu selama ini apa ada keluarganya yang tahu ?", tanya Ngadimun.

"Iya. Semua sudah tahu. Karti sendiri yang bilang. Katanya sih, dulu Karti kalau tidur suka menjewer bibir ibunya.... Aku heran bagaimana ibunya bisa tahan dijewer bibirnya seperti itu. Sekarang saja, baru empat hari bibirku dijewer rasanya sudah pegal sekali...", keluhnya. Ngadimun jadi geli.

"Walah !, betul-betul rejekimu, Nar ! Aku belum pernah tahu kalau Karti begitu. Yah, dinikmati saja. Yang penting 'kan sekarang kamu punya istri cantik...", kata Ngadimun menentramkan.

"Nikmat bagaimana ? Wong bibir dijeweri sampai dower kok nikmat !", kata Narto kesal.

"Halaah, sudahlah.... Baru juga empat hari. Siapa tahu nanti kalau sudah seminggu tidak begitu lagi...", hibur Ngadimun. Terdengar dengus Narto keluar dari hidungnya.

"Sudah !, narik lagi sana !", kata Ngadimun setengah mengusir. Narto bangkit dari duduknya dengan ogah-ogahan menuju mobilnya yang diparkir di bawah pohon ketapang. Mulutnya yang meruncing terkatup rapat. Digerakkannya kunci mobil untuk menghidupkan mesin. Tak berapa lama, mobil angkotnya pun sudah tak tampak lagi dari hadapan Ngadimun yang masih tersenyum-senyum geli membayangkan cerita Narto tadi.

*

"Sudah rapi rumahnya ?", tanya Ngadimun pagi itu di pangkalan.

"Sudah. Semua sudah rapi. Tinggal perabotan baru yang belum kesampaian...", jawab Narto.

"Perabot ?", ulang Ngadimun.

"Iya. Karti tidak mau memakai lemari bekas dari bapak. Sudah bagus bapak mau memberi lemari, eh..., malah Karti tidak mau. Sudah ketinggalan jaman katanya.... Sekarang ini harga perabot 'kan mahal, Lik. Terus mesti berapa lagi uang yang akan kuambil dari tabungan ?", keluh Narto.

"Aah, uang 'kan bisa dicari. Kalau memang kamu masih punya, ya dibelikan saja. Begitu 'kan namanya sayang istri...", kata Ngadimun. Narto menggaruk-garuk kepalanya yang tidak terasa gatal. Tiba-tiba tangannya mengacak-acak rambutnya dengan rasa marah.

"Huuuh ! Tidak kusangka istriku itu banyak maunya. Diajak mengirit saja tidak mau. Lama-lama bisa habis tabunganku.... Dulu diajak tinggal di rumah bapakku, dia tidak mau. Takut mengganggu, katanya. Dia dulu lebih suka tinggal di rumah bapaknya sendiri. Katanya lebih bebas, lebih nyaman. Lalu tiba-tiba dia maunya ngontrak rumah saja. Kecil tidak apa-apa, yang penting kita bisa bahagia, begitu katanya. Sudah bagus ada rumah kontrakan yang murah, eh..., sekarang dia mau perabot yang baru juga ! Diberi yang bekas supaya bisa mengirit malah tidak mau...", gerutunya.

"Walah !, baru segitu sudah mengeluh. Semua perempuan itu sama, Nar ! Semua suka belanja ! Lemari itu kalau mau beli yang murah ya yang dibuat dari kayu partikel saja ! Sekarang 'kan banyak pilihan, harganya juga macam-macam...", kata Ngadimun dengan sabar. Narto mendengus lagi.

"Memangnya lemari yang begitu harganya berapa, Lik ?", tanyanya ingin tahu. Mata Ngadimun menerawang, mengira-ngira harga yang pasti.

"Mungkin sekitar satu juta untuk yang agak besar...", jawabnya. Narto tersentak.

"Satu juta !", teriaknya tak percaya. Ngadimun mengangguk.

"Ya, antara harga itu lah !", kata Ngadimun lagi.

"Satu juta untuk lemari dari kayu partikel ? Mahal sekali ?", gumannya. Benaknya mulai menghitung-hitung berapa sisa uang yang akan tertinggal di buku tabungannya bila dia jadi beli lemari seperti itu. Kepalanya menggeleng perlahan.

"Sudahlah !, cuma satu juta.... 'Kan untuk istrimu sendiri...", hibur Ngadimun. Narto terdiam. Tiba-tiba lidahnya terasa pahit.

*

"Ada apa lagi, Nar ?", tanya Ngadimun sore itu. Wajah Narto yang tertutup mendung tampak menghitam.

"Kenapa istriku sekarang rewel sekali ya, Lik ?", tanyanya. Ngadimun melongo.

"Rewel ?", ulangnya. Narto mengangguk.

"Iya, rewel ! Begini salah !, begitu salah !. Terus aku suruh bagaimana...", kata Narto putus asa.

"Memangnya istrimu kenapa ?", tanya Ngadimun lagi.

"Tiga hari yang lalu, dia titip pesan agar dibelikan mi goreng. Aku turuti. Aku belikan dia mi goreng di pojok pasar. Sampai di rumah dia marah, katanya mi gorengnya tidak enak. Lalu besoknya aku disuruh beli krupuk kulit. Aku turuti. Tapi sampai di rumah aku dimarahi lagi. Katanya krupuk kulit yang aku beli itu cuma bisa dibuat sayur, bukan dimakan sebagai krupuk. Aku 'kan tidak tahu dia mau yang seperti krupuk.... Eh, tadi pagi dia merengek minta daster baru. Katanya daster lamanya kekecilan. Sudah aku belikan tadi pagi daster baru dari pasar yang ukurannya lebih besar. Sampai di rumah, istriku itu marah lagi. Katanya dia tidak suka yang warnanya ungu. Padahal aku sudah menjelaskan padanya kalau daster yang warna itulah yang ukurannya sebesar yang dia inginkan. Aku bingung, Lik. Makin lama istriku makin suka ngomel. Aku ini perlu cari makan, aku perlu kerja. Harusnya cukup kuberi uang saja untuk dia belanjakan sendiri, tapi dia maunya aku yang belikan. Tapi tiap kali aku yang belikan kok dia malah marah. Apa nggak bisa lebih damai sedikit ?", cerita Narto seraya bertopang dagu. Ngadimun mulai mendengarkan kisahnya dengan seksama. Tiba-tiba terlintas sesuatu di benak Ngadimun.

"Le...", kata Ngadimun hati-hati," apa istrimu hamil ?". Narto terhenyak mendengar pertanyaan itu. Tiba-tiba dia jadi berpikir. Jangan-jangan....

"Apa iya ?, ah.... Aku belum tahu, Lik. Apa istriku hamil, ya ?", tanyanya seakan pada dirinya sendiri.

"Kamu tanya saja baik-baik. Jangan sampai istrimu tersinggung. Kalau benar, berarti kamu akan jadi bapak, Le !", kata Ngadimun lagi. Narto terpana. Jadi bapak ?, sebentar lagi dia jadi bapak ? Berulang-ulang pertanyaan itu berputar dalam pikirannya. Tak terasa, seulas senyum terlukis di bibirnya.

*

Berita tentang kehamilan Karti membuat semua orang senang. Apalagi Pak Dachwan yang sama sekali belum punya cucu. Bagi Pak Jiman sendiri, ini bakal menjadi cucunya yang ke sembilan. Meski begitu, Pak Jiman tak kalah senangnya dengan Pak Dachwan. Karena bagaimana pun, Karti adalah anak bungsu yang paling disayanginya.

"Lik..., kalau begini terus lama-lama bisa patah punggungku...", kesah Narto pada Ngadimun ketika mobil mereka sama-sama ngetem di depan alun-alun. Ngadimun menoleh ke arahnya.

"Ada apa lagi...?", tanyanya.

"Tiap malam sepulang kerja aku harus menggendongnya di punggungku bolak-balik kamar. Katanya jabang bayinya yang minta. Aku 'kan capek, Lik ! Kalau aku tolak, dia menangis. Aku jadi tidak tega. Padahal badannya sekarang sudah sepuluh kilo lebih berat dari pada ketika dulu dia belum hamil. Punggungku ini rasanya seperti mau patah jadi dua saja...", kata Narto sambil mengusap-usap punggungnya. Ngadimun bukannya ikut sedih, dia malah tertawa terpingkal-pingkal mendengar keluhan Narto. Narto melihat ke arahnya dengan wajah memelas. Tapi justru hal itu semakin membuat Ngadimun terpingkal sampai perutnya terasa sakit karena geli.

"Ha..ha..ha !, kena batunya kamu, Nar. Baru kali ini aku dengar ada laki-laki muda segagah kamu merasa tak berdaya di depan istrinya sendiri. Ada-ada saja.... Terus kalau nanti dia minta digendong sampai kandungannya sembilan bulan bagaimana ?", tanya Ngadimun menggoda. Dia tak bisa menahan senyum gelinya melihat Narto yang seperti kehabisan akal. Narto menghela napas.

"Tapi itu belum apa-apa, Lik. Aku sudah merelakan bibirku jadi dower dijewer tiap malam. Tapi sejak dua minggu yang lalu, kebiasaannya sebelum tidur bertambah lagi !", kata Narto gusar.

"Apa itu ?", tanya Ngadimun.

"Sekarang dia tidak cuma suka menjewer bibirku, tapi kupingku juga...", kata Narto dengan wajah seperti mau menangis. Ngadimun tak pelak kembali tertawa terbahak-bahak. Begitu geli sampai dia tak menyadari kalau mobil angkotnya sudah terisi penuh dengan penumpang di dalamnya.

"Hei !, Pak Sopir. Mau berangkat, nggak ?!", gebrak seorang preman yang biasa jadi calo penumpang. Ngadimun tersadar dari tawanya. Dia pun melangkah meninggalkan Narto yang masih menyandarkan punggungnya di batang pohon beringin tua dengan wajahnya yang memelas. Sesekali dia masih tertawa kecil mengingat kisah Narto.

"Narto..., Narto.... Kasihan deh lu...!", terdengar celetuk Ngadimun dari dalam angkot. Narto hanya bisa pasrah mendengarnya.

*

"Sudahlah..., kamu ini mengeluh saja. Itu namanya orang hamil. Tingkahnya memang macam-macam. Namanya juga lagi ngidam. Harusnya kamu sabar, Nar...", hibur Ngadimun untuk ke sekian kalinya.

"Ngidam kok sampai hampir tujuh bulan...", kata Narto bersungut-sungut.

"Lho..., ada juga yang sampai hampir melahirkan masih minta yang aneh-aneh, Le. Bulikmu dulu malah sampai mau melahirkan di rumah dukun beranak masih minta dibelikan duren. Terpaksa aku lari kesana-kemari mencari duren. Untungnya di Pasar Kliwon yang biasa untuk jualan buah masih ada duren, meski buahnya kecil dan harganya selangit. Tapi itu ada manfaatnya, soalnya Bulikmu tidak juga kunjung dapat melahirkan sebelum akhirnya aku oleskan secolekan daging buah duren ke dalam mulutnya. Setelah merasakan duren, terus blusss.... Anakku bisa lahir dengan selamat...", kata Ngadimun sambil mengenang masa lalu. Narto mengerutkan alisnya dan memandang dengan rasa masygul.

"Begini saja.... Coba kamu bicara dengan mertua perempuanmu. Siapa tahu dia bisa membantumu, supaya kamu bisa lebih tenang...", celetuk Ngadimun. Lama Narto memikirkan ide itu. Lalu dia manggut-manggut.

"Betul juga ya, Lik. Barangkali memang aku harus bilang mertuaku...", timpalnya.

Akhirnya pergi juga Narto ke rumah mertuanya. Tentu saja mertuanya menyambutnya dengan gembira.

"Ibumu ini betul-betul beruntung, Le...", kata ibu mertuanya. Narto terheran mendengarnya.

"Beruntung bagaimana maksud Ibu ?", tanya Narto tak mengerti.

"Hhh..., aku betul-betul senang Karti bisa jadi istrimu. Anak perempuanku benar-benar beruntung punya suami sesabar kamu, Le...", kata Bu Jiman lagi. Senyum lega di bibirnya betul-betul tulus, tidak dibuat-buat. Narto jadi tak tega mengatakan masalahnya dengan Karti. Duri yang sesaat siap dimuntahkannya lalu ditelannya kembali.

"Dulu..., waktu aku hamil Karti, aku ini rewel sekali. Sampai sekarang, kalau aku mengingatnya, aku suka malu sendiri pada suamiku. Bagaimana tidak, tiap malam aku inginnya cuma mau meremas-remas mulut suamiku. Aku menangis kalau dia menolak kuremas mulutnya. Tidak disangka, ketika anaknya tumbuh besar juga punya kebiasaan yang sama. Makanya, aku biarkan Karti meremas mulutku tiap kali dia mau tidur. Tapi sampai saat ini aku tidak sekali pun mendengar keluhan anakku tentang kebiasaan itu. Aku cuma bisa menduga, barangkali dia sudah tidak punya lagi kebiasaan seperti dulu. Apa pernah Karti meremas mulutmu, Le ?", tanya Bu Jiman di akhir kisahnya. Narto terkejut. Dia menggeleng cepat-cepat. Senyum Bu Jiman mengembang.

"Syukurlah.... Itu berarti dia sudah sembuh. Wah, aku senang sekali...", kata Bu Karti lagi. Narto menunduk. Dia tak sanggup lagi berkata apa-apa.

*

"Lik ! Lik Dimun !", teriak seseorang memanggil dari luar pintu rumah Ngadimun. Ngadimun bergegas menuju pintu dan melihat keluar. Ada Narto yang sedang berdiri kedinginan di tengah derasnya hujan.

"Kenapa kamu disitu ? Hujan deras begini, nanti kamu masuk angin !", sahut Ngadimun di teras rumahnya yang sederhana. Narto seakan tampak kebingungan. Ngadimun cepat-cepat melambaikan tangannya meminta Narto mendekat. Narto pun berlari kecil menuju teras. Badannya yang basah kuyub tidak dihiraukannya.

"Ada apa ? Kamu ini seperti orang gila saja ! Hujan-hujan begini kok teriak-teriak !", kata Ngadimun.

"Narti minggat, Lik !", sahut Narto parau. Ngadimun terbelalak.

"Ha ! Minggat ?!", teriaknya tak kalah nyaring.

"Kami bertengkar tadi siang. Lalu ketika aku selesai mandi, aku cari-cari tidak ada. Karti pergi....", kata Narto penuh sesal.

"Dia sedang hamil sembilan bulan, aku khawatir ada apa-apa. Lalu aku harus bagaimana, Lik ? Aku mau bertanya ke rumah mertua, tapi aku takut kena marah. Hujan-hujan begini, bagaimana kalau nanti istriku kenapa-kenapa...", kesah Narto pilu. Rasa bersalah memenuhi dadanya yang mulai terasa sesak. Ngadimun memahami kegelisahan itu.

"Sudah, tenang dulu. Kita cari sama-sama. Siapa tahu dia pulang ke rumah ibunya. Kalau begitu aku ganti baju dulu, kamu tunggu sebentar disini, ya ?", kata Ngadimun menenangkan. Narto mengangguk.

"Jangan lama-lama, Lik...", kata Narto mengingatkan. Ngadimun menggelengkan kepala, lalu bergegas masuk ke dalam rumah untuk berganti pakaian.

Tak seberapa lama kemudian, Ngadimun sudah siap di teras depan. Dia membawa satu setel baju kering untuk Narto dan memintanya mengganti pakaiannya yang basah dengan yang kering. Tapi Narto menolak, dia tak hirau dengan bajunya yang masih meneteskan butir-butir di ujungnya. Ngadimun meletakkan baju kering yang ditolak Narto itu di atas kursi rotan. Lalu dia pun melangkah di bawah payungnya, mengikuti Narto yang tampak tak sabar untuk segera sampai di rumah Pak Jiman.

*

Seluruh anggota keluarga Pak Jiman geger mendengar kabar minggatnya Karti. Rupanya Karti tidak berada di rumah mereka. Hal itu membuat Narto tidak hanya merasa bersalah tapi juga sangat sedih. Dia tak tahu harus mencari dimana. Bu Jiman menangisi kabar putrinya yang hilang. Pak Jiman tampak mondar-mandir di ruang tamu dengan gusar. Meski begitu, Narto tidak dimarahinya. Dia hanya gusar mengapa anak perempuannya berbuat segegabah itu dalam keadaannya yang sedang hamil tua. Ngadimun juga tak henti-hentinya menebak kemana kira-kira keberadaan Karti saat itu. Beberapa rumah sakit telah dihubunginya, tapi tidak ada keterangan apa pun mengenai Karti. Semua sedang dalam keadaan bingung ketika tiba-tiba datang seorang pria dengan sebuah sepeda motor memasuki halaman rumah Pak Jiman. Semua orang sibuk bertanya-tanya.

"Maaf..., apa disini rumah Pak Jiman ?", tanya orang itu. Pak Jiman maju selangkah ke depan.

"Ya. Ini rumah saya. Ada perlu apa ?", tanya Pak Jiman was-was. Orang itu memandangnya sejenak.

"Maaf..., tapi saya dapat tugas untuk mengatakan bahwa saat ini Ibu Karti tengah dalam proses melahirkan di Klinik Bidan Susi di Rejosari...", jawab pemuda itu. Dari baju yang dikenakannya, sepertinya dia seorang petugas kesehatan. Semua orang berteriak riuh mendengarnya.

"Hah, Mas.... Itu istri saya....", kata Narto tiba-tiba. Pemuda itu menoleh ke arahnya.

"Oh, jadi ini Pak Narto ?", tanya pemuda itu. Narto mengangguk.

"Tadi saya sudah ke rumah Bapak, tapi tidak ada orang disana. Jadi saya terus kemari. Syukurlah, saya ketemu Pak Narto disini...", kata pemuda itu lagi.

"Bagaimana istri saya ?", tanya Narto gugup.

"Sebaiknya kita lihat bersama-sama di Klinik Bu Susi, Pak. Bapak bisa membonceng saya...", ajak pemuda itu. Narto mengangguk.

"Pak, Bu, saya pamit dulu.... Lik, saya duluan...", pamit Narto pada semua orang. Mereka mengiyakan. Akhirnya Narto pun membonceng pemuda itu untuk menuju ke klinik. Semua orang pun akhirnya ikut menyusul ke sana.

Proses kelahiran cucu Pak Jiman berlangsung dengan agak sulit. Narto dan keluarganya diminta untuk menunggu di lobi depan klinik. Narto telah menandatangani sebuah surat perjanjian yang disodorkan pihak klinik. Rupanya ada sedikit gangguan dalam proses kelahiran itu hingga Karti harus melalui sebuah operasi caesar. Semua tampak gelisah. Setengah jam telah berlalu, tiba-tiba seorang wanita mendekat ke kerumunan keluarga itu.

"Keluarga Ibu Karti ?", tanya wanita itu. Narto merangsek ke depan dengan tak sabar.

"Ya. Saya suami Karti...", jawabnya. Wanita itu tersenyum.

"Oh, kenalkan.... Saya Dokter Siska. Saya rekan kerja Bidan Susi yang memiliki klinik bersalin ini. Operasi caesar yang dijalani Bu Karti berjalan dengan lancar...", kata wanita itu. Semua manarik napas lega.

"Tapi...", kata wanita itu melanjutkan.

"Tapi kenapa Dokter ? Istri saya kenapa, Dokter ?", tanya Narto was-was. Dalam pikirannya sudah terbayang kemungkinan terburuk.

"Tapi Bu Karti tidak melahirkan seorang bayi...", lanjut dokter itu. Semua terkejut.

"Maksud Dokter ?", tanya Narto lagi, dia tak mengerti.

"Ya, Bu Karti tidak melahirkan seorang bayi. Tapi Bu Karti melahirkan dua orang bayi perempuan yang cantik dan sehat...", jawab dokter itu sambil tersenyum. Bu Jiman bersorak kegirangan. Narto juga tak kalah kagetnya. Bayi kembar ?, begitu pikirnya berkali-kali.

"Lalu bagaimana Karti, anak saya ?", tanya Pak Jiman. Dokter itu tersenyum lagi.

"Bu Karti sehat, saat ini beliau sedang dalam proses pemulihan...", terangnya. Sontak semua orang mengucap syukur. Bu Jiman memeluk Narto yang masih terbengong-bengong dengan keadaan ini.

"Anakmu kembar, Le.... Kamu mendapat dua Karti kecil.... Kamu harus bersyukur, Le...", kata Bu Jiman dengan bangga. Narto masih linglung. Dua Karti kecil ?, pikirnya lagi. Jadi ada dua Karti lagi yang akan menjewer bibirku ?, katanya dalam hati. Tiba-tiba Narto merasa lelah, sangat lelah. Dia pun terjatuh pingsan.




S E L E S A I

0 comments: