BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Jumat, 18 Desember 2009

SAYAP TERBANG


Mata Tutik menerawang ke langit, sinar mentari yang terik memaksa kelopak matanya untuk menciut, silau.... Hari ini Bapaknya datang ke sekolah untuk bersama-sama denga orangtua murid lainnya mendengar pengumuman hasil UASBN. Tutik gelisah, tangannya yang dingin berkeringat. Diliriknya beberapa teman yang sedang bersenda-gurau di sudut taman sekolah. Tutik menghela nafas, dia tidak tau seberapa besar nilai yang akan diperolehnya kali ini.

*

"Buat apa minta uang lagi ?", tanya Pak Dullah waktu itu. Tutik sudah tau Bapaknya akan bertanya begitu. Kepalanya semakin tertunduk.
"Buat bayar TRY OUT, Pak...", sahutnya lirih.
"Minggu lalu 'kan sudah to, Nduk ?", kata Pak Dullah sambil mengernyit.
"Tapi sekarang ada lagi...", kata Tutik. Pandangannya menempel ke kuku-kuku jari tangannya yang saling bertaut.
"Tapi Bapak ndak punya uang, Tik.... Kalau tidak ikut apa ndak boleh to ?", kata Pak Dullah, tangannya meraih segelas teh tawar yang tersedia di atas meja.
"Tapi itu Bu Guru yang menyuruh, Pak...", kepala Tutik makin dalam tertunduk, suaranya semakin lirih. Tutik tau, Bapaknya cuma membawa uang 15 ribu semalam, cuma cukup buat beli beras satu liter sama sayur dan tempe. Bapaknya sudah seharian mangkal di perempatan, tapi memang ojekan lagi sepi. Jadi cuma uang 15 ribu itu yang bisa dibawanya pulang.

*

"Tut..., kenapa kemarin nggak ikut TRY OUT ?", tanya Tania, teman sebangkunya.
"Nggak pa-pa..., aku bantu-bantu Ibu di rumah, lagi ada pesanan kue buat arisan...", jawabnya berbohong. Dulu memang Ibunya sering menerima pesanan kue bugis, tapi akhir-akhir ini Ibunya sering sakit, jadi tidak bisa menerima pesanan apa-apa. 20 ribu..., sungguh jumlah uang yang sangat besar bagi keluarganya yang kini cuma mengandalkan hasil kerja Bapaknya. Dan jumlah itu yang dia perlukan untuk bisa mengikuti TRY OUT setiap kali.

"Kamu nggak ikut bukan karena nggak ada uang 'kan ?", tanya Tania mendesaknya. Tutik menelan ludah ke dalam kerongkongannya yang sekarang terasa sempit. Dia mengalihkan pandangan matanya ke luar kelas.
"Nggak kok..., aku memang nggak bisa datang ke sekolah kemarin...", kilahnya.
Tania memandanginya lekat-lekat, dia meragukan jawaban itu, tapi dia tak tau harus bicara apa.
"Kalau kamu nggak punya uang buat bayar TRY OUT, kamu harus bilang sama Bu Guru.... Biar biayanya bisa dimintakan sama Komite...", ujarnya lembut. Dari Mamanya, Tania sudah mendengar banyak hal tentang usaha Komite membantu anak-anak yang tidak mampu. Dan sepertinya Tutik perlu tau hal itu.

Tapi Tutik tersenyum saja, ucapan Tania tidak begitu didengarnya. Kabarnya, akan ada 7 kali TRY OUT lagi yang akan digelar di sekolah. Tutik bingung bagaimana harus mengatakannya pada Bapaknya. Terbayang wajah Bapaknya yang berpeluh di siang hari, naik motor Honda tua kesana-kemari. Tutik tidak tega..., sementara Ibunya masih saja sering sakit.... Lagi-lagi Tutik menghela nafas, dipandanginya baju bawahan merahnya yang sudah pendek di atas lutut. Ahh..., toh sebentar lagi baju merah itu tak lagi digunakannya kalau dia lulus dari SD. Lulus SD ? Bisakah dia lulus SD ? Tutik bertanya-tanya dalam hati....

*

"Kamu ini disuruh ikut TRY OUT saja kok susah.... Tujuan sekolah mengadakan TRY OUT ini supaya kamu bisa mempelajari soal-soal UASBN dengan lebih baik. Kok alasannya membantu Ibu masak pesanan kue.... Apa buat Ibumu, ikut TRY OUT itu tidak penting ?", Bu Sumi mencecar dengan sewot. Tutik tidak berani menjawab lagi. Dia hanya menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil memandangi lantai kantor guru.

"Apa Bapakmu tidak bisa bayar ?", tanya Bu Sumi lagi. Dan Tutik lagi-lagi tidak menjawab, lidahnya kelu.

"Ya sudah..., kalau tidak mau menjawab pertanyaan Ibu. Cuma satu pesan Ibu.... Ibu Guru tidak akan bisa banyak membantumu kalau kamu tidak mau berusaha sendiri untuk bisa mendapat nilai lebih bagus di UASBN nanti. Dan buat Bapakmu.... Ibu minta besok Bapakmu ke sekolah untuk bicara dengan Ibu Guru di kantor. Paham, Tut ?", kata Bu Sumi tegas. Tutik mengangguk, lalu berbalik ke kelas.

*

"Buat apa Bu Sumi nyuruh Bapak ke sekolah ?", tanya Pak Dullah.
"Ndak tau, Pak. Tapi Bu Guru bilangnya begitu...", kata Tutik sore itu sesampai Bapaknya di rumah.
"Bapak ini harus cari duit. Kalo Bapak ke sekolah, gimana Bapak bisa ngojek ? Iya kalau sepulang dari sekolah terus ojekan Bapak banyak yang sewa, kalau tidak terus bagaimana ? Kita lusa mau makan apa ?", berat Pak Dullah merasakannya. Dipandanginya wajah Tutik yang sedang terdiam, anak perempuan tertua yang kini mulai tumbuh mekar, cantik seperti bunga. Anak yang tau diri, selalu bersedia membantu orangtua setiap kali membutuhkan.

"Ya...sudah, Bapak besok ke sekolah. Mungkin memang Bapak perlu bicara sama Gurumu itu...", akhirnya Pak Dullah mengalah. Tutik tersenyum senang, diciumnya tangan Bapaknya dengan haru.

*

Tutik mengintip dari balik jendela kelas. Dari kantor guru, tampak Pak Dullah sedang bercakap-cakap dengan Bu Sumi. Perbincangan mereka sepertinya panjang sekali.

"Tutik !, coba maju ke depan !", panggil Pak Harun, guru Bahasa Inggris yang tidak pernah bisa menyebut "F" kecuali dengan lafal "P". Pak Harun memberinya pertanyaan dan memintanya menulis jawaban di papan tulis yang panjangnya dua meter itu. Tutik beruntung, pertanyaan itu bisa dijawabnya dengan baik.

Kepalanya melongok ke jendela lagi, tidak dilihatnya lagi keberadaan Pak Dullah di kantor guru. Hmm..., barangkali Bapaknya itu sudah pulang. Terbersit rasa senang dalam hatinya, ah..., pasti Bapaknya akan sampai di rumah dengan membawa kabar bagus untuknya....

*

"Tadi di sekolah, Bu Sumi bicara apa, Pak ?", tanya Tutik tak sabar. Pak Dullah menyimpan helm ke dalam lemari kaca. Lalu beranjak mendekat ke arah meja makan untuk menyeruput teh tawar hangat kesukaannya.

"Tadi sama Bu Sumi bicara apa, Pak ?", Tutik bertanya lagi.
"Bicara soal TRY OUT...", jawab Pak Dullah datar.
"Katanya apa, Pak ?", tanya Tutik lagi.
"Kata Bu Sumi, kamu bisa ikutan TRY OUT tanpa dipungut biaya.... Gratis.... Tapi harus minta bantuan sama Komite...", kata Pak Dullah. Tutik terpekik senang, dia sudah menduga Bu Sumi akan memberinya keringanan untuk TRY OUT itu.

"Ndak usah senang dulu...", sergah Pak Dullah tiba-tiba. Tutik jadi bingung.
"Kenapa, Pak ?", tanyanya.
"Kerja Komite sekolahmu yang mau membantu anak tidak mampu itu memang bagus.... Tapi Bapak tidak akan minta bantuan Komite.... Bapak tidak mau jadi pengemis, Bapakmu ini masih bisa kerja. Bapak akan merasa terhina kalau harus minta-minta bantuan ke sekolah.... Bapakmu ini akan merasa sangat malu, Nduk...", kata Pak Dullah perlahan. Kata-kata yang membuat semangat Tutik terbang jauh...entah kemana. Tiba-tiba mata Tutik menjadi tak begitu jelas, air mata menggenang di sudut kedua matanya. Pak Dullah melihat itu. Hatinya tercekat. Tapi dia tak bisa berkata lain. Tutik berlari ke kamar meninggalkan Bapaknya termangu seorang diri di ruang makan.

"Tut...! Bapak ndak bisa berbuat begitu.... Bapak minta maaf, Tut...!", kata-kata Pak Dullah mengiringi langkah kaki Tutik. Dada Tutik sesak, dia tak mengerti mengapa Bapaknya harus malu minta bantuan. Bukankah Bapaknya memang tidak punya uang...? Tutik menelungkupkan wajahnya di atas bantal, tangisnya panjang. Begitu melelahkan hingga membuat dia tertidur.

*

Pak Dullah keluar ruangan dengan wajah lesu. Selembar kertas tergenggam di tangannya. Tutik berlari mendekat. Hasil UASBN itu sudah diterima !

"Bagaimana hasilnya, Pak ?", tanyanya gelisah.
"Kamu lihatlah sendiri...", kata Pak Dullah pasrah. Tutik menerima lembar kertas itu dengan hati galau. Dibacanya angka dalam kertas.... 15,50 ! Artinya rata-ratanya cuma 5 lebih sekian.... Lunglai sudah, Tutik tak tau harus kemana akan meneruskan sekolah dengan nilai hanya sejumlah itu. Sedangkan Bapaknya pasti tak juga mampu membayar sekolah swasta untuknya. Air matanya mengalir di kedua pipi, tak sanggup ditahan. Harapan itu seakan bersayap...terbang jauh ke langit....







* Ditulis di Bintaro, 3 Juli 2009.
Untuk mengenang anak-anak yang kurang mampu dari SD binaanku.

0 comments: