BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Senin, 21 Desember 2009

HARI IBU

Rani termangu menatap foto usang yang tertempel di album. Diusapnya perlahan foto tua seorang perempuan berkain kebaya yang tampak sedang memangku seorang anak kecil berusia 3 tahun itu. Anak kecil yang lucu, rambutnya diikat 2 seperti telinga domba. Ada pita warna-warni yang tersemat di kedua kuncirnya. Rani tersenyum sendiri, kenangannya kembali ke masa-masa saat dia kecil dulu. Pada perempuan setengah baya yang telah memangkunya di foto itu....


*

"Simboook....! Simboook...!", teriaknya memanggil. Kakinya yang kecil menapak masuk ke dalam rumah. Hati Rani sedang luar-biasa senang. Baru kali ini Bu Lasmi memberinya kartu pembayaran sekolah.

"Umur Rani 'kan masih kecil.... Rani gak usah pakai kartu dulu ya... ?", bujuk Bu Lasmi sebelumnya, tiap kali Rani merengek minta kartu pembayaran seperti teman-temannya yang lain.

"Pupuk bawaaang ! Rani pupuk bawaaang !", begitu tiap kali teman-temannya meneriaki. Membuat Rani selalu ingin menangis. Kata Bu Lasmi, umur Rani belum cukup besar, jadi di TK itu Rani cuma dibiarkan ikut sekolah, tapi tidak diberi kartu pembayaran. Pupuk bawang !, sebutan yang membuat Rani jengkel. Kalau teman-temannya bermain, dia selalu saja didudukkan jadi pemain paling akhir. Mentang-mentang umurnya paling kecil di antara anak-anak yang lain.

Dan akhirnya hari itu Rani dibagi kartu pembayaran ! Warnanya hijau muda, sama seperti teman-teman lainnya. Tentu saja Rani bangga bukan main. Terus saja dia pamerkan kartu itu pada teman-teman sekelasnya. Hal yang bagi mereka bukan masalah penting. Toh, mereka semua juga punya. Maka begitu Rani diperbolehkan pulang, dia langsung saja berlari membawanya. Dia mau menunjukkannya pada Simbok, perempuan yang selalu menjaganya, menemaninya makan, menemaninya tidur, menyiapkan baju seragam, dan yang selalu ada tiap kali Rani ingin diperhatikan saat dia berceloteh tentang semua teman sekolahnya.

"Mboook...!", teriaknya lagi memanggil. Dia heran, biasanya Simbok selalu menyambutnya pulang. Kenapa kali ini Simbok gak kelihatan ?

"Ssstt...! Jangan rame-rame..., Simbok lagi sakit...", kata Oom Rangga, dia adik Bapak yang masih kuliah dan ikut numpang di rumah.

Sakit ?! Simbok sakit ?! Tiba-tiba hati Rani gelisah. Kalau Simbok sakit, siapa yang nanti akan menemaninya makan ? Dia ingin segera melihat keadaan Simbok di kamar belakang, tapi tangan Oom Rangga menahannya.

"Jangan diganggu... Biar Simbok sembuh dulu...", bisik Oom Rangga. Rani jadi makin gelisah. Dia berontak, berusaha melepaskan tangan kecilnya dari genggaman Oom Rangga. Dan berhasil ! Segera dia berlari menuruni tangga belakang. Pintu kamar Simbok yang bersebelahan dengan dapur dan kamar sembahyang ternyata tak terkunci. Terdengar rintihan Simbok dari atas dipan kayu..., tangannya memegangi perut. Rani mendekat ke arahnya....

"Mbok...!, Simbok kenapa, Mbok...?", Rani bertanya. tapi Simbok tak menjawab, dia terus saja merintih.

"Simbok.... Simbok kenapa, Mbok...?", tanya Rani lagi.

"Simbok sakit, Neng.... Gak usah sama Simbok dulu, ya...", jawab Simbok lirih. Wajahnya yang menyeringai membuat Rani ikut merasakan sakitnya. Rani tak rela melihat Simboknya merintih di sana. Rani mulai menangis....

"Mbok..., Simbok jangan sakit, Mbok.... Simbok bangun.... Rani... bawa kartu... bayaran sekolah, Mbok.... Rani... baru diberi sama... Bu Lasmi...", kata Rani terbata-bata di sela tangisannya. Tapi Simbok terus saja merintih. Keringat dingin tampak menetes sebesar-besar jagung di kedua pelipisnya. Rami makin sedih, dia menangis makin kencang. Tangannya memegangi lengan Simbok, tak mau lepas. Tiba-tiba Oom Rangga masuk ke kamar itu, dan mendekat....

"Mbok..., ini ada obat sakit perut, diminum dulu ya..., kalau sudah Simbok istirahat saja...", katanya sambil memberikan satu bungkus pil isi 4 butir. Simbok menerimanya dengan mengucap terima kasih.

"Ayo !, kita keluar dulu.... Simbok biar sembuh dulu...", ajak Oom Rangga sambil mengamit Rani dan menggendongnya. Air mata Rani terus menetes. Keduanya lalu menuju ruang tengah.

"Rani mau kasih ini sama Simboook...", ratap Rani, "kenapa Simbok gak mau banguuun...?".

Oom Rangga mengambil kartu pembayaran itu dari tangan Rani, lalu melihatnya.

"Ooo..., sudah bukan pupuk bawang ya ?", ujar Oom Rangga dengan senyum. Rani mengangguk dengan sesenggukan. Pada Simbok dan Oom Ranggalah Rani pernah bercerita tentang betapa gundahnya Rani diolok-olok jadi pupuk bawang di sekolah. Rupanya Oom Rangga jadi maklum, betapa penting arti kartu pembayaran yang baru saja diterima bagi Rani. Pantas Rani kecewa betul tidak bisa membagi senangnya dengan Simbok.

"Ini kartunya disimpan dulu, ya ? Nanti kalau Simbok sudah bangun, kartu ini boleh ditunjukkan. Sekarang Rani ganti baju dulu, makan siang dulu. Simbok pasti sedih kalau Rani gak mau makan...", kata Oom Rangga. Rani mengangguk pelan.

*

"Siapa yang melahirkan kita ? I...buu... ! Siapa yang merawat kita ? I...buu...! Siapa yang memasak untuk kita ? I...buu...!", suara Bu Lasmi terdengar sampai ke seluruh penjuru kelas. Anak-anak mengikuti setiap akhir kata 'Ibu' dengan suara lantang. Rani yang duduk di bangku paling kanan ikut-ikutan menjawab dengan sedikit bingung.

"Besok adalah Hari Ibu, hari untuk memperingati para ibu. Anak-anak semua boleh memberikan bunga untuk ibu masing-masing. Siapa yang ibunya suka bunga ?", tanya Bu Lasmi.

"Saya ! Saya ! Saya ! ....", sahut para murid dengan semangat sambil mengacungkan telunkuk mereka. Rani ikut-ikutan unjuk jari.

"Siapa yang mau memberi bunga untuk ibunya ?", tanya Bu Lasmi lagi.

"Saya ! Saya ! Saya ! ....", sahut murid-murid lagi. Lagi-lagi Rani ikutan unjuk jari. Bibirnya tersenyum gembira. 'Besok Hari Ibu ! Aku akan memberi bunga buat Ibu !', begitu pikirnya berkali-kali. Sepulang sekolah, Rani sudah berencana mau memetik bunga di pagar depan rumah Tante Novi. Bunga melatinya harum-harum. 'Akan aku bawa sebanyak-banyaknya !', begitu pikirnya.

Dan betul saja, banyak sekali bunga melati yang tumbuh di sela-sela rimbunnya daun pohon melati yang ada di pagar itu. Rani memasukkan sebanyak mungkin yang bisa dipetiknya dalam kedua saku baju seragam TKnya.

*

Pagi itu, Rani memberikan senyumannya yang terindah untuk Ibunya.....

"Selamat Hari Ibu...", ucapnya dengan senyum termanis. Ibunya begitu terharu. Diterimanya seuntai melati dari tangan mungil Rani.

"Terima kasih, sayang...", ucapnya sambil mencium kedua pipi si bocah. Rani sangat senang. Tiba-tiba dia berbalik..., membuat Ibunya terheran.

"Mau kemana ?", tanya Ibunya.

"Itu bunga untuk Ibu yang sudah melahirkan Rani ! Sekarang Rani mau memberi bunga buat Ibu yang sudah merawat Rani, dan bunga untuk Ibu yang memasak untuk Rani !", jawabnya ceria sambil mulai berlari ke arah kamar belakang.

Kamar Simbok !


0 comments: